War Of The Dead

Esok paginya, mentari baru merayap naik ketika peluit panjang membelah udara pagi. Peserta latihan berbaris rapi di lapangan terbuka. Di antara mereka, Thom berdiri paling depan, memimpin jalannya latihan hari itu.

Wajahnya serius, suaranya lantang.

"Formasi kiri! Fokus! Pegang senjata dengan benar!" serunya.

Para peserta, termasuk Sony, mengikuti arahan. Sony berdiri dua baris di belakang Thom. Meski ngos-ngosan karena fisik mulai lelah, matanya tak lepas dari sosok Thom di depan.

"Anak ini..." gumam Sony dalam hati, "udah beda banget. Sekarang dia beneran kayak pemimpin."

Latihan berlanjut dengan simulasi pengintaian dan teknik penyergapan. Thom menyusun skenario serangan, menyuruh peserta menyebar lalu menyerbu satu titik seolah itu sarang zombie.

Sony dan peserta lain bergerak cepat mengikuti instruksi. Meski beberapa masih kikuk, Thom sabar memperbaiki. Saat Sony salah posisi, Thom datang dan menepuk pundaknya.

"Lo ngumpet di sini, Son. Bukan malah berdiri di tengah kayak pahlawan kesiangan," ujar Thom setengah bercanda.

Sony cengengesan.

"Iya, iya, Bos."

Latihan makin intens. Kylie, Ajis yang sudah diperban, dan beberapa lainnya terus berusaha menyesuaikan. Setelah sesi berat itu selesai dan peserta istirahat, Sony duduk di tanah, napas masih ngos-ngosan. Ia melirik Thom yang duduk tak jauh darinya, membetulkan sepatunya.

"Lo keren, Thom," ucap Sony, kali ini tulus. "Gue bangga punya lo di barisan ini."

Thom tersenyum kecil, mengangguk.

"Bukan soal keren, Son. Kita semua harus belajar. Soalnya... yang kita lawan sekarang bukan cuma zombie. Tapi ketakutan kita sendiri."

Sony mengangguk pelan, dan keduanya kembali menatap lapangan.

Latihan baru dimulai, tapi semangat mereka sudah seperti prajurit sejati.

Langit mulai mendung ketika latihan pagi berakhir. Para peserta duduk di bawah tenda, mengganti baju latihan sambil minum air dan menyeka keringat. Suasana masih tenang hingga terdengar suara langkah tegas dari arah barak utama.

Letnan Guntur muncul dengan wajah serius. Ia menghampiri tenda pelatihan lalu memanggil dua nama dengan lantang.

"Sony. Vian. Bersiap dalam lima menit. Kalian ikut saya ambil suplai makanan di titik pertemuan barat."

Sony yang baru saja duduk langsung berdiri, mengangguk.

"Siap, Letnan!"

Vian terlihat agak gugup, tapi segera bangkit juga.

"Siap, Pak!"

Thom melirik Sony saat ia mengambil senjatanya.

"Lo yakin, Son?"

Sony mengangguk sambil mengecek isi magasin.

"Gue harus. Lo yang bilang kita semua harus belajar, kan?"

Thom tersenyum tipis.

"Hati-hati di jalan. Kalau ada yang mencurigakan, jangan heroik."

Vian menepuk bahu Thom, mencoba santai.

"Kalau zombie-nya cakep, baru gue pertimbangin buat jadi hero."

Letnan Guntur sudah menunggu di dekat kendaraan. Ia melirik jam tangannya.

"Ayo cepat. Semakin lama kita di luar, semakin besar risikonya."

Sony dan Vian segera naik ke mobil bersama dua tentara lain yang ikut mengawal. Mesin meraung, lalu kendaraan itu melaju meninggalkan pangkalan, debu berterbangan di belakangnya.

Thom berdiri diam menatap arah mobil itu menghilang. Di dalam hatinya, harapan dan kekhawatiran bertarung diam-diam.

Sore hari, langit berubah kemerahan. Thom duduk di pinggiran pangkalan, tepat di balik pagar pengaman. Tatapannya tak lepas dari jalan utama yang menuju ke barat. Mobil yang membawa Sony dan Vian belum juga kembali.

Karin berdiri tak jauh darinya, memeluk lengan sambil memperhatikan Thom. Ia bisa melihat kegelisahan dari sorot matanya—Thom bahkan tak menjawab ketika dipanggil dua kali.

"Belum ada kabar?" tanya Karin pelan, duduk di sampingnya.

