"Hari ini,Hari apa"?!

Pagi itu, Amara terbangun dengan semangat luar biasa. Setelah mandi dan mengenakan seragam sekolah, ia langsung turun ke ruang makan, di mana Tante Mirna dan Rendi sudah duduk menikmati sarapan.

"Bang Rendi! Buruan kita berangkat, nanti telat!" seru Amara sambil mengikat rambutnya dengan cepat.

Rendi yang sedang mengunyah roti langsung berhenti. Ia menatap Amara dari atas sampai bawah, lalu menyandarkan punggung ke kursi dengan santai. "Lo yakin mau sekolah hari ini?"

Amara mengerutkan kening. "Ya iyalah! Kenapa nggak?"

Tante Mirna yang sedang menyeruput teh juga ikut menatap Amara dengan senyum aneh. "Nak, kamu sadar ini hari apa?"

"Hari Senin, kan?" Amara menjawab cepat.

Rendi dan Tante Mirna langsung tertawa bersamaan.

"HAHAHAHAHA!"

Amara tertegun. "Kenapa kalian ketawa?"

Rendi menepuk meja sambil terus tertawa. "Bocil! Ini hari Minggu!"

Amara membelalak. "Hah?!"

Tante Mirna tersenyum geli. "Kamu terlalu semangat sekolah sampai lupa hari, Nak."

Wajah Amara langsung merah padam. Ia menatap jam dinding dan menyadari sesuatu…

Benar! Ini hari Minggu!

"AAAAA! MAMA! BANG RENDI! KENAPA NGGAK ADA YANG NGASIH TAU?!"****

Tante Mirna tertawa lebih kencang. "Ya ampun, Nak, memangnya kami harus mengingatkan? Harusnya kamu sendiri yang sadar!"

Rendi masih menahan tawa sambil mengacak rambut Amara. "Bocil, lo semangat sekolah atau semangat pengen boncengan sama gue?"

Amara langsung terdiam.

SIAL!

Itu memang benar!

Karena setiap pagi, ia selalu menunggu Rendi berangkat bersamanya. Kalau hari libur, berarti ia nggak bisa boncengan sama Rendi!

"E-EH! BUKAN KARENA ITU, TAU! JANGAN NGADENG-NGADENG!" teriak Amara dengan wajah merah.

"Oh, jadi bukan karena itu? Terus, kenapa lo semangat banget?" Rendi menyeringai jahil.

"EHHH… AKU MAU BALIK KE KAMAR AJA!"

Amara langsung berlari naik ke atas, meninggalkan Rendi dan Tante Mirna yang masih tertawa.

Sial.

Kenapa dia jadi bocil bar-bar yang malu sendiri sekarang?!

Amara menghempaskan dirinya ke atas kasur, menutup wajah dengan bantal.

"AAARGH! Malu banget! Malu banget!"

Bayangkan, dia bangun pagi-pagi, pakai seragam, turun ke bawah dengan penuh percaya diri, lalu malah diketawain habis-habisan oleh Rendi dan mamanya!

Bocil bar-bar dikalahkan oleh hari Minggu.

Setelah beberapa menit berguling-guling di kasur, akhirnya perutnya mulai protes. Dengan malas, ia turun kembali ke bawah. Tapi begitu sampai di ruang makan, Rendi masih duduk santai di meja sambil memainkan sendoknya.

Begitu melihat Amara datang, cowok itu langsung menyeringai. "Eh, bocil, sekolahnya libur ya?"

Amara mendelik. "DIEM LO!"

Tante Mirna hanya tersenyum melihat anaknya yang sudah mulai cemberut lagi. "Udah sarapan dulu, Nak. Jangan ngambek terus."

"Aku nggak ngambek!" bantah Amara, tapi jelas-jelas ekspresi mukanya menunjukkan sebal tingkat dewa.

Ia duduk di kursinya, mulai menyendok nasi goreng buatan mamanya. Tapi matanya tetap melirik Rendi yang masih senyum-senyum jahil.

"Tapi lo emang kangen boncengan sama gue, kan?" Rendi kembali menggoda.

Sendok di tangan Amara hampir jatuh. "APAAN SIH? ENGGAK KALI!"

"Oh ya? Padahal biasanya lo paling ribut minta gue antar jemput."

Amara pura-pura sibuk makan, tapi pipinya semakin merah.

Sial! Kenapa Rendi harus peka di bagian yang ini?!

Rendi tertawa kecil. "Ya udah, mumpung hari Minggu,mau jalan nggak?"

Amara langsung menoleh. "Hah? Jalan kemana?"

"Keluar aja, kemana gitu. Lo kan kesel karena nggak bisa boncengan sama gue. Nih, gue kasih kesempatan."

Amara memalingkan muka. "Sok baik banget lo."

Tante Mirna ikut tersenyum. "Pergi aja sana, biar nggak suntuk di rumah."

