Pagi hari di lapangan pelatihan.
Langit masih berkabut, matahari baru mulai naik. Para peserta sudah berbaris rapi di depan meja panjang yang dipenuhi senjata—senapan laras panjang, pistol, dan beberapa peluru karet. Letnan Miko dan Letnan Guntur berdiri di depan mereka dengan tatapan tajam.
Letnan Miko melangkah ke depan.
"Latihan hari ini: menembak. Fokus, kontrol napas, dan presisi. Di dunia luar, satu peluru bisa menentukan hidup atau mati. Kalian nggak boleh sembrono."
Letnan Guntur menambahkan, "Buat kalian yang belum pernah megang senjata… tenang. Kita mulai dari dasar."
Giliran pertama: Thom.
Ia maju, sedikit gugup, tapi matanya tajam. Letnan Miko memberikan instruksi singkat, lalu Thom membidik target kayu berjarak 20 meter.
DOR!
Tembakan pertama meleset, tapi hanya sedikit di kiri. Thom menarik napas, membetulkan posisi tangan.
DOR!
Peluru kedua tepat di dada target.
Miko mengangguk. "Cepat belajar. Fokus bagus."
Giliran Sony.
Sony tampak lebih tenang. Sekali bidik, dua peluru tepat di tengah.
Guntur tersenyum samar. "Disiplin dan insting. Bagus."
Reno maju dengan gaya sok percaya diri.
Ia membidik…
DOR! —kena kaki target.
DOR! —melenceng jauh.
Semua tertawa, termasuk Vian. Reno berseru, "Aduh ini pistolnya kayaknya yang bengkok!"
Miko menegur, "Ini bukan ajang komedi, Reno. Ulangi!"
Giliran Karin.
Ia mengambil posisi, dan—DOR! DOR!
Dua tembakan akurat, cepat, dan tenang. Tanpa ekspresi.
Letnan Guntur terkesan. "Refleks alami. Dia seharusnya jadi penembak jitu."
Vian terakhir. Ia terlihat agak tegang, tapi berhasil menembak cukup baik.
"Satu di dada, satu di bahu target."
Sebelum semua dibubarkan, Letnan Guntur melangkah ke sisi lain lapangan.
"Kalian yang baru latihan sore tadi—Kylie, Dira, Niken, dan lainnya, maju ke depan."
Kylie maju, rambutnya dikuncir tinggi, wajah serius.
Ia mengambil senjata dan bersiap. Di belakangnya, Niken dan Dira juga mengambil posisi.
DOR! DOR! DOR!
Tembakan demi tembakan dilepas. Hasilnya bervariasi, tapi Kylie terlihat paling stabil.
Letnan Guntur berkata:
"Kelompok ini akan digabungkan dengan unit utama untuk simulasi lusa. Latihan belum selesai. Kalian semua akan tidur dengan senjata di samping kalian. Anggap saja... besok bisa jadi hari terakhir."
Kylie menoleh ke arah Thom sejenak, matanya menantang.
Thom membalas dengan senyum tipis, dan Sony berbisik, "Kita bukan satu-satunya yang serius di sini."
Karin hanya melirik Kylie sebentar, lalu kembali fokus menyiapkan senjatanya.
Letnan Miko memberi aba-aba.
"Semua bubar. Istirahat. Lusa kita perang mainan. Tapi jangan kaget kalau besok perang beneran datang duluan."
Peserta mulai bubar, suasana hening tapi tegang.
Malam itu, api unggun menyala hangat di tengah lapangan.
Langit mendung, tapi belum turun hujan. Para peserta duduk melingkar, sebagian masih mengenakan seragam latihan yang basah oleh keringat. Letnan Miko berdiri tegap di tengah lingkaran.
"Santai dulu, ini belum perang. Lusa baru kalian rasakan simulasi serangan. Malam ini, kita pelajari yang paling dasar tapi vital—manajemen peluru."
Ia membuka kotak logam, memperlihatkan beberapa magasin dan peluru.
"Ini 5.56mm. Kecil, tapi bisa menyelamatkan hidup lo kalo lo tahu cara gunainnya."
Satu per satu, ia tunjukkan cara mengisi magasin.
"Tekan bagian belakang peluru ke bibir magasin, dorong masuk. Jangan paksa kalau udah penuh."
Thom fokus memperhatikan, Sony menyenggol Reno yang masih kebingungan.
