Nggak ada Mama! "buat Dekbay"Yuk!

Siang itu, setelah pulang sekolah, rumah terasa lebih sepi dari biasanya. Tante Mirna pergi ke kondangan, meninggalkan Rendi dan Amara berdua saja di rumah.

Rendi baru saja selesai ganti baju dan duduk di ruang tamu, berniat istirahat sejenak sebelum berangkat kerja ojol. Namun, Amara yang masih memakai seragam langsung menjatuhkan diri di sofa di sebelahnya, menatapnya dengan ekspresi jahil.

"Rendi..."

Rendi melirik sekilas. "Apa lagi, Bocil?"

"Gue mau nanya sesuatu."

"Cepet nanyanya. Gue bentar lagi mau berangkat."

Amara menyeringai, mendekatkan wajahnya ke arah Rendi.

"Lo mau nggak buat dekbay sama gue?"

Rendi yang sedang minum air langsung tersedak. "APAA?!"

Amara tertawa melihat reaksi Rendi. "Yah, lo panik banget! Nggak seru!"

Rendi menatap Amara tajam. "Lo ini bocil beneran, ya?! Ngomong yang bener! Jangan asal nyeplos!"

Amara nyengir. "Kenapa? Takut? Kan kita udah dijodohin. Jadi sah-sah aja kan kalau gue ngajakin lo buat dekbay?"

Rendi mendadak berdiri, wajahnya merah karena kesal. "Amara! Lo sadar nggak omongan lo itu keterlaluan?! Lo masih SMA! Dan gue nggak mau becandaan kayak gitu!"

Amara yang tadinya santai langsung terdiam, tak menyangka Rendi akan semarah itu.

"Tapi... gue cuma iseng, Ren."

"Iseng apaan?! Jangan becanda soal hal yang nggak pantas!" Rendi menatap Amara dengan tatapan tajam, membuat gadis itu menggigit bibir bawahnya.

Matanya mulai berkaca-kaca. "Lo marah beneran?"

"IYA! Gue marah! Karena lo nggak mikir dulu sebelum ngomong!"

Amara yang dari tadi menahan tangis akhirnya terisak pelan. Dia berdiri dan langsung berlari ke kamarnya sambil membanting pintu.

Rendi menghela napas panjang, mengusap wajahnya frustasi. "Ya Tuhan, bocil satu ini!"

Amara Ngadu ke Mama!

Sore harinya, Tante Mirna baru saja pulang dari kondangan dan merasa heran melihat Amara duduk di sofa dengan wajah cemberut, mata sedikit sembab.

"Amara, kenapa nangis?"

Amara langsung melompat ke arah mamanya, memeluknya erat sambil mengadu, "Mah! Bang Rendi jahat! Dia marah-marahin Amara! Huhuhu!"

Tante Mirna mengerutkan kening. "Hah? Kenapa dia marahin kamu?"

Amara menggeleng cepat. "Pokoknya dia jahat!"

Tepat saat itu, Rendi keluar dari kamarnya. Tante Mirna langsung menatapnya tajam. "Rendi, kamu marahin Amara?"

Rendi menghela napas, mencoba menenangkan diri sebelum menjawab. "Tante, Amara tuh tadi ngomong yang nggak pantas. Saya cuma kasih dia pengertian biar dia nggak asal nyeplos."

Tante Mirna menatap putrinya. "Amara, kamu bilang apa ke Rendi?"

Amara langsung mengalihkan pandangan, tidak berani menjawab. Tante Mirna mulai curiga.

"Amara, jujur!"

Setelah beberapa detik hening, Amara akhirnya menggumam pelan, "Cuma nanya… buat dekbay bareng Rendi."

"APA?!" Tante Mirna hampir tersedak mendengar jawaban putrinya sendiri.

Rendi hanya bisa menutup wajahnya dengan kedua tangan, sementara Amara mulai merasa dirinya dalam bahaya.

"AMARA! KAMU INI NGOMONG APA SIH?! ASTAGA!!"

Dan di situlah, giliran Tante Mirna yang memarahi Amara habis-habisan, sementara Rendi hanya bisa duduk di sofa, merasa lelah menghadapi bocil bar-bar satu itu.

"Amara! Kamu ini makin nggak bener aja, ya?!" Tante Mirna menatap putrinya dengan ekspresi syok sekaligus kesal.

Amara meringis, tidak berani menatap wajah mamanya. "Mah, aku cuma becanda..."

"Becanda apaan?! Nggak ada becandaan kayak gitu, Nak! Itu bukan hal yang bisa kamu omongin sembarangan!"

Rendi hanya menghela napas berat di sofa. Sudah dia duga bakal begini jadinya.

"Mama kecewa banget sama kamu, Amara. Kamu itu masih SMA! Masih kecil! Harusnya kamu fokus sekolah, bukan ngomongin hal aneh-aneh kayak gitu!"

Amara menggigit bibirnya. "Tapi, Mah... kita kan udah dijodohin..."

