Hari-hari pertama di Madinah terasa begitu berbeda dan membingungkan bagi Ibrahim Nasr. Meski tubuhnya yang baru memberi harapan akan kehidupan baru, pikirannya masih tersisa serpihan yang samar dari masa lalu—sesuatu yang tidak bisa ia pahami. Ia masih berusia dua tahun, namun dalam ketiadaan kata-kata yang mampu mengungkapkan perasaan, ia merasakan kegelisahan yang aneh setiap kali terjaga dari tidurnya yang tidak teratur.
Setiap pagi, cahaya matahari yang lembut menyelinap masuk melalui jendela rumah sederhana itu, membangunkan tubuh kecilnya. Namun, ia tidak langsung mengaitkan kehangatan itu dengan kenyamanan. Ada keraguan yang menghantuinya; ia bertanya-tanya, "Mengapa seolah-olah aku pernah mengalami semuanya ini sebelumnya?" Tanpa mampu mengungkapkan secara verbal, ia hanya bisa menatap sekeliling dengan mata lebar penuh tanya, mencoba memahami dunia yang tiba-tiba begitu asing baginya.
Di sisi rumah, ibunya dengan sabar merawat dan menghiburnya. Tiap kali ia menangis atau terlihat gelisah, ibunya akan menyusungnya dengan penuh kelembutan, sambil berbisik doa dalam bahasa Arab yang halus. Di balik kehangatan keluarga yang baru ia temui, terselip kecemasan yang tak terucapkan. Meski ia belum mengerti sepenuhnya, perasaan takut dan kebingungan itu menghantui setiap detiknya.
Setiap langkah kecil yang ia ambil mengingatkan bahwa ia bukanlah anak biasa. Di pasar-pasar kecil, ketika ia melihat kerumunan orang, ia merasakan sesuatu yang mendalam dalam dirinya—seolah ada kenangan akan peristiwa besar yang telah terjadi. Tapi kenangan itu selalu tersamar, menghilang begitu saja ketika ia mencoba menyentuhnya dengan pikirannya yang masih polos.
Waktu berlalu, dan tak lama kemudian, hari besar yang dinantikan oleh orang tuanya tiba. Mereka membawa Ibrahim ke masjid yang sederhana, tempat pertemuan untuk belajar tentang Islam. Suasana masjid itu penuh dengan kedamaian; aroma dupa dan suara lantunan doa memberikan kesan yang mendalam. Di antara kerumunan, pandangan beliau bertemu dengan mata kecil Ibrahim. Tatapan itu, lembut namun penuh arti, seolah mengisyaratkan bahwa ada rahasia besar yang tersimpan dalam diri sang anak.
Di momen itu, meski ia masih terlalu muda untuk memahami sepenuhnya, ketakutan perlahan berubah menjadi rasa penasaran. Hatinya yang kecil mulai merasakan kehadiran sesuatu yang lebih, suatu kebijaksanaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Di balik kebingungan dan kegelisahan, ada benih harapan yang mulai tumbuh—bahwa dalam dunia yang penuh misteri ini, ia akan menemukan jawabannya seiring waktu.
Malam itu, ketika bintang mulai menghiasi langit Madinah, Ibrahim terlelap dengan perasaan campur aduk. Di dalam tidurnya, mungkin saja bayangan masa depan dan masa lalunya saling berbisik, menyatukan dunia yang kini tampak terpisah. Meski semua terasa asing, satu hal pasti: perjalanan panjangnya baru saja dimulai, dan setiap langkah kecilnya akan mengukir sejarah yang tak terduga.