"Lo bukan ngisi slot memory, Ren. Ini bukan game."
Karin udah selesai duluan. Kylie juga.
Kylie menyeringai, "Yah, nggak sia-sia ikut latihan panahan dulu."
Letnan Guntur ikut nimbrung dan menjelaskan cara mengeluarkan peluru serta mengamankan senjata.
"Ini penting. Banyak pemula yang kena senjata sendiri cuma karena lalai. Di medan yang sesungguhnya, itu bisa bunuh orang."
Setelah semua mencoba, Letnan Miko menutup sesi:
"Lusa, kalian bakal ikut simulasi serangan malam. Gelap, sempit, tekanan tinggi. Tapi malam ini, kalian tidur, simpan di kepala semua yang kalian pelajari. Karena begitu simulasi dimulai, nggak ada waktu buat mikir."
Mereka bubar perlahan, sebagian masih ngobrol kecil. Thom menggantungkan senjatanya di bahu, memandangi api unggun sesaat sebelum balik ke tenda.
Malam itu, suasana pangkalan militer tampak tenang di permukaan, tapi Thom merasa ada yang aneh.
Ia duduk sendiri di bangku kayu tua dekat pagar besi yang mengelilingi kompleks. Api unggun dari latihan tadi sudah mulai padam, menyisakan bara. Dari kejauhan, suara jangkrik bercampur angin malam terdengar lirih.
Thom menatap keluar pagar.
Beberapa zombie berdiri diam di luar sana. Tidak bergerak maju. Tidak menggeram. Hanya... berdiri.
"Aneh..." gumamnya. Biasanya mereka akan menggila begitu mencium bau manusia. Tapi ini berbeda.
Zombie-zombie itu seperti tertahan.
Bukan oleh pagar. Tapi seperti oleh sesuatu yang tak terlihat.
Thom berdiri, mendekati kawat.
Angin malam membuat rambutnya berantakan. Ia memperhatikan lebih seksama. Mata zombie itu menatap lurus. Tapi bukan ke arah pangkalan. Melainkan ke arah... langit.
"Apa mereka... takut?" Thom bertanya dalam hati.
Tiba-tiba suara langkah kaki pelan menghampiri.
Sony.
"Ada apa, bro?"
Thom mengangguk ke arah luar pagar.
"Lihat deh... mereka diem. Kayak... nunggu sesuatu."
Sony menyipitkan mata. "Atau mereka tahu kita bakal keluar lusa?"
Thom tidak menjawab. Tapi pikirannya terus bertanya-tanya.
Apa yang sebenarnya terjadi di luar sana?
Dan kenapa zombie-zombie itu... seolah menunggu.
Malam semakin larut, dan pertanyaan itu tetap menggantung di kepala Thom.
Sesuatu akan terjadi. Dan mereka harus siap.
Malam pun tiba. Hari yang ditunggu datang—malam simulasi serangan, atau seperti yang biasa mereka sebut, "perang boneka."
Langit mendung menaungi area latihan. Lampu-lampu di sekitar pangkalan diredupkan, menciptakan suasana mencekam. Beberapa bagian sengaja dibuat gelap total untuk memberi efek realistis.
Letnan Miko berdiri di tengah lapangan dengan megafon di tangan.
"Baik, dengarkan! Ini latihan simulasi serangan malam! Anggap ini situasi nyata. Kalian dibagi menjadi dua tim: Tim Bertahan dan Tim Penyerang. Tujuannya: menguasai titik aman dan bertahan selama 15 menit!"
Thom, Sony, Reno, Karin, dan Vian masuk ke Tim Penyerang.
Sementara Kylie dan beberapa peserta lain berada di Tim Bertahan, bersembunyi dan membuat jebakan di sekitar area "desa buatan" pangkalan.
Mereka diberi senjata mainan—peluru paintball dan granat asap. Tapi ketegangannya nyata.
Adrenalin memuncak, detak jantung berpacu.
"Kita serang dari tiga sisi," bisik Thom.
Sony mengangguk. "Gue dari kiri, Karin dan Vian dari kanan. Lo sama Reno dari tengah."
"Mulai!"
Letnan Guntur meniup peluit. Lampu-lampu padam total.
Simulasi dimulai.
Suara langkah, teriakan perintah, dan letusan paintball memenuhi area. Asap menyebar dari granat latih. Thom merayap melewati semak-semak buatan, Reno di belakangnya.
