Pagi harinya, cahaya matahari menerobos masuk lewat sela-sela jendela. Thom terbangun perlahan, masih dalam posisi setengah rebah di sofa. Di sebelahnya, Sony masih tertidur, napasnya pelan dan teratur.
Thom duduk, mengusap wajahnya yang lelah. Ia berdiri dan turun ke bawah, menuju ruang tamu.
Di sana, ibunya duduk bersama ayahnya, wajah mereka serius dan tegang. Sang ibu menggenggam selembar kertas, matanya sembap.
Thom langsung merasa ada yang tidak beres. Ia duduk di hadapan mereka. "Ada apa, Bu?"
Ibunya mengangkat wajah, suara pelan tapi jelas. "Reno... dia pergi, Nak. Dia tinggalkan surat."
Jari ibunya menyerahkan kertas itu ke Thom. Tulisan tangan Reno yang tergesa terlihat di sana:
"Aku harus cari orang tuaku. Aku tahu ini berbahaya, tapi aku nggak bisa duduk diam sementara mereka mungkin butuh bantuan. Jangan cari aku. Aku bawa parang. Aku tahu jalan-jalan kecil. Aku akan baik-baik saja."
—Reno
Thom langsung berdiri. "Aku harus nyusul dia. Dia sendirian! Kalau dia ketemu kelompok zombie—"
Namun ibunya berdiri dan menahan bahunya dengan lembut. "Nak... biarkan dia. Itu keputusannya. Dia bukan anak kecil lagi. Kita harus percaya... dia akan selamat."
Thom menggigit bibirnya, mengepalkan tangan. "Tapi dia temen aku, Bu. Aku yang bawa dia ke sini."
Ayahnya ikut bicara, suaranya tegas. "Reno sudah ambil keputusan. Dan dia bukan tanpa persiapan. Dia bawa parang, dia tahu jalan, dan dia tahu risikonya. Kalau kamu nyusul sekarang tanpa rencana, kamu bisa malah dalam bahaya."
Sony muncul dari tangga, sudah bangun. "Reno pergi...?" tanyanya kaget.
Thom menyerahkan surat itu. Sony membaca cepat, lalu menatap adiknya. "Kita nggak bisa asal kejar, Thom. Tapi kita bisa susun rencana. Mungkin cari tahu jalur yang dia ambil."
Thom menatap jendela, pikirannya kacau. Tapi perlahan ia duduk kembali, menenangkan diri.
"Baik," katanya akhirnya. "Tapi kalau sampai sore dia belum balik... kita cari dia."
Setelah suara dari radio kembali menjadi statik, ayah Thom mencoba mengganti gelombang lagi. Kali ini terdengar suara lain—lebih resmi, suara perempuan dengan nada mendesak:
"...kami ulangi, seluruh akses jalan menuju kota Lembor telah DITUTUP sementara waktu. Hal ini dilakukan untuk mencegah penyebaran wabah ke wilayah-wilayah terpencil. Mohon warga tidak mencoba menembus blokade militer yang sudah dipasang di jalur utama dan jalur alternatif."
"Titik evakuasi akan dibuka di sekitar wilayah pelabuhan lama dan lapangan Manggarai. Informasi lebih lanjut akan disiarkan secara berkala..."
Lalu suara menghilang, digantikan lagi oleh bunyi dengung frekuensi kosong.
Semua di ruang tamu terdiam.
Sony mengangkat wajahnya. "Lembor... itu arah rumah orang tua Reno."
Thom langsung menggertakkan gigi. "Kalau dia maksa lewat ke sana... berarti dia bakal ketemu blokade."
Ayahnya menatap Thom penuh khawatir. "Dan kalau dia nekat, dia bisa dianggap ancaman... atau lebih buruk."
Ibu Thom menutupi mulutnya, napasnya sesak. "Ya Tuhan... semoga dia nggak lewat jalan utama..."
Thom berjalan mondar-mandir. "Dia tahu jalur kecil... tapi tetap aja, pasukan militer bisa tembak siapa aja yang melanggar perintah."
Sony berdiri, menatap adiknya. "Kalau kita mau nyusul dia... kita harus tahu dulu jalur mana yang aman. Kita perlu peta, atau orang yang tahu daerah pinggir."
