Pagi itu, sinar matahari menyusup lewat celah jendela. Sony duduk di ruang tamu, memutar tombol radio kecil yang ia temukan semalam. Suara gemerisik terdengar sebelum akhirnya suara siaran menyembul pelan.
Sementara itu, Thom sedang sibuk di dapur. Ia memasukkan beberapa bungkus makanan kering, botol air, dan obat-obatan ke dalam ranselnya. Ia berjalan ke gudang belakang dan menarik keluar senapan angin tua milik ayahnya. Debu menempel di larasnya, tapi masih kokoh.
Thom masuk kembali ke rumah. "Sony!" serunya, lalu melemparkan senapan itu.
Sony reflek menangkapnya. "Nice," gumamnya, sedikit senyum muncul.
Tiba-tiba… suara radio berubah. Siaran yang awalnya stabil, kini penuh kepanikan.
> "...kamp pengungsian di Loyola… dikepung! Zombie... menembus barikade… tolong… siapapun yang mendengar… segera—"
Mereka berdua itu saling menatap. Wajah mereka berubah pucat.
"Ayah… Ibu…" ucap mereka serempak.
Tanpa banyak bicara, Thom segera memasang tasnya di punggung, Sony menyiapkan senapan. Mereka berdua tahu, waktu sudah habis.
Sementara itu, di kamp Loyola Jeritan dan tembakan menggema. Para penyintas berlarian kacau, tenda-tenda roboh, dan barisan zombie menyerbu dari arah pagar belakang yang jebol.
Reno terengah di tengah kerumunan. Ia berusaha mencari wajah-wajah yang dikenalnya. "Ibu! Ayah Thom! Di mana kalian?"
Karin menarik tangan Reno. "Reno! Ayo keluar! Kita harus pergi sekarang!"
Tapi Reno menggeleng keras. "Gue harus cari orang tua Thom! Gue janji sama dia!"
Karin menunjuk ke arah tenda yang sudah porak-poranda. "Reno… LIHAT!"
Reno menoleh, dan matanya membelalak. Di dekat tenda biru besar, ia melihat Ayah dan Ibu Thom—tertahan di bawah puing, dikerumuni zombie… dan tergigit.
"TIDAK!!" jerit Reno.
Karin menahan tangis, menarik tangan Reno dengan paksa. "Kita nggak bisa nolong mereka! Ayo! THOM BUTUH KAMU!"
Dengan hati remuk, Reno akhirnya berbalik, mengikuti Karin keluar dari zona maut itu, sambil terus menoleh ke belakang. Jeritan dan suara tembakan menjadi latar dari kehilangan yang tak bisa dicegah.
Sony perlahan membuka pintu rumah. Suasana di luar sunyi mencekam. Udara pagi terasa lebih dingin dari biasanya, seolah tahu ada sesuatu yang salah di dunia ini.
Thom berdiri di belakangnya, menggenggam tongkat baseball dan ransel di punggung. Ia menatap jalanan yang lengang.
"Sony…" Thom berkata pelan, suaranya berat. "Gimana kalau… Ayah sama Ibu udah berubah jadi zombie?"
Sony tak langsung menjawab. Ia menatap jauh ke depan, matanya kosong. Lalu ia menghela napas.
"Kalau iya… kita gak bisa ke kamp. Di sana udah kacau. Kita gak bisa nyusul."
Thom menunduk, rahangnya mengencang. "Jadi... kita ke mana?"
Sony menoleh, lalu mengangkat tangannya menunjuk ke kejauhan.
"Lihat rumah itu," katanya. "Atapnya terbakar. Ini tanda... tempat ini udah gak aman. Kita gak bisa tinggal di sini lagi."
Thom mengikuti arah tunjuknya. Rumah di ujung jalan tampak gosong, asap masih mengepul tipis. Mungkin terbakar semalam. Mungkin karena zombie.
Sony menoleh kembali ke Thom, dengan sorot mata mantap.
"Kita cari Reno." katanya. "Sekarang cuma dia yang tersisa."
Thom mengangguk tegas.
"Oke. Kita cari dia… dan kita tetap hidup."
Tanpa membuang waktu lagi, keduanya melangkah keluar, menutup pintu rumah perlahan. Jalanan di depan mereka sunyi, tapi bahaya bisa datang dari mana saja.
Di balik reruntuhan bangunan tua dekat bukit kecil, Reno dan Karin terengah-engah. Nafas mereka berat, baju lusuh dan kotor oleh debu serta darah kering. Mereka bersembunyi di balik tembok retak, berusaha tidak mengeluarkan suara sedikit pun.