Thom hanya menggeleng pelan, rahangnya mengencang. "Harusnya mereka udah balik sebelum gelap…"

Tak lama kemudian, Letnan Miko berjalan cepat ke arah pos, membawa selembar laporan di tangannya. Ia berhenti di tengah-tengah halaman dan memanggil beberapa prajurit.

"Mulai dari Ayas, Rinto, dan Biyan. Siapkan kendaraan. Kita cari mereka mulai dari jalur barat."

Beberapa tentara segera bergerak, bersiap dengan senjata dan perlengkapan malam. Letnan Miko menatap Thom yang berdiri dari tempat duduknya.

"Kau juga mau ikut?" tanya Letnan Miko dengan nada berat.

Thom mengangguk cepat. "Sony itu keluarga saya. Saya nggak bisa cuma diam."

Letnan Miko menatap Thom sejenak, lalu mengangguk.

"Ambil senjatamu. Kita berangkat lima menit lagi."

Karin berdiri, menatap Thom dengan khawatir. Tapi kali ini ia tak melarang—ia tahu tak ada yang bisa menghentikan Thom ketika orang yang ia sayangi dalam bahaya.

Langit mulai menggelap saat tim penyelamat bersiap keluar. Dan dalam hati Thom, hanya ada satu tujuan: menemukan Sony dan Vian… dalam keadaan selamat.

Tim pencarian tiba di titik koordinat yang terakhir kali diketahui. Kendaraan berhenti perlahan di pinggir jalan rusak, lampu dimatikan agar tak menarik perhatian.

Letnan Miko memberi aba-aba dengan tangan. Semua bergerak diam-diam, senjata terangkat, mata awas menelusuri sekitar. Thom berada di belakang Miko, jantungnya berdetak kencang.

"Di sana!" bisik Ayas sambil menunjuk ke semak-semak dekat reruntuhan toko.

Letnan Miko maju lebih dulu, menuruni puing. Di balik semak itu… tubuh seseorang tergeletak. Thom mendekat, dan saat melihat wajahnya, napasnya tercekat.

Itu Sony.

Terbaring dengan mata terbuka, darah mengering di dadanya. Ada luka tembak tepat di jantung.

"Enggak…" bisik Thom, lututnya goyah.

Miko memeriksa luka, ekspresinya muram. "Ini bukan gigitan. Dia ditembak. Bukan oleh zombie… tapi manusia."

Keheningan tegang menyelimuti mereka.

"Bereskan tubuhnya. Kita cari Vian dan Letnan Guntur," perintah Miko.

Tim berpencar lagi. Beberapa menit kemudian, suara tembakan terdengar di sisi kanan. Biyan berteriak lewat radio.

"Kontak! Saya melihat mereka! Tapi… Astaga—mereka dibunuh! Vian dan Letnan Guntur dibunuh seseorang—manusia!"

Semua pasukan siaga. Miko mengumpat pelan. "Kita tak sendiri di sini. Cepat! Kembali ke mobil. Kita evakuasi!"

Thom masih menatap tubuh Sony, matanya berkaca-kaca. Tapi tak ada waktu untuk berduka.

Malam ini, semuanya berubah. Musuh mereka bukan hanya zombie—tapi juga manusia.

Evakuasi berlangsung dalam diam yang mencekam. Mobil melaju cepat di antara jalanan rusak, menghindari kerumunan zombie yang tersebar di kejauhan. Tak ada obrolan, hanya suara mesin dan hembusan napas berat para prajurit yang masih syok.

Setibanya di pangkalan, langit mulai gelap. Lampu-lampu di tenda dinyalakan redup. Thom turun paling terakhir dari mobil. Wajahnya datar, penuh debu dan darah kering. Langkahnya pelan, seperti kehilangan arah.

Karin yang duduk di dekat tenda medis langsung berdiri saat melihat Thom. "Thom..."

Thom tak menjawab. Ia hanya berjalan pelan, menatap Karin, lalu tanpa kata langsung memeluknya erat. Pelukannya kaku dan penuh tekanan, seolah mencoba menahan kepedihan yang hampir meledak.

"They're gone…" bisiknya pelan, hampir tak terdengar. "Reno... Sony... Vian... mereka pergi..."

Karin membeku sejenak, lalu memeluk balik. Thom mulai menangis. Tangis yang tak bisa ditahan. Sesegukan, dadanya naik turun, seperti melepaskan beban yang terlalu lama dipendam.