Di sisi lain, Karin berhasil menyergap satu "musuh" dari balik drum kosong.
Vian tergelincir, tapi berhasil membuat pengalihan saat Sony menyerbu masuk dari belakang.
Thom melihat "titik aman"—sebuah menara kayu kecil dengan bendera di puncaknya.
"Gas!" serunya.
Mereka semua menyerbu bersamaan. Peluru mainan mengenai rompi dan helm. Beberapa tumbang, beberapa tetap melaju.
Akhirnya—bendera tergenggam. Thom mengangkatnya.
"Tim Penyerang menang!"
Sorak sorai kecil terdengar meski mereka kelelahan.
Letnan Miko berjalan ke tengah, menepuk tangan.
"Kalian mulai berpikir seperti tim. Tapi ingat, zombie nggak pake peluru paintball. Mereka datang nggak peduli malam atau siang. Latihan ini belum apa-apa."
Tapi bagi mereka... itu terasa seperti kemenangan pertama.
Dan malam itu, meski penuh lumpur, lebam, dan napas ngos-ngosan—senyum muncul di wajah mereka.
Untuk pertama kalinya, mereka merasa... mungkin mereka bisa bertahan.
Malam itu, udara cukup dingin, tapi langit cerah dipenuhi bintang.
Thom memilih tidur di tengah lapangan, membentangkan jaketnya sebagai alas, dan menatap ke atas. Suara jangkrik bersahutan, sesekali diselingi suara tawa dari tenda-tenda yang masih menyala lampunya.
"Bintang-bintang... akhirnya bisa lihat kalian lagi tanpa asap atau suara sirine," gumamnya.
Tiba-tiba…
"WOI!"
Sony datang sambil menyeret kantong tidur. "Lo kira lo siapa? Tarzan? Tidur di lapangan sendirian!"
"Gue lagi healing, bang," jawab Thom sambil ngakak kecil.
Tak lama, Reno datang dengan bantal di tangan. "Kalau gitu gue ikut healing. Tapi bantal ini punyaku, ya!"
Karin pun muncul sambil membawa termos dan cangkir.
"Minum dulu. Teh manis panas, spesial buat yang sok-sokan jadi anak senja."
Mereka pun rebahan bareng.
Reno menunjuk langit. "Lo liat bintang yang itu nggak? Bentuknya kayak... ayam goreng."
Sony tertawa, "Anjir, lo lapar ya?"
Tiba-tiba, Vian datang sambil guling dan langsung nyeplak,
"Lo semua ngapain tidur ramean kayak anak pramuka yang tersesat?"
Thom tertawa keras, menutup wajah pakai tangan.
"Gue cuma mau sendiri, tapi malah jadi acara camping nasional."
Mereka akhirnya diam sebentar… menikmati malam dan suara alam.
Tapi lalu Reno mulai ngorok.
Sony bangun setengah duduk, "Sumpah, gue lempar nih bantal kalau dia mulai mimpi ngomong."
Dan malam itu pun jadi malam kocak yang tak mereka sangka.
Di tengah dunia yang hancur, di bawah langit yang sama, mereka masih bisa tertawa.
Tak lama kemudian, suara langkah ringan terdengar. Kylie muncul dari arah tenda wanita, mengenakan jaket lusuh dan membawa selimut.
"Wah, asik banget ya... ada camping dadakan di lapangan. Gak ngajak-ngajak," katanya sambil senyum kecil.
Reno langsung duduk, "Lah, lo ngapain ke sini? Ini wilayah cowok-cowok jomblo, lo tau gak?"
Kylie menjawab santai, "Gue denger suara ketawa dari tenda, gue kira zombie lagi joget. Eh ternyata kalian."
Sony melirik Thom, lalu lirih berkata, "Hati-hati, mantan lo nambah lagi tuh."
Thom meninju bahu Sony pelan sambil tertawa, "Apaan sih."
Karin menggeser tempatnya. "Sini Ky, masih ada ruang. Tapi siapin mental, Reno ngoroknya kayak motor mogok."
Kylie duduk, lalu membenamkan diri dalam selimut.
Mereka semua terdiam sebentar, menatap bintang, larut dalam damai yang langka.
Lalu Kylie berkata pelan, "Tau gak... kita kayak anak-anak SMA biasa yang lagi kemping. Kalau bukan karena zombie, kita pasti lagi bahas ujian atau gebetan."
