War Of The Dead

Pagi itu, udara masih dingin dan sepi. Di antara reruntuhan dan tenda-tenda darurat, Thom duduk di atas kotak logistik, menggigit roti lapis seadanya. Di sampingnya, Karin duduk sambil menghangatkan tangan dengan cangkir kopi.

"Lo kenapa?" tanya Karin, melirik wajah Thom yang kelihatan agak kosong.

Thom mengunyah pelan, lalu menarik napas panjang. "Semalam… Kylie minta balikan."

Karin langsung berhenti meniup kopinya, menoleh cepat. "Hah? Serius?"

Thom mengangguk pelan, menatap roti di tangannya seolah berharap jawabannya ada di sana.

"Gue nggak tahu harus jawab apa," lanjut Thom. "Di satu sisi, gue masih ada rasa... tapi di sisi lain, situasi sekarang gila banget, Rin. Bukan waktu yang tepat buat mikirin perasaan."

Karin menatap Thom dalam-dalam. "Terus... lo gimana perasaan lo ke dia?"

Thom menatap mata Karin sebentar, lalu menunduk lagi. "Gue juga belum tahu."

Karin mengangguk pelan. Senyumnya tipis, agak getir, tapi tulus. "Ya udah. Yang penting sekarang... kita harus tetap hidup dulu. Perasaan bisa nyusul."

Thom menoleh pelan dan tersenyum tipis. "Lo bener. Kita harus fokus ke bahan bakar dulu."

Mereka berdua diam sejenak, hanya ditemani suara angin dan denting kaleng makanan yang tertiup. Hari ini… mereka akan mulai misi paling berbahaya.

Tak lama setelah percakapan di antara Thom dan Karin, suara langkah kaki berat terdengar mendekat. Letnan Miko berdiri di tengah kamp, wajahnya serius seperti biasa. Ia menepuk tangannya dua kali untuk menarik perhatian semua orang.

"Dengerin semuanya," katanya dengan suara tegas. "Barusan saya kontak langsung dengan pusat. Kita dilarang keluar dari wilayah pengungsian ini, dalam keadaan apa pun. Mereka khawatir ada yang bawa jejak infeksi ke luar."

Beberapa orang langsung saling pandang. Suasana mendadak terasa makin sempit dan mencekam.

"Untuk sekarang," lanjut Letnan Miko, "kita nggak bisa berbuat apa-apa selain bertahan. Hari ini mereka akan kirim stok makanan dari pusat lewat udara. Helikopter akan drop paket-paket logistik sore nanti."

Kylie yang duduk di dekat Thom menarik napas lega, tapi wajahnya masih murung.

"Kita akan berada di sini minimal satu minggu, sampai mereka yakin tempat ini aman dan bisa diproses lebih lanjut," kata Miko. "Jadi manfaatin waktu ini buat istirahat, ngecek persediaan, dan tetap waspada."

Thom mengangguk pelan, menoleh ke arah langit yang mendung.

"Seminggu di tempat seperti ini... bisa jadi terasa seumur hidup," gumamnya.

Karin menepuk pelan bahu Thom. "Yang penting kita masih hidup, Thom. Itu yang utama."

Dan di kejauhan... suara samar helikopter mulai terdengar.

Sorenya, suara helikopter semakin jelas menggema di langit. Semua orang di kamp segera keluar dari tenda masing-masing dan menatap ke atas. Rotor berputar kencang, debu dan angin beterbangan ke segala arah saat helikopter perlahan menurunkan ketinggiannya di lapangan terbuka.

Beberapa tentara bersenjata bersiaga, mengamankan area sekitar pendaratan. Thom, Karin, Kylie, dan Letnan Miko berdiri di tepi lapangan, memperhatikan proses dengan hati-hati.

Kotak-kotak besar dijatuhkan menggunakan tali dari helikopter. Begitu semua paket turun, heli kembali naik dan melesat pergi, meninggalkan suara menggema dan keheningan yang perlahan kembali menyelimuti kamp.

"Ambil satu-satu! Jangan rusak!" teriak salah satu tentara.

Letnan Miko membuka salah satu kotak. Isinya makanan kaleng, air mineral, masker, dan beberapa obat-obatan. Wajahnya tampak lega, meskipun matanya tetap awas.

Thom membuka satu kotak lain, lalu menyerahkan sebotol air pada Kylie. "Akhirnya datang juga. Kita masih punya harapan."

Kylie mengangguk. "Tapi… ini cuma cukup buat seminggu, ya?"

Miko yang mendengar itu menoleh. "Iya. Dan setelah itu… kita harus ambil keputusan besar."