Beberapa orang di sekitar menunduk, memberikan ruang. Letnan Miko berdiri tak jauh, menatap mereka dengan rahang mengeras.

Malam itu, markas jadi lebih sunyi dari biasanya. Suara tangis Thom di pelukan Karin adalah pengingat bahwa perang ini, tidak hanya soal bertahan hidup… tapi juga kehilangan.

Thom melepas pelukan dari Karin perlahan. Ia duduk di tanah berumput yang mulai lembap oleh embun malam. Wajahnya menunduk, kedua tangan menutupi muka sesaat, lalu ia mengusapnya dengan kasar, seperti ingin menyadarkan diri.

"Sony… dia satu-satunya kakak gue," gumam Thom lirih tapi jelas, suaranya serak, pecah oleh emosi yang tertahan terlalu lama. "Gue kira… kita bakal bertahan bareng. Kita udah ngelewatin banyak hal bareng…"

Ia menatap ke arah tanah kosong di depannya, seolah membayangkan sosok sang kakak masih duduk di sana, tersenyum seperti biasa.

"Lo sendiri yang bilang, Son," lanjutnya. "Kita harus bertahan sampai akhir. Kita gak boleh nyerah. Tapi lo malah pergi… gitu aja…"

Thom menghela napas panjang, bahunya bergetar menahan emosi. Beberapa orang diam-diam memperhatikannya, tapi tak ada yang berani mendekat.

"Gue gak marah, Son… cuma… sepi banget sekarang. Gak ada lo yang bacot tiap pagi. Gak ada yang ngejewer gue waktu gue ngelantur…"

Karin duduk di sebelahnya, diam. Tak mencoba menyela. Biarkan Thom bicara. Biarkan luka itu keluar lewat kata-kata.

"Lo tenang di sana, ya… gue bakal terus bertahan. Gue janji." Thom menatap langit malam yang dipenuhi bintang, lalu memejamkan mata sejenak.

Udara malam menusuk, tapi pelan-pelan, semangat yang pernah dibagikan oleh kakaknya terasa hangat kembali dalam dadanya.

Tersisa 14 orang.

Angka itu terus terngiang di kepala Thom saat ia menatap ke api unggun yang perlahan mengecil. Semalam kehilangan Sony dan Vian masih menyisakan luka yang menganga di hati semua orang. Bahkan para militer yang terbiasa kehilangan terlihat lebih murung dari biasanya.

Letnan Miko berdiri di hadapan mereka semua, wajahnya serius.

"Kita mulai dari nol lagi," ucapnya. "Dari dua puluh, sekarang hanya empat belas. Tapi itu berarti empat belas orang yang masih bertahan. Empat belas jiwa yang harus terus maju."

Semua hening. Suara jangkrik malam dan gesekan api menjadi satu-satunya latar suara.

Thom duduk paling depan, matanya menatap api, namun pikirannya melayang. Ia merasakan kehadiran tanggung jawab baru. Sony sudah tak ada… kini dialah yang harus kuat, untuk adiknya yang sudah pergi, untuk teman-teman yang masih ada.

Karin menatap Thom sejenak, lalu menunduk. Kylie di sampingnya memeluk lutut, wajahnya kosong, masih syok atas kehilangan Vian.

Letnan Miko melanjutkan, "Besok kita akan evaluasi ulang. Latihan ditunda sehari. Kalian butuh istirahat… dan untuk beberapa, butuh waktu untuk berkabung. Tapi jangan lupa—"

Ia menatap mereka satu per satu.

"—dunia di luar pagar itu gak akan nunggu kalian sembuh. Kita harus siap."

Suara api yang meletup kecil menutup momen hening itu.

Empat belas orang. Masih hidup. Masih bertahan.

Untuk sekarang… itu cukup.

Esok paginya, Ajis yang lengannya sudah diamputasi akhirnya dipindahkan ke kamp pengungsian dengan pengawalan militer. Ia berpamitan lemah pada Thom dan Karin, tersenyum meski jelas rasa sakit masih menempel di wajahnya.

"Jaga diri kalian..." katanya lirih sebelum naik ke kendaraan.

Hari itu berjalan normal. Latihan ditiadakan. Semua sibuk memperbaiki pagar, memperkuat barikade, dan beristirahat.

Namun malamnya... semuanya berubah.

Sekitar tengah malam, suara aneh terdengar dari arah timur. Seperti gesekan logam, lalu jeritan singkat. Thom yang berjaga langsung siaga.

Kemudian—BRAAAK!

Salah satu sisi pagar roboh.

