War Of The Dead

Pagi itu, matahari sudah tinggi saat Thom membuka matanya. Udara Labuan Bajo masih hangat dan lembap, angin laut menyusup pelan lewat celah jendela kamar. Ia memicingkan mata ke arah jam dinding—07.20. Terlambat lagi.

"Thom! Sarapanmu dingin nanti!" teriak ibunya dari dapur.

Dengan rambut berantakan dan mata masih setengah terpejam, Thom menyeret langkah ke ruang makan. Di meja, nasi kuning, telur dadar, dan sambal goreng sudah tertata rapi. Ibunya masih mengenakan daster, sibuk mengelap meja.

"Ayah ke pasar tadi pagi, ya?" tanya Thom sambil duduk.

"Iya, katanya mau cari ikan segar. Kakakmu juga udah berangkat kerja dari subuh. Kamu aja yang molor terus."

Thom hanya mengangguk sambil mulai menyendok makanannya. Pikiran masih mengambang, matanya sesekali melirik ponsel—tak ada pesan masuk, kecuali grup sekolah yang penuh dengan obrolan tak penting.

Setelah makan, Thom cepat-cepat mandi dan mengenakan seragam SMA-nya yang agak kusut. Tas sekolah dilempar ke pundak, dan ia keluar rumah sambil melambaikan tangan pada ibunya.

"Jangan lupa beli garam pulang nanti!" seru ibunya dari balik pintu.

"Siap, Bu!"

Thom berjalan menyusuri jalan kecil yang membelah perkampungan. Di kejauhan, suara motor dan perahu nelayan bersahutan, menciptakan harmoni khas Labuan Bajo yang damai.

Ia tidak tahu... pagi itu akan menjadi pagi terakhir yang normal dalam hidupnya.

Sekolah Thom tak jauh dari rumah—hanya sekitar dua ratus meter, melewati deretan rumah warga dan beberapa warung kecil. Bangunannya sederhana, dengan cat yang mulai pudar dan halaman tanah yang becek jika hujan turun semalam.

Begitu melangkah ke gerbang, suara bel sudah hampir selesai berbunyi. Ia mempercepat langkah, menyapa singkat satpam sekolah, lalu langsung menuju kelas.

"Thom! Hampir aja telat, bro!" seru Reno, teman sebangkunya, sambil cekikikan.

Thom menjatuhkan diri ke kursi, masih ngos-ngosan. "Gue bangun kesiangan. Untung rumah deket."

Tak lama kemudian, guru belum juga datang. Suasana kelas masih ramai, dan beberapa siswa sibuk dengan ponsel masing-masing. Reno mendekat, wajahnya terlihat sedikit tegang.

"Eh, lo nonton berita semalam, nggak?" bisiknya.

"Berita yang mana?" Thom mengernyit.

"Yang soal komodo di Pulau Rinca. Katanya ada yang berubah jadi ganas banget. Bukan kayak biasanya. Bahkan nyerang penjaga hutan, bro. Padahal katanya komodonya udah dikasih chip kontrol atau apalah gitu."

Thom menoleh cepat. "Komodo nyerang orang? Seriusan?"

"Iya. Gue liat videonya, tapi udah dihapus pagi ini. Tapi banyak yang udah reupload. Serem, matanya merah, terus jalannya aneh banget."

Thom diam sejenak, mencerna informasi itu. Ia ingat ayahnya sempat cerita kalau akhir-akhir ini banyak kapal riset yang mondar-mandir di sekitar pulau komodo. Tapi waktu ditanya, ayahnya bilang itu cuma urusan turis dan konservasi.

"Sumpah, gue ngerasa ada yang aneh deh. Kayak di film-film zombie," Reno menambahkan dengan nada bercanda, meski sorot matanya tak seceria biasanya.

Thom menatap ke luar jendela. Langit masih cerah. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa hari itu akan panjang—dan berbahaya.