Vian menjawab, "Tapi sekarang yang kita bahas... gimana caranya gak jadi santapan."
Reno berseru, "Atau... gimana caranya bisa ketawa kayak malam ini lagi besok."
Semua setuju, meski tanpa kata.
Malam itu, di bawah langit yang sama, mereka semua jadi satu: bukan hanya penyintas, tapi juga sahabat dalam tawa dan luka.
Thom berguling ke samping, merintih pelan, "Gila... kita tidur di tanah, tanpa alas, gak ada kasur, gak ada bantal. Gila..."
Lalu matanya melirik ke arah Kylie yang sedang duduk santai dengan bantal kecil di pangkuannya.
Dengan gaya sok kasihan, Thom kode-kodean, memijit lehernya pelan sambil melirik bantal itu.
"Duh… kaku banget nih… andai aja ada yang baik hati," ucapnya setengah berbisik tapi jelas-jelas ditujukan ke Kylie.
Kylie mendesah pelan, lalu melemparkan bantal itu ke tanah di sebelah Thom.
"Nih, drama lo kayak sinetron," katanya sambil cengengesan.
Thom langsung senyum lebar, "Terima kasih pemilik hati yang lembut!"
Tapi kemudian, ia memukul pelan wajah Sony, Reno, dan Vian satu per satu.
"Bangun! Minggir! Bantal ini cuma buat gue!"
Sony mengumpat, "Lo mimpi kali!"
Reno garuk kepala, "Apaan sih, anjing…"
Vian setengah tidur, "Ya Tuhan, ambil aja bantalnya, asal jangan nyentuh muka gue lagi..."
Tanpa basa-basi, Thom bangkit dan lari ke tenda, membawa bantal.
"Gue tidur di dalam! Lo semua bau tanah!"
Sony dan Reno langsung berdiri.
"Dasar pengkhianat!"
"Lo gak bisa tidur tenang malam ini!"
Kylie tertawa ngakak, sementara Karin cuma geleng-geleng kepala.
Malam itu jadi penuh suara omelan, tawa, dan rasa hangat di tengah dunia yang sedang runtuh.
Setelah kekacauan kecil yang ditimbulkan Thom mereda, Karin dan Kylie berdiri dari tempat duduk mereka di dekat api unggun.
"Ayo, kita ke tenda. Besok pasti bakal capek lagi," ucap Karin sambil mengibaskan celana trainingnya dari debu.
Kylie mengangguk, tapi masih senyum-senyum sendiri. "Gue gak nyangka Thom masih kayak dulu, selalu bikin rusuh."
Karin menoleh dengan alis terangkat. "Emang dulu kenapa?"
Kylie menyeringai. "Nanti gue cerita. Seru, tapi bikin pengen jitak dia."
Mereka berdua berjalan pelan menuju tenda wanita, melewati beberapa prajurit yang sedang bergiliran jaga malam.
Langit malam masih dipenuhi bintang, dan suara jangkrik serta obrolan pelan dari tenda-tenda lain terdengar samar.
Di antara gelap, ada sedikit rasa aman.
Kylie menarik ritsleting tenda, lalu berkata pelan, "Tidur yuk. Siapa tahu besok kita gak cuma latihan, tapi beneran harus turun ke medan."
Karin mengangguk perlahan. "Iya… dunia udah berubah ya, Ky…"
Mereka masuk tenda, suara ritsleting tertutup perlahan.
Dan malam pun kembali sunyi, seolah memberi jeda sebelum badai berikutnya datang.
Pagi masih gelap, kabut tipis menyelimuti pangkalan militer Sernaru.
Jam menunjukkan pukul 05.00, dan tenda-tenda para peserta latihan masih sunyi.
Thom membuka matanya lebih dulu dari yang lain. Ia duduk di atas matras, menguap sebentar, lalu langsung mengenakan sepatu.
Tanpa suara, ia keluar dari tenda dan mulai berlari mengitari lapangan pelatihan. Napasnya teratur, langkahnya mantap. Setiap putaran, ia menatap langit yang mulai memerah di ufuk timur.
Setelah beberapa putaran, Thom berhenti dan melakukan push-up, sit-up, dan plank. Keringat mulai membasahi pelipis dan punggungnya. Selesai workout, ia mengambil handuk kecil dari dalam tenda lalu menuju ke area kamar mandi militer untuk mandi cepat.