Puluhan zombie masuk menyerbu. Jeritan menggema. Suara tembakan membelah malam, panik dan kacau.

Letnan Miko berteriak memerintahkan evakuasi, tapi semuanya terlalu cepat. Zombie menyerbu dari berbagai arah, mengoyak siapa saja yang terlambat lari.

Thom menarik tangan Karin dan Kylie, membawa mereka ke sisi belakang tenda logistik. Letnan Miko menembak sambil mundur, menahan kerumunan.

"Kita harus keluar lewat gerbang selatan!" teriaknya.

Saat mereka lari melewati tenda-tenda yang terbakar dan tubuh-tubuh yang tergeletak, Thom bisa melihat semua—kehilangan lagi. Tak ada yang selamat.

Begitu mencapai luar pagar, mereka berempat berhenti. Nafas tersengal. Dunia terasa sunyi. Hanya suara zombie yang mengerang di kejauhan.

Tersisa... Thom, Karin, Kylie, dan Letnan Miko.

Empat orang.

Kamp pertahanan—jatuh.

Kylie terduduk di tanah, tubuhnya gemetar, wajahnya pucat. Matanya berkaca-kaca melihat ke arah reruntuhan kamp yang kini dipenuhi api dan jeritan samar. Napasnya tersengal, seperti ingin menangis namun tak sanggup.

"A-aku nggak bisa... aku nggak bisa, Thom..." gumamnya lirih, tangan menutupi wajah.

Thom mendekat perlahan, lalu berlutut di depannya. Ia menyentuh pipi Kylie dengan lembut, menuntunnya untuk menatap mata miliknya yang tegas tapi penuh empati.

"Hei, hei, Kylie..." Thom menenangkan suaranya, "Lihat gue... kita bisa selamat. Kita akan selamat."

Kylie menatapnya, air mata mengalir perlahan. "Tapi semua orang... semuanya..."

"Gue tahu. Tapi lo masih punya kita," ujar Thom pelan, tapi pasti. "Gue, Karin, Letnan Miko... kita nggak akan tinggalin lo. Kita bertahan bareng. Seperti yang selalu gue bilang."

Karin menatap mereka dari belakang, menggenggam erat tongkat senjatanya, lalu perlahan mendekat dan menaruh tangan di pundak Kylie.

Letnan Miko berdiri menjaga, matanya menatap sekitar, tapi sempat menoleh dan berkata pelan, "Kita nggak akan hancur di sini. Belum."

Malam itu... bukan hanya kehilangan yang mereka rasakan, tapi juga ikatan.

Mereka bukan lagi hanya bertahan hidup—mereka sudah menjadi keluarga di ujung dunia.

Malam itu sunyi. Mobil militer melaju pelan menembus kegelapan, hanya suara mesin dan deru angin yang terdengar. Di dalamnya, Thom duduk di belakang bersama Kylie dan Karin, sementara Letnan Miko menyetir dengan tenang, sesekali memantau kaca spion.

Thom menatap kosong ke luar jendela. Api dari kamp yang terbakar tadi masih terlihat samar di kejauhan. Setelah beberapa saat hening, ia akhirnya membuka suara.

"Ada yang gue pikirin akhir-akhir ini," katanya pelan, cukup jelas untuk didengar semua.

Kylie menoleh, matanya masih lelah, tapi penasaran. Karin juga menajamkan pendengarannya.

"Zombie-zombie itu..." Thom melanjutkan, "...gue sering liat beberapa dari mereka cuma diem aja. Kayak... mereka gak ngejar, gak ngeluarin suara. Mereka berdiri aja. Diam. Kayak nunggu sesuatu. Atau... ditahan sesuatu."

Letnan Miko mengangkat alis. "Maksudmu?"

"Gue gak yakin, tapi... mungkin mereka nggak sebebas itu. Mungkin ada... sesuatu yang mereka takutin. Atau mungkin ada batas yang belum kita tahu. Bisa jadi, zombie ini punya kelemahan yang belum kita lihat."

Karin menyambung, "Kayak... semacam naluri? Atau perintah yang bikin mereka nggak bisa sembarangan?"

"Ya," Thom mengangguk. "Entah itu suara, gelombang, cahaya... gue gak tahu. Tapi gue yakin, itu bukan cuma insting liar. Mereka kayak... dikendalikan. Atau diatur."

Suasana di dalam mobil jadi hening kembali, tapi bukan karena cemas—melainkan karena semuanya mulai berpikir.

