Bocil Minta Jajan

Setelah beberapa saat duduk santai di taman, Amara mulai merasa bosan. Matanya melirik ke arah deretan pedagang kaki lima yang menjual berbagai makanan ringan.

"Rendi, gue laper."

Cowok itu menoleh dengan alis terangkat. "Tadi pagi lo sarapan nasi goreng dua piring, Bocil. Masa laper lagi?"

Amara melipat tangan di dada. "Ya terus kenapa? Gue bocil yang butuh asupan makanan lebih."

Rendi tertawa kecil lalu berdiri. "Yaudah, mau makan apa? Tapi gue yang milih menunya."

"Hah? Kenapa lo yang milih? Gue kan yang mau makan!"

"Karena kalau lo yang milih, pasti isinya cuma jajanan manis nggak sehat." Rendi beralasan sambil berjalan ke arah pedagang makanan. Amara cemberut tapi tetap mengikuti di belakangnya.

Mereka berhenti di depan pedagang cilok dan es teh jumbo. Rendi memesan dua porsi cilok dengan saus kacang yang melimpah serta dua gelas es teh dingin.

Saat makanan datang, Amara langsung mengambil satu tusuk cilok dan menggigitnya.

"Hmm… enak juga."

Rendi hanya tersenyum kecil sambil menyeruput es tehnya. "Udah berapa kali kita jajan bareng kayak gini?"

Amara berpikir sejenak. "Hmm… nggak tahu. Kayaknya jarang, deh. Biasanya lo sibuk sendiri."

"Ya, karena biasanya lo juga nggak mau ikut kalau gue ajak ke luar."

Amara diam. Memang benar, sebelumnya dia lebih suka main di rumah daripada jalan bareng Rendi. Tapi sejak mereka mulai sering bersama, entah kenapa dia jadi betah.

Rendi menatap bocil di depannya yang sedang asyik makan cilok dengan wajah puas.

"Lo seneng?" tanyanya tiba-tiba.

Amara menghentikan kunyahannya, menatap Rendi dengan bingung. "Hah? Seneng kenapa?"

Rendi tersenyum kecil. "Nggak ada alasan. Cuma nanya aja."

Amara langsung memalingkan wajahnya, pipinya terasa hangat. "Huh, gue makan dulu! Jangan banyak nanya!"

Rendi terkekeh pelan, menikmati momen kecil ini. Bocil bar-bar memang gengsian, tapi kalau diperhatikan lebih lama…

Lucu juga.

Setelah menghabiskan satu tusuk cilok, Amara menyodorkan tangannya ke arah Rendi.

"Tambah lagi."

Rendi melirik ke arah tangan kosongnya itu dengan alis terangkat. "Lah, cilok lo sendiri mana?"

"Udah abis. Lo masih punya kan?" Amara melipat tangan di dada dengan ekspresi sok berani. "Gue istri lo, jadi udah seharusnya lo ngasih jatah makanan ke gue."

Rendi mendesah pelan tapi tetap menyodorkan piring ciloknya. "Dasar bocil rakus."

Amara dengan semangat mengambil satu tusuk cilok lagi dan memakannya dengan lahap. Sementara itu, Rendi hanya memandanginya sambil tersenyum kecil.

"Kenapa lo ngeliatin gue gitu?" Amara menatap Rendi curiga.

"Nggak ada apa-apa." Rendi mengalihkan pandangan sambil menyeruput es tehnya. "Cuma lucu aja. Biasanya lo ngambek kalau gue godain, sekarang malah santai makan cilok gue."

Amara mendengus. "Ya jelas! Gue udah mulai terbiasa sama lo."

Rendi tersenyum tipis. "Berarti kalau nanti gue ngajak lo jalan lagi, lo nggak bakal nolak?"

Amara diam sebentar, pura-pura berpikir. "Hmm… tergantung. Kalau lo nggak ngeselin, mungkin gue mau."

Rendi tertawa pelan. "Deal."

Mereka berdua melanjutkan makan dalam suasana yang santai. Setelah selesai, Amara menyenderkan kepalanya ke bangku taman sambil mengusap perutnya yang kenyang.

"Hhh… kenyang banget. Enak juga ternyata makan di luar gini."

Rendi meliriknya sekilas. "Makanya, lain kali jangan jadi bocil mager. Keluar rumah itu penting."

Amara menjulurkan lidah. "Gue bukan bocil mager, gue cuma… suka di rumah aja."

Rendi menggeleng sambil tertawa. "Alasan. Padahal lo betah juga kan bareng gue?"

Amara langsung menegakkan badan. "H-Hah? Betah apaan?! Jangan ge-er!"

"Ge-er apanya? Gue cuma nanya." Rendi mengangkat bahu santai. "Tapi kalau lo betah, ya nggak apa-apa juga."

Amara merona. Sialan! Kenapa dia selalu bikin gue salah tingkah?!

Dia buru-buru berdiri. "Udah yuk, pulang! Sebelum lo makin banyak bacot!"

Rendi hanya terkekeh dan ikut berdiri. "Ayo, Bocil. Tapi gue pegang kendali motor, jadi lo harus nunggu gue nyantai dulu."

Amara mendecak kesal. "Terserah lo deh!"

Sementara itu, di dalam hati, dia harus mengakui…

Hari ini menyenangkan.

Setelah puas makan cilok dan minum es teh jumbo, Amara dan Rendi berjalan menuju parkiran motor. Namun, baru beberapa langkah, Amara tiba-tiba berhenti.

"Rendi, gue mau beli es krim."

