War Of The Dead

Pagi di pangkalan militer Sernaru terasa lebih tegang dari biasanya. Matahari baru menyinari pegunungan di kejauhan saat Thom, Sony, Reno, dan Karin sudah berdiri berjejer bersama beberapa orang lainnya di lapangan pelatihan.

Ternyata ada lebih banyak penyintas muda yang mendaftar jadi relawan. Salah satunya membuat Reno memicingkan mata.

"Eh… itu… bukannya si Vian?"

Thom menoleh dan mengangguk. "Iya… temen sekelas kita."

Vian mengenakan pakaian militer yang sedikit kebesaran. Ia melihat mereka dan langsung melambai. "Woy! Kalian juga daftar?"

"Kayaknya bukan karena pengen, tapi karena gak ada pilihan," sahut Reno dengan cengiran miris.

Tak lama kemudian, dua orang berseragam lengkap berjalan ke depan barisan. Salah satunya adalah pria yang semalam berbincang dengan Thom—Letnan Miko. Di sebelahnya, seorang pria lebih tinggi dan lebih kaku, dengan wajah dingin dan suara tegas.

"Nama saya Letnan Guntur," katanya keras. "Mulai hari ini kalian bukan lagi penyintas biasa. Kalian adalah calon tim penyusup. Pelatihan ini bukan main-main. Kalian akan belajar bertahan hidup… dan membunuh."

Letnan Miko melanjutkan dengan nada sedikit lebih lunak. "Kami tahu ini berat. Tapi ini satu-satunya cara agar kalian bisa tetap hidup… dan menyelamatkan orang lain."

Sony menoleh ke Thom. "Lo siap?"

Thom mengangguk pelan. "Harus."

"Latihan pertama: ketahanan fisik!" teriak Letnan Guntur. "Lari keliling lapangan 10 putaran. Sekarang!"

Tanpa banyak protes, semua langsung berlari. Reno langsung ngos-ngosan di putaran kedua. Vian lari sambil ngeluh. "Anjir, ini lebih parah dari lari keliling sekolah!"

Karin hanya diam dan fokus. Thom menahan napasnya, mencoba tetap stabil.

Sementara itu, Letnan Guntur mengamati sambil mencatat. "Kita lihat siapa yang punya mental baja."

Di tengah putaran kelima, saat semua mulai kehabisan napas dan keringat bercucuran, Reno yang sudah ngos-ngosan malah mulai bertingkah. Ia menyenggol Vian sambil bercanda, "Woy, jangan lari kayak zombie, ketularan nanti lo."

Vian tertawa kecil, tapi langkahnya nyaris oleng. Reno lanjut iseng, pura-pura mendorong Thom dari belakang.

"Hati-hati ada zombie di belakang lo, Thom!"

Thom menoleh dengan ekspresi setengah sebal, setengah geli. Tapi belum sempat membalas, suara keras menggema dari sisi lapangan.

"Reno!" suara Letnan Miko mengguntur.

Semua sontak berhenti. Reno langsung tegak, kaku seperti tiang bendera.

Letnan Miko berjalan cepat mendekat, tatapannya tajam. "Kau pikir ini main-main? Di luar sana, teman-teman kami mati diterkam! Kalau kau bercanda saat latihan, maka kau akan jadi beban dalam misi!"

Reno menunduk. "Maaf, Pak..."

"Satu putaran tambahan, sendirian!" kata Miko tegas. "Dan semua yang ikut ketawa, satu set push-up sekarang juga!"

Beberapa yang tadi tertawa langsung merutuk pelan sambil tiarap. Thom ikut push-up dengan wajah datar, sementara Vian meringis, "Reno... thanks, bro."

Sony hanya menggeleng sambil duduk istirahat sejenak. Karin, di sisi lain, tetap tenang, tak bergeming sejak awal.

Selesai push-up, Thom menoleh ke Reno yang lari sendirian. "Capek gak tuh gara-gara gaya?"