Di kejauhan, jeritan masih terdengar samar. Tapi tidak sekeras tadi. Kamp Loyola telah hancur.
Karin duduk bersandar pada tembok, matanya menerawang ke arah langit yang mulai kelabu.
"Sisa… hanya kita berdua sekarang," bisiknya pelan.
Reno menatap tanah, kedua tangannya gemetar, mencengkeram kain celana. Wajahnya tampak kacau, pikirannya belum bisa menerima semua yang baru saja terjadi.
"Gue janji ke Thom..." katanya pelan, nyaris tak terdengar. "Gue janji jagain orang tuanya..."
Karin menoleh padanya. "Reno… kamu udah lakuin yang terbaik. Tapi ini bukan salah kamu."
Reno menggeleng. "Gue harus ketemu Thom. Kasih tahu dia… biar dia gak nyari sia-sia."
Karin menyentuh bahunya lembut. "Kita akan temuin dia. Tapi sekarang, kita harus selamat dulu."
Reno menatap mata Karin dan mengangguk perlahan.
"Ayo. Kita naik ke bukit. Dari sana kita bisa lihat jalan utama. Mungkin Thom bakal lewat sana."
Karin mengangguk. "Dan kita tetap bareng. Oke?"
Reno tersenyum tipis, lemah tapi tulus. "Bareng."
Keduanya lalu bergerak hati-hati, keluar dari persembunyian, menyusuri sisi bukit dengan tubuh menunduk, berharap bisa bertahan satu hari lagi… cukup untuk bisa bertemu Thom.
Kembali ke Thom dan sony Thom berlari kecil menelusuri jalanan sepi, matanya menyorot ke deretan mobil yang terparkir sembarangan di sisi jalan. Beberapa pintu mobil sudah terbuka, sebagian pecah, dan beberapa lainnya terkunci rapat. Ia mencoba membuka satu pintu—berhasil. Tapi tak ada kunci.
"Sial," gumam Thom, menutup pintunya pelan, lalu berpindah ke mobil lain.
Dari kejauhan, terdengar suara Sony memanggil pelan, "Thom!"
Thom menoleh. Sony berdiri di samping sebuah motor Scoopy merah yang tampaknya masih utuh. Helm tergantung di spion, dan kunci masih menancap.
Thom segera menghampiri. "Masih nyala?"
Sony mengangguk. "Sepertinya pemiliknya kabur buru-buru. Tangki juga masih setengah. Lo aja yang bawa."
Thom menaiki motor dan bersiap menyalakan.
Sony duduk di belakang sambil menggenggam senapan angin. Ia menepuk bahu Thom. "Gue jagain belakang. Kalau ada zombie yang mendekat, gue yang tembak. Lo fokus nyetir."
Thom mengangguk. "Siap."
Mesin Scoopy menyala halus. Dengan waspada, mereka mulai melaju perlahan melewati jalanan sempit, meninggalkan rumah Thom yang kini benar-benar kosong.
Motor Scoopy melaju melewati gang sempit yang diapit rumah-rumah kosong. Sony sesekali menoleh ke belakang, senapan angin siap di tangan. Jalanan tampak tenang… terlalu tenang.
Lalu suara langkah tergesa-gesa terdengar.
"Sony..." Thom memperlambat motor.
Dari ujung gang, lima zombie muncul tiba-tiba. Mereka bergerak cepat, mulut menganga, mata kosong namun haus. Salah satu dari mereka—seorang wanita tua—menjerit dengan suara mengerikan.
"Gas, Thom! GAAAS!" teriak Sony.
Thom tancap gas, ban motor berdecit di atas aspal berlumur tanah. Tapi zombie-zombie itu mengejar, salah satu dari mereka bahkan menyentuh spion belakang.
"Anjing gue takut, bang…!" teriak Thom, napasnya ngos-ngosan, tangan gemetar di stang motor.
Sony menoleh dan langsung menembak satu zombie yang paling dekat. Tepat di kepala. Zombie itu tumbang, tapi yang lain masih mengejar.
"Terus aja! Jangan liat belakang! Gue cover!"
Sony menembak lagi—dua peluru lagi lepas. Satu kena, satu meleset.
Thom berbelok tajam ke gang lain, hampir menabrak gerobak kayu. Motor oleng sedikit, tapi ia tetap stabil. Suara zombie makin menjauh.
