Pagi datang dengan sinar matahari yang menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar luas yang masih dipenuhi keheningan. Keira membuka matanya perlahan, membiarkan kesadaran kembali ke tubuhnya sebelum ia menyadari bahwa ranjang di sebelahnya masih kosong.
Elvano tidak tidur di sini tadi malam.
Keira tidak terkejut. Bahkan, ia sudah menduganya sejak awal. Pernikahan ini memang hanya sebatas ikatan di atas kertas—tanpa cinta, tanpa kehangatan, dan tanpa harapan. Tapi tetap saja, ada perasaan hampa yang menyelimutinya.
Ia menarik napas dalam, lalu turun dari ranjang. Setelah mengganti pakaian dengan dress kasual berwarna pastel, ia berjalan keluar kamar, melewati koridor panjang yang sunyi. Rumah ini besar dan megah, tapi terasa dingin dan kosong. Tidak ada kehangatan keluarga di dalamnya.
Saat ia tiba di ruang makan, seorang pelayan yang berdiri di sudut langsung menunduk hormat. "Selamat pagi, Nyonya."
Keira masih canggung dengan panggilan itu, tapi ia hanya mengangguk kecil. "Pagi. Elvano sudah pergi?"
"Ya, Tuan sudah berangkat ke kantor pagi-pagi sekali," jawab pelayan itu sopan.
Keira menahan desahannya. Tentu saja. Elvano selalu punya alasan untuk menghindarinya.
Ia duduk di kursi, memandang meja yang sudah dipenuhi sarapan mewah. Namun, meskipun semua makanan itu terlihat menggugah selera, nafsu makannya mendadak hilang.
Sebelum ia sempat menyentuh makanannya, suara ponselnya bergetar di atas meja. Keira menatap layar dan melihat nama "Mama" muncul di sana.
"Halo, Ma?"
"Keira, sayang. Bagaimana keadaanmu?" Suara ibunya terdengar khawatir.
Keira tersenyum tipis meskipun ia tahu ibunya tidak bisa melihatnya. "Aku baik-baik saja, Ma."
"Kamu yakin?"
Keira terdiam sejenak. Ia ingin mengatakan yang sebenarnya—bahwa ia kesepian, bahwa suaminya nyaris tidak berbicara padanya, bahwa rumah ini terasa seperti sangkar emas yang dingin. Tapi ia tidak ingin membuat ibunya khawatir.
"Ya, Ma. Aku yakin," jawabnya akhirnya.
Ibunya menghela napas. "Mama tahu ini tidak mudah untukmu, Keira. Tapi… bertahanlah, ya? Mungkin seiring waktu, semuanya akan membaik."
Keira tidak yakin. Tapi ia hanya mengangguk kecil. "Iya, Ma. Aku mengerti."
Setelah menutup telepon, Keira menatap sarapannya yang masih utuh. Perutnya kosong, tapi ia tidak merasa lapar.
Ia akhirnya berdiri dan berjalan keluar, memutuskan untuk menghirup udara segar di taman belakang. Setidaknya, itu lebih baik daripada terus berada di dalam rumah yang membuatnya merasa terjebak.
Taman belakang rumah Elvano memiliki pemandangan yang indah. Terdapat kolam ikan kecil di salah satu sudut, dikelilingi bunga-bunga berwarna cerah. Namun, bagi Keira, keindahan itu tak mampu menutupi perasaan kosong yang ia rasakan. Ia berjalan perlahan, menyusuri jalan setapak yang dikelilingi pepohonan tinggi, mencoba menenangkan pikirannya.
Beberapa menit berlalu, dan Keira berhenti di bawah pohon besar yang memberikan keteduhan. Ia duduk di bangku taman yang terbuat dari kayu, menghadap ke kolam ikan. Air yang tenang memantulkan bayangan langit yang cerah. Namun, pikirannya tak bisa terhindar dari bayangan Elvano.
Di mana pria itu? Apa yang sedang ia pikirkan? Apakah ia merasa bersalah karena meninggalkan Keira sendiri di rumah ini, atau ia malah tidak peduli?
Keira menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. Perasaan ini begitu berat, dan ia merasa tidak tahu harus berbuat apa.
---
Di tempat lain, di sebuah gedung perkantoran megah, Elvano duduk di belakang meja kerjanya dengan ekspresi dingin. Tumpukan dokumen terbuka di depannya, tapi pikirannya melayang ke kejadian tadi malam.
"Apa kau menyesal menikah denganku?"
Jawaban Keira masih terngiang di kepalanya.
"Aku… tidak tahu."
Elvano mengepalkan tangannya, mencoba menenangkan dirinya. Kenapa ia bahkan memikirkan hal itu? Seharusnya ia tidak peduli dengan jawaban Keira. Seharusnya.
Namun, entah kenapa, kata-kata itu terus mengganggunya. Elvano mengalihkan pandangannya ke jendela, menatap kota yang tampak sibuk di bawah sana. Pikirannya kembali ke hari pertama mereka bertemu—saat ayah Keira datang ke perusahaannya dengan tawaran yang tak bisa ia tolak. Keira bukan pilihan yang dia inginkan, tetapi keadaan memaksanya untuk melangkah ke jalan ini.
Tetapi, kenapa kini ia merasa begitu sulit untuk mengabaikan Keira? Apa yang sebenarnya ia rasakan?
"Elvano, apakah kamu baik-baik saja?"
Suara sekertarisnya, Rina, tiba-tiba menyadarkannya. Elvano menoleh dan melihat wanita itu berdiri di pintu dengan ekspresi khawatir.
"Saya… baik-baik saja," jawabnya cepat, berusaha menyembunyikan kebingungannya.