Dari kejauhan, Letnan Guntur berdiri dengan tangan di belakang punggung, memperhatikan.
Wajahnya serius, tapi matanya mengamati Thom dengan penuh penilaian.
"Pagi-pagi sudah panas badan," gumam Letnan Guntur pelan.
"Anak ini… disiplin atau punya beban di kepala?"
Saat Thom keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah dan handuk di pundak, ia tanpa sadar menatap arah Guntur.
Letnan Guntur hanya mengangguk singkat.
Thom membalas anggukan itu, lalu berjalan kembali ke tenda—sendirian, tapi dengan langkah yang lebih yakin dari sebelumnya.
Suasana pagi itu berubah cepat dari tenang menjadi tegang. Semua peserta latihan berdiri mengenakan seragam militer lengkap—warna hijau loreng yang masih terasa asing di tubuh mereka.
Di depan barisan, Letnan Miko berdiri tegap, membawa selembar kertas.
Letnan Guntur berdiri di sampingnya, tangan bersilang di dada.
"Perhatian!" teriak Letnan Miko.
Semua langsung diam, pandangan mereka penuh tanya.
"Hari ini," lanjut Miko, "tim pertama akan diturunkan ke lapangan untuk misi pengintaian ringan. Ini bagian dari pelatihan. Kami tahu ini mendadak, tapi dunia nggak kasih kita jadwal pasti untuk siap."
Kerumunan mulai berbisik, beberapa wajah tampak pucat.
"Hari ini? Serius?" bisik Reno ke Thom.
"Baru semalam kita perang boneka…"
Letnan Miko mulai membacakan nama-nama:
"Sony."
Sony terdiam, wajahnya langsung tegang tapi ia melangkah maju.
"Karin."
Karin menarik napas panjang lalu maju, tak ada keraguan di langkahnya.
"Vian."
Vian menoleh ke Thom dan Reno, lalu mengangguk sebelum maju.
"Niken."
Seorang gadis dengan rambut pendek, wajah serius, melangkah tenang.
"Dira."
Dira, berkacamata dan terlihat gugup, maju dengan tangan mengepal.
Semua berdiri di depan.
"Kenapa harus hari ini?" tanya salah satu peserta dari belakang, suaranya gemetar.
"Kami belum siap…"
Letnan Guntur maju, wajahnya dingin.
"Siapa pun yang menunggu sampai siap, akan mati di luar sana."
Hening.
Tak ada yang berani membantah.
Letnan Miko menatap kelima peserta.
"Kalian tidak sendirian. Kalian akan diawasi. Tapi ini waktunya kalian tahu dunia nyata seperti apa."
Thom mengepalkan tangannya—antara lega tak dipilih dan gelisah melihat kakaknya sony temannya harus pergi duluan.
Hari itu, pelatihan berubah jadi nyata.
Thom melangkah maju sebelum mobil berangkat. Ia menghampiri satu per satu.
"Sony." Thom menepuk bahunya. "Lo yang paling dewasa di antara kita. Jaga yang lain."
Sony mengangguk, meski wajahnya tetap serius.
"Karin." Thom menatapnya sebentar, lalu tersenyum kecil. "Hati-hati, Rin. Jangan sok jagoan, oke?"
Karin tersenyum balik, "Gue nggak sok. Emang jago." Mereka tertawa singkat.
"Vian, Niken, Dira." Thom memberi salam gaya militer konyol. "Balik bawa cerita keren ya. Jangan malah jadi zombie."
Vian tertawa. "Santai bro, paling gue godain zombie-nya biar minggir."
Dira dan Niken tersenyum gugup, tapi kelihatan lega mendengar dukungan itu.
Mereka pun naik ke mobil militer. Pintu ditutup. Mesin meraung.
Letnan Guntur naik ke kendaraan pendamping dan memberi isyarat ke arah Miko.
"Latihan dimulai." katanya tegas sebelum pergi bersama rombongan.
Thom dan yang lainnya menatap debu yang ditinggalkan roda mobil. Hening sesaat.
Letnan Miko berjalan ke depan barisan yang tersisa.
"Kalian yang masih di sini—jangan santai. Besok atau lusa, giliran kalian."
Thom menatap ke arah matahari yang mulai meninggi.
Dalam hati, ia berdoa: semoga mereka kembali. Semua.