Setelah beberapa tikungan, barulah mereka berhenti sejenak di bawah pohon rindang. Thom terengah, wajahnya pucat.
"Gila... gila banget tadi."
Sony menepuk bahunya. "Kita hidup. Itu yang penting."
Thom mengangguk pelan. "Sekarang... kita harus nemuin Reno. Dia satu-satunya yang tersisa."
Baru saja Thom dan Sony ingin melanjutkan perjalanan, suara geraman terdengar dari arah gang sebelah. Dari balik tembok sempit dan tumpukan sampah, beberapa zombie muncul lagi—dari arah yang tak mereka duga.
"Dari kiri! Zombie!" seru Sony, langsung mengangkat senapannya lagi.
Thom memutar stang motor ke kanan, mencoba menghindari gang sempit yang kini telah dipenuhi makhluk-makhluk mengerikan itu.
Namun jalanan yang mereka masuki ternyata lebih sempit—cukup untuk motor lewat, tapi jika mereka diserang dari kedua sisi, mereka akan terjebak.
Zombie lain mulai berdatangan dari arah depan. Thom panik.
"Bang… anjing, depan ada lagi!" teriak Thom dengan suara gemetar.
Sony menoleh cepat, melihat celah kecil di samping rumah yang temboknya roboh.
"Sini! Lewat celah itu, cepat!"
Thom langsung banting setir, masuk ke celah tersebut, ban depan sempat tergelincir di puing, tapi ia berhasil menyeimbangkan motor.
Sony menembak sekali lagi—menjatuhkan zombie paling dekat—lalu menoleh ke belakang.
Zombie mengejar makin dekat.
"Terus! Jangan berhenti!" teriak Sony.
Mereka berhasil keluar ke jalanan belakang, dan akhirnya motor melaju lebih kencang.
Suara zombie perlahan menjauh, tapi napas mereka masih berat, jantung masih berpacu liar.
Thom tak bicara. Ia hanya fokus mengemudi, rahangnya tegang.
Sony menggenggam bahu Thom dari belakang. "Kita hampir mati barusan."
Thom mengangguk pelan. "Tapi kita belum… sekarang cari Reno."
Sementara itu Reno duduk di balik semak, tubuhnya bersandar pada batang pohon. Nafasnya mulai tenang setelah pelarian panjang dari kamp yang porak poranda.
Karin berjongkok di sebelahnya, membuka saku kecil di rompinya dan mengeluarkan magazin peluru. Ia menghitung cepat, lalu menghela napas berat.
"Sisa satu peluru," katanya lirih.
Reno menoleh. "Satu?"
Karin mengangguk, wajahnya lelah, tapi tetap waspada. Ia memasukkan kembali peluru ke dalam senjata lalu menutupnya rapat.
"Kalau terdesak, gue tembak, kita kabur. Tapi setelah itu…" Ia tak melanjutkan kalimatnya.
Reno menunduk. "Gue gak nyangka semua bakal secepat ini... Wae Mata, kamp, keluarga gue…"
Karin menatapnya sebentar, lalu menyandarkan diri di pohon sebelah Reno.
"Gue juga kehilangan semuanya, Ren. Tapi masih ada yang bisa diselamatin. Masih ada Thom, dan mungkin kita bisa keluar dari kota ini."
Tiba-tiba, suara samar mesin motor terdengar dari kejauhan. Reno langsung duduk tegak, menoleh cepat ke arah suara.
"Dengar itu?" tanyanya cepat.
Karin mengangguk pelan. "Motor."
Reno berdiri perlahan, menengok ke arah jalan setapak di bawah bukit. Ia menajamkan mata.
"Thom…?" gumamnya.
Reno menyipitkan mata, lalu mengangkat tangannya membentuk lingkaran seperti teropong di depan wajahnya. Gaya konyol yang dulu sering ia lakukan saat masih sekolah.
"Cek radar…" bisiknya pelan dengan nada bercanda, meskipun wajahnya masih penuh debu dan lelah.
Ia menyapu pandangan ke arah jalan setapak di bawah bukit... dan senyumnya perlahan muncul.
"Yap… betul. Itu Thom… dan kakaknya. Sony." suaranya hampir tak percaya.
Karin berdiri di sebelahnya. "Serius?!"
"Serius. Gue hafal bentuk jalan motor Thom." Reno mulai melambaikan tangan ke arah bawah.
"THOOOM! SONY!! DI SINI!!!" teriaknya kencang.
