Pagi hari menyelimuti pangkalan militer dengan udara dingin dan embun tipis. Semua peserta latihan berkumpul di lapangan utama. Wajah-wajah mereka letih, sebagian dengan luka kecil, baju kotor, dan sorot mata yang belum sepenuhnya pulih dari kejadian kemarin.
Letnan Miko berdiri tegak di depan barisan, clipboard di tangan.
"Baik, semua berkumpul. Kita mulai dengan pengecekan jumlah."
Satu per satu mereka membentuk barisan. Thom, Reno, Karin, Vian, dan Kylie berdiri berdekatan. Sony berdiri agak di samping mereka, bersama beberapa peserta dewasa lain.
Miko mulai menghitung, matanya menyapu semua wajah.
"...enam belas... tujuh belas... delapan belas..."
Hening.
Beberapa peserta saling pandang.
"Tadinya dua puluh," bisik Kylie pelan ke Thom.
Thom hanya mengangguk, rahangnya mengeras.
Letnan Miko menatap barisan dengan wajah serius.
"Dua orang gugur dalam misi kemarin. Niken dan Dira. Mereka layak dihormati."
Semua terdiam.
Karin menunduk, Vian menatap tanah. Reno memalingkan wajah.
Sony berdiri tegap, menahan emosi, rahangnya mengeras. Ia tahu dunia ini kejam… dan cepat membuat semua orang dewasa, bahkan tanpa peringatan.
Letnan Guntur melangkah maju.
"Mulai sekarang, kalian bukan lagi warga sipil biasa. Kalian adalah penyintas, dan mungkin... satu-satunya harapan untuk yang tersisa."
Suasana hening. Berat, tapi juga sarat dengan keteguhan baru.
Thom menatap ke depan, penuh tekad. Sony menyentuh bahunya sebentar, lalu menatap Miko dan Guntur dengan anggukan kecil.
Letnan Miko melangkah maju, membawa map berisi daftar nama. Sorot matanya menyapu barisan peserta pelatihan yang berdiri tegak di bawah matahari pagi.
"Hari ini, kita akan kirim tim kedua turun ke lapangan. Misi utama: pencarian suplai dan pemetaan wilayah barat Sernaru."
Semua menegang. Beberapa melirik satu sama lain, penasaran siapa yang akan dipilih.
Letnan Miko membuka map dan mulai membaca:
"Thom."
Thom mengangguk, lalu maju satu langkah. Wajahnya tenang, siap.
"Reno."
Reno menghela napas, lalu ikut maju. Ia melirik Thom sebentar.
"Kylie."
Kylie maju dengan cepat, tanpa banyak ekspresi.
"Nara."
Seorang gadis dengan rambut dikuncir rapi melangkah maju. Wajahnya kaku tapi sorot matanya tajam.
"Ajis."
Seorang pemuda berperawakan tinggi besar, dengan tatapan serius, maju ke depan barisan.
Letnan Miko menutup map.
"Lima orang. Kalian akan turun bersama saya dan dua prajurit pengawal. Persiapan dua jam. Lengkapi senjata, amunisi, makanan, dan radio cadangan. Kita berangkat tepat pukul sepuluh."
Sony mengangguk dari kejauhan, lalu memberi jempol pada Thom dan Reno. Kali ini, medan di luar jauh lebih berbahaya, tapi kepercayaan itu tumbuh perlahan.
Misi dimulai.
Pukul sepuluh tepat, suara mesin mobil lapis baja menggelegar dari garasi utama. Thom, Reno, Kylie, Nara, dan Ajis duduk di dalam bersama Letnan Miko dan dua prajurit bersenjata lengkap. Jalanan berbatu berguncang di bawah roda besar mobil mereka saat perlahan keluar dari gerbang pangkalan.
Di luar, jalanan Sernaru masih sunyi. Beberapa zombie terlihat berjalan lamban di kejauhan, tapi belum ada ancaman langsung.
"Tujuan kita: gudang logistik tua di pinggir barat. Tempat itu dulunya tempat penyimpanan makanan dan medis. Sekarang? Kita lihat apakah masih ada yang bisa diselamatkan," kata Letnan Miko, suaranya datar.
Thom memeriksa senjatanya. Reno menatap keluar jendela, tangannya menggenggam parang dengan kuat. Kylie duduk tenang sambil mengecek peluru. Nara menuliskan sesuatu di buku kecilnya. Ajis hanya bersandar dengan satu tangan memegang gagang kapak logam besar.