Ayahnya mengangguk. "Kita mulai dari Central. Kalau kita balik ke sana siang ini, mungkin kita bisa dapat peta, radio cadangan, atau bahkan dengar kabar dari warga lain yang selamat."
Thom mengepalkan tangan. "Kita siap-siap. Siang ini kita jalan."
Setelah suara dari radio kembali menjadi statik, ayah Thom mencoba mengganti gelombang lagi. Kali ini terdengar suara lain—lebih resmi, suara perempuan dengan nada mendesak:
"...kami ulangi, seluruh akses jalan menuju kota Lembor telah DITUTUP sementara waktu. Hal ini dilakukan untuk mencegah penyebaran wabah ke wilayah-wilayah terpencil. Mohon warga tidak mencoba menembus blokade militer yang sudah dipasang di jalur utama dan jalur alternatif."
"Titik evakuasi akan dibuka di sekitar Lapangan SMAK Loyola. Warga diminta berkumpul di sana dengan membawa perlengkapan penting, makanan, dan air. Informasi lebih lanjut akan disiarkan secara berkala melalui gelombang darurat ini..."
Suara itu lalu memudar kembali menjadi statik, menyisakan keheningan yang mencekam.
Sony langsung menoleh ke Thom. "Loyola... itu nggak jauh dari sini. Tapi jalurnya juga bisa berbahaya."
Thom mengangguk pelan. "Kalau kita bisa ke sana, mungkin kita juga bisa dapat bantuan—dan cari tahu soal Reno."
Ayahnya menimpali, "Tapi ingat, jangan lewat jalan utama. Kita harus pilih jalur tikus. Kita siap-siap sekarang. Waktu kita nggak banyak."
Saat suasana tegang di ruang tamu, dan semua tampak bersiap mengambil keputusan untuk pergi ke Lapangan SMAK Loyola, Ibu Thom berdiri tiba-tiba. Wajahnya penuh kekhawatiran, suaranya bergetar saat berbicara.
"Tidak... kita harus tetap di sini," katanya tegas.
Thom dan Sony menoleh kaget. "Bu, tapi—"
Ibunya mengangkat tangan, menghentikan mereka. "Aku tahu pemerintah bilang titik evakuasi di Loyola, tapi kalian pikir itu aman? Zombie-zombie itu... mereka bisa tembus ke mana saja. Bahkan tempat pengungsian pun bukan jaminan keselamatan."
Ayah Thom terlihat ragu. "Tapi Bu, kalau kita tetap di sini—"
"Aku tahu tempat ini juga bukan benteng," ucap ibunya cepat. "Tapi setidaknya kita kenal rumah ini. Kita tahu jalan masuk, tahu tempat sembunyi, tahu suara-suara aneh. Di sana? Kita kumpul sama ratusan orang. Kalau satu aja terinfeksi... semuanya bisa habis."
Ia menatap Thom dan Sony dengan mata berkaca. "Tolong... jangan langsung percaya sama perintah mereka. Kita nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kita tunggu. Kita lihat dulu situasi. Baru ambil keputusan."
Thom terdiam. Ia melihat ibunya—wajah wanita yang biasanya lembut, kini begitu tegas dan kuat. Ia tahu ibunya takut... tapi juga berpikir jernih.
Sony mengangguk pelan. "Oke, Bu. Kita nggak gegabah. Kita tunggu. Tapi kalau situasinya makin buruk... kita tetap harus siap bergerak."
Ibu Thom menarik napas dalam. "Itu yang Ibu mau dengar."
Thom menatap jendela. Angin membawa bau besi dan debu. Di kejauhan, samar-samar terdengar geraman.
Di sisi lain, Reno berjalan menyusuri jalan sempit yang dipenuhi semak dan pepohonan lebat. Matahari mulai meninggi, namun suasana tetap muram. Parang di pinggangnya bergoyang mengikuti langkah cepatnya. Di punggung, ia membawa tas kecil berisi air, makanan ringan, dan senter kecil.
Wajahnya serius, penuh tekad. Ia tak peduli risiko. Yang ada di pikirannya hanya satu: keluarganya di Wae Mata.