Sony dan Thom yang tengah melaju pelan langsung menoleh. Motor mereka berhenti mendadak.
Thom melonjak senang. "RENO!!!"
Sony tersenyum lega. "Akhirnya…"
Mereka memutar arah motor dan melaju ke arah bukit kecil itu. Reno dan Karin turun dari tempat persembunyian, menuruni lereng dengan cepat.
Begitu mereka bertemu di tengah jalan, Reno dan Thom langsung saling peluk.
"Gue kira lo udah—"
"Gue juga…" potong Reno, suaranya parau tapi penuh kelegaan.
Karin menatap Sony dan mengangguk singkat. Sony membalas dengan isyarat jempol.
Untuk sesaat, di tengah kehancuran dunia, empat orang ini merasa… selamat. Setidaknya, untuk sekarang.
Reno menunduk, suaranya berat saat berkata:
"Maafin gue… gue gak bisa jagain kedua orangtua kalian…"
Thom terdiam, lalu perlahan bertanya:
"Terus… keluarga lo gimana, Ren? Dan… siapa dia?" — matanya melirik ke arah Karin.
Reno menarik napas dalam. "Nyokap, bokap, sama adek gue… udah berubah, Thom. Gue gak bisa nyelametin mereka. Gue lari. Di Wae Mata, gue ketemu dia—Karin. Dia bantu gue. Kita bareng ke kamp Loyola, nyari tempat aman."
Karin menatap Thom dan Sony sebentar, lalu berkata singkat:
"Gue Karin."
Suara tegas, pendek, tapi cukup untuk menunjukkan kalau dia bukan orang biasa.
Sony mengangguk. "Oke, Karin. Lo ikut kami sekarang."
Thom melihat sekeliling, lalu menatap mereka satu-satu.
"Kita udah kehilangan banyak… tapi kita masih bisa saling jaga."
Empat orang itu melanjutkan langkah, menembus jalanan sunyi yang hanya diisi bayangan, debu, dan ketidakpastian. Tapi kali ini… mereka tak sendiri.
Tiba-tiba terdengar suara Thom mencoba menyalakan motor.
"Ck... ck... ck…"
Tak nyala juga.
Ia memeriksa dashboard, lalu mendesis pelan.
"Sial… bensinnya habis."
Sony langsung berdiri tegak, menatap sekeliling.
"Gak ada pilihan lagi… kita harus lari dan cari tempat aman."
Ia menatap satu per satu.
"Jangan terpisah. Tetap waspada. Sekarang… LARI!"
Keempatnya langsung bergerak cepat, menembus semak dan puing di tepi jalan. Suara langkah kaki dan napas berat berpadu dengan gema rintihan zombie dari kejauhan.
Saat melompati bekas potongan pagar jalan, Reno terpeleset—kakinya menghantam batu besar.
"AARGH!" ia jatuh tersungkur.
"RENO!" Karin langsung berhenti dan berbalik, menarik lengan Reno.
Thom dan Sony menunggu tak jauh di depan, panik.
"Cepat, kita gak bisa berhenti lama-lama!" teriak Sony.
Reno meringis, lalu berdiri dengan susah payah. "Gue bisa jalan… ayo…"
Mereka kembali berlari bersama. Debu beterbangan, dan suara zombie mulai terdengar makin dekat… tapi tekad mereka lebih kuat dari rasa takut.
Mereka tak tahu apa yang menanti di depan, tapi satu hal pasti—mereka belum menyerah.
Mereka terus berlari di tengah gang sempit dan reruntuhan, napas terengah, keringat mengalir di wajah.
Thom menunjuk ke sebuah rumah warga di ujung jalan.
"Itu! Coba kita minta masuk!"
Mereka bergegas menuju rumah sederhana dengan pagar setengah roboh. Thom mengetuk pintu cepat-cepat.
"Halo! Halo! Tolong! Kami butuh tempat berlindung!"
Beberapa detik sunyi…
Lalu terdengar suara gesekan rantai, dan pintu kayu perlahan terbuka. Seorang pria paruh baya muncul, rambutnya acak-acakan, matanya waspada tapi tak kejam.
Ia menatap mereka cepat, lalu membuka pintu lebih lebar.
"Ayo cepat masuk sebelum mereka lihat kalian."
Mereka berempat segera masuk, dan pria itu langsung mengunci pintu rapat-rapat.
Thom berdiri sambil terengah. "Terima kasih, Pak…"
Pria itu mengangguk singkat.