Reno menjulurkan lidah. "Biarin, yang penting seru."

Letnan Guntur memandangi mereka dari jauh, lalu bicara pelan ke Miko.

"Kelompok ini… berisik. Tapi mungkin mereka punya potensi."

Suasana lapangan pelatihan mulai mereda. Mentari sore menyorot hangat saat para peserta diberi waktu istirahat. Thom, Reno, dan Vian duduk melingkar di atas tanah, sebotol air mineral kosong di tengah-tengah mereka.

Reno meletakkan botol itu di telapak tangannya, lalu melemparnya sedikit ke udara. Botol itu berputar—dan… berdiri tegak!

"WOOOOOYY!!" Reno melonjak, mengangkat tangan ke udara. "GUE MENANG!"

Vian tertawa sambil menepuk tanah. "Anjir! Padahal udah tiga kali gue coba!"

Thom tertawa sampai memegangi perutnya. "Gila, Reno… ini kamp militer, bukan sirkus!"

Tapi semua tetap tertawa. Suasana tegang pelatihan mengendur, berubah jadi tawa remaja biasa yang sejenak lupa bahwa dunia di luar sedang hancur.

Dari kejauhan, Letnan Guntur berdiri diam. Matanya tertuju pada Thom—yang tertawa paling keras, tapi tetap terlihat waspada, memperhatikan sekeliling, bahkan sambil bercanda.

Di sebelah Guntur, Letnan Miko menyilangkan tangan di dada.

"Anak itu…" katanya pelan, "punya potensi lebih dari yang kita kira. Dia cerdas. Gerakannya cepat, dan tahu cara baca situasi."

Guntur mengangguk. "Tapi dia masih labil. Terlalu emosional."

"Maka tugas kita membentuknya," jawab Miko. "Kalau dia bertahan… mungkin dia bisa jadi pemimpin."

Di bawah cahaya sore yang mulai redup, tawa Thom dan teman-temannya terus menggema, menyisakan sedikit kehangatan dalam dunia yang sudah mulai kehilangan harapannya.

Miko melangkah ke tengah lapangan dengan langkah tegas. Ia menepuk tangannya keras hingga semua mata memandang ke arahnya.

"Baik! Latihan belum selesai. Siapkan formasi barisan sekarang juga!"

Beberapa peserta tampak lelah, tapi tetap berdiri dan membentuk barisan sesuai instruksi.

Vian, yang sedang duduk selonjoran, mengangkat tangan, "Letnan, ini udah sore. Apa nggak ada istirahat dulu?"

Miko menatap tajam, "Zombie tidak menunggu kalian istirahat. Kalau kalian mau bertahan hidup, kalian harus lebih siap dari mereka."

Vian hanya mengangguk dan segera berdiri.

Thom berdiri tegak. Peluh mengalir di pelipisnya, wajahnya serius dan tubuhnya masih tegang meski sudah jelas kelelahan.

Reno menyikut lengan Thom pelan, "Bro, tuh Karin ngeliatin lo terus dari tadi."

Thom melirik cepat ke arah barisan perempuan. Benar saja, Karin berdiri di sana, matanya sempat tertuju ke arahnya. Saat tatapan mereka bertemu, Karin cepat-cepat mengalihkan pandangan. Thom tersenyum kecil, tapi langsung kembali fokus.

"Simulasi pertahanan malam ini," Miko mengumumkan. "Karena kalian belum diajari senjata api, kita pakai tongkat kayu. Anggap ini senjata kalian. Fokus pada strategi, kerja tim, dan keberanian."

Beberapa prajurit membagikan tongkat-tongkat kayu ke peserta. Thom menerima satu, menggenggamnya erat. Reno memutarnya ringan di tangan, pura-pura jagoan.

"Simulasi ini akan berlangsung sepuluh menit. Anggap kalian berada di sebuah kamp dan zombie menyerang dari segala arah. Fokus, tetap bersama tim, dan jangan panik."