Jalan utama ke sana sudah ditutup, itu ia tahu. Tapi Reno ingat sebuah jalur kecil di tepi hutan—jalan lama yang dulu sering ia lewati bersama ayahnya saat mencari bambu atau berburu ayam hutan.
Langkahnya mendadak terhenti saat suara ranting patah terdengar dari balik semak. Reno segera mengambil posisi diam, tangannya menggenggam erat gagang parang.
Beberapa detik kemudian, seekor anjing kampung muncul dari semak—kurus, kotor, dan pincang. Anjing itu menggonggong pelan, lalu berlari menjauh.
Reno menghela napas lega. Tapi itu tidak bertahan lama.
Suara langkah berat, seretan kaki, dan napas serak mulai terdengar. Dari arah jalan belakang, dua sosok berjalan tertatih. Zombie. Salah satunya masih mengenakan jaket bertuliskan "Pos Keamanan Wae Mata."
Reno mundur pelan, tapi kakinya menginjak ranting kering.
"Krek."
Zombie itu langsung menoleh. Matanya kosong, wajahnya separuh hancur.
Reno bersumpah dalam hati. Ia mencabut parangnya. "Gue nggak punya waktu buat lo."
Zombie itu menyerbu, Reno mengayun parangnya tajam ke arah kepala. Satu tebasan—jatuh. Satu lagi menyerang dari samping, tapi Reno sudah siap.
Tubuh makhluk itu roboh.
Reno berdiri, terengah-engah. Ia menatap jalanan sepi yang terbentang di depannya.
"Aku harus cepat. Wae Mata nggak jauh lagi..."
Kembali ke rumah Thom. Pagi masih mendung, langit kelabu seperti menyimpan firasat buruk. Thom berdiri di depan pintu rumah dengan wajah tegas, memakai jaket dan ransel kecil di punggung. Di belakangnya, Sony sudah siap dengan senter, pisau lipat, dan sarung tangan.
"Aku dan Sony akan ke Central," ujar Thom, suaranya datar tapi tegas. "Stok makanan di rumah tinggal sedikit. Kalau kita nggak ambil inisiatif sekarang, kita bisa kelaparan beberapa hari lagi."
Ibu Thom terlihat cemas. "Nak, hati-hati. Di luar sana masih nggak aman. Banyak zombie... dan juga orang-orang yang mulai panik."
Ayahnya menyahut dari ruang tengah sambil memeriksa parang cadangan. "Kalau ke Central, lewat gang sempit di belakang sekolah. Jangan lewat jalan utama, terlalu terbuka."
Thom mengangguk. "Iya, kita pakai jalur tikus."
Sony menambahkan, "Kalau bisa, kita cari juga baterai, lilin, dan air minum botolan. Sekalian cari radio kecil buat cadangan."
Ibu Thom memeluk keduanya sejenak. "Jangan lama-lama. Kalau keadaan memburuk... jangan paksakan diri. Pulang secepatnya."
Thom tersenyum tipis. "Tenang, Bu. Kita bakal balik."
Dengan cepat, mereka keluar rumah. Udara di luar dingin dan sunyi, hanya suara burung sesekali terdengar dari kejauhan. Mereka berjalan menyusuri gang sempit yang sudah ditumbuhi rumput liar, menunduk setiap kali melewati pagar atau tembok rendah.
Perjalanan ke Central pun dimulai. Mereka tak tahu apa yang menanti—zombie, penjarah, atau mungkin sesuatu yang lebih buruk.
Tapi satu hal pasti: mereka harus dapatkan makanan... dan tetap hidup.
Sementara itu, di Wae Mata Reno akhirnya tiba di depan rumahnya. Nafasnya masih terengah, peluh membasahi dahinya. Sepanjang perjalanan, ia harus menghindari beberapa kelompok zombie, menyelinap melalui kebun-kebun, dan memanjat pagar belakang.
Rumah itu masih sama seperti yang ia ingat. Pagar terbuka. Sepi. Tak ada suara.
Reno berjalan pelan, matanya mengamati sekeliling. Tangannya menggenggam erat gagang parang.
"Ma..." bisiknya pelan. "Pa... Rika…"
Ia mendorong pintu depan. Tidak terkunci. Engsel berderit.
Di dalam... hampa.
Kursi masih tersusun rapi. Foto keluarga tergantung miring. Segelas air di meja, setengah penuh, sudah berdebu.
