5 Nafas yang Membawa Pulang Ingatan

Langit Aravelle telah berganti menjadi malam. Tapi malam di dunia ini tak pernah benar-benar gelap. Bintang-bintang melayang rendah, seperti lentera yang penasaran, menyaksikan jiwa-jiwa yang perlahan terbuka.

Ella duduk bersandar di dada Ridwan, tubuhnya masih gemetar, tapi napasnya mulai teratur. Ia tak bicara. Tak perlu. Detak jantung Ridwan yang mengalun di telinganya seperti nyanyian lembut, mengisi kekosongan yang sempat menganga terlalu dalam.

Ylsa berdiri di dekat mereka, matanya menyala redup dalam keremangan. Dunia ini tenang. Tapi ketenangan itu rapuh—seperti permukaan es tipis di atas danau, menunggu retak oleh langkah berikutnya.

"Apa yang kamu lihat?" Ridwan akhirnya bertanya, suaranya nyaris hanya angin.

Ella menggeleng. "Terlalu banyak," gumamnya. "Terlalu sakit."

Ridwan menggenggam tangannya. "Tapi kamu kembali. Kamu kuat, Ella. Lebih dari yang kamu kira."

Ella tertawa pelan—tawa getir yang retak di ujung. "Kuat? Aku merasa seperti pecahan kaca. Satu goresan kecil... dan aku hancur lagi."

Ia menunduk, lalu menatap danau yang kini tenang seperti cermin yang telah puas menunjukkan kebenaran.

"Dulu... aku pikir kalau aku bisa melupakan semuanya, aku bisa hidup lebih baik. Tapi ternyata... aku cuma berjalan dalam kabut. Selalu takut, selalu lari."

Ridwan mengangkat dagunya perlahan, memaksa mata mereka bertemu. "Kamu nggak harus jalan sendirian lagi."

Dan ada sesuatu dalam suara itu—janji, luka, dan cinta yang belum sepenuhnya diucapkan tapi sudah sepenuhnya terasa.

Ella memejamkan mata. Air mata menetes, tapi kali ini bukan karena takut. Tapi karena untuk pertama kalinya, ia merasa dilihat. Dipahami. Diterima, dengan segala pecahannya.

"Aku ingat boneka itu," bisiknya. "Yang kupeluk di lemari. Aku pikir dia satu-satunya yang bisa dengar aku menangis."

Ridwan menarik napas tajam. Ia menunduk, dan dari saku dalam jubah Aravelle-nya, ia mengeluarkan sesuatu—sebuah pita kecil berwarna pudar, sobek di ujungnya.

"Aku nemu ini... di ruang antara. Saat aku nyari kamu," katanya pelan. "Aku nggak tahu kenapa aku simpan. Tapi sekarang aku tahu... itu milikmu, kan?"

Ella menatap benda itu. Tangannya gemetar saat menyentuhnya. "Ini... ini dari boneka itu."

Mata mereka bertemu. Dan dalam sekejap, sesuatu runtuh di antara mereka—bukan dinding, tapi jarak. Jarak yang dibangun oleh waktu, ketakutan, dan kehilangan. Kini mulai retak. Dan dari retakan itu, cahaya perlahan masuk.

Ylsa menatap mereka lama. "Aravelle mengenang bukan untuk menyakiti. Tapi untuk mengingatkan siapa kalian sebenarnya."

Ella masih memegang pita itu saat Ridwan mendekat. Ia mengusap air mata Ella, lalu menyentuh bibirnya dengan lembut.

Ciuman itu tak lama, tapi cukup untuk membuat dunia sejenak diam. Hanya ada mereka. Dan satu kata yang tak perlu diucapkan: pulang.

Ella masih terpejam saat Ridwan mengangkat tubuhnya dari rerumputan lembap. Ia mendekapnya erat, seolah takut gadis itu akan menghilang begitu saja jika dilepaskan terlalu cepat. Aroma rambut Ella—aroma hutan basah dan mawar liar—menempel di hidungnya. Membekas.