"TIGA… DUA… SATU… MULAI!"

Tiba-tiba suara alarm simulasi meraung, lampu-lampu temaram dinyalakan untuk menciptakan suasana malam. Dari sudut lapangan, para pelatih dengan masker zombie menyerbu, membuat suasana benar-benar mencekam.

Thom menyiapkan posisi. Matanya menyipit, siap menghadapi serangan pertama.

Simulasi dimulai.

Suasana jadi gelap dengan pencahayaan minim. Lampu-lampu lapangan hanya menyala sebagian, cukup menciptakan bayangan menyeramkan. Asap tipis dari pembakar menambah kesan mencekam.

Peserta mulai bergerak gugup, mencoba menyusun formasi. Beberapa sudah panik, tongkat tergenggam kaku di tangan.

Dari balik asap, muncul dua "zombie"—pelatih berpenampilan seram—berlari menyerbu ke arah peserta.

Vian menjerit kecil, hampir terpeleset. Reno buru-buru menariknya ke samping.

Thom berdiri di tengah, tubuhnya setengah membungkuk, posisi siaga.

"Reno! Kiri lu! Cover Vian!" teriaknya cepat.

Reno langsung patuh. Tanpa berpikir panjang, Thom mengayunkan tongkat ke arah "zombie" yang mendekat dari depan. Pukulan Thom bersih, tepat di bahu. Pelatih itu mundur beberapa langkah, memberi sinyal bahwa "zombie" itu 'dihentikan'.

Letnan Miko mengamati dari pinggir lapangan, matanya tajam menilai. Guntur berdiri di sebelahnya, menyilangkan tangan.

"Anak itu cepat menangkap situasi," gumam Miko.

"Dan instingnya bagus," tambah Guntur, angguk kecil.

Thom tidak hanya bertahan, tapi mulai memimpin.

"Bentuk lingkaran! Jangan nyerang sendirian!"

Peserta lain mulai mengikuti. Dengan aba-aba cepat, Thom membagi posisi. Saat tiga zombie menyerbu dari kanan, ia langsung lompat ke depan, mengayun tongkat ke lutut "zombie" dan satu lagi ke bahu. Keduanya tumbang.

Karin yang berdiri di sisi lain menoleh, sempat melongo melihat aksi Thom. Ia mulai bergerak membantu, menghalau satu zombie ke belakang.

Saat simulasi hampir berakhir, semua peserta sudah kelelahan. Tapi Thom berdiri paling depan, tubuhnya penuh keringat, matanya tetap tajam. Napasnya berat, tapi ia tidak menyerah.

"WAKTU HABIS!" teriak Miko.

Semua langsung terduduk atau berjongkok. Beberapa mengeluh. Tapi suasana berubah saat Miko melangkah maju.

"Dari semua di sini…" katanya keras, "…satu orang yang paling menonjol hari ini: Thom."

Thom menoleh, tak percaya namanya disebut.

"Kau punya jiwa pemimpin. Cepat membaca situasi. Dan yang paling penting—kau peduli pada timmu."

Reno menepuk bahunya. "Gokil bro, lo naik pangkat!"

Thom hanya tersenyum kecil, matanya melirik ke arah Karin—yang terlihat juga tersenyum samar.

Guntur mendekat ke Miko. "Kita butuh lebih banyak orang seperti dia."

Miko mengangguk. "Kita akan uji dia lebih jauh nanti."

akhir simulasi Saat semua mulai duduk beristirahat, Letnan Guntur melangkah ke tengah lapangan. Ia membawa papan kecil berisi catatan evaluasi latihan.

"Satu lagi," katanya, suaranya berat namun tegas. "Sony."

Sony yang sedang duduk menyender sambil mengelap peluh langsung menoleh.

"Kau tidak menonjol dalam serangan. Tapi kau mengatur formasi, mengingatkan mereka untuk tidak panik, dan menjaga bagian belakang tim tetap aman." Guntur melirik ke arah Reno dan Vian. "Beberapa dari kalian mungkin tidak sadar—kalau bukan karena Sony, kalian udah 'mati' dua kali."

