Keira duduk di tepi ranjang, memeluk dirinya sendiri. Ruangan yang begitu besar dan mewah ini terasa dingin dan asing.
Suaminya, Elvano, baru saja pergi. Bukan untuk menemaninya di malam pertama, tetapi untuk menghindarinya.
Keira menghela napas panjang.
Ia tidak menyangka semuanya akan seburuk ini.
Dia tahu pernikahan ini hanya formalitas. Dia tahu Elvano tidak menginginkannya. Tapi tetap saja, perasaan ditinggalkan di malam pertama pernikahan terasa begitu menyakitkan.
Perlahan, Keira melepas sepatu hak tingginya, lalu berdiri dan berjalan menuju jendela besar yang menghadap ke kota. Lampu-lampu gedung menyala terang, menciptakan pemandangan indah yang biasanya membuatnya merasa tenang.
Tapi malam ini, pemandangan itu hanya membuatnya merasa semakin kesepian.
Di luar sana, dunia terus berputar. Orang-orang menjalani hidup mereka, jatuh cinta, dan menikah karena cinta.
Sementara dia…
Dia terjebak dalam pernikahan tanpa cinta.
Keira mengusap wajahnya. Tidak ada gunanya menangisi sesuatu yang tidak bisa diubah.
Ia menatap ranjang besar di belakangnya, lalu menghela napas lagi.
Mungkin lebih baik tidur saja.
Dengan lelah, ia meraih selimut dan berbaring di sisi ranjang. Tidak ada gunanya memikirkan sesuatu yang tidak bisa diubah.
---
Pagi harinya, Keira terbangun lebih awal. Ia menoleh ke sekeliling ruangan dan menyadari bahwa Elvano belum kembali.
Apakah pria itu benar-benar tidur di ruang kerja?
Keira bangun dan berjalan menuju kamar mandi. Setelah membersihkan diri, ia mengenakan pakaian santai dan keluar dari kamar.
Rumah ini terlalu besar dan sunyi. Ia berjalan menyusuri lorong, mencoba menemukan ruang kerja Elvano.
Ketika akhirnya ia menemukannya, pintunya sedikit terbuka. Keira mengintip ke dalam dan melihat Elvano tertidur di sofa dengan jas yang masih melekat di tubuhnya.
Keira menatapnya lama.
Elvano terlihat begitu berbeda saat tidur. Wajahnya tidak setegang biasanya, dan dia terlihat lebih… manusiawi.
Tanpa sadar, Keira melangkah masuk.
Tapi sebelum ia bisa mendekat, Elvano membuka matanya.
Tatapan mereka bertemu.
Suasana canggung langsung menyelimuti ruangan.
Keira berdeham, mencoba menghilangkan ketegangan. "Maaf… Aku hanya ingin memastikan kau ada di rumah."
Elvano bangkit dari sofa, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. "Kenapa? Takut aku kabur?"
Nada suaranya terdengar sarkastik, membuat Keira mengepalkan tangan di sisi tubuhnya.
"Aku hanya memastikan," katanya datar.
Elvano menatapnya sesaat sebelum akhirnya berjalan melewatinya tanpa berkata apa-apa.
Keira menghela napas.
Sepertinya, hidup bersama pria ini akan lebih sulit dari yang ia bayangkan.
---
Hari itu, Keira menghabiskan waktu sendirian di rumah. Elvano pergi pagi-pagi sekali tanpa memberitahunya.
Ia tidak tahu harus berbuat apa.
Sebagai istri dari pria sekaya Elvano, seharusnya hidupnya lebih mudah. Tapi kenyataannya, ia merasa seperti tawanan di rumahnya sendiri.
Keira duduk di ruang tamu, menatap layar ponselnya.
Ia ingin menelepon ibunya, tetapi ia tahu ibunya akan bertanya apakah ia bahagia.
Dan Keira tidak tahu harus menjawab apa.
Tiba-tiba, suara pintu terbuka terdengar.
Keira menoleh dan melihat Elvano masuk dengan ekspresi lelah di wajahnya.
Tapi yang mengejutkannya bukan hanya itu.
Di belakang Elvano, seorang wanita masuk.
Dian.
Wanita yang kemarin datang di pesta pernikahan mereka.
Keira langsung berdiri. "Apa yang dia lakukan di sini?"
Dian tersenyum, tetapi senyumannya terasa menusuk. "Elvano dan aku perlu membicarakan sesuatu. Ini urusan pribadi."
Keira menatap Elvano, menunggu penjelasan.
Tapi pria itu hanya berkata, "Aku tidak harus menjelaskan apa pun padamu."
Kata-katanya membuat hati Keira mencelos.
Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan emosinya. "Aku ini istrimu, Elvano."
Elvano menatapnya dingin. "Di atas kertas, ya. Tapi tidak lebih dari itu."
Keira merasa matanya memanas.
Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan pergi ke kamar, membanting pintu di belakangnya.
Air matanya jatuh sebelum ia bisa menahannya.
---
Malam itu, Elvano tidak pulang.
Keira duduk di tepi ranjang, menatap layar ponselnya. Ia ingin menelepon Elvano, tetapi ia tahu pria itu tidak akan menjawab.
Lagi pula, kenapa ia harus peduli?
Bukankah pernikahan ini hanya formalitas?
