Pernikahan Tanpa Cinta

keira berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun pengantin putih dengan renda yang indah. Gaun itu begitu sempurna, namun Keira tidak merasa seperti pengantin yang bahagia. Ia menatap bayangannya dengan kosong, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdebar kencang.

Hari ini adalah hari pernikahannya.

Hari yang seharusnya penuh cinta dan kebahagiaan, tetapi bagi Keira, ini terasa seperti hukuman.

Dia dipaksa menikah dengan pria yang nyaris tidak dikenalnya—Elvano Adrian.

Pintu kamar tiba-tiba diketuk.

"Keira, sayang, ini sudah waktunya."

Suara lembut ibunya terdengar dari balik pintu, tetapi Keira tidak segera menjawab.

Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan kegelisahannya. Dia tahu tidak ada jalan keluar. Ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan keluarganya.

Dengan tangan gemetar, ia mengambil buket bunga yang tergeletak di atas meja rias. Ia melangkah menuju pintu dengan langkah berat, lalu membukanya.

Di luar, ibunya menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Kau terlihat cantik."

Keira memaksakan senyum, meskipun di dalam hatinya ada perasaan ingin menangis.

---

Ruangan pernikahan begitu megah, dihiasi dengan lampu kristal yang menggantung di langit-langit tinggi. Bunga-bunga putih tersebar di seluruh ruangan, menciptakan suasana romantis yang seharusnya membuat pengantin merasa bahagia.

Tetapi Keira tidak merasakan apa pun selain tekanan di dadanya.

Dengan tangan gemetar, ia berjalan di lorong menuju altar, menggandeng lengan ayahnya.

Dan di sana, di ujung lorong, berdiri seorang pria dengan jas hitam yang terlihat begitu sempurna—Elvano Adrian.

Pria yang akan menjadi suaminya.

Tatapan Elvano datar, nyaris tanpa emosi. Rahangnya tegas, matanya tajam, dan ekspresinya sulit ditebak.

Ketika Keira sampai di altar, ayahnya menyerahkan tangannya kepada Elvano. Pria itu menggenggamnya, tetapi genggamannya terasa dingin.

Pendeta mulai berbicara, tetapi Keira hampir tidak bisa mendengarkan. Semuanya terasa seperti mimpi buruk yang terjadi dalam gerakan lambat.

Hingga akhirnya, momen yang paling ditakutinya tiba.

"Elvano Adrian, apakah Anda menerima Keira Alveria sebagai istri Anda?"

Tanpa ragu, Elvano menjawab, "Saya bersedia."

Suara pria itu terdengar begitu tegas dan meyakinkan, seolah-olah ini hanyalah formalitas belaka.

Pendeta lalu menoleh ke Keira.

"Keira Alveria, apakah Anda menerima Elvano Adrian sebagai suami Anda?"

Keheningan memenuhi ruangan.

Keira menelan ludah. Ia melirik ke arah keluarganya yang duduk di barisan depan. Wajah ayahnya terlihat cemas, sedangkan ibunya menatapnya penuh harap.

Ia tahu, ia tidak bisa mundur sekarang.

Dengan suara bergetar, ia akhirnya berkata, "Saya bersedia."

Dan dengan itu, semuanya berakhir.

Atau lebih tepatnya—semuanya baru saja dimulai.

---

Pesta pernikahan berlangsung begitu meriah. Para tamu undangan sibuk berbincang, musik klasik mengalun lembut, dan suasana begitu megah.

Tetapi Keira merasa terasing di tengah keramaian ini.

Ia duduk di samping Elvano di meja utama, tetapi mereka tidak berbicara satu sama lain. Hanya ada keheningan di antara mereka, seolah-olah mereka adalah dua orang asing yang kebetulan duduk berdampingan.

Setelah sekian lama dalam keheningan, Keira akhirnya memberanikan diri untuk berbicara.

"Elvano…" Suaranya terdengar ragu. "Bagaimana kita akan menjalani pernikahan ini?"

Elvano meletakkan gelas anggurnya, lalu menatapnya dengan ekspresi datar. "Kita hanya perlu menjalani peran kita di depan orang lain. Di luar itu, aku tidak akan mencampuri urusanmu, dan kau juga tidak mencampuri urusanku."

Keira terdiam.

Jadi, inilah pernikahan mereka? Pernikahan tanpa cinta, tanpa kebersamaan?

Sebelum ia sempat berkata apa pun lagi, seorang wanita tiba-tiba muncul di hadapan mereka.

Wanita itu tinggi, cantik, dan terlihat begitu anggun.

Keira tidak mengenalnya, tetapi ada sesuatu dalam tatapan wanita itu yang membuatnya merasa tidak nyaman.