Reno melangkah lebih dalam. Jantungnya berdetak cepat. Ia memanggil lagi, kali ini lebih keras. "MA!"
Tak ada jawaban.
Ia menuju kamar orang tuanya—kosong. Kamar adiknya... juga kosong.
Tapi lalu, dari arah dapur, terdengar suara gemeretak.
Reno langsung menoleh, mengangkat parangnya.
Perlahan, ia melangkah ke dapur... dan di sanalah ia melihatnya.
Tiga sosok berdiri di sudut ruangan—membelakanginya. Pakaian mereka robek. Salah satunya mengenakan baju tidur ibunya. Yang lain... kemeja kerja ayahnya. Yang terakhir, tubuh kecil dengan rambut panjang. Adiknya.
Wajah mereka perlahan menoleh...
Kulit pucat, mata kosong, mulut berlumuran darah.
Reno mematung. Seluruh dunia terasa runtuh.
Dia mundur perlahan, air mata mulai mengalir.
"...maaf..."
Lalu ia lari keluar rumah, menahan isak. Di luar, ia jatuh berlutut di tanah, menggenggam rambutnya, meraung dalam diam.
Hari itu, Reno tahu... keluarganya sudah tiada.
Dan kini, yang tersisa hanyalah satu tujuan:
Bertahan.
Reno keluar dari rumahnya dengan langkah gontai. Matanya masih basah, pandangannya kosong. Tapi ia terus berjalan, menyusuri jalan kecil yang sepi, kembali ke arah arah semula. Di hatinya hanya ada satu hal: ia harus tetap hidup—demi keluarga Thom, demi dirinya sendiri.
Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti saat terdengar letusan senjata.
"DOR! DOR!"
Reno segera berjongkok dan bersembunyi di balik semak. Dari celah dedaunan, ia melihat sekelompok orang bersenjata—sekitar lima orang, semua memakai tas ransel besar, beberapa mengenakan rompi militer. Salah satu dari mereka membawa senapan serbu, dan lainnya pistol.
Mereka sedang menghadapi rombongan zombie di tikungan jalan. Dua zombie sudah tumbang, tapi ada tiga lainnya yang masih menyerang dari samping.
Seorang pria berkumis meneriakkan perintah, "Sisi kanan! Tembak lututnya dulu! Biar jatuh dulu baru kepala!"
"DOR! DOR!"
Zombie terakhir roboh.
Salah satu penyintas, seorang perempuan muda, menoleh ke sekitar dan melihat gerakan Reno di balik semak.
"Hei! Siapa di sana? Keluar! Tunjukkan diri lo!"
Reno mengangkat kedua tangan perlahan dan keluar dari semak. "Gue bukan zombie. Gue cuma... penyintas."
Kelompok itu langsung siaga, tapi tak menembak. Pria berkumis maju sedikit. "Sendirian?"
Reno mengangguk. "Iya. Gue dari Wae Mata."
Mereka saling pandang sebentar, lalu pria itu berkata, "Kalo lo sendiri, lo boleh ikut. Tapi jangan bikin masalah."
Reno menatap mereka sejenak, lalu mengangguk. "Gue cuma mau selamat."
Perempuan muda tadi mengulurkan tangan. "Nama gue Karin. Ini kelompok kami. Kami mau ke arah timur... cari titik evakuasi yang katanya di Loyola."
Reno sedikit tercengang. "Loyola?"
Karin mengangguk. "Tapi katanya sudah dipenuhi, atau... dikuasai. Kita belum tahu pasti. Makanya kami putuskan muter lewat rute alternatif."
Reno menggenggam parangnya erat. "Kalau gitu... izinkan gue ikut. Gue tahu beberapa jalur tikus."
Pria berkumis melirik Reno. "Oke. Tapi jangan beban."
Reno mengangguk. "Percaya, gue bukan beban."
Mereka kembali berjalan—kali ini Reno tidak lagi sendirian. Tapi bahaya di luar sana... lebih besar dari yang ia bayangkan.
Kembali ke Thom dan Sony.