Di dalam mobil, suasana sunyi. Hanya suara mesin dan derap ban di atas jalanan kasar yang terdengar.
Sony duduk paling dekat dengan jendela, matanya menyapu jalanan. Perlahan, ia menarik napas panjang.
"Lihat…" katanya pelan.
Karin yang duduk di sebelahnya menoleh. Di luar, puluhan zombie berjalan limbung di pinggir jalan, beberapa merangkak, ada yang hanya berdiri terpaku seperti kehilangan arah.
Vian bersiul pelan.
"Kayak pasar malam, tapi isinya mayat jalan semua."
Dira menggenggam tangannya sendiri erat.
"Kenapa mereka kayak diem di situ semua ya?"
Niken menjawab, suaranya pelan:
"Mungkin... mereka nunggu sesuatu. Atau terhalang sesuatu."
Sony tetap menatap ke depan, rahangnya mengencang.
"Apa pun alasannya, kalau kita turun di antara mereka, kita nggak akan punya banyak waktu buat mikir."
Mobil terus melaju perlahan, menghindari zombie sebanyak mungkin.
Letnan Guntur dari kendaraan depan memberi aba-aba lewat isyarat tangan:
"Persiapan. Kita hampir sampai."
Karin mengecek senjatanya. Sony meneguk air.
Semua bersiap, jantung berdebar.
Latihan atau tidak—ini tetap dunia nyata.
Mereka melompat turun dari mobil satu per satu, sepatu menginjak tanah berdebu. Jalanan di depan mereka kosong, tapi udara terasa berat. Bau busuk samar menguar dari sisi-sisi jalan.
Sony memimpin kelompok kecil, matanya awas.
Vian, yang berjalan di sisi kanan, tiba-tiba berhenti.
"Eh… tunggu. Lihat ini," katanya, menunjuk ke arah semak-semak.
Semua mendekat.
Di sana, tergeletak seorang pria—bukan zombie. Tubuhnya masih utuh, tapi kepalanya menghilang. Lehernya compang-camping penuh darah kering. Bajunya robek dan ada bekas terjangan brutal.
Dira menutup mulutnya menahan mual.
"Ini bukan karena zombie..."
Letnan Guntur langsung maju. Wajahnya tegang, ia jongkok memeriksa luka.
"Ini kerja manusia," gumamnya.
"Potongan bersih di leher. Pedang atau parang… Zombie nggak sepresisi ini."
Karin menarik napas dalam.
"Berarti ada orang lain di sini… dan mereka nggak bersahabat."
Guntur berdiri, lalu menatap mereka satu per satu.
"Fokus. Kita di wilayah liar. Musuh bukan cuma zombie sekarang. Gerak cepat. Jangan berpencar. Tetap dekat dan waspada."
Mereka melanjutkan perjalanan di sepanjang jalan besar, ketegangan meningkat. Di balik semak atau bangunan runtuh, bahaya bisa muncul kapan saja—dan tidak selalu dari yang sudah mati.
Tiba-tiba, dari arah reruntuhan sebuah rumah tua di pinggir jalan, terdengar suara benda jatuh—seperti kaleng terguling.
"Siaga!" seru Letnan Guntur cepat. Semua militer langsung mengambil posisi.
Sony, Karin, Vian, Dira, dan Niken menempel di balik tembok dan kendaraan, jantung mereka berdegup cepat.
Beberapa militer bergerak maju perlahan, senjata terangkat.
Guntur memberi isyarat tangan: formasi menyebar. Dua orang mengendap ke kiri, dua ke kanan.
Suara itu muncul lagi.
Krek… krek…
Langkah kaki pelan, tapi pasti. Seolah sesuatu—atau seseorang—sedang mengintai dari balik puing.
Niken berbisik, "Itu bukan zombie… langkahnya terlalu pelan dan teratur."
Vian mengangguk, wajahnya pucat.
Tiba-tiba—
"TUNGGU!" teriak salah satu militer.
Seseorang muncul dari balik reruntuhan—seorang anak laki-laki, usianya sekitar 13 tahun, kotor dan lemas. Tangannya terangkat, tubuhnya gemetar.
"J-jangan tembak… tolong… saya sendiri," katanya ketakutan.
Semua membeku.
Letnan Guntur segera maju, menurunkan senjatanya.
"Siapa namamu? Di mana keluargamu?"
Anak itu menangis pelan.