Reno terdiam. Vian menunduk, sadar tadi memang sempat terbantu.

Sony mengangguk kecil. "Saya hanya mencoba mencegah mereka dari bikin kesalahan fatal."

Letnan Miko ikut bicara. "Strategi tenang dan kontrol situasi seperti itu—jarang ada di usia muda. Kau dan adikmu adalah kombinasi yang menarik. Pemimpin dan pelindung."

Thom menoleh ke Sony. Mereka saling pandang dan tersenyum kecil. Tak ada kata, tapi mereka tahu: mereka saling melengkapi.

Reno, yang sedang duduk sambil meneguk air, nyeletuk:

"Gila, dua kakak-beradik dijadiin sorotan. Besok jangan sombong ya."

Sony lempar botol kosong ke Reno, yang langsung cekikikan.

Karin ikut senyum, lalu berbisik ke Thom,

"Kalian berdua keren. Serius."

Thom cengengesan. "Ya... kadang."

Malam mulai turun. Pelatihan hari itu berakhir. Tapi dari cara para letnan memandang mereka, semuanya tahu: Thom dan Sony baru saja menarik perhatian besar di mata militer.

Letnan Miko berdiri di tengah lapangan dengan clipboard di tangan, menatap para peserta pelatihan yang mulai duduk kelelahan.

"Kalian semua menunjukkan sesuatu hari ini," katanya sambil berjalan perlahan. "Dan bukan cuma Thom dan Sony."

Ia berhenti di dekat Karin.

"Karin, kemampuan menembakmu presisi dan cepat. Seperti sudah terbiasa."

Karin menatapnya, diam, hanya mengangguk kecil.

"Punya latar belakang?" tanya Miko.

"Ayahku dulu tentara. Aku ikut dia latihan sejak kecil," jawabnya singkat.

Miko mengangguk. "Kelihatan."

Lalu ia menoleh ke arah Reno dan Vian yang duduk bersandar di pohon, masih terengah.

"Dan kalian berdua—Reno, Vian. Kalian mungkin paling banyak bicara dan bercanda, tapi ternyata paling berani jadi umpan. Tanpa kalian, kelompok ini nggak bisa bergerak bebas."

Reno mengangkat tangan dengan senyum puas.

"Gue emang cocok buat bikin kekacauan, Letnan!"

Vian tertawa. "Yang penting zombie-nya tertarik, bukan cewek ya Ren."

Semua tertawa kecil. Bahkan Guntur yang biasanya kaku, tersenyum sedikit.

Miko melanjutkan,

"Kalian semua bukan hanya penyintas sekarang. Kalian calon pejuang. Tapi ingat—berani saja nggak cukup. Fokus, kerja tim, dan taktik itu yang menyelamatkan kalian."

Ia menatap seluruh kelompok satu per satu.

"Mulai besok, kalian akan ikut simulasi medan sungguhan. Bersiaplah."

Semua menegang. Thom menatap Sony, dan Sony mengangguk ringan. Karin mengecek pelurunya. Reno dan Vian langsung duduk tegak seperti habis disemprot.

Pelatihan hari itu berakhir, tapi semua tahu… besok, semuanya akan berubah.

Setelah pelatihan selesai, para peserta dibubarkan untuk membersihkan diri dan bersiap makan malam.

Thom, Sony, Reno, dan Vian berjalan beriringan menuju kamar mandi pria. Suasana agak ramai, penuh suara tawa dan keluhan kelelahan.

"Gue pegel semua, sumpah," kata Vian sambil membuka kausnya yang penuh debu.

Reno nyengir, "Ya iyalah, tadi lari kayak dikejar mantan."

Sony hanya menggeleng sambil menyiram wajahnya. "Jangan banyak omong, mandi cepetan."