Tiba-tiba, mobil melambat. Salah satu prajurit menunjuk ke jalan.
"Ada bekas ban baru. Mobil lain lewat sini belum lama ini."
Letnan Miko mengangguk. "Kita turun di sini. Lanjut jalan kaki. Jangan ribut, jangan lengah."
Mereka turun satu per satu. Jalan setapak menuju ke arah barat, menyusuri bangunan rusak dan kendaraan terbengkalai.
Langkah mereka mantap.
Misi belum dimulai, tapi ketegangan sudah terasa. Dunia luar tidak pernah menjanjikan keselamatan—hanya mereka yang bisa menjaga satu sama lain.
Mereka menyusuri gang sempit di antara gedung tua dan semak belukar yang mulai merambat ke jalan. Thom berjalan di depan bersama Letnan Miko, matanya awas memindai setiap sudut. Di belakang, Reno dan Kylie saling berbisik soal jalur mundur. Nara sesekali menoleh ke belakang, memastikan tak ada yang membuntuti. Ajis menjaga sisi kanan, kapak besar di tangannya siap diayun kapan saja.
Tiba-tiba—
"Berhenti," Letnan Miko mengangkat tangan.
Semua langsung diam dan berjongkok. Dari balik tembok di depan mereka, terdengar suara… bukan zombie… tapi seperti logam diseret di aspal.
Mereka saling pandang.
"Bukan zombie. Itu… manusia?" bisik Kylie.
Letnan Miko memberi aba-aba isyarat dengan tangan: Formasi menyebar. Kepung perlahan.
Thom bergerak menyamping, bersembunyi di balik puing mobil terbakar. Reno dan Nara merunduk di balik tumpukan kayu. Ajis dan Kylie di sisi kiri menunggu aba-aba.
Ketika mereka mendekat…
Dari balik tembok muncul tiga pria berpakaian compang-camping, membawa senjata rakitan. Wajah mereka kasar, penuh luka, dan salah satu dari mereka menyeret pedang besi.
"Penjarah," gumam Letnan Miko.
Salah satu penjarah menoleh ke arah suara ranting patah—Reno yang tak sengaja menginjaknya.
"Ada orang!" teriak si penjarah.
"Sekarang!" Letnan Miko memberi perintah.
Peluru pertama meletus ke udara—perang kecil pun pecah.
Letnan Miko langsung bergerak cepat, menembak ke arah salah satu penjarah yang berusaha kabur. Thom melompat dari balik mobil, menunduk rendah, lalu menembak—peluru meleset, tapi cukup membuat lawan panik dan berlindung.
"Cover aku!" teriak Ajis, lalu bergerak menyamping, mengapit dari kiri.
Kylie dan Nara membalas tembakan dari balik reruntuhan. Salah satu penjarah balas menyerang, tapi pelurunya menghantam seng dan memantul.
Reno menyelinap ke belakang puing, mendekat ke posisi penjarah. Ia mengangkat senjata, gemetar—lalu melepaskan tembakan. Tepat kena bahu. Penjarah itu menjerit dan jatuh.
"Kena! Gue kena satu!" teriak Reno bangga, walau wajahnya pucat.
Penjarah terakhir melihat rekannya tumbang dan berteriak, "Kita kabur! Mereka militer!"
Tapi belum sempat lari, Thom muncul dari samping dan menjatuhkan pria itu dengan satu tendangan. Ajis datang dan membantunya membekuk si penjarah.
Situasi cepat tenang.
Letnan Miko mendekat, wajahnya serius. "Kalian bagus. Cepat respon-nya. Tapi ini baru permulaan."
Thom duduk, napasnya berat. Reno tersenyum lebar, meski tangannya masih gemetar. Kylie menepuk punggung Nara.
"Mereka bukan zombie, tapi tetap berbahaya," gumam Nara.
Letnan Miko melihat ke arah gedung tua di ujung jalan.
"Kita lanjut. Masih ada lokasi yang harus kita periksa sebelum kembali."
Tim pun bersiap lagi, menyadari kalau di luar zombie, manusia pun bisa menjadi ancaman.
Tim melanjutkan perjalanan, menuruni jalan sempit menuju lokasi yang dimaksud Letnan Miko—sebuah bangunan tua bekas pabrik pengolahan ikan, sekarang terlihat kosong dan menyeramkan. Asap tipis masih mengepul dari salah satu sudut, tanda bahwa tempat ini belum lama ditinggalkan.
Miko memberi aba-aba agar mereka berhenti.