"Mereka… mereka semua udah jadi zombie. Saya lari. Saya ngumpet di situ dua hari…"
Karin mendekat pelan, memberikan sebotol air.
"Tenang… kamu aman sekarang."
Guntur memberi isyarat agar dua militer membawa anak itu ke belakang. Ia menatap jalan di depan.
"Kita lanjut. Tapi jelas sekarang—wilayah ini bukan sekadar penuh zombie. Ada sisa manusia… dan tidak semuanya selamat."
Langkah mereka berlanjut… tapi kewaspadaan kini meningkat dua kali lipat.
Letnan Guntur menyalakan alat pelacak zombie—sebuah perangkat kecil dengan layar digital dan radar deteksi gerak. Titik-titik merah muncul, bergerak pelan… lalu satu demi satu bergerak lebih cepat ke arah posisi mereka.
"Kontak! Titik-titik ini bergerak ke arah kita!" seru Guntur tegas.
Semua langsung bersiap.
Sony memegang senjatanya kuat-kuat.
"Berapa banyak, Letnan?"
Guntur menatap layar sebentar, lalu menjawab,
"Lebih dari sepuluh. Mereka mengepung dari tiga arah."
Karin menatap sekitar, wajahnya menegang.
"Kita harus cari tempat bertahan sekarang."
Dira menunjuk ke sisi kanan jalan—sebuah toko bangunan dengan pintu besi.
"Di sana! Kita bisa bertahan di dalam!"
Guntur memberi isyarat cepat.
"Tim 1 masuk ke toko! Tim 2 beri perlindungan! CEPAT!"
Semua bergerak. Sony dan Karin bersama Vian dan Dira lari ke toko, membuka paksa pintu besi.
Guntur dan dua militer lainnya menahan garis, menembak ke arah zombie yang mulai muncul dari gang sempit dan lorong toko.
Suara tembakan mulai menggema.
Sony berteriak, "Masuk cepat! Mereka makin banyak!"
Niken menarik anak kecil yang diselamatkan tadi masuk ke dalam toko.
Begitu semua masuk, Guntur menutup pintu dan mengganjalnya dengan balok kayu.
Di luar, suara geraman dan cakaran terdengar jelas.
Zombie-zombie mengepung.
Di dalam, semua menahan napas.
Misi ini baru dimulai… tapi medan tempurnya sudah brutal.
Sony menatap Letnan Guntur, napasnya berat tapi sorot matanya tajam.
"Letnan, kita nggak bisa terus-terusan begini. Kalau terus bertahan di sini, mereka makin banyak. Ini saatnya kita balik menyerang."
Guntur meliriknya tajam.
"Maksudmu?"
Sony melangkah maju, menunjuk ke arah pintu.
"Kita kepung dari dua sisi. Buka pintu, tarik perhatian mereka. Saat mereka berkumpul, kita lempar bom dari atas toko. Ledakkan mereka sekalian. Ini kesempatan."
Karin mendukung, "Gila tapi masuk akal. Kalau terus menunggu, kita kehabisan amunisi."
Letnan Guntur terdiam sejenak, lalu mengangguk cepat.
"Baik. Sony, kamu dan Vian naik ke atap, bawa granat. Dira dan Niken tetap di dalam untuk jaga pintu. Karin, kau ikut aku jadi pengalih."
Mereka bergerak cepat.
Vian dan Sony naik tangga sempit ke atap toko. Di bawah, Guntur dan Karin bersiap membuka pintu sedikit demi sedikit.
Zombie mulai mendekat dalam gerombolan besar.
"Sekarang!"
Guntur membuka pintu sedikit, menembak dua zombie di depan lalu langsung menutup lagi.
Gerombolan makin mendekat, tertarik suara.
Dari atap, Sony melihat gerombolan padat di depan toko.
"Vian, siap?"
"Siap!" Vian mencabut pin granat.
"SATU… DUA… TIGA!"
Bom dilempar ke tengah gerombolan.
BOOOM!!!
Ledakan mengguncang udara, api membakar zombie dalam radius ledak. Beberapa terpental, terbelah, terbakar.
Semua di dalam toko langsung bersorak pelan.
Guntur membuka pintu perlahan, melihat banyak zombie lumpuh dan terbakar.
"Kerja bagus. Tapi ini belum selesai."
Dia menatap timnya.
"Siapkan langkah selanjutnya. Kita harus segera kembali ke pos atau cari tempat lebih aman."