Letnan Miko mengangguk pelan. "Kalau kamu benar, Thom... maka mungkin masih ada celah buat melawan mereka. Bukan cuma lari dan bertahan, tapi benar-benar melawan."

Mobil terus melaju, membawa mereka ke arah yang belum pasti. Tapi satu hal kini berubah: harapan. Sebuah kemungkinan kecil bahwa zombie tak sekuat yang selama ini mereka pikirkan.

Mobil militer akhirnya memasuki gerbang kamp pengungsian wilayah Kaper. Gerbang besi dibuka perlahan oleh dua orang penjaga bersenjata, wajah mereka penuh waspada namun juga lelah. Lampu sorot menerangi kendaraan saat mereka masuk, roda mobil menggilas kerikil di jalanan yang lapang tapi penuh tenda-tenda pengungsian.

Thom turun pertama, matanya menyapu sekeliling. Tempat itu lebih besar dari pangkalan sebelumnya, dengan lebih banyak tenda medis, dapur umum, dan pos keamanan. Namun, aroma kecemasan tetap menggantung di udara.

Kylie turun dengan langkah pelan, masih syok dengan kejadian semalam. Karin berjalan di sampingnya, menggenggam tangannya agar tetap tenang. Letnan Miko melangkah terakhir, memberikan hormat pada penjaga yang langsung mengenalinya.

"Letnan Miko. Kami pikir tak ada lagi yang selamat dari Sernaru…" kata salah satu komandan kamp, suaranya rendah.

"Kami kehilangan banyak orang," jawab Miko singkat. "Ini Thom, Karin, dan Kylie. Mereka anak-anak muda… tapi mereka pejuang."

Komandan itu menatap Thom sejenak, lalu mengangguk. "Kami akan tempatkan kalian di tenda isolasi dulu. Protokol wajib. Setelah itu, baru masuk ke barak utama."

Karin bergumam pelan ke Thom, "Kita benar-benar satu-satunya dari tempat itu…"

Thom menatap api unggun besar di tengah kamp. Beberapa orang duduk di sekitarnya, membungkus tubuh mereka dengan selimut. Anak-anak kecil menangis di pelukan ibu mereka. Di kejauhan, suara helikopter terdengar samar—tanda bahwa tempat ini masih hidup, masih berjuang.

"Kalau ini tempat terakhir yang tersisa…" gumam Thom lirih, "...maka gue gak akan biarin tempat ini jatuh juga."

Letnan Miko menepuk bahu Thom. "Dan gue percaya lo bisa bantu jaga tempat ini, Thom."

Malam pun turun di kamp Kaper. Tapi kini, api kecil harapan mulai menyala lagi—di antara reruntuhan yang tersisa.

Di dalam tenda medis, suasana hangat terasa meski udara malam mulai dingin. Thom, Karin, Kylie, dan Letnan Miko baru saja selesai menjalani pemeriksaan kesehatan dasar saat seorang perawat menunjuk ke arah ranjang di sudut ruangan.

"Dia udah nanyain kalian terus sejak tadi masuk," ucap si perawat.

Mereka menoleh, dan di sanalah Ajis—duduk bersandar dengan tangan kirinya masih diperban tebal. Wajahnya terlihat lebih kurus, tapi sorot matanya tetap kuat.

"Thom? Karin? Kylie?" serunya pelan, penuh rasa lega.

Thom mendekat cepat dan langsung memeluk Ajis dengan erat. "Gue gak nyangka kita bisa ketemu lagi, bro."

Ajis tertawa kecil walau terlihat menahan nyeri. "Gue juga. Tangan gue tinggal satu, tapi gue masih bisa ngomong kasar. Jadi, lumayanlah."

Karin tersenyum kecil. "Senang lihat lo selamat."

Ajis melirik Letnan Miko dan mengangguk hormat. "Terima kasih, Letnan."

Letnan Miko membalas dengan anggukan singkat. "Bukan cuma karena gue. Thom yang nyelametin lo waktu itu."

Ajis menatap Thom dengan mata berkaca-kaca. "Gue gak akan lupa. Serius."

Thom menepuk bahunya pelan. "Yang penting lo masih hidup. Itu cukup buat sekarang."

Ajis menarik napas dalam dan mengangguk pelan. "Gue udah dengar… semuanya," katanya lirih.

Suasana langsung hening. Tak ada yang perlu dijelaskan lagi.

Kylie mendekat, duduk di sisi ranjang. "Kita udah kehilangan banyak. Tapi sekarang… kita di sini. Masih ada."

