War Of The Dead

Pagi itu sunyi. Kabut tipis masih menggantung di udara.

Sony berdiri di depan jendela, memandang kosong ke arah jalan yang lengang. Ia bergumam lirih, seolah bertanya pada dirinya sendiri:

"Apa yang harus kita lakukan sekarang…?"

Di sudut ruangan, Karin duduk sambil memegang kapak kecil. Matanya sayu, tapi tajam. Ia mengelus gagang kapaknya pelan, sesekali menoleh ke arah jendela.

Dari dapur terdengar suara gesekan logam—Reno sedang mengasah parang milik Pak Gatra dengan penuh konsentrasi. Mata tajamnya fokus, gerakan tangannya mantap.

Thom duduk di lantai, tengah membungkus ujung tongkat baseball-nya dengan kawat berduri yang ia temukan di belakang rumah. Ia mengencangkannya dengan tali kawat dan mengikat erat.

Pak Gatra masuk ke ruang tengah, membawa radio kecil usang yang sudah disambung kabel dan baterai darurat. Ia menyerahkannya pada Sony.

"Ini. Kalau kalian tetap bersikeras keluar, paling tidak tahu situasi. Masih bisa nangkep siaran darurat kalau cuaca bersahabat."

Sony menerima radio itu, menatap Pak Gatra sejenak, lalu mengangguk pelan.

Tak lama kemudian, mereka berkumpul di depan pintu. Sony memegang gagang pintu, siap membuka.

Tapi ia berhenti. Tangannya menggantung di udara. Ia menoleh ke belakang.

"Tunggu…" katanya pelan tapi tegas.

"Kita… mau ke mana, sebenarnya?"

Semua diam.

Sony menatap mereka satu per satu.

"Kalian sendiri yang bilang—jangan ke Kaper. Terus, mau ke mana kita sekarang?"

Karin menunduk. Reno mengangkat bahu pelan. Thom memejamkan mata, menarik napas dalam.

Akhirnya Sony melepaskan gagang pintu.

"Kalau belum jelas… kita gak bisa asal jalan. Kita bakal mati di luar sana."

Mereka kembali duduk, satu per satu. Di luar, suara angin menggoyangkan ranting-ranting pohon. Tapi di dalam rumah itu, lima orang masih bertahan—dengan harapan, keraguan, dan ketakutan.

Mereka duduk diam. Tak ada suara. Hanya detak jarum jam tua dan suara angin dari luar yang sesekali menggerakkan tirai jendela.

Masing-masing larut dalam pikirannya. Wajah tegang, mata lelah, dan tubuh yang seperti kehilangan tenaga.

Lalu tiba-tiba…

Thom tertawa.

Pelan. Pertama hanya senyum tipis, lalu berubah menjadi tawa kecil yang mencuri perhatian.

Reno menoleh.

"Eh, lu kenapa ketawa, Thom?"

Thom menyandarkan tubuh ke dinding, masih tertawa pelan.

"Gue cuma mikir... kita berempat, ngumpet di rumah orang asing, satu megang kapak, satu megang parang, satu pegang radio rusak, satu lagi... ya, gue, ngerakit tongkat berduri. Kalo gak lagi lawan zombie, ini bisa jadi film indie absurd."

Karin tersenyum tipis.

"Filmnya pasti menang festival tapi gak ada yang nonton."

Sony menatap Thom dengan ekspresi datar.

"Lo masih sempet-sempetnya ngelucu."

Thom menatap kakaknya, sedikit lebih serius.

"Kalau kita gak nemu alasan buat ketawa, Bang… kita bakal hancur. Gila. Kita udah kehilangan banyak, setidaknya otak kita jangan ikutan hilang."

Karin mengangguk pelan, memeluk kapaknya.

"Dia ada benernya."

Reno menarik napas dan berbaring di lantai, memandang langit-langit.

"Ya udah… kalo gitu, besok baru kita pikirin lagi mau ke mana. Hari ini cukup."

Untuk sesaat, keheningan terasa tidak sesesak sebelumnya. Ada sedikit ruang untuk bernapas, meski ancaman masih mengintai di luar.

Di dalam, Pak Gatra masuk pelan dari dapur, membawa termos kecil dan empat cangkir plastik.

Ia meletakkannya di meja di tengah mereka, lalu duduk perlahan.

"Nih… teh manis anget. Gak banyak, tapi cukup buat ngangetin pikiran," katanya sambil menuang ke cangkir-cangkir itu.