"Tempat ini kemungkinan jadi markas penjarah atau penyintas lain. Waspada," katanya pelan sambil memberi isyarat tangan.
Mereka menyebar. Thom dan Nara bergerak dari sisi kiri, Ajis dan Reno ke kanan. Kylie mengikuti di tengah, menutup celah.
Thom menempel ke dinding dan mengintip ke dalam jendela pecah. Ruangan gelap, hanya suara gemerisik dari dalam.
"Ada gerakan di dalam," bisik Thom ke intercom-nya.
Miko mengangguk dari kejauhan dan memberi sinyal—"Masuk perlahan."
Pintu tua berderit pelan saat dibuka. Mereka masuk dengan posisi siaga.
Lantai pertama kosong, tapi berantakan. Sisa makanan, kasur lusuh, dan grafiti di dinding menandakan tempat ini pernah dihuni.
Tiba-tiba terdengar suara langkah cepat dari atas.
"Lantai dua!" seru Ajis.
Thom dan Reno langsung naik tangga dengan cepat. Di atas, mereka menemukan seorang remaja laki-laki memegang tongkat besi, ketakutan.
"Jangan tembak! Gue cuma sendiri!" teriaknya panik.
Miko segera naik dan mendekat. "Turunkan senjatamu, kami militer. Kami cuma periksa."
Anak itu menjatuhkan tongkatnya, lutut gemetar.
"Yang lain udah kabur... gue ketinggalan..."
Miko menatap anak itu lekat-lekat. "Ada yang tahu tempat ini dijadikan pos? Atau aktivitas zombie di sekitar sini?"
Anak itu mengangguk cepat. "Dua hari lalu... ada zombie gede, tinggi banget, kulitnya ngelupas... dia nyeret zombie lain kayak mimpin."
Semua terdiam sejenak.
"Itu bukan zombie biasa," kata Kylie pelan.
Letnan Miko mengangguk. "Kita bawa anak ini dan kembali ke pangkalan. Tapi yang jelas, ini belum selesai."
Mereka pun bersiap mundur, menyadari bahwa ancaman di luar sana semakin tidak bisa ditebak.
Letnan Miko menoleh ke dua anggota militer yang berdiri di belakangnya.
"Bawa anak ini. Antarkan ke pengungsian Kaper, pastikan dia dirawat dan diberi makan. Catat juga namanya di daftar penyintas."
Salah satu prajurit mengangguk, lalu meraih bahu si anak dengan lembut.
"Ayo, Nak. Kau aman sekarang."
Anak itu masih terlihat gemetar, tapi ia menurut. Sebelum pergi, ia sempat menoleh ke Thom.
"Makasih, Kak..."
Thom mengangguk pelan, matanya tajam tapi penuh simpati.
"Jaga dirimu. Dan jangan balik ke tempat kayak gini sendirian."
Setelah mereka berpisah, Letnan Miko memberi aba-aba agar tim kembali merapat.
"Kita lanjutkan patroli ke arah barat. Tapi tetap siaga. Kalau anak itu nggak bohong, ada sesuatu yang lebih besar dari zombie biasa di sekitar sini."
Reno bergumam pelan ke Sony,
"Zombie gede? Jangan-jangan itu yang bikin mereka di pagar pangkalan nggak nyerang..."
Sony hanya menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras.
"Kalau benar ada yang bisa mimpin mereka... berarti kita dalam bahaya lebih besar dari yang kita kira."
Mereka pun kembali menyusun formasi, lalu bergerak melanjutkan misi, menyusuri jalanan sepi yang diselimuti kabut tipis—dengan rasa cemas dan waspada yang makin meninggi.
Di dalam mobil yang bergoyang perlahan melewati jalan rusak, Reno menyikut lengan Thom pelan, lalu berbisik,
"Lihat tuh mantan lo, bodynya makin cakep, sabi lah. Kalo gue sih udah gue deketin lagi."
Thom melirik sekilas ke arah Kylie yang duduk agak di depan, lalu menoleh ke Reno dengan ekspresi datar,
"Ngaco lo, Ren. Fokus aja. Kita bukan lagi di bioskop."
Reno cengengesan,
"Iya, iya. Tapi lo tahu sendiri, dia tuh... ya, dulu aja lo sampe nggak bisa move on berbulan-bulan."
Thom mendengus sambil menatap keluar jendela. Di luar, sisa-sisa kehancuran dunia tampak nyata: bangkai mobil, coretan darah di dinding, dan bau asap yang samar.