Mereka akhirnya tiba di depan Central—toko besar yang dulunya ramai dikunjungi warga, kini tampak suram dan sepi. Pintu utamanya terbuka sedikit, seperti diacak dari luar. Potongan karton dan plastik berserakan di halaman, tanda bahwa tempat ini sudah dirampok sebagian... atau lebih buruk.
Sony menoleh ke Thom. "Kita masuk cepat, ambil yang perlu, terus keluar."
Thom mengangguk. "Lu jaga pintu, gue ke gudang bagian belakang. Biasanya makanan instan masih disimpan di sana."
Sony bersiap dengan pisaunya, berdiri di sisi pintu.
Thom masuk. Lorong dalam Central gelap dan lembab. Bau makanan basi dan plastik terbakar memenuhi udara. Ia melewati rak-rak kosong, hanya sesekali melihat botol minuman berserakan di lantai.
Setelah melewati lorong sempit, ia menemukan pintu besi menuju gudang. Terbuka setengah.
Perlahan ia mendorongnya.
Ckriiiiik...
Di dalam, masih ada beberapa kardus makanan instan di sudut—mungkin luput dari penjarahan.
"Lumayan…" gumam Thom sambil mendekat dan membuka ranselnya.
Tapi lalu... suara gemeretak.
Thom langsung diam. Ia menoleh cepat. Dari balik rak-rak kardus, terdengar napas berat dan gerakan menyeret kaki.
Zombie.
Satu, dua... tiga zombie muncul dari balik rak. Salah satunya mengenakan seragam karyawan Central, tubuhnya setengah gosong dan mulutnya menganga.
Thom mundur cepat sambil mengangkat tongkat baseball dari punggungnya. Ia bersiap.
Zombie pertama menyerbu lebih dulu—Thom mengayun keras ke arah kepalanya. "BRAK!" Makhluk itu roboh. Tapi dua lainnya sudah terlalu dekat.
Ia melompat ke samping, menendang tumpukan kardus untuk menghalangi. Satu zombie tersandung, yang lain terus maju.
Dengan satu dorongan kuat, Thom menghantam dagu zombie itu dari bawah. Darah muncrat.
"Sony! GUE BUTUH BANTUAN!" teriaknya sambil mengayun sekali lagi ke zombie terakhir.
Beberapa detik kemudian, Sony muncul di pintu dengan napas terengah.
"Thom! Lu nggak apa-apa?!"
"Cepat bantu bawa makanan! Gue udah beresin mereka!"
Sony masuk dan membantu mengumpulkan makanan ke dalam tas mereka.
Thom mengelap peluh dari dahinya. "Tempat ini udah nggak aman. Kita harus cabut sekarang juga."
Sony mengangguk. "Oke. Semoga jalan pulang nggak kejutan juga."
Mereka pun bergegas keluar dari gudang, membawa sebanyak mungkin makanan dan perlengkapan.
Di luar, langit mulai mendung. Pertanda... sesuatu lebih besar sedang mendekat.
Di sisi lain, di rumah Thom...
Suasana terasa sunyi hingga tiba-tiba terdengar ketukan keras di pintu.
Tok! Tok! Tok!
Ayah Thom yang sedang duduk di ruang tamu langsung berdiri. Ibunya pun ikut bangkit, wajahnya tegang. Dari balik jendela, mereka melihat dua orang militer berseragam lengkap, membawa senapan, dan memakai masker.
Salah satu dari mereka berbicara dengan tegas. "Kami dari unit evakuasi. Warga di area ini diminta untuk segera menuju titik evakuasi di Lapangan SMAK Loyola. Tempat ini akan segera dikosongkan."
Ayah Thom membuka pintu setengah. "Kami masih menunggu anak-anak kami kembali."
"Tidak bisa, Pak," ujar salah satu tentara. "Ini perintah langsung. Lokasi ini akan ditutup penuh dalam dua jam. Jika Bapak dan Ibu ingin selamat, segera bersiap."
Ayah Thom menoleh ke istrinya. Ia terlihat bimbang, namun akhirnya mengangguk pelan.
Ibu Thom menatap rumah dengan sedih. "Thom... Sony..."
Dengan cepat, ia masuk ke dalam. Di ruang tamu, ia mengambil selembar kertas dan pena. Dengan tangan gemetar, ia menulis:
> "Thom, kami dibawa ke Loyola oleh militer. Jika kalian pulang dan kami tak ada, pergilah ke sana. Hati-hati, Nak. Ibu dan Ayah mencintaimu."