Karin memandang ke arah luar pagar kamp, samar-samar terlihat beberapa zombie masih berdiri diam di kejauhan—tak bergerak, seperti menunggu.

Thom menatap mereka tajam.

"Kayaknya... sebelum seminggu berakhir, kita harus tahu kenapa mereka diam. Karena itu bisa jadi satu-satunya kunci buat kita keluar hidup-hidup."

Malam itu udara terasa lebih dingin dari biasanya. Api unggun kecil menyala di tengah kamp, memberikan sedikit kehangatan di tengah kesunyian yang mencekam. Thom duduk di sebelah Letnan Miko, diam-diam menatap kobaran api.

"Letnan... ada rokok?" tanya Thom pelan.

Miko menoleh, alisnya terangkat. "Kau masih anak SMA."

Thom menatapnya sebentar, lalu mengangkat bahu. "Mantan anak SMA, mungkin. Dunia berubah, Letnan."

Miko menarik napas, lalu merogoh saku bajunya. Ia melemparkan sebungkus rokok ke arah Thom. "Jangan bilang siapa-siapa."

Thom menangkapnya, lalu menarik sebatang. Ia menyalakan rokok itu dengan korek dari kantong Miko. Asap pertama keluar dari mulutnya, diikuti helaan napas panjang.

"Pertama kali?" tanya Miko, memperhatikan.

Thom tersenyum samar. "Enggak. Dulu... pas kabur dari rumah."

Mereka terdiam sebentar. Hanya suara api dan gesekan angin yang terdengar.

Miko akhirnya berkata, "Kau cepat dewasa, Thom. Lebih cepat dari yang seharusnya. Tapi jangan biarkan rasa bersalahmu membakar habis siapa dirimu."

Thom menatap api unggun. Matanya menyipit di balik asap.

"Justru itu, Letnan. Kalau rasa bersalah ini bisa bikin gue tetap hidup... gue biarin aja dia nyala."

Tak lama setelah itu, Letnan Miko bangkit dari duduknya, menepuk pundak Thom pelan sebelum berjalan masuk ke dalam barak. Thom tetap di tempatnya, menatap nyala api yang mulai mengecil, rokok masih terselip di antara jari-jarinya.

Langkah ringan terdengar mendekat. Kylie muncul dari balik tenda, matanya langsung mengarah ke Thom yang duduk sendirian.

"Masih merokok aja?" ucap Kylie dengan nada setengah bercanda, setengah cemas.

Thom menoleh sekilas, lalu mengangkat bahunya. "Cuma buat nenangin kepala."

Kylie duduk di sampingnya, agak ragu. Mereka terdiam sebentar, angin malam berhembus pelan melewati rambut mereka.

"Aku nggak nyangka kamu jadi kayak gini," ucap Kylie pelan. "Dingin... kuat... beda."

Thom menghembuskan asap ke udara. "Kalau kita nggak berubah, kita udah mati dari dulu, Ky."

Kylie menatapnya dalam diam. "Tapi aku masih bisa lihat Thom yang dulu, sedikit... di balik tatapan lo yang sekarang."

Thom menoleh, menatap Kylie sesaat. Kemudian ia mematikan rokoknya di tanah, menghentikan bara terakhir.

"Kalau masih bisa lo liat, berarti gue belum sepenuhnya hilang." Thom berdiri pelan. "Ayo masuk. Malam panjang, dan kita masih butuh tenaga buat besok."

Kylie menatapnya sebentar, lalu tersenyum tipis. "Iya. Besok... semoga lebih tenang."

Mereka berdua berjalan masuk ke tenda, meninggalkan api unggun yang mulai padam.

Dari kejauhan, di balik bayangan tenda yang gelap, Karin berdiri diam sambil menyilangkan tangan di dada. Matanya menatap ke arah Thom dan Kylie yang berjalan berdampingan menuju tenda.

Tatapan itu kosong… tapi jelas ada sesuatu di baliknya. Bukan marah. Bukan juga cemburu. Lebih seperti... kecewa dan bingung.

Karin menarik napas pelan, lalu menunduk. Tangannya meremas lengan jaket militernya sendiri. Ia tidak menyangka perasaannya mulai tumbuh untuk Thom. Dan sekarang—entah kenapa—melihat Kylie dekat lagi dengan Thom membuat dadanya terasa sesak.

"Bodoh," gumamnya sendiri. "Ini bukan waktunya mikirin kayak gitu."

Ia berbalik, berjalan perlahan menuju tenda lain. Malam makin larut, dan besok... besok mereka harus kembali menghadapi dunia yang kacau.

Namun, bayangan punggung Thom dan Kylie malam itu terus menari-nari di kepalanya.