Kylie sempat melirik Thom dari pantulan kaca jendela. Ia tak berkata apa-apa, hanya menarik napas perlahan, seolah bisa mendengar apa yang dibisikkan Reno.
Suasana kembali hening, hanya suara mesin mobil dan desiran angin. Ketegangan dan canda tipis menyatu dalam perjalanan yang belum tentu pulang.
Mobil berhenti perlahan di depan sebuah gedung tua yang setengah runtuh. Suasana hening, hanya suara burung gagak dan gesekan angin menerpa puing-puing.
Letnan Miko menoleh ke belakang.
"Turun. Hati-hati dan tetap dalam jarak pandang."
Ajis, Nara, Kylie, dan Reno turun lebih dulu, senjata mereka siap di tangan.
Thom turun terakhir, matanya menyapu sekeliling, gelisah.
Letnan Miko membagi kelompok.
"Ajis sama Thom ke kanan, sisir lantai atas. Reno, Nara, Kylie—kalian cek bagian belakang. Jangan sok jagoan."
Kelompok berpencar.
Di sisi Reno, Nara, dan Kylie.
Mereka berjalan pelan menyusuri lorong sempit. Suara pelan geraman terdengar, lalu BRUK! dari bayangan, dua zombie melompat.
Nara menjerit, Reno menembak tapi terlalu dekat.
Gigi menyambar ke lengan Reno, dan satu lagi mencengkram Nara.
Kylie menendang zombie itu, membebaskan Nara, tapi sudah terlambat. Darah mengucur dari bekas gigitan.
Kylie terengah. "Sialan! Jangan—jangan gigit lagi!"
Sisi Thom, Ajis, dan Letnan Miko.
Mereka menyusuri tangga yang penuh debu dan reruntuhan. Ketika langkah mereka mulai melambat, dari balik tumpukan puing, suara geraman lirih terdengar.
BRAK!
Tiga zombie menyergap dari sisi gelap. Salah satunya langsung menerkam Ajis, menjatuhkannya dan menindih tubuhnya.
"THOM!!" Ajis berteriak panik, kedua tangannya menahan mulut zombie yang menganga di atas wajahnya.
Tanpa pikir panjang, Thom langsung menarik kerah zombie itu dari belakang dan membanting kepalanya ke dinding tembok.
KRAK! Suara tulang retak mengerikan, dan zombie itu terkulai mati.
Ajis bangkit dengan susah payah, wajahnya pucat. Ia memperlihatkan lengan kirinya yang berdarah parah.
"Gue... digigit, Thom."
Letnan Miko melangkah satu langkah maju, tapi sebelum ia sempat bereaksi lebih jauh, Thom sudah bergerak sendiri.
Dengan wajah tegang, Thom merogoh ke saku pinggang Letnan Miko, menarik pisau taktis militer.
Miko terkejut sejenak melihat refleks cepat Thom, tapi ia tak menghentikan. Ia hanya menahan napas, memperhatikan.
"Maaf, bro..." bisik Thom.
Tanpa ragu, ia menebas lengan Ajis tepat di bawah siku.
Ajis berteriak keras, darah menyembur, membasahi lantai beton.
Thom segera melepas jaket militernya, mencopot kaos dalamnya dengan cepat, merobeknya panjang, lalu mengikat kuat-kuat pangkal lengan Ajis untuk menghentikan pendarahan.
Letnan Miko ikut membantu mengencangkan simpul, wajahnya tegang tapi terkendali.
Ajis terbaring di lantai, napasnya tersengal, tapi matanya masih terbuka.
"Lo belum mati." Thom menepuk pipi Ajis, menatapnya tajam.
"Lo masih bisa selamat. Tahan, oke? Kita bawa lo pulang."
Di kejauhan, suara tembakan dan teriakan Kylie masih terdengar.
Letnan Miko menatap Thom sesaat—ada sorot baru di matanya.
Refleks, tenang, dan tegas. Anak ini... bukan anak biasa.
Thom menarik napas dalam, lalu bangkit dan langsung berlari menuju arah suara tembakan yang semakin jelas.
"Kylie!" teriaknya sambil melintasi lorong yang dipenuhi kaca pecah dan noda darah.
Dari kejauhan, ia melihat Kylie yang terpojok, menembak zombie yang mulai mengerubunginya. Tangannya gemetar, peluru hampir habis.
BRAK! Thom melompat dan menendang satu zombie yang nyaris menggigit Kylie. Ia menariknya ke belakang, lalu menghantam kepala zombie lain dengan gagang senjatanya.
