Bab 19: Perjalanan yang Tak Berujung

Hari-hari berlalu dengan ritme yang semakin akrab bagi Ibrahim. Kini, setelah melalui berbagai kegelisahan, keputusasaan, dan pencarian jati diri, ia mulai menerima kenyataan bahwa hidupnya di era ini bukanlah sesuatu yang bisa ia pertanyakan terus-menerus. Meskipun bayang-bayang masa lalu—atau masa depan—terkadang masih menghantuinya, ia telah mencapai titik di mana ia memilih untuk melangkah maju.

Sebagai seorang penulis di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, Ibrahim mulai memahami betapa pentingnya perannya dalam mencatat peristiwa-peristiwa yang kelak akan menjadi sejarah. Ia tidak lagi hanya menuliskan kisahnya sendiri, melainkan kisah umat, perjuangan mereka, harapan mereka, dan perubahan yang mereka alami.

Sosok lelaki tua yang sebelumnya sering ia temui dalam mimpi dan lamunan kembali muncul. Kali ini, sosok itu tidak berbicara banyak. Hanya menatapnya dengan sorot mata yang dalam, seolah ingin memastikan bahwa Ibrahim telah menemukan jalannya sendiri. Saat Ibrahim mencoba berbicara, lelaki tua itu hanya tersenyum samar dan perlahan menghilang, meninggalkan perasaan tenang dalam dirinya.

Namun, perjalanan hidupnya belum berakhir di sini. Di sela tugasnya sebagai penulis, ia bertemu dengan seorang wanita yang kelak akan mengubah hidupnya. Pertemuan itu terjadi tanpa rencana, di tengah hiruk-pikuk kota Madinah yang selalu dipenuhi berbagai kisah manusia. Tatapan pertama mereka penuh dengan kehati-hatian, namun di baliknya ada sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang belum bisa Ibrahim pahami sepenuhnya.

Dan di sanalah, tanpa disadari, babak baru dalam hidupnya dimulai. Arc pertama dari perjalanan Ibrahim mungkin telah mencapai titik akhirnya, tetapi perjalanan sebenarnya baru saja dimulai. Sejarah akan terus bergerak, dan ia akan terus menuliskannya, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk generasi yang akan datang.