Pagi itu, Thom baru saja selesai mencuci wajah saat ia melewati ruangan kecil dekat pos komunikasi. Pintu setengah terbuka, dan suara Letnan Miko terdengar jelas di dalam, sedang berbicara lewat radio dengan seseorang dari pusat.
"Kami tidak bisa menahan mereka lebih lama… mereka mulai curiga."
Suara di radio menjawab, datar dan dingin, "Biarkan saja mereka tetap di sana. Jika zombie mendekat, mereka akan menjadi pengalih. Kami tidak bisa ambil risiko membawa potensi penyebar virus ke Jakarta."
Thom terdiam. Matanya membelalak, napasnya memburu. Ia mundur perlahan, lalu berbalik dan berjalan cepat, hampir berlari, masih mengenakan pakaian militer lengkapnya.
Beberapa menit kemudian, ia tiba di belakang tenda medis. Karin, Kylie, dan Ajis sedang duduk di tanah, mengikat tali sepatu atau memeriksa perlengkapan.
"Kita harus bicara," kata Thom cepat.
Ketiganya langsung menoleh. Ada urgensi di mata Thom, nada suaranya tegang.
"Ada apa, Thom?" tanya Karin pelan.
Thom menatap mereka satu per satu, lalu berkata pelan namun tajam, "Kita bukan diungsikan buat diselamatkan… kita dijadiin umpan."
Kylie mengerutkan dahi. "Apa maksud lo?"
Thom menjelaskan percakapannya tadi dengan suara rendah tapi jelas. Wajah Karin memucat. Ajis yang duduk bersandar di tiang, mengepalkan satu-satunya tangannya yang masih utuh.
"Jadi... kita cuma pion?" gumam Ajis.
Thom mengangguk pelan. "Kita harus kabur dari sini. Atau... kita nggak akan pernah keluar hidup-hidup."
Keheningan menyelimuti mereka. Tapi di tengah udara pagi yang dingin, tekad mulai menyala di mata mereka.
Thom menarik napas dalam, lalu berkata tegas, "Kita harus pakai baju militer. Lengkap. Biar terlihat kayak anggota pengawal."
Karin menatapnya penuh pertimbangan. "Terus gimana keluar dari gerbang? Dijaga ketat."
"Kita menyamar," ujar Thom cepat. "Ngaku aja kalau kita dapet perintah dari Letnan Miko buat patroli keliling perimeter. Kita jalan kaki, nanti baru cari kendaraan di luar batas pos."
Kylie menggigit bibir bawahnya, jelas ragu. "Kalau ketahuan, kita bisa ditembak, Thom."
"Aku tahu," kata Thom, suaranya mulai pelan, tapi tetap mantap. "Tapi kalau kita nggak ngelakuin apa-apa, kita juga bakal mati di sini. Kita cuma... jadi tumbal. Gua nggak mau jadi pion buat mereka."
Ajis mengangguk pelan, walau wajahnya pucat. "Gue ikut. Selama tangan gue masih bisa nembak, gue akan bantu."
Thom menatap mereka satu per satu, lalu berkata lirih, "Nanti malam. Waktu jaga ganti. Kita kumpul di belakang tenda suplai. Ambil perlengkapan secukupnya. Jangan bawa yang berat."
Karin menunduk, lalu mengangguk. Kylie masih terlihat ragu, tapi akhirnya menghela napas dan berkata, "Baik. Gue nggak mau mati sia-sia juga."
Rencana sudah dibuat. Mereka hanya tinggal menunggu malam tiba—dan mempertaruhkan segalanya demi kebebasan.
Sementara itu, Letnan Miko duduk di dalam tendanya, wajahnya suram. Di meja kecilnya, radio masih menyala dengan suara statis dan sesekali instruksi dari pusat yang terdengar dingin dan tak peduli.
Ia menatap dokumen laporan yang baru saja ia tanda tangani—persetujuan operasi pengalihan zombie ke arah kamp pengungsi. Tangannya gemetar sedikit.
"Apa yang gue lakuin…" gumamnya lirih.
Matanya mulai memerah, bukan karena lelah, tapi karena penyesalan yang menumpuk.
"Kalau aja gue nggak ikut campur… mereka—anak-anak itu, orang-orang itu—mungkin masih punya harapan lain."
Ia berdiri perlahan, menarik napas dalam-dalam, lalu melepas topi militernya. Ia menatap simbol di dadanya dengan ekspresi getir.
Tak tahan, ia keluar dari tenda, melangkah pelan ke arah jalan kecil di belakang barak. Udara malam dingin menyambutnya, tapi kepalanya terasa panas. Ia berjalan tanpa arah, hanya ingin menjauh dari suara, dari beban, dari semua yang telah ia lakukan.
Dari kejauhan, Thom memperhatikan sosok Miko yang melangkah perlahan. Tapi ia tak berkata apa-apa. Dalam hati, ia tahu—bahkan orang sekeras Letnan Miko pun bisa hancur karena nurani.
Thom memimpin jalan, langkahnya cepat dan senyap. Mereka menyelinap melewati tenda-tenda penjaga, menuju gudang persenjataan kecil yang dijaga ringan karena sudah dianggap aman.
"Di sini," bisik Thom sambil menunjuk ke arah pintu yang sedikit terbuka.
