Matahari bersinar terik di atas langit Madinah, menyorotkan cahayanya pada rumah-rumah sederhana yang terbuat dari batu dan tanah liat. Di sudut kota yang ramai dengan para pedagang dan penduduk yang berlalu-lalang, seorang anak kecil berusia dua tahun terbaring lemah di atas tikar anyaman. Tubuhnya demam tinggi, dan keringat membasahi dahinya.
Ibunya, seorang wanita dengan wajah penuh kekhawatiran, duduk di sampingnya, menggenggam tangan kecil anak itu dengan erat. "Ya Allah, sembuhkanlah anakku," gumamnya dengan suara lirih.
Di sisi lain ruangan, seorang pria dengan wajah tegas namun penuh kelembutan berdiri dengan tangan menggenggam dada. Dia adalah ayah dari anak itu, seorang pria yang baru saja masuk Islam bersama istrinya setelah bertemu dengan Rasulullah.
Tiba-tiba, anak yang semula diam dalam demamnya mulai menggeliat. Matanya yang sebelumnya sayu kini terbuka perlahan. Namun, ada sesuatu yang berbeda di dalam tatapannya—seperti kesadaran yang baru lahir dalam dirinya. Ia tidak bisa menjelaskan bagaimana atau mengapa, tetapi ada sesuatu di dalam pikirannya yang tidak ia mengerti. Seperti bayangan yang samar, fragmen-fragmen ingatan yang terasa asing namun familiar.
"Di mana aku...?" pikirnya dalam diam, meskipun bibirnya tidak mampu mengucapkannya.
Hari-hari berikutnya adalah masa adaptasi. Anak itu tidak dapat berbicara seperti orang dewasa, tetapi pikirannya mulai memahami bahwa ia telah lahir kembali di suatu era yang asing. Perlahan, ia mulai menerima kenyataan barunya—sebuah kehidupan di Madinah, di zaman Nabi Muhammad.
Beberapa minggu setelah sembuh, orang tuanya membawanya ke sebuah majelis di masjid. Rasulullah ada di sana, mengajarkan ilmu kepada para sahabat. Anak itu, meski masih kecil, merasakan sesuatu yang luar biasa. Ada aura kedamaian dan kebijaksanaan yang sulit dijelaskan.
Saat itu pula, untuk pertama kalinya, tatapan Rasulullah bertemu dengannya. Seolah-olah beliau menyadari sesuatu yang tersembunyi dalam diri anak itu. Namun, beliau hanya tersenyum lembut dan melanjutkan pembicaraan dengan para sahabat.
Itulah awal dari perjalanan panjang sang anak, yang kelak akan menjadi pencatat sejarah yang hidup di antara orang-orang besar, namun tetap memilih menjadi pengamat yang setia pada lembaran-lembaran diary yang ia tulis setiap hari.