Thom menyambut dengan senyum lelah.

"Wah, ini mewah, Pak. Makasih."

Sony menerima cangkir dan bertanya pelan:

"Pak… bapak sendiri kenapa gak ikut ngungsi?"

Pak Gatra menghela napas. Tatapannya kosong sejenak.

"Waktu itu, istri saya masih sakit. Gak bisa jalan jauh. Saya mutusin buat stay. Beberapa tetangga juga. Tapi makin hari… makin sepi."

Ia menatap mereka.

"Sekarang tinggal saya. Dan… kalian."

Hening sejenak.

Reno memainkan cangkirnya.

"Maaf ya, Pak. Kita datang tiba-tiba begini."

Pak Gatra menggeleng pelan.

"Kalian masih muda. Harus bertahan. Saya udah tua, tapi kalian masih bisa ngelawan. Masih bisa nyari harapan. Rumah ini, selama saya masih hidup, kalian bisa tinggal."

Karin menggigit bibir, menunduk.

"Terima kasih, Pak…"

Thom menatap ke luar jendela lagi, lalu berkata lirih:

"Kita harus siap. Kita gak tahu berapa lama tempat ini aman."

Sony mengangguk.

"Besok kita cari info dari radio. Siapa tahu pemerintah kasih jalur aman."

Pak Gatra tersenyum kecil.

"Malam ini… kalian istirahatlah. Besok, siapa tahu dunia sedikit lebih waras."

Malam itu pun berlalu, dengan kelelahan yang tak cuma di tubuh, tapi juga di hati.

Malam semakin larut. Hujan rintik mulai terdengar memukul pelan atap seng rumah itu. Suasana sepi, hanya lampu temaram di ruang tengah yang menyala.

Thom duduk di kursi tua yang agak goyang, memandangi lantai. Sony duduk di kursi seberangnya, kaki disilangkan, tangan menopang dagu.

"Bang," ucap Thom lirih, "lu mikir gak… kalau kita sempat nyelamatin mereka? Ayah… Ibu…"

Sony tak langsung menjawab. Matanya menerawang jauh.

"Gue mikir terus soal itu, Thom."

Ia menarik napas dalam.

"Tapi kita gak bisa balik ke waktu itu. Kita cuma bisa jalan ke depan. Walau berat."

Thom menggenggam jari-jarinya.

"Gue takut. Takut ngelupain wajah mereka. Suara mereka. Ibu yang selalu bangunin pagi… Ayah yang suka main gitar sore-sore."

Sony menatap adiknya lama.

Lalu berdiri, berjalan pelan ke arah Thom dan menepuk pundaknya.

"Mereka bangga sama kita. Mereka mau kita bertahan. Jadi kita harus tetap hidup. Buat mereka."

Di sudut ruangan, Reno sudah tertidur pulas, berselimut jaket lusuh, sesekali bergumam dalam tidur.

Karin duduk di dekat dapur, menyeduh mie instan di gelas plastik.

Uap mie mengepul, dan ia menghirup aromanya dalam-dalam sebelum memakannya perlahan.

"Kalian ngomongin orang tua ya?" tanya Karin tiba-tiba.

Sony dan Thom menoleh.

"Gue juga kehilangan. Tapi kadang kehilangan itu… bikin kita ngerti arti 'masih hidup'. Selama kita masih bisa makan mie panas, kita masih punya harapan," katanya sambil tersenyum tipis.

Thom mengangguk kecil.

"Kita harus kuat. Kita harus bertahan… bareng-bareng."

Sony berdiri di dekat jendela, matanya menyipit menembus gelap.

Dari kejauhan… duar! duar! — suara tembakan memecah malam.

Tak lama kemudian, cahaya senter menari di antara pepohonan.

"Sial…" gumamnya.

Thom menoleh cepat.

"Kenapa, Bang?"

Sony berjongkok, menghindari cahaya yang kini mengarah ke jendela.

"Ada orang di luar. Banyak. Bawa senjata. Bukan militer… ini kayak begal. Mereka ngelilingin rumah."

Tiba-tiba, cahaya senter menyorot tepat ke jendela tempat Sony berdiri tadi.

Sony berbisik cepat, tegang:

"Ayo. Kita harus keluar dari sini. Sekarang!"

Thom segera bangkit, membangunkan Reno yang masih tertidur.

"Reno, bangun. CEPAT!"

Reno mengucek mata, "Apaan sih—"

"GAK ADA WAKTU!" potong Thom, menyerahkan parang.