Rendi menghela napas. "Tadi lo bilang kenyang."

"Iya, tadi. Tapi sekarang gue pengen yang manis-manis." Amara menatap Rendi dengan mata berbinar.

Rendi menggeleng sambil tersenyum. "Lo tuh kayak bocil beneran. Yaudah, beli sana. Tapi jangan lama-lama."

Tanpa pikir panjang, Amara langsung lari ke arah kios es krim. Rendi hanya bisa menggeleng melihat tingkah bocil bar-bar satu itu.

Setelah beberapa menit, Amara kembali dengan dua cup es krim di tangannya. Dia menyodorkan satu cup ke Rendi.

"Nih, buat lo."

Rendi mengangkat alis. "Gue nggak mesen es krim."

"Tau, tapi gue beliin buat lo." Amara menjulurkan lidah. "Lo kan suka es krim coklat, makanya gue pesenin."

Rendi menatap cup es krim itu sejenak sebelum akhirnya mengambilnya. "Tumben lo baik."

"Jangan salah paham! Gue cuma nggak mau makan sendirian." Amara buru-buru menambahkan sebelum Rendi berpikir aneh-aneh.

Rendi hanya tersenyum kecil dan mulai menyendok es krimnya. "Terserah lo deh, Bocil."

Mereka duduk di bangku taman lagi, menikmati es krim dalam keheningan. Sesekali Amara melirik ke arah Rendi, yang tampak menikmati es krimnya dengan santai.

"Rendi."

"Hmm?"

"Lo suka jalan-jalan gini nggak?"

Rendi menoleh. "Ya, suka aja. Kenapa?"

Amara menggigit bibir bawahnya. "Kalau gue ngajak lo jalan lagi lain kali, lo mau nggak?"

Rendi tersenyum kecil. "Tergantung. Lo bakal minta jajan lagi atau nggak?"

"YA JELAS LAH!" Amara menjawab tanpa ragu.

Rendi tertawa. "Yaudah, nggak masalah. Asal jangan nyuruh gue traktir tiap hari aja."

Amara mendelik. "Lagian lo kan kerja ojol. Duit lo banyak!"

"Ya tetap aja gue harus nabung, Bocil. Masa tiap hari buat jajan lo doang?"

Amara mendengus kesal, tapi kemudian tersenyum tipis.

"Tapi lo nggak keberatan kan?" tanyanya pelan.

Rendi menatapnya sebentar sebelum akhirnya tersenyum. "Nggak, kok."

Amara pura-pura mengalihkan pandangan, menyembunyikan wajahnya yang mulai merona.

Kenapa dia baik banget sih?!

Setelah menghabiskan es krimnya, Amara masih duduk santai di bangku taman sambil memainkan sendok plastiknya. Rendi yang duduk di sampingnya melirik ke arah jam tangan.

"Udah sore, Bocil. Kita pulang sekarang?"

Amara menatapnya dengan ekspresi penuh pertimbangan. "Hmm… bentar deh, gue masih pengen duduk di sini."

Rendi menghela napas. "Lo tuh kayak anak kecil banget, tau nggak?"

"Biarin! Lagian lo juga betah kan di sini?" Amara menoleh dengan senyum kemenangan.

Rendi hanya mengangkat bahu. "Ya, lumayan sih. Tapi kalau kelamaan, nanti Tante Mirna curiga."

Amara langsung memasang ekspresi panik. "Iya juga, ya?! Kalau nyokap tau kita jalan berdua dan gue minta jajan terus, bisa-bisa gue diceramahin."

Rendi tertawa kecil melihat wajah paniknya. "Makanya, ayo pulang sebelum lo kena omel."

Akhirnya, mereka pun bangkit dari bangku taman dan berjalan menuju motor. Namun, saat Amara hendak naik ke jok belakang, dia tiba-tiba berhenti.

"Rendi."

"Apa lagi, Bocil?"

Amara tersenyum kecil sambil memainkan ujung jaketnya. "Besok kalau gue mau jalan lagi, lo mau anterin gue?"

Rendi menaikkan satu alis. "Lo nggak takut dimarahin nyokap lo?"

"Ya kalau diem-diem, kan nggak bakal ketahuan." Amara menyeringai usil.

Rendi mendesah, tapi di wajahnya ada senyum tipis. "Yaudah, tapi jangan sering-sering ya, Bocil. Gue juga sibuk."

Amara cemberut. "Sibuk apaan sih? Ojol?"

"Iya, kerja sambilan itu penting, Amara."

Amara menatapnya dengan ekspresi sulit ditebak. "Lo kaya, tapi kerja. Lo baik, tapi ngeselin. Lo perhatian, tapi sering ngomelin gue."

Rendi mengerutkan kening. "Maksud lo?"

Amara menghela napas pelan sebelum akhirnya naik ke motor. "Nggak ada. Udah, ayo pulang sebelum nyokap gue nyariin."

Rendi masih menatap Amara dengan bingung, tapi dia memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut. Setelah memastikan Amara duduk dengan aman, dia pun menyalakan motor dan mereka segera pulang.

Sepanjang perjalanan, angin sore berhembus lembut, membuat suasana terasa nyaman. Namun, di dalam hati Amara, ada perasaan aneh yang mulai tumbuh.

Kenapa gue nggak keberatan ngabisin waktu bareng dia?

Sementara itu, Rendi hanya tersenyum tipis sambil fokus mengendarai motor.

Tanpa mereka sadari, hubungan mereka semakin berubah sedikit demi sedikit.