Suasana kelas mulai tenang saat guru akhirnya datang dan mulai menulis di papan. Thom berusaha fokus, tapi pikirannya masih tertahan pada cerita Reno.

Baru lima belas menit pelajaran berjalan, tiba-tiba—

WIIIIIIIIINGGGGGG—!!

Sebuah suara alarm melengking memecah suasana. Bukan suara bel sekolah biasa—ini lebih keras, nyaring, dan terus menerus. Semua siswa saling menatap bingung.

Guru mereka, Pak Dedi, berhenti menulis dan menoleh ke arah pintu. Wajahnya menegang.

"Apa itu? Bukan bel darurat biasa, kan?" tanya salah satu murid.

Pak Dedi segera mengambil ponsel dari sakunya, tapi sinyal hilang. Tak ada jaringan.

Di luar kelas, suara langkah kaki terdengar panik. Beberapa guru dan siswa berlari melewati lorong, berteriak-teriak. "Ke lapangan! Semuanya ke lapangan sekarang!"

Reno berdiri, wajahnya pucat. "Bro, gue gak enak nih..."

Thom ikut berdiri, jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Ia bisa merasakan udara jadi lebih panas, lebih berat, seperti tekanan yang tak terlihat mulai menghimpit mereka semua.

Tiba-tiba, terdengar teriakan dari arah aula. Teriakan perempuan, nyaring dan penuh ketakutan.

Satu siswa laki-laki berlari melewati kelas mereka—bajunya berlumur darah.

"Bantu! Tolongin dia! Dia digigit—dia... dia gila!"

Seketika itu juga, kelas pecah. Beberapa siswa menjerit, yang lain panik mencoba membuka jendela atau melarikan diri keluar.

Thom hanya bisa berdiri mematung, matanya membelalak, menyaksikan apa yang selama ini hanya ada di film—kini terjadi tepat di depan matanya.

Thom segera sadar ia tak bisa berdiri diam lebih lama. Ia menoleh cepat ke arah Reno yang masih terpaku.

"Reno! Ayo!" seru Thom, menarik lengan sahabatnya.

Reno tersentak dari keterpakuannya. Thom meraih tasnya, lalu menyampirkannya ke punggung. "Kita nggak bisa keluar lewat gerbang, di sana udah penuh! Berkerumun. Berbahaya!"

Reno mengangguk panik, "Terus kita ke mana?"

"Jalan tikus. Belakang sekolah. Lewat kantin, terus tembus ke gudang alat—lu tau kan jalur itu?"

"Yang lewat belakang kebun pisang?"

"Ya! Ayo cepet!"

Tanpa menunggu jawaban, Thom menggamit lengan Reno dan menariknya keluar kelas. Lorong sekolah kini penuh dengan suara teriakan, tangis, dan langkah kaki. Sebagian siswa berlari tanpa arah, sementara beberapa lainnya terduduk, terlalu takut untuk bergerak.

Thom dan Reno membungkuk, mencoba tidak menarik perhatian. Mereka melewati aula—di sana, kekacauan lebih parah. Seseorang tergeletak di lantai dengan darah mengalir dari lehernya. Di sampingnya, sosok lain merangkak... matanya merah, mulutnya penuh darah.

Reno menahan napas. "Ya Tuhan..."

"Jangan lihat. Fokus ke jalan."

Mereka menyelinap ke arah kantin, berbelok tajam ke lorong belakang yang jarang dipakai. Pintu ke gudang peralatan olahraga setengah terbuka. Thom mendorongnya pelan, lalu memberi isyarat.

Setelah memastikan tidak ada yang mengikuti, mereka masuk ke dalam gudang, napas terengah.

"Dari sini kita bisa manjat tembok belakang," ujar Thom. "Tapi kita harus cepat."

Reno mengangguk lagi. "Thom… ini beneran kejadian ya? Bukan mimpi?"

Thom menatap mata sahabatnya. "Kalau ini mimpi, gue juga mau bangun. Tapi sekarang, kita harus selamat dulu."