Karin meraih kapaknya. Sony menggenggam senapan angin. Thom membawa tongkat berduri.

Sebelum pergi, Thom berlari ke kamar Pak Gatra.

"Pak! Kita harus pergi—" ucapannya terhenti.

Pak Gatra tergeletak di kasurnya. Matanya terbuka tapi kosong. Mulutnya berbusa putih.

Di tangannya… sebotol kecil pil kosong.

Thom berdiri terpaku. Sony datang dan melihatnya.

Ia hanya bisa menunduk.

Karin mendekat, memegang lengan Thom.

"Dia tahu rumah ini gak akan aman lagi."

Hening.

Thom menarik napas dalam.

"Kita harus pergi."

Mereka membuka pintu belakang perlahan, hati-hati agar tak menarik perhatian.

Langkah kaki dan suara tertawa kasar dari para penyusup terdengar dari sisi lain rumah.

Gelap dan basah, malam itu jadi saksi empat jiwa muda yang kembali harus melangkah… meninggalkan satu lagi yang tak bisa diselamatkan.

BRAKK!!

Pintu depan rumah Pak Gatra didobrak hingga terlepas dari engselnya.

Sekelompok pria bersenjata masuk — lusuh, brutal, dan liar.

Salah satu dari mereka memaki, "Ngentot… kosong."

Yang lain masuk ke kamar, lalu teriak,

"Bos! Ada pria tua. Terkapar. Mulutnya berbusa. Baru mati, kayaknya."

Bos mereka, bertubuh kekar dan bermata liar, masuk perlahan.

Ia melihat mie instan sisa di gelas plastik, dan beberapa bungkus makanan di meja.

"Mereka baru aja cabut dari sini."

Tak lama, salah satu anak buahnya berteriak dari belakang:

"Bos! Jejak kaki… pintu belakang terbuka! Kayaknya ada yang kabur!"

Bos mengerang, lalu menggertakkan giginya.

"Kejar! Bawa mereka kemari. Paksa gabung sama kita. Kalau mereka nolak… atau kabur…"

Ia mengangkat parang yang penuh darah kering.

"Tembak. Penggal leher mereka. Hidup-hidup."

Kembali ke Thom, Sony, Karin, dan Reno

Mereka berjalan cepat, menyusuri gang sempit di belakang rumah-rumah warga.

Langit mendung gelap, jalanan becek, aroma darah dan daging busuk memenuhi udara.

Reno menginjak sesuatu.

"Sial… dasar kontol. Ngagetin aja, anjing!"

Ia melihat ke bawah — potongan kaki zombie terinjak.

Sony memberi isyarat diam.

Ia memimpin jalan. Karin ada tepat di belakangnya.

"Sony, kita mau ke mana?" tanya Karin pelan.

"Pangkalan militer," jawab Sony.

"Kalau ada tempat aman, cuma di sana."

Thom di paling belakang, sesekali menoleh ke belakang.

Lalu, ia berhenti.

Matanya melebar.

"Ssst! Dengar… langkah kaki."

Mereka semua terdiam.

Suara itu bukan seretan kaki zombie. Tapi langkah cepat, tegap… seperti manusia. Dan banyak.

Thom menunjuk ke depan:

"Disana! Mobil! Kita gak bisa tunggu lagi. LARI!"

Tanpa pikir panjang, keempatnya berlari ke arah mobil tua yang terparkir di sisi jalan.

Jantung mereka berdebar keras — suara langkah pengejar dari belakang semakin dekat.

Sony masuk lebih dulu ke mobil tua itu, matanya menyapu dashboard dan sekitar jok.

"Gak ada kunci! GAK ADA KUNCI!!" teriaknya, frustrasi.

Ia memukul stir keras.

"AHH BANGSAD!!!"

Thom yang di luar mobil, panik, matanya menangkap kilatan cahaya—

senter! Dari arah belakang, mengejar mereka.

"Cepet! Mereka nyusul!" kata Karin, sambil menarik Reno yang mulai kehabisan napas.

Thom menunduk, membuka pintu sisi penumpang, dan matanya menangkap sesuatu di lantai mobil —

sebuah kunci!

"SONY! Nih!" Thom melempar kunci.

Sony dengan cepat menangkap, menyodokkannya ke lubang starter.

Klik… klik… VRRRRRMMMMMM!!!

Mesin menyala.

"MASUK!!" Sony berteriak.

Mereka berempat melompat masuk.

Karin paling akhir, menutup pintu keras-keras saat peluru menghantam pintu belakang.

