Batas Kesabaran

Keira duduk diam di tepi ranjang, jemarinya meremas ujung gaun tidurnya yang berbahan satin. Malam itu, seluruh dunia terasa lebih sunyi dari biasanya, hanya terdengar suara jarum jam yang berdetak di sudut kamar. Elvano belum kembali sejak tadi siang, dan itu membuatnya merasa semakin asing di dalam rumah megah ini.

Sejak pernikahan mereka dua hari lalu, Elvano lebih banyak menghindarinya. Dia tak mengucapkan sepatah kata pun kecuali saat mereka berhadapan di depan keluarga. Dan ketika mereka akhirnya berdua di dalam rumah ini, pria itu seolah-olah menganggapnya tidak ada.

Keira mendesah pelan, mencoba mengusir rasa sesak yang sejak tadi menekan dadanya. Ia tak menyangka kehidupannya akan berubah seperti ini hanya dalam hitungan hari. Dulu, ia tak pernah membayangkan dirinya akan menikah dengan seseorang yang bahkan nyaris tak dikenalnya, seseorang yang memandangnya dengan tatapan dingin seolah-olah dia adalah beban yang tak diinginkan.

Tiba-tiba, suara pintu terbuka. Keira menoleh dan mendapati Elvano berdiri di ambang pintu dengan wajah tanpa ekspresi. Pria itu melepas jasnya dengan gerakan lambat, lalu menggantungnya di kursi tanpa sedikit pun menatap Keira.

"Kamu pulang larut," ucap Keira, mencoba mencairkan suasana.

Elvano tak menjawab. Ia melangkah ke meja, menuangkan segelas air, lalu meneguknya tanpa suara.

"Kamu sudah makan?" Keira mencoba lagi, meski ia tahu kemungkinan besar tak akan mendapat jawaban.

Elvano tetap diam, lalu berjalan menuju balkon. Keira mengikutinya dengan pandangan, merasa frustasi dengan sikap dingin itu.

Ia menarik napas dalam-dalam, lalu berdiri dan melangkah pelan mendekati pria itu. Ketika ia sampai di ambang pintu balkon, angin malam menyambutnya, membawa aroma hujan yang masih tersisa di udara.

"Aku tahu kamu tidak menginginkan pernikahan ini," suara Keira terdengar lirih namun tegas. "Tapi bisakah kita setidaknya bicara?"

Elvano yang sedang menatap langit malam mendesah pelan, lalu akhirnya menoleh. Sorot matanya tajam, namun ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya—sesuatu yang Keira belum bisa mengartikan.

"Apa yang ingin kau bicarakan?" tanyanya akhirnya, suaranya terdengar datar.

Keira menggigit bibir bawahnya. Ia tidak menyangka Elvano benar-benar akan menanggapi. "Kita tidak bisa terus seperti ini. Aku tahu aku bukan istri yang kamu inginkan, dan aku juga tidak pernah meminta pernikahan ini. Tapi sekarang kita sudah menikah. Aku hanya ingin kita bisa… berkomunikasi dengan baik."

Elvano menyandarkan tubuhnya pada pagar balkon, menatap Keira dengan ekspresi sulit ditebak. "Kau ingin kita bersikap seperti pasangan suami istri pada umumnya?"

Keira menunduk, tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu.

"Jangan berharap terlalu banyak, Keira," lanjut Elvano. "Aku menikahimu karena keadaan memaksaku, bukan karena aku menginginkannya."

Kata-kata itu menusuk jauh ke dalam hati Keira. Ia sudah menduganya, namun mendengar langsung dari mulut Elvano tetap terasa menyakitkan.

Keira menggenggam ujung gaunnya lebih erat, mencoba mengendalikan emosinya. "Aku mengerti. Tapi bisakah kita mencoba untuk tidak saling menyakiti?"

Elvano terdiam sejenak, lalu menatapnya lama sebelum akhirnya berbalik menuju kamar. "Lakukan apa yang kau mau. Aku tidak peduli."

Keira hanya bisa menatap punggung pria itu yang semakin menjauh. Malam itu, ia menyadari bahwa pernikahan ini akan jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan.

---

Keira menghabiskan sisa malam dengan duduk di dekat jendela. Ia memandang ke luar, menatap lampu-lampu kota yang berkelap-kelip di kejauhan. Ia mengingat kembali kejadian yang membawanya ke pernikahan ini.