Mereka mendorong sebuah rak tua di gudang ke dekat tembok belakang. Thom naik duluan, memijak rak itu lalu menggenggam bagian atas tembok kasar yang dipenuhi lumut.

"Awas licin, Reno. Pegang kuat."

Setelah berhasil naik, Thom mengulurkan tangan dan menarik Reno ke atas. Di balik tembok, hamparan kebun pisang terbentang. Biasanya, tempat ini jadi jalan pintas siswa yang bolos. Tapi sekarang, daun-daun bergoyang seperti disapu angin tak wajar. Hening. Terlalu hening.

Mereka melompat turun, mendarat di tanah yang lembap. Thom langsung mengendap di antara pohon pisang, Reno mengekor di belakangnya.

Begitu sampai di ujung kebun, mereka mengintip keluar. Jalanan Labuan Bajo yang biasanya ramai dengan anak sekolah dan pedagang kaki lima kini kosong. Beberapa sepeda motor tergeletak begitu saja, lampunya masih menyala. Seekor ayam berlari menyeberang, dikejar oleh seseorang… atau sesuatu.

Makhluk itu dulunya manusia. Sekarang tubuhnya membungkuk, kulitnya pucat, dan gerakannya tak wajar. Ia mengejar tanpa henti, menubruk ayam itu dan mencabik tanpa ampun.

Reno menutup mulutnya menahan muntah.

"Astaga…"

Thom menarik Reno mundur. "Kita nggak bisa lewat jalan besar. Kita muter lewat gang kecil ke arah rumahku. Kita harus pastikan orangtuaku aman."

Reno menatap Thom, lalu mengangguk tegas. "Oke. Gue ikut lu."

Mereka berdua mulai bergerak menyusuri gang sempit di pinggiran kota. Setiap langkah terasa menegangkan. Rumah-rumah mulai sepi, sebagian pintunya terbuka, sebagian tertutup rapat dengan jeritan samar dari dalam.

Langkah demi langkah, Thom hanya bisa berharap... rumahnya belum disentuh oleh horor yang sedang melanda kota kecil mereka.

Mereka akhirnya sampai di gang kecil menuju rumah Thom. Jalanan sepi, hanya suara angin dan daun-daun kering yang beterbangan. Jantung Thom berdetak kencang. Ia mempercepat langkah, melewati pagar bambu yang setengah terbuka, lalu mendobrak masuk ke rumah.

"Bu! Pak!" teriak Thom.

Ibunya muncul dari dapur, wajahnya panik tapi lega saat melihat anaknya. "Thom! Ya Tuhan, kamu nggak apa-apa?"

Ayah Thom juga muncul dari ruang tengah, memegang parang. "Apa yang terjadi di sekolah?"

"Sudah nggak aman, Pak. Banyak yang luka… kayaknya ada wabah. Orang-orang… mereka jadi gila." Thom menjawab sambil menarik napas berat.

Ibunya langsung memeluknya, tubuhnya gemetar. "Kakakmu belum pulang. Dia kerja di dermaga pagi ini. Kami belum bisa hubungi dia..."

Thom menatap mereka, pikirannya langsung tertuju pada kakaknya. Dermaga... tempat kapal dan aktivitas turis biasa ramai. Kalau tempat itu kena duluan, kemungkinan besar...

"Aku harus cari dia," ucap Thom akhirnya, tegas. "Aku harus pastikan dia selamat."

"Tunggu, Thom!" cegah ibunya. "Jangan pergi! Di luar berbahaya!"

"Aku harus, Bu. Kakak nggak akan ninggalin kita kalau posisinya kebalik."

Ayahnya menatap Thom sebentar, lalu mengangguk pelan. "Kalau kau harus pergi, setidaknya pakai ini." Ia meletakkan parang di meja. "Dan ganti baju. Jangan pakai seragam, mencolok."