Sony injak gas—mobil melaju, meninggalkan debu dan amarah di belakang.

Terdengar teriakan geram para pengejar yang kehilangan buruannya.

Di dalam mobil, napas mereka memburu, tapi mereka tahu—mereka selamat. Untuk sementara.

Di dalam mobil—suasana mendadak tegang tapi... agak kocak.

Sony menggenggam setir erat, matanya fokus ke jalan.

"Pegangan semua!!" teriaknya.

"Gue bakal nabrak zombie-zombie ini!!"

BRAAAKK!!

Satu zombie terpental ke atas kap mobil.

BLAKKK!!

Satu lagi kena spion kiri, copot.

Reno dari jok belakang teriak:

"ANJAYYY!! Triple kill, bang!!"

Thom ngakak:

"Gila... ini kayak main GTA versi zombie."

Karin nyengir sambil pegang kapaknya:

"Kita kayak naik rollercoaster berdarah."

BRAKKK!!

Zombie yang lain meledak kena bemper. Darah nyiprat ke kaca depan.

Sony reflek nyalain wiper.

"Jangan sampe kena mulut gue, jijik bangke!"

Reno pura-pura mual:

"Wey Sony, kalau muntah jangan di dalam ya. Gue masih mau hidup."

Semua tertawa, walau deg-degan masih kerasa.

Setidaknya, di tengah kehancuran dunia, mereka masih bisa ketawa bareng.

Reno menyender di jok belakang, napasnya masih belum stabil.

"Tadi itu serem banget…" katanya pelan.

"Kita hampir jadi korban pembunuhan sadis, bro. Bukan zombie aja yang harus kita waspadai sekarang."

Sony mengangguk, matanya tetap lurus ke jalan.

"Manusia yang udah kehilangan akal, lebih bahaya dari zombie."

Thom yang duduk di depan samping Sony, menoleh ke belakang.

"Terus… kemana kita sekarang?"

Karin menjawab lebih dulu, suaranya mantap:

"Ke pangkalan militer."

Sony menambahkan:

"Kalau tempat itu belum diserbu… mungkin itu satu-satunya tempat aman tersisa."

Reno mendesah.

"Semoga di sana gak kayak kamp Loyola kemarin."

Thom menggenggam tongkat baseball-nya erat, menatap ke luar jendela.

"Apapun yang terjadi… kita gak boleh pisah lagi."

Mobil terus melaju, melewati jalan-jalan yang sunyi, penuh bangkai kendaraan dan sisa-sisa kehancuran.

Dunia telah berubah… dan mereka hanya bisa bertahan. Bersama.

Mobil terus melaju di antara jalanan yang mulai hancur.

Kabut tipis menyelimuti jalan, menambah suasana tegang.

Sony sambil nyetir berkata:

"Thom, buka tas. Ambil radionya, coba nyalain. Kita butuh kabar soal pangkalan."

Thom membuka ransel di kakinya, mengaduk isi dalamnya—makanan, peluru, radio.

"Dapet," katanya sambil menyalakan alat itu.

Ckrrk… ckkrrrk… suara statik memenuhi mobil.

Lalu terdengar suara penyiar:

"…semua penyintas… harap menjauhi jalur utara. Pangkalan militer di Sernaru masih aktif. Kami ulangi—pangkalan militer Sernaru masih aktif dan menerima penyintas…"

Reno langsung berseru:

"Sernaru… itu gak terlalu jauh dari sini, kan?"

Karin menjawab cepat:

"Kalau kita terus lewat jalur tengah, bisa nyampe sebelum malam."

Sony menggertakkan gigi:

"Ayo. Sebelum tempat itu jadi neraka berikutnya."

Thom mengepalkan tangannya di pangkuan.

"Kita gak boleh gagal. Sernaru mungkin satu-satunya harapan kita."

Mobil mereka berhenti di depan gerbang pangkalan militer Sernaru.

Gerbang besi besar terbuka perlahan setelah pemeriksaan singkat.

Beberapa tentara bersenjata menyambut dan memberi isyarat agar mereka turun.

"Ayo, turun. Ikuti jalur ini," kata seorang prajurit dengan suara tegas namun lelah.

Mereka berempat—Sony, Thom, Reno, dan Karin—ikut berjalan pelan, menatap sekeliling.

Pangkalan itu penuh orang.

Wajah-wajah murung, pakaian lusuh, sebagian hanya duduk bersandar di dinding, menatap kosong.