Sony menatap mayat zombie yang hangus.
"Ini baru awal… tapi setidaknya kita tahu kita bisa."
Dan di tengah bau daging terbakar dan asap,
semangat juang mereka baru benar-benar dimulai.
Mereka berlari sekuat tenaga menuju tempat mobil diparkir. Napas terengah, peluh bercucuran. Teriakan dan geraman zombie makin dekat.
Para militer di belakang menembak sambil mundur, menahan serangan.
"Jangan berhenti! Terus lari!" Letnan Guntur berteriak keras.
Karin ikut menembak, wajahnya tegang tapi fokus. Peluru mengenai kepala zombie satu per satu.
Mesin mobil menyala.
Vian lebih dulu masuk ke dalam, lalu Sony menyusul, menoleh ke belakang.
"Ayo cepat! Mereka makin dekat!"
Tiba-tiba terdengar jeritan.
Dira terjatuh.
Zombie semakin dekat, bergerak cepat dalam jumlah banyak.
Niken menoleh.
Dia mendorong anak kecil yang tadi mereka selamatkan ke arah Karin.
"Bawa dia!" teriak Niken.
Tanpa pikir panjang, Niken berbalik, menarik Dira berdiri.
"BANGUN! LARI!"
Dira goyah, kakinya lemas.
Zombie makin dekat.
Niken menembak, satu dua tiga zombie tumbang—tapi terlalu banyak.
Mereka berdua berusaha lari, tapi dalam hitungan detik—zombie mengerumuni mereka.
Jeritan terdengar.
Darah muncrat.
"NIKEN! DIRA!!" Sony berteriak dari jendela mobil.
Letnan Guntur mencabut granat, menarik pin, dan melempar ke tengah kerumunan.
BOOM!
Mayat-mayat zombie dan dua tubuh manusia beterbangan, hangus dalam ledakan.
Sony menoleh marah.
"Apa yang Anda lakukan, Letnan?!! Mereka masih hidup!"
Letnan Guntur tak menoleh, hanya menatap ke depan dengan rahang mengeras.
"Mereka sudah tergigit, Sony. Beberapa detik lagi mereka akan jadi salah satu dari mereka. Aku hanya memastikan tidak ada yang kembali dalam bentuk yang bukan manusia."
Hening.
Semua di mobil diam. Hanya suara mesin dan napas berat yang terdengar.
Di antara duka dan amarah, ada satu kenyataan pahit yang harus mereka telan:
Ini bukan lagi tentang siapa yang kuat. Ini tentang siapa yang siap kehilangan.
Sementara itu Thom masih berdiri diam di depan pagar besi pangkalan, matanya menatap nanar ke arah luar.
Zombie-zombie di kejauhan itu...
Mereka berdiri diam. Tidak bergerak, hanya menggeram pelan, seolah ada sesuatu yang menahan mereka.
"Kenapa mereka nggak nyerang?" gumam Thom, alisnya mengerut.
Ada sesuatu yang janggal. Tapi ia belum bisa mengerti apa.
Tiba-tiba, suara mesin terdengar dari kejauhan.
Thom menoleh cepat ke arah jalan masuk.
Sebuah mobil militer melaju masuk.
Ban berderit, debu beterbangan saat kendaraan itu berhenti di halaman.
Thom berlari mendekat.
Pintu mobil terbuka.
Sony turun lebih dulu. Wajahnya penuh debu dan darah kering.
Disusul Vian, lalu Letnan Guntur dan Karin yang memeluk anak kecil erat-erat.
Tak ada Niken.
Tak ada Dira.
Thom langsung paham.
Wajah Sony gelap, matanya menyapu Thom sebentar lalu menunduk.
Thom menghampiri, menyentuh bahu kakaknya.
"Siapa yang hilang?" tanyanya pelan.
Sony tak menjawab, tapi Karin menggigit bibir dan mengangguk pelan.
"Niken... dan Dira."
Hening menggelayut.
Thom menoleh pada anak kecil di pelukan Karin.
Anak itu gemetar, matanya kosong, tapi masih bernapas.
Thom memandang Letnan Guntur.
"Kalian berhasil menyelamatkan anak itu..."
Letnan hanya menjawab singkat, suaranya datar.
"Dengan harga yang mahal."
Thom mengepalkan tangan.
Ia tahu… ini baru permulaan dari perjuangan panjang mereka.