Thom segera menuju kamarnya, mengganti seragam dengan kaus gelap, celana jeans, dan jaket. Ia mengambil tas kecil, mengisinya dengan air minum, senter, dan roti dari dapur.

Reno menatap Thom saat ia kembali ke ruang tamu. "Gue ikut lu."

Thom menggeleng. "Nggak. Lu jagain orang tuaku. Pastikan mereka aman."

Reno tampak ingin membantah, tapi akhirnya mengangguk. "Hati-hati, bro."

Thom memeluk ibunya, lalu menatap ayahnya sekali lagi. "Aku bakal bawa Kakak pulang."

Dan dengan langkah berat namun penuh tekad, Thom membuka pintu dan melangkah ke luar—ke kota yang telah berubah jadi neraka.

Begitu Thom melangkah ke luar rumah, matanya menangkap sebuah motor bebek terparkir miring di sisi jalan. Kunci masih menggantung, seolah ditinggalkan dalam keadaan terburu-buru. Helm tergantung di setang. Tak ada siapa-siapa di sekitar.

Thom mendekat perlahan, waspada. Setelah memastikan aman, ia segera menaiki motor itu. Sebelum menyalakan mesin, matanya menangkap sesuatu di beranda rumah tetangga—sebuah tongkat baseball logam tergeletak di lantai. Sedikit berkarat, tapi masih kokoh.

"Ini bisa berguna..." gumamnya.

Ia mengambil tongkat itu dan mengaitkannya ke tas punggung dengan tali kecil. Lalu, menyalakan motor dan mulai melaju ke arah dermaga.

Namun perjalanan tak semudah yang dibayangkannya.

Beberapa ratus meter dari jalan utama, kendaraan-kendaraan berhenti total. Mobil dan motor berjejal, sebagian ditinggalkan dengan pintu terbuka, sebagian lain menunjukkan bekas kekacauan—darah di kaca, jejak tangan di bodi mobil, bahkan tubuh yang tergeletak diam di jalan.

Dari kejauhan, suara jeritan dan raungan samar terdengar.

Thom segera memutar arah, masuk ke gang kecil yang hanya bisa dilalui motor. "Kalau lewat sini, bisa tembus ke dekat pelabuhan lama," pikirnya.

Gang sempit itu penuh dengan rumah-rumah kecil dan pagar kayu. Sepanjang jalan, Thom tak bisa berhenti melirik kanan kiri, berjaga-jaga. Ia tahu, satu kesalahan saja bisa berakhir fatal.

Saat melewati tikungan, suara geraman rendah terdengar dari balik tembok—dan bayangan tubuh bergerak cepat menyentak di sudut mata.

Thom mempercepat laju motor, jantungnya berdegup tak karuan. Ia tahu satu hal dengan pasti: kota ini tak sama lagi. Dan dermaga—tempat kakaknya bekerja—bisa saja sudah menjadi sarang kematian.

Sementara Thom melaju menuju dermaga, di rumah, suasana tetap tegang.

Ibu Thom duduk di ruang tengah dengan wajah murung, tangannya terus menggenggam rosario tua yang selalu ia pakai sejak dulu. Reno berdiri di dekat jendela, mengintip keluar dengan parang milik ayah Thom di tangan.

Ayah Thom sendiri bolak-balik ke dapur dan ruang depan, tak tenang. "Jaringan HP masih mati. Radio juga nggak ada suara..."

Ibu Thom, dengan tangan gemetar, meraih remote dan menyalakan televisi tua mereka. Butuh beberapa detik sebelum layar menyala, penuh semut-semut hitam putih, lalu perlahan muncul siaran darurat.

"—perhatian, ini siaran langsung dari Posko Penanganan Nasional. Wabah belum diketahui asal pastinya, tapi penyebaran dipastikan cepat dan sangat mematikan. Warga diminta tetap di dalam rumah, tutup semua akses masuk, dan jauhi orang yang menunjukkan perilaku agresif atau tak terkendali..."

