Bab 18 : Timelapse

Hari-hari berlalu dalam keheningan yang mengakar dalam keseharian Ibrahim. Usianya kini telah mencapai tujuh belas tahun, melewati masa remajanya dengan rutinitas yang terjalin erat di Madinah. Waktu terasa melintas begitu cepat, seakan membentuk serpihan-serpihan kecil dalam memorinya. Rutinitasnya semakin mapan, dari menulis catatan, membantu di pasar, hingga mendalami ilmu yang ia pelajari dari berbagai guru.

Ia mulai memahami bahwa perjalanannya tidak hanya soal menerima tempat di dunia ini, tetapi juga bagaimana ia bisa meninggalkan jejaknya sendiri. Seperti percakapan dengan lelaki tua itu—sosok yang kembali menghampirinya di sela lamunannya. Kali ini, lelaki itu menatapnya dalam dengan senyum samar, seolah ingin menyampaikan sesuatu tanpa harus berbicara.

"Waktu berjalan bukan untuk dikejar, melainkan untuk direngkuh," ucap lelaki tua itu pada akhirnya.

Ibrahim mengangguk pelan. Ia telah banyak melihat perubahan di sekelilingnya—orang-orang yang datang dan pergi, tempat-tempat yang berkembang, serta dirinya sendiri yang perlahan menerima takdirnya. Namun, satu pertanyaan tetap berputar dalam benaknya: apa yang menunggunya di depan sana?

Hingga suatu hari, saat tengah berada di pasar untuk membantu salah seorang sahabatnya, pertemuan itu terjadi.

Ia melihat seorang gadis tengah berusaha menawar dagangan seorang pedagang tua dengan penuh semangat, tapi juga dengan cara yang sopan. Matanya berbinar, senyumannya merekah, dan gerak-geriknya menunjukkan keteguhan hati. Ibrahim tidak tahu mengapa, tapi ada sesuatu dari gadis itu yang membuat langkahnya terhenti sesaat.

Saat pandangan mereka bertemu, dunia seolah melambat. Sekejap, semua kecemasannya yang selama ini mengungkungnya terasa menghilang. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, jawabannya ada di depan matanya.