Keira berbaring di ranjang dan menatap langit-langit.
Ia tidak boleh lemah.
Ia harus menemukan cara untuk bertahan dalam pernikahan ini.
---
Keesokan paginya, Keira memutuskan untuk keluar rumah. Ia tidak tahan lagi hanya berdiam diri di rumah tanpa melakukan apa-apa.
Ia pergi ke kafe favoritnya, mencoba menikmati secangkir kopi.
Tapi ketenangannya terganggu ketika ia melihat berita di layar televisi kafe.
Sebuah foto muncul—foto Elvano bersama Dian, sedang makan malam di sebuah restoran mewah.
Keira merasakan jantungnya berdegup kencang.
Berita itu menyebut Dian sebagai "cinta pertama Elvano" dan berspekulasi bahwa pernikahan Keira dan Elvano hanyalah perjodohan tanpa cinta.
Tangan Keira mengepal.
Jadi, beginikah cara Elvano memperlakukannya?
Baru beberapa hari menikah, dan pria itu sudah terang-terangan bersama wanita lain?
Keira meraih ponselnya dan menelepon Elvano.
Pria itu mengangkatnya setelah beberapa detik. "Ada apa?"
Keira menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan emosinya. "Di mana kau sekarang?"
"Apa urusanmu?"
Keira menggigit bibirnya. "Jadi kau tidak merasa perlu menjelaskan sesuatu padaku?"
Elvano tertawa kecil, tetapi tawanya terdengar dingin. "Keira, kita sudah sepakat. Aku tidak akan mencampuri hidupmu, dan kau tidak mencampuri hidupku."
Keira menutup matanya, berusaha menahan amarah. "Tapi aku ini istrimu."
"Di atas kertas."
Jawaban itu seperti pisau yang menusuk hatinya.
Keira tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia menutup teleponnya dan menghembuskan napas panjang.
Ini hanya permulaan.
Jika ia ingin bertahan dalam pernikahan ini, ia harus lebih kuat.
Dan ia berjanji pada dirinya sendiri—ia tidak akan membiarkan Elvano terus memperlakukannya seperti ini.
--
Keira berjalan menyusuri lorong rumah besar itu, jemarinya menyentuh dinding dingin yang terasa asing baginya. Rumah ini mungkin megah, tetapi tidak ada kehangatan di dalamnya.
Saat ia mencapai ruang tamu, suara langkah kaki di belakangnya membuatnya menoleh.
Elvano berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung. Tatapannya tajam, penuh pengamatan.
"Kau ingin keluar?" tanyanya singkat.
Keira mengangguk. "Aku butuh udara segar."
Elvano berjalan mendekat, menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Aku akan mengantarmu."
Keira mengernyit. "Aku bisa pergi sendiri."
Elvano mengangkat alis. "Dan membiarkanmu pergi sendiri? Jangan bodoh, Keira. Kamu istri seorang Elvano Adirama sekarang. Setiap langkahmu bisa menjadi berita besar."
Keira mendecakkan lidahnya, kesal dengan cara Elvano berbicara seolah dirinya hanyalah masalah yang harus diawasi. "Aku hanya ingin berjalan-jalan sebentar. Tidak akan ada yang peduli."
Elvano menatapnya dalam sebelum akhirnya berkata, "Lima belas menit. Aku akan menunggumu di mobil."
Keira menahan napas, lalu mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ia berbalik, mengambil tas kecilnya, lalu melangkah keluar rumah menuju mobil Elvano yang sudah menunggunya di depan.
Di dalam mobil, keheningan menyelimuti mereka. Keira menatap ke luar jendela, menikmati pemandangan kota yang perlahan-lahan mulai hidup di malam hari.
"Apa kau ingin pergi ke suatu tempat tertentu?" tanya Elvano akhirnya.
Keira berpikir sejenak. "Pantai. Aku ingin ke pantai."
Elvano meliriknya sekilas sebelum mengarahkan mobil menuju jalanan yang lebih sepi.
Mereka tiba di pantai dalam waktu setengah jam. Keira melangkah keluar, menghirup udara laut yang lembut, membiarkan angin memainkan rambutnya.
Ia berjalan ke tepi, melepas sandalnya, merasakan pasir dingin di bawah kakinya. Elvano tetap berdiri di belakangnya, mengamati dalam diam.
Keira menoleh ke arahnya. "Kau tidak akan datang?"
Elvano menghela napas, lalu berjalan mendekat, berdiri di sampingnya.
"Kenapa kau begitu tegang, Elvano?" Keira bertanya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya.
Elvano menatap ombak yang berkejaran di hadapan mereka. "Aku hanya tidak terbiasa dengan semua ini."
Keira menoleh, mengamati ekspresinya yang sulit ditebak. "Dengan pernikahan ini?"
Elvano menoleh, mata mereka bertemu. "Dengan memiliki seseorang yang harus kuperhatikan."
Keira terdiam.
Kata-kata Elvano terdengar seperti pengakuan yang jujur, sesuatu yang tidak ia sangka akan keluar dari pria itu.
Hatinya berdetak lebih cepat, tanpa ia sadari.
Untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, ia merasa ada celah kecil di antara dinding yang selama ini Elvano bangun.
Dan Keira tidak tahu apakah ia harus senang… atau takut.