Gambar berpindah ke visual drone—memperlihatkan beberapa kota kecil di Nusa Tenggara yang sudah sunyi, jalanan dipenuhi bangkai kendaraan, dan sesosok makhluk berkeliaran.

Ibu Thom menutup mulutnya dengan tangan, air mata menggenang.

"Astaga... Ya Tuhan, Thom di luar sana sendirian..."

Reno menoleh dengan wajah tegang. "Bu... aku yakin dia bisa jaga diri. Tapi kita harus siap juga. Kalau sesuatu datang ke sini..."

Ayah Thom berdiri tegak, wajahnya keras. "Kalau sampai mereka datang, kita pertahankan rumah ini. Sampai Thom dan kakaknya kembali."

Mereka semua saling menatap, ketakutan dan tekad bercampur jadi satu. Di luar, suara aneh—raungan jauh, disertai suara benda jatuh—mulai terdengar lebih dekat.

Di dermaga pagi itu Sony baru saja selesai memindahkan beberapa peti logistik ke kapal kecil yang akan berlayar ke Pulau Komodo. Ia bekerja sebagai staf pengawasan logistik untuk kapal-kapal wisata dan riset. Hari itu terasa aneh sejak awal—langit tampak lebih kelabu, dan para pekerja terlihat lebih gelisah dari biasanya.

Seorang rekannya, Damar, berjalan tergesa ke arahnya sambil membawa radio genggam.

"Son, lo denger berita belum? Katanya di sekolah-sekolah ada yang diserang! Orang-orang jadi kayak... zombie!" katanya setengah berbisik.

Sony mengernyit. "Apa maksud lo? Zombie?"

Damar mengangguk cepat. "Gue denger dari nelayan, katanya di pelabuhan belakang ada yang 'kesurupan', maksa masuk kapal, gigit orang. Sekarang penjaga semua bubar. Ini udah gila."

Sebelum Sony bisa bertanya lebih lanjut, terdengar jeritan dari arah gudang pelabuhan.

"AaaaAAARGHH—!!"

Mereka berdua menoleh bersamaan. Dari kejauhan, terlihat seseorang berlari terseok-seok ke arah mereka. Bajunya compang-camping, tubuhnya berdarah... dan wajahnya dipenuhi luka gigitan.

Sony mundur selangkah. "Damar, mundur!"

Namun orang itu sudah terlalu dekat—dan bukan sendirian. Di belakangnya, dua sosok lainnya berlari dengan kecepatan tak wajar, mata merah menyala, mulut terbuka lebar, penuh darah.

Sony dan Damar langsung lari menuju kapal.

"Masuk! Kunci pintunya!" seru Sony sambil naik ke dek.

Di dalam kabin sempit, mereka mengunci pintu dan jendela, napas terengah. Dari balik celah, mereka melihat pelabuhan mulai dikuasai kekacauan—orang-orang berlarian, sebagian sudah terinfeksi, menyerang siapa pun yang masih hidup.

Damar gemetar. "Kita bakal mati di sini, Son..."

Sony menatap langit di luar jendela. "Enggak. Kita harus keluar. Kita harus cari cara. Dan gue... gue harus pulang."

Dalam hatinya, Sony tahu—kalau Thom tahu situasinya, adiknya itu pasti akan datang mencarinya. Dan itu berarti waktu mereka terbatas.

Thom akhirnya sampai di ujung jalan kecil yang mengarah ke dermaga. Motor yang ia kendarai dibiarkan tergeletak di semak-semak, tersembunyi. Ia tahu, suara mesin bisa menarik perhatian. Dengan tongkat baseball di tangan kanan, Thom mulai berjalan pelan.

Dermaga yang biasanya ramai kini tampak seperti kota mati. Beberapa kapal terombang-ambing di tepian, tanpa satu pun awak. Ada yang menyala sebagian, ada pula yang terbakar dan mengepulkan asap hitam tipis.

