Ella duduk lama di tepi danau.Angin Aravelle berhembus lembut, mengelus pipinya yang masih basah oleh air mata yang belum sepenuhnya kering. Hening.
Tapi ini bukan sepi yang menakutkan—melainkan keheningan yang memahami.
Di sisinya, Ylsa duduk diam.Kucing putih bermata biru itu tidak berkata apa-apa, tapi kehadirannya bagai selimut di malam paling dingin. Ia tahu bahwa kadang, kata-kata tak mampu menampung duka yang dalam. Yang dibutuhkan Ella sekarang adalah ruang untuk merasa.
Langit perlahan beranjak dari ungu ke biru tua, lalu keemasan pucat.Cahaya senja di Aravelle tak seperti di dunia nyata—ia bergerak mengikuti emosi, berubah mengikuti napas jiwa.
"Kamu..." bisik Ella akhirnya, suaranya nyaris tenggelam."Kenapa aku merasa... seolah tempat ini mengenalku lebih baik dari aku sendiri?"
Ylsa menoleh pelan, lalu berkata dengan suara selembut kabut,
"Karena Aravelle tak pernah lupa. Bahkan ketika kamu sendiri memilih untuk melupakan."
Ella menunduk.Jari-jarinya meremas tanah lembut di bawahnya, seolah mencoba menggenggam kenyataan.
"Aku takut..." bisiknya."Takut apa yang akan kutemukan kalau semua ini benar."
Langkah ringan terdengar dari arah pepohonan.Ridwan muncul, tapi kali ini tanpa kata. Ia hanya berdiri di belakang Ella, jaraknya cukup dekat untuk menunjukkan bahwa ia di sana, tapi cukup jauh agar Ella tahu—ia bebas memilih untuk tetap sendiri... atau tak lagi.
Danau tiba-tiba mulai berkilau.Permukaannya bersinar, menciptakan pantulan seperti cermin yang hidup. Cahaya menari lembut, lalu dunia menjadi lebih hening. Lebih pekat.
Aravelle, sekali lagi, membuka pintu ingatan.
Bayangan muncul dari air. Bukan sekadar gambar—ini kenangan.Dan mereka datang perlahan... seperti luka yang dibuka dengan lembut, tapi tak kalah menyakitkan.
Ella melihat dirinya kecil. Duduk di sudut kelas.Dikelilingi tawa ejekan.
"Kamu aneh!""Kenapa kamu nggak pernah ngomong?""Lihat tuh, dia cuma bisa diem!"
Tubuh Ella dewasa mulai gemetar. Tapi danau belum berhenti.Adegan berikutnya muncul—kamar sempit, seorang ibu angkat dengan mata dingin dan pisau di tangan.
"Anakku selalu kalah karena kamu. Aku muak."
Kilatan logam. Teriakan. Darah.
Ella menjerit tanpa suara.Ia menutup mata, tapi ingatan itu telah menembus kulitnya.Ylsa berdiri di sampingnya, menatapnya dengan tatapan sendu tapi kuat.
"Aravelle menyimpan potongan dirimu," katanya lembut."Termasuk yang paling luka."
Ella merangkak ke tepi danau, matanya penuh air mata.Ia melihat sosok gadis kecil itu lagi—dirinya sendiri, meringkuk di dalam lemari, memeluk boneka rusak.
"Cukup..." bisiknya."Berhenti..."
Tapi kenangan terus datang.Tubuhnya mulai ditarik oleh bayangan gelap yang menjulur dari danau, seperti tinta yang ingin menyatu dengan jiwanya.
Ridwan melangkah cepat, wajahnya panik.
"Ella!"
Ia nyaris meraih tangannya, tapi Aleno muncul dari balik kabut, menahan lengan Ridwan dengan satu tangan kuat.
"Jangan," ucapnya dingin."Dia harus memilih keluar sendiri."
Ridwan menggertakkan gigi, tapi tak bisa menyangkal.Ia hanya menatap Ella dengan mata yang memohon.
"Tolong... kembali."
Ella menatap ke danau.Sosok kecil itu memandangnya balik.Perlahan, ia mengulurkan tangan. Jari-jari mereka bertemu.
Dan saat itu terjadi—
Cahaya meledak.
Bayangan menghilang.Danau kembali tenang.Aravelle... seolah menghembuskan napas lega.
Ella jatuh, tapi Ridwan berhasil menangkap tubuhnya.Ia memeluknya erat, menyandarkan pipinya di rambut Ella yang berantakan.
Ylsa duduk di samping mereka, ekornya melingkar rapi.
"Dia telah membuka satu pintu," katanya pelan."Masih banyak yang menanti."
Tapi Ridwan hanya memeluk Ella lebih erat, berbisik di antara helaan napasnya sendiri.
"Aku di sini... dan aku akan tetap di sini.Sampai kamu tahu... kamu tak sendiri lagi."