"Kalian bukan yang pertama lari ke sini. Tapi rumah ini gak bisa bertahan lama juga. Bersiaplah kalau sewaktu-waktu harus pergi lagi."
Sony menatap pria itu lekat-lekat.
"Nama Bapak siapa?"
Pria itu menoleh sambil berjalan ke dapur.
"Panggil saja saya Pak Gatra."
Di dalam rumah yang remang, suasana mulai sedikit tenang. Mereka duduk di ruang tamu yang sederhana tapi cukup bersih.
Thom melihat ke arah pojok ruangan dan menunjuk.
"Pak Gatra, itu radio ya? Masih bisa nyala?"
Pak Gatra mendekat dan memeriksa barang itu sebentar.
"Bisa, tapi rusaknya di bagian kabel. Harus diperbaiki dulu."
Thom langsung berdiri.
"Biar saya coba perbaiki, Pak."
Ia membawa radio ke meja dan mulai membongkar bagian belakangnya, mengambil obeng kecil dari saku tasnya.
Sementara itu, Reno menoleh ke arah dapur kecil.
"Pak, katanya Bapak punya kios, ya? Ada stok rokok gak?"
Pak Gatra menunjuk ke sebuah laci di dekat lemari.
"Kalau belum diambil orang, harusnya masih ada di sana."
Reno membuka laci itu dan mengeluarkan sebungkus rokok setengah isi.
"Yes… jackpot."
Ia mengambil satu batang dan menyalakannya.
Sony mengangkat alis, menatapnya.
"Kasih satu," katanya santai.
Reno melempar satu batang ke arah Sony sambil tersenyum puas.
Sony mengambilnya, lalu menepuk kepala Reno pelan.
"Lo masih SMA, bego."
Karin tertawa pelan dari kursi di dekat jendela.
"Udah dunia mau kiamat, yang dipikirin rokok."
Thom dari meja memperbaiki radio sambil melirik.
"Lempar satu ke gue juga."
Sony melotot kecil.
"Lu juga, Thom? Serius?"
Tapi Thom udah menangkap batang yang dilempar Reno dan langsung menyalakannya, asap tipis mengepul dari mulutnya.
Sambil merokok, tangannya tetap sibuk mengutak-atik radio.
"Kalau udah hidup nih radio," katanya, "setidaknya kita tahu dunia luar kayak gimana…"
Di luar rumah, suara jeritan samar zombie masih terdengar—mengingatkan bahwa waktu mereka di tempat itu mungkin tidak akan lama.
Karin berjalan ke sudut ruangan, matanya tertuju pada ransel besar milik Thom yang tergeletak di lantai. Ia jongkok dan membukanya pelan.
"Wah…" katanya sambil tersenyum kecil, "kalian bawa stok makanan, nih?"
Ia mengangkat satu bungkus mi instan dan beberapa kaleng sarden.
Thom menoleh dari meja sambil masih menggigit batang rokok.
"Jangan dihabisin, ya. Itu buat kita semua."
"Tenang aja," sahut Karin sambil mengangkat tangan seolah menyerah, "gue cuma ngecek aja. Hebat juga lo, Thom. Siap kiamat."
Tiba-tiba—radio di atas meja mendesis pelan, lalu mengeluarkan suara statis.
Semua orang langsung terdiam, menoleh. Thom memutar sedikit tombol, dan suara jelas mulai terdengar:
"...pengungsian dialihkan ke daerah Kaper. Semua penyintas diharapkan menuju titik evakuasi baru. Ulangi, titik evakuasi saat ini: Kaper. Kami akan menunggu selama 48 jam ke depan..."
Sony mengernyit.
"Kaper? Itu lumayan jauh dari sini."
Reno menghembuskan asap rokoknya perlahan.
"Tapi itu satu-satunya tempat yang masih aman, kan?"
Pak Gatra bersandar di dinding, mengangguk pelan.
"Kalau kalian mau ke sana, kalian harus berangkat malam ini juga. Jalanan siang makin rawan."
Thom mematikan rokoknya, berdiri, lalu menatap mereka satu-satu.
"Kita putuskan sekarang… kita berangkat atau bertahan?"
Suasana hening sejenak setelah pertanyaan Thom. Semua saling pandang, menimbang jawaban masing-masing.
Tiba-tiba Karin berdiri, wajahnya tegang, suaranya tajam:
"Apa kalian sudah hilang akal?"