Letnan Miko memecah keheningan, tegas tapi tenang, "Di tempat ini, kita mulai dari awal. Yang tersisa harus jadi yang paling kuat."

Dan di balik rasa duka yang belum selesai, tekad mereka perlahan mulai tumbuh kembali.

Di luar tenda, udara dingin malam mulai menusuk. Letnan Miko berdiri di samping radio komunikasi militer yang terpasang di pos utama. Dengan nada tegas namun lelah, ia menekan tombol transmisi dan berbicara.

"Komandan Raka, ini Miko dari unit pertahanan Kaper. Kami hanya tinggal empat orang. Pangkalan Sernaru telah jatuh… Saya ulangi, pangkalan Sernaru telah jatuh."

Suara dari radio terdengar setelah jeda beberapa detik, penuh interferensi.

"...kami terima, Letnan. Teruskan laporan."

Miko menarik napas. "Kami berhasil selamat dan tiba di kamp Kaper. Tapi kondisi tidak stabil. Kami butuh evakuasi. Permintaan saya—izinkan tim medis dan logistik dari Jakarta pusat menjemput kami dan memindahkan ke pangkalan utama sementara. Tempat ini tidak aman, dan kami tak punya cukup sumber daya bertahan lebih lama."

Hening.

Lalu, suara Komandan Raka kembali terdengar. Kali ini suaranya berat dan penuh tekanan.

"Permintaan ditolak, Letnan. Jakarta pusat sedang siaga merah. Kami tidak bisa ambil risiko membawa kontaminasi dari luar ke dalam wilayah aman."

Miko mengepal tangannya. "Dengan segala hormat, Komandan… jika kalian tak datang, kalian akan kehilangan satu-satunya saksi langsung dari insiden Sernaru dan informasi yang kami kumpulkan tentang kelemahan zombie."

"Kami akan mengirim drone pengintai dan suplai terbatas, tapi tidak ada evakuasi untuk saat ini. Bertahanlah. Itu perintah."

Klik.

Radio terdiam.

Miko menatap alat itu beberapa detik, lalu memalingkan wajahnya, menahan emosi yang mendidih. Ia berjalan keluar tenda, dan Thom langsung menatapnya penuh harap.

"Gimana, Letnan?" tanya Thom.

Miko hanya menggeleng pelan. "Kita gak bakal dijemput. Jakarta nggak mau ambil risiko. Mereka pikir kita bisa bawa wabah masuk."

Kylie menutup mulutnya, shock. Karin mengepalkan tangan, matanya merah menahan marah.

Thom menatap tanah. "Jadi… kita bener-bener sendirian."

Miko menatap mereka satu-satu, lalu berkata dengan nada berat, "Kalau mereka gak mau jemput kita... maka kita yang harus jalan ke sana."

Miko menatap Thom yang berdiri tegak, matanya penuh api semangat yang tak padam meski kelelahan dan kehilangan terus menghantamnya.

"Ada helikopter di sini, kan?" tanya Thom, nadanya penuh dorongan. "Kenapa kita nggak bawa aja sendiri ke Jakarta pusat?"

Kylie dan Karin langsung menoleh, berharap-harap cemas. Ajis yang duduk tak jauh ikut memperhatikan, meski tangannya masih diperban.

Letnan Miko mendesah berat. "Ada. Tapi bukan helikopter biasa. Itu heli transport militer. Butuh dua pilot terlatih dan sistem navigasi yang sudah setengah rusak."

Thom mengerutkan dahi. "Tapi lo mantan pilot, kan?"

Miko menatapnya tajam. "Iya. Tapi pilot tempur, bukan transport. Dan satu lagi... tangki bahan bakarnya tinggal setengah. Kita harus isi penuh biar bisa sampai Jakarta."

Thom melirik Karin dan Kylie. "Lalu isi bahan bakarnya di mana?"

Miko mengangguk pelan. "Ada depo cadangan sekitar lima kilometer dari sini. Tapi area itu... udah dikuasai zombie sejak seminggu lalu. Risiko tinggi."

Kylie menelan ludah. "Jadi… kalau kita mau selamat, kita harus masuk sarang zombie lagi?"

Thom mengepalkan tangan. "Kalau itu satu-satunya cara keluar dari neraka ini… gue ikut."

Miko mengangguk pelan. "Besok pagi, kita bergerak. Siapkan diri kalian. Misi ini bukan cuma soal bertahan hidup… tapi juga kesempatan terakhir kita keluar dari mimpi buruk ini."