"Selamat, Elvano." Wanita itu berbicara dengan senyum yang tampak manis, tetapi ada nada penuh arti dalam suaranya.

Elvano menoleh, dan untuk pertama kalinya malam itu, ekspresinya berubah sedikit.

"Dian."

Keira menegang.

Siapa wanita ini?

Dian menatapnya dengan senyum yang tidak bisa diartikan. "Dan selamat untukmu juga, Keira."

Keira membalas senyum itu dengan canggung. Ia tidak mengerti situasi ini, tetapi ada sesuatu yang terasa salah.

Dian kemudian menatap Elvano. "Aku harap kita bisa bicara nanti."

Elvano hanya mengangguk pelan.

Keira merasakan sesuatu mencengkeram dadanya.

Ketika Dian pergi, ia menoleh ke arah Elvano, mencari jawaban. "Siapa dia?"

Elvano tidak segera menjawab. Ia hanya menatap gelas anggurnya sebelum akhirnya berkata, "Bukan urusanmu."

Keira mengepalkan tangannya di bawah meja.

Ini baru malam pertama mereka sebagai suami-istri, tetapi Keira sudah bisa merasakan bahwa pernikahan ini akan menjadi lebih sulit dari yang ia bayangkan.

---

Malam itu, mereka tiba di rumah baru mereka—sebuah mansion besar yang begitu megah.

Begitu masuk ke dalam kamar utama, Elvano langsung melepas jasnya dan berjalan ke arah sofa.

"Kau bisa tidur di ranjang," katanya singkat. "Aku akan tidur di ruang kerja."

Keira menatapnya dengan bingung. "Jadi… kita bahkan tidak akan tidur di ruangan yang sama?"

Elvano menoleh, menatapnya dengan tajam. "Pernikahan ini hanya formalitas. Aku tidak akan menyentuhmu."

Keira terdiam.

Ia tahu pernikahan ini tidak didasari cinta, tetapi mendengar kata-kata itu dari mulut Elvano tetap menyakitkan.

Ia menunduk, berusaha menahan air mata yang ingin jatuh.

Elvano tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia mengambil kunci mobilnya dan pergi meninggalkan ruangan, meninggalkan Keira sendirian di dalam kamar yang begitu besar.

Keira duduk di tepi ranjang, memeluk dirinya sendiri.

Malam pertamanya sebagai seorang istri terasa begitu sepi.

Keira menggigit bibirnya, menahan gemuruh emosi di dalam dadanya. Pernikahan ini bukan sesuatu yang pernah ia impikan, tetapi sekarang menjadi kenyataan yang harus ia jalani.

Saat ia menatap Elvano, pria itu tampak tak tergoyahkan, wajahnya tetap tanpa ekspresi. Seakan-akan semua ini hanya sebuah kontrak bisnis baginya.

Keira ingin berteriak. Ia ingin memberontak. Tapi apa gunanya? Semua sudah terjadi.

"Dengar, aku tidak akan ikut campur dalam urusan pribadimu," kata Elvano tiba-tiba, suaranya rendah namun tajam. "Kita hanya perlu menjalani peran masing-masing sampai ini semua berakhir."

Keira mengangkat dagunya, menatap langsung ke matanya. "Dan kapan ini akan berakhir?"

Elvano terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Saat waktunya tiba."

Jawaban itu menggantung di udara, menyisakan pertanyaan tanpa kepastian.

Keira menghela napas, menyadari bahwa kebebasannya kini tergantung pada pria yang bahkan nyaris tidak ia kenal.

Malam itu, Keira duduk di tepi ranjangnya, memandangi jendela yang menampilkan langit malam.

Di luar, dunia terus berjalan seperti biasa. Tapi di dalam dirinya, segalanya telah berubah.

Dan ia tidak tahu apakah ia siap untuk menghadapi hari-hari yang akan datang.

---

Keira meremas ujung gaunnya. Pikirannya berputar, mencoba memahami situasi yang kini menjeratnya.

Pernikahan ini memang penyelamat bagi keluarganya, tetapi baginya? Ini adalah hukuman.

Elvano berdiri di dekat jendela, punggungnya menghadap Keira. "Aku tidak peduli bagaimana perasaanmu tentang ini," katanya tanpa menoleh. "Tapi jangan buat masalah."

Keira mengepalkan tangannya. "Dan kalau aku tidak menurut?"

Elvano berbalik, menatapnya dingin. "Jangan mencobanya."Hati Keira mencelos.

Ia sadar—ini bukan hanya pernikahan. Ini ad

alah perang dingin tanpa batas waktu.