Ia meletakkan catatan itu di meja makan, menyelipkannya di bawah cangkir kosong agar tidak terbang.
Ayah Thom keluar sambil membawa tas ransel kecil. Tentara itu memberi isyarat cepat. "Lewat jalur belakang. Truk evakuasi kami menunggu."
Ibu Thom menatap rumah itu sekali lagi, lalu berbalik. Dengan langkah berat, mereka meninggalkan rumah.
Rumah kosong.
Sunyi kembali menyelimuti tempat itu... hanya tersisa secarik kertas penuh harapan.
Sementara itu Reno melangkah bersama kelompok penyintas, melewati gang sempit yang sunyi, hanya beberapa ratus meter dari Wae Mata. Mereka bergerak cepat—karena lapangan SMAK Loyola, yang jadi titik evakuasi, tak jauh dari situ.
Karin berjalan di samping Reno. "Kita hampir dekat. Loyola ada di balik perumahan ini, kan?"
Reno mengangguk. "Iya, dari belakang bisa langsung tembus ke lapangan lewat jalan kecil di samping rumah-rumah warga. Tapi hati-hati... kadang zombie juga lewat situ."
Pak Hendra, si pria berkumis, memberi aba-aba dengan tangan. "Ayo lanjut, cepat. Kita cuma punya sedikit waktu sebelum langit gelap."
Begitu mereka melewati pagar belakang perumahan, terlihatlah bagian belakang lapangan SMAK Loyola. Di sana, beberapa truk militer parkir, dan tentara sedang mengatur warga untuk berbaris masuk.
Karin berseru, "Itu dia! Kita sampai!"
Tapi sebelum mereka sempat melangkah lebih jauh, suara raungan muncul dari samping. Beberapa zombie menyembul dari balik tembok—mungkin tersisa dari serbuan sebelumnya. Mereka berlari dengan liar.
Pak Hendra segera menembak satu dari mereka. DOR! Karin menarik Reno, "LARI!"
Mereka semua bergegas menuju lapangan, sementara dua anggota kelompok menahan zombie yang mengejar.
Begitu sampai di pagar, tentara yang berjaga segera membuka jalur masuk. "Cepat! Masuk ke area aman! Awas di belakang kalian!"
Setelah semua masuk, pagar kembali dikunci. Dua zombie yang tertinggal di luar dihantam oleh peluru dari atas menara pengawas.
Reno berdiri terengah. Ia menatap lapangan Loyola, yang kini penuh dengan tenda darurat dan warga yang panik.
Di tengah kerumunan, ia menatap ke segala arah. Sebuah harapan kecil menguat dalam dadanya.
"Mungkin... Thom juga akan ke sini."
Ia menggenggam erat parangnya, lalu melangkah masuk ke tenda evakuasi bersama kelompoknya.
Tapi dalam pikirannya, satu hal terus terngiang: Jika Thom kembali dan tak menemukan siapa-siapa... apakah ia tahu ke mana harus pergi?
Setelah beberapa jam berlalu di tenda pengungsian, Reno duduk termenung di salah satu sudut. Pandangannya kosong, pikirannya masih terjebak pada bayangan rumah yang kini sunyi dan keluarganya yang telah tiada.
Tiba-tiba, suara lembut memanggil dari samping.
"Reno...?"
Ia menoleh. Ibu Thom berdiri di sana, wajahnya penuh kelegaan. "Ya Tuhan… kamu selamat."
Reno bangkit perlahan, berusaha tegar. "Ibu..."
Mereka berpelukan singkat. Setelah itu, ibu Thom duduk di sampingnya dan bertanya hati-hati, "Reno... di mana keluargamu?"
Reno terdiam sejenak. Matanya memerah, tapi ia tetap menahan air mata. "Mereka udah nggak ada, Bu. Aku nyampe rumah... tapi mereka semua udah berubah."
Wajah ibu Thom langsung berubah sendu. Ia menggenggam tangan Reno erat. "Maafkan Ibu... kamu pasti sangat terpukul."
Hening sejenak, lalu Reno mengangkat wajahnya, menatap penuh harap.
