Bab 4: Cahaya dalam Kebingungan

Hari-hari di Madinah terus berjalan, dan Ibrahim semakin terbiasa dengan kehidupan barunya. Namun, di balik keseharian yang semakin akrab, ada sesuatu yang mulai mengusik pikirannya. Seperti kepingan puzzle yang belum tersusun, fragmen memori yang kabur masih muncul dalam mimpinya. Terkadang ia terbangun dengan perasaan asing, seolah ada sesuatu yang penting yang belum ia pahami sepenuhnya.

Pada suatu pagi, ia duduk di depan rumah, menatap langit yang cerah. Ibunya, yang tengah menyiapkan makanan, memperhatikan anaknya yang tampak termenung.

"Ibrahim, ada apa?" tanyanya lembut.

Ibrahim menggigit bibirnya. "Aku... sering merasa seperti ada sesuatu yang hilang. Seperti aku seharusnya mengingat sesuatu, tapi aku tidak bisa."

Ibunya tersenyum dan duduk di sampingnya. "Setiap orang memiliki perjalanan mereka sendiri, Nak. Terkadang, apa yang kita cari akan datang pada waktunya. Jangan terburu-buru."

Namun, kebingungan Ibrahim semakin menjadi saat ia mendengar kisah-kisah dari para sahabat Nabi. Ia sering duduk di sudut masjid, mendengarkan para sahabat berbincang tentang peristiwa-peristiwa besar yang sedang terjadi. Setiap kata yang mereka ucapkan terasa seperti bagian dari kisah yang sudah pernah ia dengar—tetapi dari mana?

Ketika kebingungan itu mulai membebaninya, Ibrahim akhirnya memberanikan diri untuk bertanya kepada Nabi Muhammad secara langsung. Pada suatu sore, setelah majelis di masjid selesai, ia mendekati beliau dengan langkah ragu.

"Ya Rasulullah, bolehkah aku bertanya sesuatu?" suaranya lirih, hampir bergetar.

Nabi Muhammad menoleh padanya dengan tatapan hangat. "Tentu, Ibrahim. Apa yang ingin kau tanyakan?"

Ibrahim menunduk sejenak sebelum mengangkat wajahnya. "Kadang-kadang... aku merasa seperti aku seharusnya tahu sesuatu. Seperti ada ingatan yang samar di kepalaku. Tapi aku tidak bisa mengingatnya dengan jelas. Kenapa bisa begitu?"

Nabi Muhammad tersenyum lembut dan mengusap kepala Ibrahim. "Setiap manusia memiliki perjalanan yang telah ditetapkan baginya. Apa yang kau alami mungkin adalah bagian dari perjalananmu. Jangan terburu-buru mencari jawaban, karena sering kali, jawaban itu akan datang sendiri kepadamu. Yang terpenting adalah bagaimana kau menjalani hidupmu sekarang."

Ibrahim menatap Nabi dengan mata membulat. Meski belum sepenuhnya memahami, kata-kata beliau terasa menenangkan.

"Terima kasih, Ya Rasulullah..." ujarnya pelan.

Sejak hari itu, Ibrahim mulai lebih menerima dirinya sendiri. Ia masih mencatat setiap pengalaman dalam diary-nya, tetapi kini ia tidak lagi terobsesi untuk mencari jawaban tentang masa lalunya. Ia mulai menjalani hari-harinya dengan lebih ringan, menerima setiap momen sebagai bagian dari perjalanannya di dunia baru ini.