Rina mengangguk ragu, tapi tidak melanjutkan pertanyaan. "Ada beberapa dokumen yang harus Anda tanda tangani," katanya, meletakkan berkas di meja kerja Elvano sebelum pergi meninggalkannya sendiri.
Namun, Elvano tak bisa menghilangkan perasaan bahwa ia terjebak dalam sesuatu yang lebih besar dari sekadar pernikahan ini. Seiring berjalannya waktu, ia mulai merasakan tekanan yang semakin berat—sebuah perasaan yang ia tak tahu harus diberi label apa.
...
Keira masih duduk di bangku taman, membiarkan angin sepoi-sepoi membelai wajahnya. Ia menutup mata, mencoba menenangkan pikirannya, tapi tetap saja, sosok Elvano terus menghantuinya.
Sejak awal, Keira tahu pernikahan ini tidak akan mudah. Ia sadar bahwa Elvano tidak mencintainya, dan ia pun tidak pernah memiliki perasaan untuk pria itu sebelumnya. Namun, sekarang, saat ia berada di dalam pernikahan tanpa kehangatan, tanpa perhatian, ia mulai menyadari betapa kesepiannya hidup dalam sebuah hubungan yang dingin.
Sebuah suara langkah kaki terdengar dari belakangnya. Keira menoleh dan mendapati seorang pelayan berdiri di sana dengan wajah sedikit ragu.
"Nyonya Keira," panggil pelayan itu pelan.
"Ya?"
"Ada seorang wanita yang datang mencarimu," jawabnya.
Keira mengernyit. "Wanita? Siapa?"
"Dia tidak menyebutkan namanya, tetapi dia bilang dia kenal dengan Tuan Elvano," jawab pelayan itu dengan hati-hati.
Hati Keira mencelos. Siapa wanita itu? Kenapa ia datang mencarinya?
Keira berdiri, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba terasa lebih cepat. "Di mana dia sekarang?"
"Di ruang tamu, Nyonya."
Keira mengangguk, lalu melangkah masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Saat ia tiba di ruang tamu, matanya langsung menangkap sosok seorang wanita yang duduk dengan anggun di atas sofa.
Wanita itu cantik. Rambut hitam panjangnya tergerai sempurna, wajahnya berkelas dengan riasan yang tidak berlebihan, dan pakaiannya menunjukkan bahwa dia bukanlah orang biasa.
Wanita itu menoleh saat mendengar langkah Keira. Sebuah senyum tipis terukir di bibirnya.
"Kamu pasti Keira," katanya, suaranya lembut namun terdengar tajam.
Keira menegakkan bahunya, berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Ya, benar. Dan Anda siapa?"
Wanita itu menyilangkan kakinya, lalu menatap Keira dengan tatapan yang sulit diartikan. "Namaku Celine. Aku hanya ingin mengenalkan diri… sebagai seseorang dari masa lalu Elvano."
Dada Keira terasa sesak seketika.
Celine menatapnya dengan ekspresi penuh arti. "Aku dan Elvano… kami memiliki sejarah yang panjang," katanya, matanya meneliti reaksi Keira.
Keira menggigit bibirnya, berusaha tetap tenang meskipun pikirannya mulai dipenuhi banyak pertanyaan.
"Jadi, kenapa kamu datang menemuiku?" tanya Keira akhirnya, mencoba bersikap setenang mungkin.
Celine tersenyum, lalu bersandar santai di sofa. "Aku hanya ingin tahu… bagaimana rasanya menikah dengan pria yang hatinya tidak bisa kau miliki?"
Pertanyaan itu seperti tamparan bagi Keira. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, tetapi ia tidak ingin terlihat lemah di depan wanita ini.
"Aku tidak tahu apa yang kau maksud," jawab Keira, suaranya terdengar lebih tenang dari yang ia rasakan.
Celine tertawa kecil. "Oh, jangan berpura-pura tidak tahu, Keira. Aku yakin kau bisa merasakannya, bukan? Elvano tidak mencintaimu. Dia bahkan tidak menginginkan pernikahan ini."
Keira menahan napas. Setiap kata yang diucapkan Celine terasa seperti pisau yang menusuk jantungnya. Tapi ia tidak akan membiarkan wanita ini melihat kelemahannya.
"Aku tidak tahu kenapa kau merasa perlu datang ke sini hanya untuk mengatakannya padaku," kata Keira, matanya menatap tajam ke arah Celine. "Tapi kalau kau berharap aku akan merasa terancam, maka kau membuang waktumu."
Celine mengangkat alis, tampak sedikit terkejut dengan reaksi Keira.
"Oh?" Wanita itu menyandarkan dagunya di tangannya, menatap Keira dengan penuh minat. "Jadi kau benar-benar percaya diri, ya?"
Keira menegakkan punggungnya. "Aku hanya tahu bahwa pernikahanku adalah urusanku sendiri. Dan aku tidak membutuhkan komentar dari orang luar."
Senyum Celine memudar sedikit, tetapi kemudian ia kembali tersenyum tipis.
"Menarik," katanya, lalu berdiri dari sofa. "Baiklah, Keira. Aku hanya ingin melihat seperti apa wanita yang menikah dengan Elvano. Dan sekarang aku sudah tahu."
Ia melangkah mendekati Keira, lalu berhenti tepat di depannya.
"Tapi satu hal yang harus kau tahu," bisiknya pelan, "hanya karena kau istrinya, bukan berarti kau memilikinya."
Dengan itu, Celine melangkah pergi, meninggalkan Keira yang berdiri diam di tempatnya.
Hatinya terasa semakin berat. Kata-kata Celine terus terngiang di pikirannya, membuatnya bertanya-tanya…
Apakah benar, bahwa Elvano masih menyimpan perasaan untuk wanita itu?