Thom berdiri di bawah pancuran, membiarkan air dingin mengguyur tubuhnya. Ia memejamkan mata, membiarkan pikirannya kosong sejenak, sebelum mendengar suara Reno teriak,

"Airnya dingin banget anjirr!"

Semua tertawa lelah tapi lega.

Di sisi lain kamp, Karin berjalan bersama beberapa wanita lain menuju tempat pemandian khusus perempuan. Ia masih memegang senjatanya, belum terlalu percaya tempat ini benar-benar aman.

Seorang gadis muda dengan rambut dikepang menghampirinya.

"Hai, aku Kylie. Kamu baru ya? Ayo, bareng aku aja bersihin diri. Airnya masih lumayan hangat," katanya ramah.

Karin mengangguk singkat. "Karin."

Mereka mandi dan berganti pakaian bersih yang disediakan kamp. Meski suasananya jauh lebih tenang dari luar sana, aroma waspada masih terasa.

Saat malam tiba, semua peserta pelatihan berkumpul di aula makan sederhana. Meja panjang dari kayu, lampu minyak menggantung di tengah. Suara sendok dan garpu menggema, mencampur dengan tawa pelan dan obrolan ringan.

Thom, Sony, Reno, Vian, dan Karin duduk satu meja. Kylie juga bergabung, duduk di samping Karin.

"Kayak makan di asrama militer beneran," kata Vian sambil mengunyah cepat.

Reno mengangkat gelas airnya, "Yang penting bukan daging zombie."

Sony menatap sekeliling, memastikan semuanya masih aman.

"Besok kita harus lebih siap. Ini belum apa-apa."

Thom mengangguk pelan, menatap Karin yang juga diam memandangi makanannya.

Di antara sorotan lampu minyak dan suara peralatan makan yang mulai mereda, Thom masih diam, memandangi piringnya yang hampir kosong. Sesekali ia melirik ke arah Karin, yang tampak tenang tapi matanya terus mengawasi ruangan.

Akhirnya, Thom membuka suara, suaranya pelan tapi jelas,

"Rin… bokap lo militer, ya?"

Karin berhenti mengaduk nasinya, menoleh pelan ke Thom.

Sejenak ia tak menjawab, hanya menatap mata Thom, seperti menimbang.

"Iya," jawabnya akhirnya.

"Dulu, sebelum… semua ini."

Reno dan Vian yang tadinya ngobrol kecil langsung menoleh, ikut tertarik.

"Pantes lo jago nembak," kata Sony pelan.

Karin hanya mengangkat bahu. "Dia ngajarin sejak kecil. Bukan buat ikut-ikutan perang… tapi buat bertahan."

"Dia masih hidup?" tanya Thom lagi, suara sedikit lebih pelan.

Karin menunduk, jemarinya mencengkeram sendok.

"Gue nggak tahu. Terakhir ketemu dia pas awal kekacauan. Dia bilang gue harus kabur, nyari tempat aman. Setelah itu... nggak pernah ketemu lagi."

Sunyi. Hanya suara rintik hujan kecil di luar tenda makan.

Reno mencoba memecah keheningan, "Yah, kalau lo bisa nembak dan bokap lo militer… berarti lo bakal jadi pemimpin kita dong."

Karin menatap Reno, lalu tersenyum tipis. "Nggak. Pemimpin kita ya orang yang bisa jaga semua tetap hidup. Siapa pun itu."

Thom menatap Karin sesaat, lalu mengangguk pelan.

Kylie menatap Thom dengan kening berkerut, lalu tersenyum kecil.

"Nama lo Thom, kan? Kita bukannya pernah ketemu ya?"

Thom yang tadinya diam, langsung mendongak. Matanya menatap Kylie dengan ragu, seperti mencoba mengingat.

Tiba-tiba Reno menepuk meja dengan semangat dan berdiri, membuat beberapa orang di sekeliling kaget.

"Gue tahu! Lo mantannya Thom, bukan sih?!" katanya dengan suara agak keras.