"Dan itu bukan alasan buat ngomong sembarangan!" Tante Mirna menyela dengan tegas. "Jodoh itu sesuatu yang sakral, bukan buat dijadikan bahan bercandaan nggak sopan kayak tadi!"

Amara menunduk, jari-jarinya memainkan ujung kausnya. Sementara itu, Rendi hanya diam, memilih tidak ikut campur.

"Mama kecewa banget, Amara. Harusnya kamu lebih paham mana yang pantas dan mana yang nggak."

Amara menghela napas dan mengangguk pelan. "Iya, Mah... maaf..."

Tante Mirna masih menggelengkan kepala sebelum akhirnya menatap Rendi. "Rendi, maafin Amara, ya. Dia memang masih kekanak-kanakan, tapi Tante janji bakal lebih ngajarin dia biar lebih dewasa."

Rendi mengangkat bahu. "Iya, Tante, nggak apa-apa. Saya juga tahu dia nggak serius."

Amara menatap Rendi sekilas. Ada perasaan aneh yang muncul di hatinya.

Rendi tidak membenci dia... tapi jelas-jelas dia juga nggak suka sama tingkahnya tadi.

Sial.

Kenapa rasanya lebih menyakitkan daripada kena marah Mama?

"Yaudah, sana, masuk kamar. Jangan keluar sampai kamu bener-bener ngerti kenapa Mama marah."

Amara cemberut, tapi menurut. "Iya, Mah..."

Setelah Amara masuk kamar, Tante Mirna menoleh ke Rendi lagi. "Rendi, terima kasih ya. Kamu udah sabar banget sama Amara. Tante tahu dia itu bar-bar dan manja, tapi tolong... sabar sedikit lagi, ya?"

Rendi hanya tersenyum kecil. "Iya, Tante. Saya ngerti kok."

Tante Mirna tersenyum lega. "Terima kasih, Nak."

Namun, di balik pintu kamarnya, Amara mendengus kesal.

"Huh, sabar sedikit lagi? Emangnya aku harus berubah?!"

Tapi jauh di dalam hatinya, dia sadar...

Mungkin memang sudah saatnya dia sedikit lebih dewasa.

Amara duduk di kasurnya dengan wajah ditekuk. Seharian ini dia sudah kena marah dari dua orang sekaligus Rendi dan mamanya.

"Huh! Nyebelin! Padahal aku cuma becanda..." gerutunya sambil memeluk bantal.

Tapi semakin dipikir, semakin dia merasa malu sendiri. Rendi tadi benar-benar marah. Ini pertama kalinya dia melihat cowok itu semarah itu ke dia.

Biasanya, Rendi hanya cuek atau membalas dengan candaan juga. Tapi tadi… ekspresinya serius banget.

Amara membenamkan wajahnya ke bantal. "Aaaak! Kenapa gue sebodoh ini sih!"

Tiba-tiba, pintu kamarnya diketuk.

Tok tok tok!

"Amara, makan malam dulu," suara Tante Mirna terdengar dari luar.

Amara malas keluar, tapi perutnya protes. Dengan enggan, dia bangkit dan membuka pintu.

Saat dia tiba di meja makan, Rendi sudah duduk di sana, sibuk makan seperti biasa, seolah tidak ada kejadian apapun tadi.

Amara menatapnya sekilas, lalu duduk di kursinya.

Tante Mirna memperhatikan mereka berdua dengan tatapan penuh arti, lalu berdeham. "Mama mau ngomong sebentar."

Amara dan Rendi menoleh.

"Amara, Mama harap ini jadi pelajaran buat kamu. Dan Rendi, kalau Amara masih suka bertingkah aneh-aneh, kasih tahu Tante, ya."

Rendi hanya tersenyum tipis. "Siap, Tante."

Amara melotot ke arah Rendi. "Eh, lo jangan jadi tukang lapor juga, ya!"

Rendi hanya menaikkan alis. "Kalau lo nggak aneh-aneh lagi, gue juga nggak perlu lapor, kan?"

Amara mendengus dan kembali makan.

Tante Mirna tersenyum kecil melihat mereka. Dalam hati, dia tahu Amara dan Rendi memang punya kepribadian yang bertolak belakang, tapi entah kenapa… dia merasa keduanya saling melengkapi.

Setelah makan malam, Amara kembali ke kamarnya. Kali ini, dia benar-benar berpikir.

Haruskah dia mulai mengubah sikapnya?

Tapi kalau dia berubah… apakah Rendi akan melihatnya dengan cara yang berbeda?

Amara menggigit bibirnya, lalu bergumam pelan. "Tunggu aja, Rendi. Gue bakal bikin lo terpesona suatu hari nanti."

Tapi bagaimana caranya?

Tunggu dulu. Apa dia baru saja ingin membuat Rendi terpesona?

Matanya membulat.

"Eh, jangan-jangan gue mulai suka sama dia?!"