Kabut Aravelle menipis. Langit ungu memudar. Danau di belakang mereka lenyap dalam kabur, digantikan oleh dingin dunia nyata. Hening. Nyata. Sunyi yang menusuk hingga tulang.

Ridwan membawa Ella melewati ambang yang tak terlihat—dari dunia kenangan kembali ke dunia luka. Rumah tua berdiri seperti penjaga waktu, dan saat pintunya terbuka, udara lembap menyambut mereka seperti napas dari masa lalu.

Ia membaringkan Ella di kamar atas—ruang yang selama ini terkunci. Seprei putih yang dulu ditinggalkan oleh seseorang, kini menyambut tubuh mungil Ella. Tirai renda berkibar pelan di jendela, membawa bau kayu tua dan sesuatu yang lebih asing: kenangan yang belum pernah diingat.

Ella tampak seperti bagian dari mimpi—terlalu rapuh untuk disentuh, terlalu nyata untuk diabaikan.

Ridwan duduk di tepi ranjang, menatap wajah Ella yang pucat dan tenang. Tangannya gemetar saat menyentuh keningnya.

"Maaf..." bisiknya, seperti bicara pada hantu yang nyaris ia kehilangan. "Aku harus membawamu pergi sebelum kenangan itu menelanmu sepenuhnya."

Tubuh Ella bergerak sedikit. Napasnya mulai berat, seperti seseorang yang mencoba berenang kembali ke permukaan mimpi. Matanya terbuka perlahan—sayu, bingung.

"Ridwan...?" suaranya kecil, retak, seperti pecahan cermin.

"Ya," jawab Ridwan. "Kamu aman."

Ella mengedip pelan. Air matanya turun tanpa aba-aba. Ia tidak tahu kenapa. Hanya tahu hatinya terasa penuh dan kosong sekaligus. Saat Ridwan menyentuh pipinya, ia tidak menjauh. Tubuhnya justru mencari kehangatan yang tak bisa dijelaskan.

"Aku takut..." gumamnya.

Ridwan menariknya ke dalam pelukan. Hangat. Kuat. Tapi penuh luka.

"Kamu kembali," bisiknya. "Dan itu cukup."

Beberapa saat mereka hanya diam. Sampai akhirnya, Ridwan berkata dengan nada pelan, "Aku pernah ke sana," katanya akhirnya. "Tapi aku lupa. Sama sepertimu."

Ella menahan napas. "Kamu...?"

"Kamu adalah kuncinya, El. Kamu yang bisa membuka pintu ingatan yang kami semua lupakan."

Saat itu Ella menatap Ridwan dalam-dalam—dan ia menemukan sesuatu di sana. Sesuatu yang tidak ia mengerti, tapi terasa familiar. Ada luka di matanya. Luka yang sunyi. Luka yang seolah... sama seperti miliknya.

Bukan luka karena dunia Aravelle. Tapi luka karena pernah kehilangan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Atau mungkin... seseorang. Entah kenapa, ia merasa mereka pernah saling kehilangan... bahkan sebelum saling mengenal.

Ella duduk perlahan, tubuhnya masih rapuh, tapi hatinya ditarik oleh sesuatu yang lebih dalam dari rasa penasaran. "Kenapa rasanya... kamu menyimpan banyak hal yang nggak bisa kamu katakan?"

Ridwan menghela napas. Ia tak menjawab langsung, hanya menatap jendela kamar tua itu—tempat cahaya remang jatuh ke kulitnya seperti rahasia yang hampir terbongkar.

Akhirnya, ia berkata pelan, "Karena kadang, kalau aku mulai cerita... aku takut yang datang bukan hanya kata-kata."

Ella menatapnya, tak berkedip.

"Kalau aku bicara... aku takut ingatanku akan kembali. Dan kalau itu terjadi, aku nggak yakin aku siap menghadapi siapa aku sebenarnya."

Tangannya menggenggam jemari Ella. Mata mereka bertemu. Dan ada sesuatu yang melintas di sana—bukan sekadar penyesalan, tapi... rasa bersalah.

"Aku janji akan bilang segalanya," katanya akhirnya. "Tapi bukan malam ini. Karena malam ini... aku cuma mau kamu tahu satu hal."