Suasana meja langsung sunyi. Semua melirik ke arah mereka.

Thom menjatuhkan sendoknya tanpa sadar, bunyinya nyaring. Ia menatap Kylie lebih dalam, lalu matanya melebar sedikit.

"Oh... ya. Betul."

Tanpa menunggu reaksi lain, Thom langsung berdiri dari kursinya dan pergi begitu saja, melewati meja-meja lain menuju pintu keluar.

Reno masih berdiri, menggaruk kepalanya sambil melihat ke arah kepergian Thom.

"Pantesan gue dari awal kayak pernah lihat, cuma... sekarang rambut lo panjang."

Karin yang dari tadi diam hanya menatap Kylie dengan mata menyipit, lalu kembali menunduk ke makanannya.

Sony mendengus pelan,

"Drama zaman kiamat, ya tetep aja drama."

Kylie menatap ke arah pintu keluar, senyumnya tipis dan agak getir.

"Dunia kecil banget, ya."

Thom duduk sendiri di bangku kayu yang ada di dekat tenda. Lampu gantung kecil dari pangkalan militer menggantung redup di atasnya. Angin malam meniup pelan, membawa aroma asap dari dapur lapangan.

Ia menunduk, kedua tangannya memegang wajahnya sendiri.

"Ah, malu banget gue..." gumamnya.

"Putus sama dia... cuma karena hal sepele."

Thom menarik napas panjang, lalu menatap langit gelap.

"Gue waktu itu ngerasa dia terlalu dewasa buat gue. Terlalu mandiri. Dan gue... gue kayak anak-anak yang belum ngerti apa-apa."

Ia tertawa kecil, getir.

"Gue takut ditinggalin, malah gue yang mutusin duluan."

Ia menatap ke tanah, jari-jarinya mencakar pelan lantai kayu.

"Dan sekarang, ketemu lagi... di dunia kayak gini."

Langkah kaki terdengar pelan dari arah belakang. Thom langsung duduk tegak, tapi tak menoleh.

"Kalau lo mau sendiri, bilang aja..." suara Sony, tenang seperti biasa.

Thom mengangguk pelan.

"Gue cuma butuh waktu. Biarin dulu."

Sony duduk di sebelahnya tanpa bicara. Keduanya menatap ke depan, ke arah kegelapan malam yang sunyi.

Sony menoleh pelan, lalu tanpa peringatan langsung menjewer telinga Thom.

"Aduh! Aduh bang!" Thom refleks menunduk, berusaha lepas dari cengkeraman kakaknya.

"Dasar bocah SMA! Udah tahu dunia lagi kiamat, masih sempat-sempatnya galau urusan cinta!" omel Sony, wajahnya penuh kesal tapi jelas nada itu penuh sayang.

"Bang, itu mantan gue!" bantah Thom sambil masih pegang telinganya yang merah.

"Justru itu! Mantan! Udah lewat. Fokus sekolah dulu lo, bego! Atau sekarang ganti, fokus ngelawan zombie!"

Thom cengengesan, lalu berkata,

"Ya setidaknya gue nggak jadi zombie cinta..."

Sony mendengus, lalu bangkit berdiri.

"Gue tinggal lo di sini, jangan drama lagi. Besok latihan lagi, paham?!"

"Siap, komandan cinta," kata Thom sambil memberi hormat bercanda.

Sony menggeleng cepat, lalu berjalan pergi. Thom menatap punggung kakaknya dan tersenyum sendiri, rasa galau tadi sedikit menghilang karena kehadiran kakaknya.

Malam itu, di dalam tenda komando, Komandan Raka duduk di depan meja besar dengan peta dan daftar nama di hadapannya. Di sisi kanan berdiri Letnan Guntur, dan di kiri Letnan Miko. Lampu tenda redup, hanya menyala cukup untuk membuat suasana terasa serius.