Langkah Thom bergema pelan di atas papan kayu dermaga yang lembap. Matanya terus menyapu sekitar, mencari sosok kakaknya. Namun sejauh mata memandang—kosong. Sepi. Sunyi.

Ia mendekat ke salah satu kapal kecil yang mengenakan bendera biru. Naik perlahan. Di dalam, hanya peralatan logistik berserakan dan jejak darah di lantai kayu.

"SONY!" seru Thom, setengah berbisik setengah berteriak.

Tak ada jawaban.

Ia turun dan menuju kapal berikutnya. Kali ini lebih besar, dengan lambung berkarat. Salah satu pintunya terbuka. Thom mengangkat tongkatnya, bersiap.

Perlahan ia melangkah masuk, menyusuri kabin gelap. Bau amis darah menyengat hidungnya. Di sudut ruangan, ia melihat sesosok tubuh tergeletak... kaku. Bukan Sony. Pekerja lain. Lehernya koyak.

Thom menahan mual. Napasnya berat. Ia melangkah mundur keluar, kembali berdiri di tepi dermaga, matanya liar mencari petunjuk.

"Kak... lo di mana..."

Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara pelan—seperti denting logam jatuh. Diikuti suara langkah... terburu-buru.

Thom menoleh cepat, mengangkat tongkatnya. Sosok bergerak dari balik tumpukan kontainer.

Bukan zombie.

Itu Sony.

Wajahnya penuh debu, bajunya sobek, tapi matanya masih hidup.

"Thom?" katanya, hampir tak percaya.

"Kakak!" seru Thom, berlari mendekat.

Mereka saling meraih, sejenak dalam pelukan singkat penuh lega.

Sony menarik napas panjang. "Apa yang lo pikirin datang ke sini, ha?! Ini tempat paling berbahaya sekarang!"

"Gue harus pastiin lo selamat," jawab Thom mantap.

Sony menatap adiknya, lalu tersenyum tipis. "Oke. Kita nggak bisa di sini lama. Kita harus cari tempat lebih aman. Dan... kita harus pulang."

Tapi sebelum mereka sempat bergerak lagi, terdengar suara geraman—bukan satu, tapi banyak—dari balik dermaga.

Thom menoleh. Sekelompok zombie muncul dari balik bangunan... dan mereka semua sudah mencium bau mangsa.

Thom dan Sony saling pandang singkat—tak ada waktu untuk bicara. Begitu suara geraman terdengar semakin jelas dari arah dermaga, mereka langsung berlari secepat mungkin melewati tumpukan kontainer.

"Arah ke mana?" tanya Sony terengah.

"Ada motor gue, gue sembunyiin di semak dekat tikungan!" jawab Thom sambil menarik tangan kakaknya.

Mereka berlari zigzag, menghindari beberapa sosok yang mulai muncul dari balik bangunan logistik. Salah satu zombie hampir menyambar lengan Sony, tapi Thom mengayunkan tongkat baseballnya, menghantam kepala makhluk itu hingga ambruk.

Akhirnya mereka sampai di titik yang dimaksud. Motor bebek milik warga yang tadi Thom temukan masih ada, tersembunyi sebagian di semak, kunci masih tergantung.

"Naik, Kak!" teriak Thom sambil menyalakan mesin.

Sony naik di belakangnya, memegang erat. Thom memutar gas, ban motor berderit menghantam tanah berpasir dan bebatuan saat mereka melaju menjauh dari dermaga yang kini mulai penuh oleh mayat hidup.

Tapi belum jauh mereka pergi, sebuah suara meneriakkan nama mereka:

"SONY! THOM!"

Mereka berdua menoleh. Di atas atap sebuah kapal tua, berdiri Damar—wajahnya penuh luka, terutama di bagian kaki. Celananya koyak, darah menetes dari paha kanan.