Tangisan anak kecil terdengar samar.

Aroma kelelahan dan putus asa menggantung di udara.

Di salah satu sisi, militer bekerja cepat.

Ada ruang kendali kecil dengan beberapa komputer dan layar besar yang menampilkan peta wilayah, grafik penyintas, dan titik-titik merah—kemungkinan area penyebaran zombie.

Karin berbisik:

"Mereka sibuk banget. Seperti lagi nyiapin sesuatu…"

Sony memandangi para tentara di depan komputer.

"Ini lebih dari sekadar tempat perlindungan… kayaknya mereka lagi nyusun rencana."

Thom menggenggam tongkatnya erat, matanya mengitari sekitar.

"Semoga ini bukan mimpi."

Reno menambahkan pelan:

"Atau mimpi buruk yang baru dimulai."

Di dalam salah satu ruangan yang lebih tertutup, mereka berempat dipanggil oleh seorang pria berseragam penuh, berwajah keras namun penuh tekanan.

Di dadanya tertulis: Komandan Raka.

Komandan Raka berdiri di depan papan strategi, menatap mereka dengan tajam.

"Kami butuh bantuan. Jumlah militer menipis. Banyak yang gugur. Kami sedang membentuk tim relawan untuk turun langsung ke lapangan."

Sony melangkah maju sedikit.

"Maksud bapak… kami ikut bertarung?"

Raka mengangguk.

"Kalian muda. Kalian selamat sejauh ini, artinya kalian tahu cara bertahan. Kami tidak akan paksa, tapi jika kalian mau—kami beri pelatihan, senjata, dan tempat layak di sini. Kami butuh kalian."

Thom menelan ludah, saling pandang dengan Reno dan Karin.

"Gue bukan tentara…"

Komandan Raka menatapnya lurus.

"Sekarang bukan soal siapa tentara, siapa bukan. Ini soal bertahan hidup. Jika pangkalan ini tumbang, semua harapan hilang."

Karin menyandarkan kapaknya di bahu.

"Kalau itu pilihan satu-satunya… gue ikut."

Reno menarik napas panjang.

"Gue gak bisa diem doang… gue ikut juga."

Sony menoleh ke Thom.

"Gimana, bro?"

Thom menggenggam tongkat bassball-nya yang kini dililit kawat.

"Kita mulai kapan?"

Komandan Raka sedikit tersenyum.

"Besok pagi. Kalian istirahat dulu malam ini. Selamat datang di barisan depan."

Malam itu langit mendung. Api unggun kecil menyala di halaman tengah pangkalan militer Sernaru.

Thom duduk sendirian di bangku kayu, tongkat bassball-nya disandarkan di lutut. Tatapannya kosong menatap api yang menari-nari.

Suasana hening, hanya terdengar suara jangkrik dan gemeretak kayu terbakar.

Langkah kaki perlahan terdengar mendekat. Seorang pria berseragam lusuh, wajahnya letih tapi ramah, duduk di sebelah Thom.

Namanya Miko. Di bajunya, tanda pangkat terlihat hampir lepas.

"Gak bisa tidur?" tanya Miko, menatap api.

Thom mengangguk pelan. "Kepikiran… banyak hal."

Miko tersenyum samar. "Aku juga. Sudah dua minggu di sini. Lihat teman-teman gugur satu-satu. Kadang aku tanya ke diriku sendiri, kenapa masih hidup?"

Thom menunduk. "Aku kehilangan orangtuaku. Sekarang aku cuma punya kakak, dua teman, dan tongkat ini."

Ia menunjuk tongkat bassball-nya dengan kawat yang mulai berkarat di ujungnya.

Miko menarik napas. "Itu udah cukup untuk terus maju, Nak. Perang ini bukan cuma soal tembak-menembak. Ini soal hati yang gak nyerah."

Thom menoleh. "Lo kenapa masih bertahan?"

Miko tersenyum miris. "Aku pernah janji ke istri dan anakku… kalau dunia ini hancur, aku bakal tetap lawan, biar mereka bisa hidup di dunia yang lebih baik."

Hening sesaat. Thom menatap api unggun. Lalu ia berkata pelan:

"Besok aku turun ke lapangan. Kalau aku gugur, aku pengen ingatan tentang mereka tetap ada."

Miko menepuk bahu Thom. "Kalau begitu, jangan gugur. Bertahanlah. Biar ingatan itu kamu bawa sampai akhir."

Mereka berdua duduk diam, hanya ditemani suara api yang semakin mengecil.