Ayahnya datang kepadanya dengan wajah penuh kelelahan, mengatakan bahwa satu-satunya cara agar keluarga mereka tidak jatuh ke jurang kehancuran adalah dengan menikah dengan Elvano. Keira tidak memiliki pilihan. Ia tahu bahwa menolak hanya akan membuat segalanya semakin buruk.

Ia menutup matanya, merasakan dadanya kembali sesak. Sejak hari itu, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap kuat. Namun sekarang, menghadapi kenyataan bahwa ia harus berbagi hidup dengan pria yang bahkan tidak ingin melihatnya, segalanya terasa begitu sulit.

Keira akhirnya berdiri dan melangkah ke tempat tidur. Ia tahu bahwa malam ini akan menjadi malam yang panjang. Ia berbaring dengan punggung menghadap ke sisi ranjang tempat Elvano seharusnya tidur, meskipun ia tahu pria itu tidak akan tidur di sana.

Dan benar saja. Ketika Keira terbangun di tengah malam, ranjang di sebelahnya masih kosong. Elvano tidak ada di kamar.

Keira duduk dan menatap pintu balkon yang terbuka. Angin malam masih bertiup pelan, membawa suara samar kota yang tak pernah tidur. Ia ragu sejenak sebelum akhirnya berdiri dan melangkah keluar.

Di sana, ia menemukan Elvano duduk di salah satu kursi dengan tangan bertumpu pada wajahnya.

Keira berhenti. Ini pertama kalinya ia melihat pria itu dalam keadaan seperti ini—tanpa dinding dingin yang selalu ia pasang.

"Elvano?" panggilnya pelan.

Pria itu mengangkat kepalanya, menatap Keira dengan mata yang terlihat lelah. Namun, dalam hitungan detik, ekspresinya kembali berubah menjadi datar.

"Kau belum tidur?" tanyanya singkat.

"Aku terbangun," jawab Keira jujur.

Hening. Hanya suara angin yang terdengar di antara mereka.

Keira menggigit bibirnya, mencoba menimbang apakah ia harus kembali ke kamar atau tetap di sana. Namun sebelum ia sempat mengambil keputusan, Elvano sudah lebih dulu berbicara.

"Apa kau menyesal menikah denganku?"

Keira terkejut dengan pertanyaan itu. Ia tidak menyangka Elvano akan menanyakannya secara langsung.

Ia menatap pria itu, mencoba menemukan jawaban yang tepat. "Aku… tidak tahu."

Elvano menatapnya sejenak, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke langit. "Kau seharusnya menyesal."

Keira menggenggam jemari tangannya sendiri, berusaha menenangkan detak jantungnya yang entah mengapa terasa tidak beraturan. Ia memandangi Elvano yang masih menatap langit, ekspresinya sulit diterka.

"Aku tidak tahu apakah aku menyesal atau tidak," Keira akhirnya membuka suara, meski ia sendiri tidak yakin dengan jawabannya. "Tapi aku tahu, kalau aku punya pilihan lain, aku mungkin tidak akan berada di sini sekarang."

Elvano menoleh, tatapan matanya menajam. "Jadi kau menyalahkan keadaan?"

Keira tersenyum tipis, namun ada kesedihan di dalamnya. "Bukankah kita berdua sama-sama tidak punya pilihan?"

Hening kembali tercipta di antara mereka. Keira berharap Elvano akan mengatakan sesuatu, apa pun itu, tetapi pria itu tetap diam. Ia hanya kembali menatap ke depan, seolah enggan untuk melanjutkan percakapan.

Keira menghela napas dan akhirnya menyerah. "Aku akan tidur dulu," katanya pelan sebelum berbalik menuju kamar.

Saat ia hendak masuk, suara Elvano terdengar, begitu lirih hingga hampir tertelan oleh angin malam.

"Jangan berharap apa pun dariku, Keira."

Keira terdiam sejenak, lalu mengangguk kecil meski pria itu tidak bisa melihatnya.

"Aku tahu."

Dan dengan itu, ia melangkah masuk, meninggalkan Elvano sendirian di bawah langit malam.

Maka ia hanya berdiri di sana, menatap pria yang kini menjadi suaminya, sambil bertanya-tanya dalam hati—apakah pernikahan ini benar-benar tidak memiliki harapan?