"Lo nggak apa-apa?" tanya Thom cepat.
Kylie mengangguk lemah. "I-Iya... makasih..."
Thom memegang pundaknya, memandang sekeliling, lalu bertanya,
"Reno... dan Nara... di mana mereka?"
Kylie terdiam, napasnya berat. Matanya mulai berair.
"Mereka... udah digigit. Gue nggak bisa nyelamatin mereka, Thom."
Thom menatapnya lekat, matanya menajam namun wajahnya tidak marah—lebih pada sedih yang ditahan. Ia menunduk, mengepalkan tangan.
"Gue ngerti..." katanya pelan.
"Sekarang kita harus balik. Kita bawa Ajis pulang. Jangan biarkan pengorbanan mereka sia-sia."
Kylie mengangguk. Lalu mereka berjalan kembali, diam-diam, dengan perasaan berat.
Zombie-zombie di belakang masih berkeliaran, tapi sekarang... yang terasa paling menyakitkan adalah keheningan.
Mobil militer melaju kembali ke pangkalan dengan senyap. Tak ada obrolan, hanya suara mesin dan angin yang menggesek jendela.
Sesampainya di gerbang, Sony langsung menghampiri. Wajahnya khawatir.
"Mana Reno?" tanyanya tegas, menatap ke arah Thom dan Kylie.
Thom diam. Ia turun dari mobil dengan langkah berat, wajahnya pucat, matanya kosong.
Vian ikut datang, Karin pun berlari kecil mendekat.
"Thom...?" Karin memanggil pelan.
"Reno mana?"
Tak ada jawaban. Thom hanya menatap mereka dengan pandangan kosong. Lalu, tanpa sepatah kata, ia melepas jaket militernya, dan kaosnya. Hanya mengenakan celana, tubuhnya penuh debu, keringat, dan sedikit darah kering.
Ia mendongak ke langit, menarik napas panjang, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan. Suaranya pecah.
"Ini semua... salah gue..."
"Reno... dia... dia udah nggak ada..."
Thom jatuh duduk di tanah, menangis dalam diam. Bahunya terguncang.
Tangis yang bukan cuma karena kehilangan... tapi juga rasa bersalah.
Kylie menunduk.
Karin menutup mulutnya, shock.
Vian mengepalkan tangan, lalu berpaling.
Sony memalingkan wajah, rahangnya mengeras.
Malam itu, langit di atas pangkalan terasa makin berat.
Satu lagi teman mereka... telah pergi.
Malam itu, suasana di sekitar api unggun terasa lebih sunyi dari biasanya.
Semua berkumpul, duduk melingkar, wajah-wajah mereka tertunduk. Dari 18 orang yang tersisa, kini hanya 16. Dan satu dari mereka, Ajis, duduk dengan tangan kiri yang sudah diperban tebal, diam, tatapannya kosong menatap kobaran api.
Thom duduk tak jauh darinya, masih tanpa mengenakan atasan, hanya berselimutkan jaket lusuh. Pelipisnya berdarah, namun tak ia pedulikan. Sesekali ia menatap ke arah Ajis, lalu kembali ke bara api, pikirannya entah kemana.
Letnan Miko berdiri, memandangi mereka semua.
> "Hari ini... berat," katanya.
"Tapi kalian bertahan. Dan kalian lihat sendiri, kenyataan di luar sana bukan mainan. Kita bukan cuma berhadapan dengan zombie... tapi juga pilihan-pilihan sulit."
Semua diam.
Karin memegang tangan Kylie, mencoba menguatkan diri.
Sony berdiri bersandar pada tiang tenda, memperhatikan satu per satu wajah anak-anak itu.
Vian menunduk dalam, mulutnya dikatup rapat.
Letnan Miko menatap Ajis.
> "Ajis, kamu berani. Dan kamu beruntung punya teman yang cepat berpikir."
Ajis mengangguk lemah.
> "Kalo bukan karena Thom... mungkin gue udah jadi salah satu dari mereka."
Thom masih diam, tatapannya kosong. Tapi dalam hatinya, perasaan bersalah masih bergejolak.
Sunyi sesaat, sebelum Sony angkat suara.
> "Kita kehilangan Reno. Nara juga. Kita nggak boleh sia-siakan kehilangan ini. Besok kita latihan lagi. Lebih keras. Lebih siap. Biar nggak ada lagi yang tumbang."
Semua mengangguk pelan.