Sony ingin menghentikan motor. "Itu Damar! Kita harus—"

Thom menggertakkan gigi. "Kak… liat kakinya… dia kena gigitan."

Sony terdiam. Mereka menatap Damar dengan hati campur aduk.

Damar, seolah tahu apa yang ada di pikiran mereka, mengangguk lemah. "Gue udah tahu ini akhir gue..."

Ia mengangkat tongkat besinya. "Lo berdua pergi sekarang. Jangan sia-siain pengorbanan orang-orang yang udah jatuh."

Zombie mulai merangkak naik ke geladak kapal. Damar menoleh ke mereka dan berteriak, "LARI! JANGAN NOLAK! JANGAN NENGOK!"

Thom menginjak gas, motor mereka melaju kembali, meninggalkan suara jeritan dan dentuman besi dari arah kapal.

Air mata menetes dari wajah Sony, tertiup angin. Thom menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras.

"Damar nyelametin kita," gumam Thom.

Sony mengangguk pelan. "Kita harus pastikan pengorbanannya nggak sia-sia."

Motor terus melaju, menjauh dari dermaga yang kini berubah menjadi tempat pertempuran terakhir seorang teman sejati.

Motor melaju membelah jalanan sunyi yang biasanya ramai oleh wisatawan dan warga lokal. Angin menerpa wajah Thom dan Sony, bau asap dan darah samar masih terbawa dari arah dermaga.

Di tengah perjalanan, mereka melewati sebuah bangunan besar yang menjulang di tepi jalan utama—Central, toko grosir terbesar di Labuan Bajo.

Sony menepuk bahu adiknya. "Thom, itu Central. Kalau kita butuh logistik, makanan, air... tempat itu bisa jadi stok besar."

Thom hanya melirik sekilas ke bangunan itu. Beberapa jendela pecah, pintu terbuka lebar, dan ada kereta belanja tergeletak di halaman. Sekilas terlihat bayangan bergerak di dalam. Geraman samar terdengar.

"Belum saatnya, Kak," gumam Thom sambil tetap memacu motor. "Gue harus pastiin Ibu sama Ayah masih aman dulu."

Sony mengangguk, memahami. Mereka terus melaju, meninggalkan Central dan ketidakpastian yang ada di dalamnya.

Tak lama kemudian, rumah mereka terlihat di ujung jalan, berdiri di antara rumah-rumah lain yang sebagian sudah tampak sepi dan berantakan. Thom segera menghentikan motor di depan pagar. Ia dan Sony turun cepat.

Pintu rumah terbuka perlahan.

"Ibu!" seru Thom.

Dari dalam, sosok sang ibu muncul dengan mata berkaca-kaca. "Thom... Sony...!"

Mereka bertiga berpelukan erat di teras, ayah Thom muncul dari belakang sambil membawa parang, wajahnya keras tapi matanya lega.

"Kalian selamat..."

Reno berdiri di samping pintu, tersenyum lebar. "Akhirnya lengkap lagi."

Namun tak ada waktu lama untuk istirahat. Sony menatap keluarganya, lalu berkata, "Kita nggak bisa di sini terus. Rumah ini nggak aman selamanya. Kita harus siap-siap, ambil barang penting, cari tempat perlindungan lebih baik."

Thom mengangguk. "Dan mungkin... kita harus balik ke Central. Tapi kali ini, kita lebih siap."

Setelah suasana sedikit tenang, Reno duduk di ruang tamu sambil memainkan pisau kecil di tangannya. Wajahnya terlihat gelisah. Ia menatap Thom, lalu ke arah Sony dan kedua orang tua Thom.

"Gue... mau ketemu orang tua gue," ucap Reno tiba-tiba. Suaranya pelan tapi tegas.

Semua terdiam.

Ayah Thom menatapnya. "Nak, besok aja. Kita tunggu dulu kabar dari pemerintah soal titik pengungsian. Kalau ada evakuasi massal, pasti mereka juga dibawa ke tempat aman."