Mata Karin menatap satu-satu.
"Setelah apa yang terjadi di kamp Loyola? Semua tempat itu katanya aman… sampai akhirnya gak ada yang selamat!"
Thom terdiam. Sony mengepalkan tangan di paha. Reno hanya menghembuskan asap dan menunduk.
Karin melanjutkan, nadanya melemah sedikit tapi masih tajam.
"Apa kalian gak ngerti? Gak ada tempat yang benar-benar aman sekarang. Kita pindah ke Kaper, terus kalau itu diserbu juga? Mau sampai kapan kita lari?"
Pak Gatra menyandarkan tubuhnya ke dinding, menarik napas panjang.
"Dia ada benarnya…"
Thom memejamkan mata sesaat, lalu membuka perlahan.
"Terus kita harus apa, Karin? Diam di sini? Nunggu mereka masuk dari jendela dan jadi zombie kayak yang lain?"
Karin menatap Thom dalam-dalam, matanya berkaca sedikit.
"Gue cuma… gak mau kehilangan siapa-siapa lagi."
Hening. Suara radio kembali mendesis samar. Di luar, dunia masih kacau. Tapi di dalam ruangan itu, pilihan besar sedang menunggu jawaban.
Reno menyandarkan punggung ke dinding, lalu berkata santai meski suasana masih tegang:
"Kalau gitu… kita stay di sini dulu."
Ia menepuk perutnya, mengeluh pelan.
"Oh ya, gue lapar nih."
Sony menggeleng pelan sambil tersenyum miring.
"Lo, lapar mulu. Dunia udah chaos, lo pikirin makan."
Thom gak menjawab. Ia berdiri dan perlahan berjalan ke arah jendela. Tirai kusam ia singkap sedikit. Karin mendekat dan berdiri di sebelahnya, ikut mengintip ke luar.
Di luar, langit mulai berwarna jingga. Senja turun perlahan di atas kota yang porak-poranda. Beberapa rumah terlihat sepi, beberapa lainnya gelap. Jalanan kosong… tapi sunyi itu justru lebih menakutkan.
"Gak ada yang lewat," gumam Thom pelan.
"Tapi entah kenapa, perasaan gue gak enak."
Karin mengangguk pelan, matanya masih terpaku ke jalan.
"Sunyi kayak gini justru lebih bahaya. Bisa jadi mereka ngumpet. Nunggu."
Thom mengangguk, lalu berbalik.
"Reno, siapin makanan secukupnya. Gak usah semua. Kita gak tahu bakal berapa lama di sini."
Reno menjawab dari dapur kecil, suara kaleng dibuka terdengar.
"Siap, chef Thom."
Mereka semua tahu… malam akan panjang. Dan sunyi bukan berarti aman.
Di Jakarta – Gedung DPR, malam hari
Lampu-lampu terang masih menyala di ruang rapat darurat. Sejumlah anggota DPR, pejabat tinggi, dan beberapa petugas militer berkumpul di meja bundar besar. Peta-peta besar Pulau Flores dan sekitarnya terpampang di layar. Suasana tegang dan serius.
Seorang pria berpakaian dinas, Jenderal Arwan, menunjuk ke daerah Manggarai Barat dengan laser pointer.
"Wae Mata, Kaper, dan wilayah sekitar sudah masuk zona merah. Kita sudah kehilangan kontak dengan beberapa tim evakuasi terakhir."
Seorang anggota DPR mengetuk meja dengan gusar.
"Kenapa kita masih terus kirim tim ke sana kalau semua berakhir gagal?!"
Seorang wanita dari BNPB menjawab cepat:
"Karena masih ada sinyal-sinyal penyintas dari radio darurat. Kalau kita berhenti sekarang, kita menyerah."
Suara mulai riuh. Beberapa setuju melanjutkan operasi evakuasi, yang lain ingin menarik mundur seluruh pasukan dan mengisolasi zona.
Ketua rapat mengangkat tangan meminta tenang.
"Kita butuh keputusan malam ini. Entah kita tutup seluruh akses dan fokus ke Jawa… atau kita teruskan misi penyelamatan di Flores dengan risiko tinggi."
Jenderal Arwan menatap ruangan dengan dingin.
"Saya hanya butuh satu hal. Waktu. Dan dukungan logistik. Tim saya masih bisa berjuang."
Ketegangan menebal. Sementara di luar gedung DPR, suara sirine dan helikopter terus mengisi langit Jakarta yang tak lagi seperti dulu.