"Apa?"

Ridwan menggenggam tangannya. "Bahwa kamu nggak akan sendirian lagi. Meski kamu lupa. Meski kamu hancur. Bahkan kalau kamu memutuskan untuk pergi dari aku sekalipun... aku akan tetap di sini."

Ella menatapnya. Dan saat itu juga ia tahu—ia sudah terlalu dalam. Terlalu terlambat untuk mundur.

Ia menyentuh wajah Ridwan. Jari-jarinya menyusuri rahang yang keras, dagu yang selalu terlihat tenang tapi menyimpan gejolak. Lalu tanpa aba-aba, ia menarik tubuh pria itu mendekat.

Dan untuk pertama kalinya... bibir mereka bertemu.

Tak tergesa. Tapi penuh intensitas. Seperti dua jiwa yang sudah terlalu lama berputar tanpa tahu bahwa pusatnya adalah satu sama lain.

Desahan keluar dari tenggorokan Ella saat Ridwan membalas ciuman itu. Tangannya menelusup ke rambut Ella, menariknya lembut, membuat napasnya jatuh di leher yang basah oleh kenangan.

"Ridwan..." Ella berbisik. "Aku nggak tahu ini salah atau benar..."

"Tapi kamu ngerasa hidup, kan?" bisik Ridwan, suaranya rendah dan dalam. "Untuk pertama kalinya..."

Ella mengangguk.

Namun saat bibir mereka kembali bertemu... dunia runtuh.

Waktu membeku. Cahaya di kamar redup. Tapi di balik kelopak matanya, Ella melihat—bukan bayangan, tapi kenangan.

Bukan miliknya. Tapi milik Ridwan.

Ia melihat dirinya sendiri, lebih muda. Rambutnya dikuncir dua. Mengenakan gaun putih tipis, berlari di padang rumput keunguan. Di belakangnya, Ridwan remaja tertawa, mengejar, lalu menangkap tangan Ella kecil itu.

"Ayo jangan tinggalin aku!" suara Ridwan muda menggema. Mereka tertawa.

Tapi tawa itu berubah.

Jerit. Suara anak-anak menangis. Langit ungu menjadi kelam. Kabut melahap segalanya. Api. Asap.

Ridwan remaja berdiri di antara reruntuhan dan suara-suara. Matanya mencari.

"Ella!" teriaknya. "Jangan pergi! ELLA!!"

Gadis kecil itu... lenyap.

Kilas balik itu pecah. Seperti kaca dibanting. Ella tersentak dan menarik napas kasar.

Ridwan melepaskan ciuman mereka mendadak. Wajahnya bingung. Ketakutan.

"Ella..." desahnya. "Apa yang kamu lihat?"

Ella masih terengah. "Itu... aku. Tapi aku kecil. Dan kamu juga. Kita di tempat yang sama. Tapi kemudian... aku hilang."

Ridwan menegang. Ia menatap Ella seperti seseorang yang baru saja melihat hantu masa lalunya sendiri.

"Sepertinya aku pernah kenal kamu..." bisiknya. "Tapi aku nggak tahu dari mana. Atau kapan. Aku cuma tahu... sejak pertama lihat kamu, aku merasa kehilangan."

Mereka terdiam.

Di luar jendela, angin mendesir seperti bisikan dari masa lalu.

Ella menggenggam wajah Ridwan, gemetar. "Kita pernah saling punya, ya? Dan kamu... lupa."

Ridwan menutup mata. Ia tak menjawab. Tapi ia menarik Ella ke pelukannya lagi. Kali ini, lebih dalam. Lebih hancur.

"Kalau itu benar..." katanya pelan, "...aku bersumpah, aku nggak akan kehilangin kamu untuk kedua kalinya."

Dan di kamar yang dipenuhi debu dan cahaya redup, dua jiwa yang hilang mulai menemukan jalan pulang.

Tapi di balik pelukan itu, di balik pintu yang belum terbuka sepenuhnya...

...seseorang mengintip dari balik bayang-bayang.