Amara akhirnya diam beberapa detik sebelum menggumam pelan, "Ya udah…"

Rendi tersenyum menang. Bocil bar-bar ternyata gampang banget dirayu.

Setelah sarapan, Amara langsung naik ke atas untuk ganti baju. Kali ini dia pakai kaos oversize warna pink dan celana jeans pendek. Didepan cermin, dia menatap pantulan dirinya sambil menghela napas.

Kenapa sih Rendi tiba-tiba ngajak jalan?

Padahal tadi dia baru malu setengah mati. Sekarang malah ditawari jalan-jalan. Apa dia kasihan? Atau… dia cuma mau ngeledek lagi?!

"Huh! Dasar cowok ngeselin!" gerutunya. Tapi tetap saja, dia sudah siap-siap.

Saat turun, Rendi sudah menunggu di depan rumah dengan motor matic-nya. Dia pakai kaos hitam dan celana jeans, tampak santai tapi tetap keren.

Begitu melihat Amara keluar, cowok itu menyeringai. "Dandan juga akhirnya. Gue kira lo bakal diem aja di kamar sambil manyun."

"Huh! Terserah lo!" Amara langsung naik ke motor dengan cepat, duduk di belakang Rendi.

Rendi menoleh sebentar. "Pegangan, Bocil."

"Ng—nggak usah! Aku bisa sendiri!" jawab Amara cepat.

Rendi tertawa kecil. "Yakin? Jangan nyesel kalau jatuh."

Motor mulai melaju pelan keluar dari halaman rumah. Awalnya Amara tetap gengsi, tapi saat Rendi mulai menambah kecepatan, dia refleks berpegangan pada bagian belakang motor.

Tapi karena jalan agak bergelombang, tiba-tiba tubuhnya terdorong ke depan.

Dan tanpa sadar…

Tangannya otomatis melingkar di pinggang Rendi!

"EHHH!" Amara langsung panik, mau melepaskan tangannya.

Tapi Rendi dengan santai malah berkata, "Udah, pegangan aja. Ntar jatuh, gue males jemput lo dari aspal."

"HUH! SIALAN LO!" Amara cemberut, tapi akhirnya tetap memegang pinggang Rendi.

Dan di sepanjang jalan, jantungnya berdebar nggak karuan.

Sial… Kenapa ini malah terasa menyenangkan?!

Motor Rendi melaju santai di sepanjang jalan kota yang sedikit lengang. Amara masih diam, tangannya tetap melingkar di pinggang Rendi meskipun gengsinya menjerit.

"Mau kemana kita?" tanyanya akhirnya, mencoba mengalihkan rasa gugup.

"Jalan aja dulu, cari suasana." Rendi menjawab santai. "Atau lo mau ke tempat yang spesifik?"

Amara mendengus. "Kok kayak nggak ada tujuan jelas gini?"

Rendi tertawa kecil. "Namanya juga jalan-jalan dadakan. Yang penting lo nggak manyun di kamar seharian."

Amara mendengus pelan, tapi dalam hati dia senang juga. Biasanya kalau hari Minggu, dia cuma tidur-tiduran di rumah sambil nonton drama. Sekarang malah bisa keluar bareng Rendi.

Beberapa menit kemudian, mereka tiba di sebuah taman kota. Rendi memarkirkan motornya dan turun lebih dulu. "Udah sampai. Turun, Bocil."

Amara memandang sekeliling. Taman ini nggak terlalu ramai, banyak pohon rindang dan beberapa pedagang kaki lima berjejer di dekat pintu masuk.

"Ngapain ke sini?" tanyanya sambil turun dari motor.

"Ya santai aja. Lo butuh udara segar, kan?"

Rendi berjalan santai ke arah kursi taman, sementara Amara mengikutinya dengan wajah setengah bete, setengah penasaran.

Mereka duduk berdampingan, menikmati angin sepoi-sepoi yang bertiup lembut. Beberapa anak kecil terlihat bermain di taman bermain, sementara orang-orang lain duduk santai menikmati sore.

Tiba-tiba, Rendi menoleh ke Amara. "Lo kaget banget tadi, ya?"

Amara berkedip. "Hah? Kaget kenapa?"

"Pas lo refleks meluk gue di motor." Rendi nyengir jahil.

Amara langsung tersedak ludahnya sendiri. "B-BUKAN PELUK! CUMA PEGANGAN BIASA!"

"Oh ya? Tapi rasanya tangan lo erat banget, lho."

Wajah Amara langsung merah padam. "DASAR COWOK NYEBELIN! UDAH DIEM LO!"

Rendi terkekeh kecil, lalu menyandarkan punggungnya ke bangku taman. "Santai aja, Bocil. Gue nggak keberatan kok kalau lo sering-sering pegangan."

"HUH! MIMPI AJA LO!"

Meskipun berkata begitu, Amara tetap duduk di sebelah Rendi tanpa beranjak sedikit pun. Hatinya masih berdebar aneh, tapi dia nggak bisa menyangkal…

Dia cukup nyaman seperti ini.