"Kita harus pilih siapa yang layak turun lapangan dalam misi penyelamatan di utara Waemata," kata Raka sambil mengetuk meja dengan jari telunjuknya.

Guntur mengangguk. "Anak bernama Thom. Dia punya refleks bagus. Waktu simulasi senjata, dia cepat tanggap."

"Sony juga. Walau kakaknya Thom, tapi dia bisa jaga stabilitas mental tim. Lebih dewasa," tambah Miko.

"Karin juga masuk daftar saya," lanjut Guntur. "Dia punya insting menembak yang luar biasa, bahkan sebelum kita ajarkan cara menembak senapan laras panjang."

Komandan Raka menyipitkan mata. "Gadis itu latar belakangnya misterius. Siapa namanya tadi? Karin?"

"Iya, komandan. Belum ada data soal dia. Tapi kemampuan lapangannya jelas," ujar Miko.

Di luar tenda, samar-samar terdengar suara langkah kecil. Di balik tirai tenda belakang, Karin berjongkok, menguping pembicaraan. Nafasnya ditahan, telinganya fokus.

"Dan satu lagi," kata Raka, "Reno dan Vian. Mereka memang agak ceroboh, tapi dalam beberapa simulasi, mereka ahli mengalihkan perhatian zombie. Kita butuh orang-orang seperti itu untuk taktik pengalihan."

Karin mengangkat alis sedikit. Ia tak menyangka mereka benar-benar memperhatikan tiap peserta.

"Baik, kita pantau terus selama seminggu ke depan. Baru kita tentukan siapa yang masuk tim utama," kata Raka.

Karin buru-buru mundur perlahan, menjauh dari tenda dengan hati-hati agar tidak ketahuan.

Karin membuka kain pintu tenda perlahan. Di dalam, Thom, Sony, Reno, dan Vian sedang duduk melingkar di atas matras, masing-masing sibuk dengan aktivitas santai—Vian memainkan korek api, Reno memegang komik lusuh yang ditemukan dari salah satu truk logistik, Thom melamun sambil mengikatkan tali ke tongkatnya, dan Sony sedang membersihkan sepatunya.

"Eh, lo dari mana, Rin?" tanya Reno tanpa menoleh.

Karin masuk dan duduk. Ia terlihat sedikit gelisah, tapi mencoba bersikap tenang. "Cuma jalan sebentar. Nyari udara."

Thom melirik. "Keliatannya bukan cuma cari udara. Lo nguping ya?"

Karin menatap Thom cepat, lalu pura-pura sibuk membetulkan tali sepatunya. "Gue denger sedikit… soal kalian masuk daftar buat tim misi penyelamatan."

Vian mendadak duduk tegak. "Serius? Gue? Dibilang layak?"

Reno nyeletuk, "Anjay, jadi artis zombie nih kita."

Sony menatap Karin tajam. "Apa lagi yang lo denger?"

Karin mendesah. "Komandan Raka, Letnan Miko, dan Guntur. Mereka bahas kalian semua. Thom, Sony, Reno, Vian… dan gue juga."

Thom bertanya pelan, "Dan? Apa yang mereka putuskan?"

Karin menjawab lirih. "Mereka bakal evaluasi seminggu ke depan sebelum milih siapa yang turun ke misi besar. Tapi dari nada bicara mereka... kalian semua punya peluang besar."

Tenda hening sejenak.

Reno berseru, "Wah gila. Ini kayak mau masuk skuad elite. Tapi serem juga ya."

Thom bangkit berdiri, menatap keluar tenda. "Kalau kita terpilih, artinya nyawa kita dipertaruhkan. Tapi… mungkin ini satu-satunya cara kita bisa bantu yang lain."

Sony menepuk pundak adiknya. "Kalau kita turun, kita turun bareng."

Vian dan Reno berseru bersamaan, "Tim Zombie Hunter!"

Karin tersenyum kecil. Dalam hatinya, ia tahu—mereka bukan cuma penyintas, mereka sudah jadi tim.