Ruangan itu masih berbau anyir darah. Nafas Ezra dan Selena memburu, dada mereka naik turun dengan cepat. Cahaya lampu yang redup membuat bayangan mereka tampak menyeramkan di dinding.
Dion dan Natasya telah pergi.
Tidak ada lagi arwah yang mengendalikan mereka.
Tidak ada lagi pengaruh dari dunia lain.
Namun…
Mereka tetap ingin saling membunuh.
Selena menatap Ezra dengan tatapan penuh kebencian. Tangannya yang penuh luka meraih kembali pisau yang tadi terjatuh.
Ezra melihat itu, tapi ia tidak bergerak.
Ia hanya menatap Selena dengan tajam, menunggu apa yang akan terjadi.
Hening.
Lalu…
Selena menyerang!
Pisau itu meluncur ke arah dada Ezra dengan kecepatan yang mengerikan.
Srettt!
Ezra bergerak cepat ke samping, menghindari serangan itu hanya dalam hitungan detik.
Namun, Selena tidak berhenti. Ia mengayunkan pisaunya lagi—dan lagi!
Srett! Srett!
Ezra terus menghindar, nyaris terkena beberapa kali. Tapi di matanya, tidak ada ketakutan.
Hanya kemarahan.
Selena berteriak penuh emosi, "KAU SEHARUSNYA MATI, EZRA!"
Ezra menyipitkan mata. Ia tidak menjawab.
Selena terus menyerang dengan liar, mengabaikan semua kelelahan dan rasa sakit di tubuhnya.
Ezra akhirnya menggerakkan tangannya dengan cepat—
Braak!
Ia menangkap pergelangan tangan Selena dengan kuat, menghentikan gerakan pisau itu di udara.
Selena terkejut, mencoba menarik tangannya, tapi Ezra tidak melepaskannya.
"Cukup," suara Ezra dingin, penuh amarah yang tertahan.
Tapi Selena tidak peduli. Ia meronta, mencoba menyerang lagi dengan tangan satunya.
Plak!
Ezra menampar Selena keras, membuatnya jatuh ke lantai. Pisau itu terlepas dari genggamannya dan berbunyi nyaring saat menyentuh lantai.
Selena terbatuk, merasakan rasa perih di pipinya. Namun, bukan rasa sakit fisik yang membuatnya tersiksa.
Melainkan rasa benci.
Ia menatap Ezra dari bawah, matanya penuh air mata. "KAU PEMBUNUH! KAU MEMBIARKAN ANAKKU MATI!"
Ezra mengatupkan rahangnya. Dadanya berdebar keras, bukan karena ketakutan, tapi karena amarah yang mulai membakar dirinya juga.
Ia menunduk, menatap Selena tajam. "Dan kau pikir aku menikmatinya?!"
Selena menegang.
Ezra mendekat. "Aku tidak bisa menyelamatkan anak itu… karena aku harus bertarung dengan Dion. Jika aku tidak bertarung, kita berdua sudah mati."
Selena menggigit bibirnya, tangannya gemetar.
Ezra menatapnya tanpa berkedip. "Kau menyalahkanku… seolah aku yang membunuh bayi itu."
Selena mencengkeram rambutnya. "Kalau kau tidak melawan Dion, kau bisa menyelamatkannya!"
Ezra menghela napas kasar. "Kalau aku tidak melawan Dion, dia akan membunuh kita berdua, SELENA!"
Suasana kembali hening.
Ezra menarik napas dalam, mencoba mengendalikan emosinya. "Aku juga kehilangan anak kita… tapi membunuhku tidak akan mengubah apa pun."
Selena terdiam.
Matanya yang berkaca-kaca menatap Ezra dengan kebingungan.
Tangannya perlahan meraih pisau itu lagi.
Ezra melihatnya, tapi ia tidak bergerak.
Ia hanya berdiri di sana, menunggu.
Selena menggenggam pisaunya dengan erat. Ia bisa membunuh Ezra sekarang.
Hanya satu tusukan.
Tapi…
Tangannya gemetar.
Matanya melebar, seolah menyadari sesuatu.
Pisau itu terjatuh lagi dari tangannya, berbunyi nyaring di lantai.
Selena mulai menangis.
Ezra tetap diam, membiarkannya.
Selena terisak. "Aku tidak bisa… aku tidak bisa melakukannya…"
Ezra masih menatapnya tanpa ekspresi. "Karena kau tahu, ini bukan salahku."
Selena menutup wajahnya dengan kedua tangan. Bahunya bergetar hebat.
Ezra akhirnya menghela napas panjang. Ia berjongkok di depan Selena, menatapnya dalam.
"Dengar," katanya, suaranya lebih lembut sekarang. "Aku tahu kau benci aku… mungkin kau akan membenciku selamanya. Tapi kita tidak bisa terus seperti ini."
Selena masih terisak.
Ezra melanjutkan, "Kita sudah kehilangan terlalu banyak."
Selena akhirnya menurunkan tangannya, menatap Ezra dengan mata yang masih dipenuhi air mata.
Ezra menatap balik, lalu berkata pelan, "Kita harus pergi dari tempat ini… sebelum semuanya menjadi lebih buruk."
Selena menggigit bibirnya. Ia ingin berteriak, ingin melawan, ingin mengatakan bahwa Ezra salah.
Tapi jauh di dalam hatinya…
Ia tahu, Ezra benar.
Mereka sudah kehilangan segalanya.
Dan mereka tidak bisa kehilangan lebih banyak lagi.
Hening menyelimuti ruangan itu.
Di luar, angin malam kembali berembus pelan, seolah membawa bisikan dari masa lalu yang ingin mereka lupakan.
Di antara dua orang yang dulunya saling mencintai…
Kini hanya ada dua orang yang telah kehilangan segalanya.
Mereka saling menatap, tak ada kata yang terucap lagi.
Namun, di dalam hati mereka masing-masing…
Perasaan benci itu masih ada.
Dan siapa yang tahu… apa yang akan terjadi besok?
---
TAMAT.
Sumpah Cinta Berdarah 2 akan segera hadir! Nantikan lanjutannya!!