"Bu... terus Thom sama Sony ke mana? Mereka belum ke sini?"
Ibu Thom menggeleng pelan. "Terakhir mereka bilang mau ke Central cari makanan. Rumah udah hampir kosong. Kami nunggu... tapi tentara datang dan paksa kami ikut ke sini. Ibu tinggalkan catatan di meja buat mereka."
Reno mengangguk cepat. "Mereka pasti baca, Bu. Aku yakin Thom bakal ke sini."
Ibu Thom mencoba tersenyum. "Ibu juga yakin. Anak itu keras kepala, tapi hatinya besar. Dia nggak akan biarkan kami sendirian."
Mereka berdua duduk dalam diam, menatap arah gerbang tenda.
Menunggu.
Ceklek.
Pintu rumah terbuka perlahan. Thom melangkah masuk lebih dulu, tongkat baseball-nya masih tergenggam erat. Matanya menyapu ruangan—sepi. Terlalu sepi.
"Kayaknya… kosong," gumam Sony di belakangnya sambil menutup pintu.
Thom berjalan pelan ke ruang makan. Matanya langsung menangkap secarik kertas di bawah cangkir. Ia mengambilnya, membacanya cepat. Tulisan tangan ibunya.
> "Thom, kami dibawa ke Loyola oleh militer. Jika kalian pulang dan kami tak ada, pergilah ke sana. Hati-hati, Nak. Ibu dan Ayah mencintaimu."
Thom menghela napas dalam. Ia menatap Sony yang mendekat sambil duduk kelelahan di kursi.
"Mereka ke Loyola," ucap Thom.
Sony mengangguk pelan, lalu bersandar. "Bagus… berarti mereka aman."
Ia menatap Thom sejenak, lalu berkata, "Kita stay dulu di sini, ya?"
Thom menatapnya. "Kenapa?"
Sony menutup mata sebentar. "Gue capek, Thom. Tadi di Central... udah kayak neraka. Gak bisa fokus kalau langsung jalan lagi."
Thom mengangguk. "Oke. Satu malam aja. Tapi kita kunci semua pintu dan jendela. Gak boleh lengah."
Sony bangkit pelan. "Gue ngecek dapur. Liat sisa makanan."
Thom memandang sekeliling rumahnya yang kini terasa asing, lalu berbisik pada dirinya sendiri, "Besok… kita susul ke Loyola."
Di Jakarta, suasana di ruang pusat kendali nasional sangat tegang. Layar-layar besar menampilkan peta wilayah-wilayah terdampak, termasuk Labuan Bajo dan area sekitarnya. Di tengah ruangan, seorang pejabat tinggi militer berbicara di depan mikrofon, dikelilingi oleh para jurnalis dan staf pemerintahan.
"Kami menyatakan bahwa wabah biologis di wilayah Labuan Bajo telah dikonfirmasi sebagai bentuk infeksi agresif yang menyerang sistem saraf dan merubah perilaku manusia secara ekstrem," ucapnya tegas.
Di sampingnya, Menteri Kesehatan menambahkan, "Wabah ini diduga berasal dari eksperimen biologis ilegal yang melibatkan DNA reptil purba di salah satu laboratorium penelitian di Flores. Kami masih menyelidiki pihak yang bertanggung jawab."
Seorang wartawan bertanya lantang, "Apakah pemerintah akan mengevakuasi seluruh warga dari Nusa Tenggara Timur?"
Juru bicara BNPB menjawab:
"Evakuasi berskala besar sedang berlangsung, namun akses ke beberapa wilayah seperti Manggarai Barat sudah sangat terbatas. Oleh karena itu, kami mengirim pasukan tambahan dan bantuan logistik lewat udara dan laut. Prioritas kami adalah menyelamatkan sebanyak mungkin warga yang masih hidup."
Di ruang rapat tertutup, seorang intelijen meletakkan sebuah dokumen rahasia di meja pimpinan.
"Ini hasil penyelidikan awal. Laboratorium yang ditutup di kawasan barat Flores dulunya bekerja sama dengan investor asing. Mereka bereksperimen pada komodo…"
Pejabat tinggi itu menyipitkan mata, lalu berkata pelan, "Jadi ini bukan sekadar kecelakaan... Ini bisa jadi sabotase."