Malam itu... mereka belajar satu hal lagi:
Setiap misi bisa jadi yang terakhir.
Malam itu, angin berhembus pelan membawa hawa dingin yang menusuk kulit.
Thom masih di luar, duduk di atas bangku kayu lapuk dekat pagar pembatas pangkalan. Api unggun kecil di depannya sudah mulai meredup, nyalanya hanya tinggal bara yang sesekali berderak.
Langit penuh bintang, tapi pandangan Thom tak tertuju ke atas—melainkan lurus ke depan, ke arah kegelapan yang menelan pepohonan dan jalanan rusak di luar pagar. Di balik sana, mungkin masih ada zombie... atau lebih buruk lagi: manusia yang kehilangan kemanusiaan.
Tangannya memegang baju militernya yang tadi dilepas, diletakkan di pangkuan. Wajahnya pucat, mata sembab. Bayangan wajah Reno dan Nara terus terulang di kepalanya—terutama tatapan terakhir Reno sebelum segalanya terjadi.
Langkah pelan terdengar di belakang.
Letnan Miko muncul dari balik tenda, mengenakan jaket tebal dan membawa dua gelas kaleng berisi kopi hangat.
"Masih belum bisa tidur?" tanya Miko sambil duduk di sebelah Thom, menyerahkan satu gelas.
Thom menerima tanpa banyak kata.
"Gimana caranya lo tetap bisa tenang... setelah semua ini?" gumamnya lirih.
Miko menyesap kopinya, menatap bara api.
"Nggak tenang, Thom. Cuma... udah kebal. Atau mungkin udah terlalu sering kehilangan."
Mereka diam beberapa saat.
"Lo udah bikin keputusan yang benar hari ini," lanjut Miko. "Potong tangan Ajis, bawa Kylie pulang... lo nyelametin dua orang."
Thom menggeleng pelan.
"Tapi gue kehilangan dua lainnya."
"Kita semua kehilangan, Thom. Tapi lo bukan Tuhan. Kita cuma manusia. Dan manusia... cuma bisa ngelakuin yang terbaik sebisanya."
Bara api makin meredup.
Thom menarik napas panjang, lalu memandang ke arah pagar.
"Besok... kita harus latihan lagi, ya?"
Miko menatap Thom dengan sorot mata tegas namun hangat.
"Iya. Dan lo, Thom… mulai sekarang, lo bukan cuma peserta pelatihan."
Thom menoleh heran.
Miko tersenyum tipis.
"Lo udah jadi pemimpin, sadar atau nggak."
Thom terdiam.
Angin malam berembus lagi. Tapi kali ini, tidak terasa sedingin sebelumnya.
Letnan Miko menghembuskan napas pelan, lalu meneguk kopinya sampai habis. Ia menatap bara api yang hampir padam, lalu berkata pelan namun tegas.
"Stok makanan kita mulai habis. Dapur logistik tinggal bisa tahan tiga hari lagi... maksimal."
Thom menoleh, wajahnya kembali serius.
"Truk suplai nggak ada lagi?"
Miko menggeleng.
"Truk terakhir dicegat... kemungkinan diserang, belum ada kabar. Tapi tadi siang aku dapat info lewat radio—militer pusat rencana kirim heli dalam waktu dekat. Mereka akan bawa logistik dan perlengkapan tambahan dari pusat. Tapi..."
Thom menyambung, "Tapi itu kalau mereka benar-benar datang."
Miko mengangguk.
"Dan kita nggak tahu pasti kapan. Bisa besok, bisa tiga hari lagi. Makanya, kita harus tetap jaga pangkalan dan hemat semua suplai yang ada."
Suasana kembali hening. Api tinggal membara.
Thom menatap tanah, lalu bertanya pelan, "Kalau helikopter nggak datang juga... apa rencana cadangan kita?"
Miko menatapnya lama, lalu menjawab lirih,
"Doa."
Thom terdiam, lalu tertawa kecil... getir.
"Berarti besok latihan tetap jalan?"
"Tetap," sahut Miko. "Karena begitu suplai datang, atau kalau kita harus keluar cari sendiri, semua harus siap."
Thom mengangguk.
"Kalau gitu, besok gue bantu atur formasi buat latihan."
Miko berdiri, menepuk bahu Thom.
"Bagus. Istirahat, Thom. Lo bakal butuh energi."
Setelah Miko masuk ke tenda, Thom masih di tempat. Menatap malam. Menunggu fajar yang entah membawa harapan... atau bencana baru.