Reno menunduk. "Tapi gimana kalau mereka kenapa-kenapa sekarang?"

Thom menepuk bahunya. "Kita semua pengen tahu keluarga kita aman, Ren... Tapi kita nggak bisa gegabah."

Ibu Thom mendekat dan duduk di sebelah Reno. "Sayang, sekarang bahkan sinyal pun nggak ada. Internet mati. HP nggak bisa dipakai. Kita nggak bisa hubungi siapa pun."

Reno menggertakkan gigi. "Kalau gitu gimana kita tahu mereka selamat?"

Ayah Thom berdiri perlahan, mengambil radio tua dari dalam lemari. "Ini satu-satunya alat komunikasi yang masih bisa diandalkan... radio gelombang pendek. Kalau pemerintah kasih pengumuman evakuasi, kita bisa dengar dari sini."

Sony menambahkan, "Malam ini kita istirahat dulu. Besok pagi kita coba cari info, mungkin juga bisa susun rute ke tempat orang tuamu, Ren. Tapi harus hati-hati, kita nggak tahu apa yang nunggu di luar sana."

Reno akhirnya mengangguk pelan, meskipun masih terlihat berat. "Oke... Tapi janji ya, besok kita cari mereka."

Thom menatapnya lurus. "Gue janji."

Di luar, langit mulai gelap. Angin malam membawa suara-suara samar dari kejauhan—jeritan, suara barang pecah, dan geraman yang mengerikan.

Tapi malam itu, untuk sementara, mereka berlima masih bersama. Masih bertahan.

Malam itu, suasana rumah sunyi. Hanya suara jangkrik di luar dan tiupan angin yang menerpa genteng.

Thom duduk di sofa dengan handuk di leher, masih basah setelah membersihkan tubuh seadanya. Sony duduk di sebelahnya, menatap gelapnya jendela. Lampu rumah dinyalakan hanya satu, itu pun redup agar tak menarik perhatian dari luar.

Mereka berdua terdiam sejenak sebelum Sony akhirnya berkata, pelan, "Lo tahu nggak, Thom... Gue rasa gue tahu dari mana semua ini mulai."

Thom menoleh. "Serius, Kak?"

Sony mengangguk. "Inget waktu beberapa minggu lalu, ada tim riset dari luar negeri datang? Yang kerja bareng sama instansi lokal? Mereka katanya lagi ngelakuin penelitian genetika... di Komodo."

Thom mengingatnya. "Yang katanya mau buat vaksin buat penyakit langka itu?"

"Iya. Tapi katanya eksperimen itu... salah sasaran. Mereka bereksperimen sama DNA komodo dan virus tertentu—katanya sih buat nguatkan sistem imun... Tapi hasilnya malah kebalik."

Sony menatap Thom dengan serius. "Gue dengar dari salah satu teknisi di pelabuhan... mereka bikin sesuatu yang harusnya dikarantina, tapi bocor."

Thom bergumam, "Dan menyebar ke manusia..."

Sony mengangguk pelan. "Mungkin lewat makanan... atau kontak langsung. Gue dengar dua peneliti pertama yang kena... nggak bisa dikendalikan. Mereka jadi kayak makhluk buas. Setelah itu, pusat penelitian ditutup. Tapi udah telat."

Thom mengepalkan tangan. "Kenapa mereka main-main sama hal kayak gitu? Komodo bukan hewan biasa..."

"Karna duit," jawab Sony pendek. "Penelitian itu dibiayai swasta. Tujuannya bukan cuma medis... Tapi juga militer."

Suasana mendadak lebih mencekam.

Thom menghembuskan napas panjang. "Kalau benar begitu... ini bukan wabah biasa. Ini senjata yang lepas kendali."

Sony menatap adiknya. "Makanya kita harus hati-hati. Ini baru awal, Thom. Dunia nggak tahu... tapi Labuan Bajo udah jadi titik merah. Dan kita ada di tengahnya."