Ajis yang satu tangannya sudah terbiasa tanpa lengan kiri, berjaga di belakang sambil memegang besi panjang. Kylie menempel di belakang Karin, wajahnya tegang.
Thom membuka pintu perlahan, berderit sedikit, namun tidak ada yang datang. Gudang itu kosong.
"Ambil yang kalian bisa," kata Thom cepat.
Karin mengambil senapan kecil dan beberapa peluru cadangan. Kylie memegang pisau militer yang disarungkan di pinggangnya. Ajis mengangkat shotgun yang sudah tidak terlalu berat, cocok untuk satu tangan. Thom sendiri mengambil senapan laras panjang dan menyelipkan pistol di ikat pinggangnya.
Setelah mengambil persenjataan, mereka menuju ke ruang penyimpanan perlengkapan militer.
"Ganti pakaian di sini. Kita harus terlihat seperti pasukan yang mau patroli keluar," ujar Thom sambil mulai mengenakan rompi taktis dan helm ringan.
Mereka semua berganti pakaian dengan cepat. Kini, keempatnya tampak seperti tim tempur sungguhan.
"Kalau kita keluar dari gerbang timur saat jam pergantian jaga, kita punya waktu sekitar lima menit sebelum mereka sadar," ucap Thom mantap.
Ajis mengangguk. "Berarti nggak boleh ada yang ragu. Sekali keluar, gak ada jalan balik."
Karin menarik napas panjang. "Gue siap."
Kylie memandang Thom. "Gue ikut lo sampai akhir."
Thom menatap satu per satu wajah mereka, lalu menaruh tangan di atas dadanya.
"Oke. Kita kabur malam ini."
Letnan Miko berdiri di depan mereka, tubuhnya tegap, sorot matanya tegas tapi ada rasa bersalah yang kentara.
"Aku ikut," katanya singkat.
Thom menghentikan langkahnya. Tangan masih memegang senjata, tubuhnya tegang. Ia menatap Miko lurus-lurus.
"Jangan bilang lo sekarang mau ikut setelah mau bawa kami ke jebakan umpan itu, Letnan." Suaranya tajam, penuh emosi yang ditahan.
Miko menarik napas, lalu meletakkan senjatanya di tanah perlahan sebagai tanda tidak berniat menyerang.
"Aku gak tahu rencana kotor itu sampai semalam. Setelah denger sendiri, gue sadar... pusat udah gak bisa dipercaya. Mereka anggap kita semua cuma alat. Lo pikir gue gak marah? Mereka bunuh anak-anak di usia kalian seolah nyawa kalian cuma angka."
Karin menatap Thom sejenak, lalu bicara pelan, "Gue percaya dia."
Ajis ikut angguk pelan. "Dia nolong kita banyak hal."
Thom masih menatap tajam, rahangnya mengeras. Tapi akhirnya ia mengangguk singkat.
"Kalau lo bohong, atau coba macam-macam..." Thom mengarahkan jarinya ke dada Miko, "Gue sendiri yang tembak lo."
Miko mengangguk, matanya serius. "Deal. Sekarang kita pergi dari tempat busuk ini."
Mereka berempat—Thom, Karin, Kylie, Ajis—ditambah Letnan Miko, mulai bergerak keluar dari wilayah kamp pengungsian. Langkah mereka cepat tapi hati-hati, menyusuri lorong-lorong gelap di antara tenda dan barak, menghindari sorotan lampu patroli militer lain.
Tujuan mereka jelas: depo cadangan, lima kilometer dari kamp, tempat yang disebut-sebut masih menyimpan suplai, senjata, dan kendaraan darurat.
"Depo itu dulunya tempat simpan cadangan logistik dan senjata. Kalau beruntung, kita bisa temukan kendaraan buat kabur lebih jauh," bisik Miko sambil berjalan paling depan.
Kylie merapat ke belakang Thom, tangan masih gemetar. "Jalanan aman, kan?"
Ajis, meski dengan satu tangan yang masih diperban, menenangkan. "Lebih aman daripada tinggal dan jadi umpan."
Begitu melewati pagar luar, mereka mulai berlari pelan, menyeberangi jalur tanah terbuka menuju jalan setapak. Suara alam malam terasa mencekam—sunyi, hanya sesekali angin yang menggesekkan dedaunan kering.
Thom menatap jauh ke depan, napasnya dalam. Dalam benaknya, hanya satu tekad—selamatkan mereka semua. Jangan ada lagi yang mati.
Langkah kaki terus bergema dalam gelap, meninggalkan kamp di belakang.
Depo cadangan... jadi harapan terakhir mereka.
Setelah satu jam berjalan tanpa gangguan besar, mereka menemukan bangunan kosong—bekas pos pemeriksaan tua di pinggir jalan. Dindingnya retak, tapi cukup aman untuk istirahat sementara. Letnan Miko memberi isyarat untuk masuk dan beristirahat sejenak.
"Gue ambil jaga pertama," kata Thom sambil duduk di ambang pintu dengan senapan di tangan.
Ajis mengangguk. "Oke. Gue gantian nanti. Kita nggak bisa tidur semua."
Di dalam, Karin dan Kylie duduk bersandar pada dinding. Kylie memeluk lututnya, wajahnya lelah. Karin menatap Thom dari jauh, matanya penuh khawatir.
Setengah malam berlalu. Giliran jaga berpindah ke Ajis. Thom akhirnya duduk di pojok ruangan, memejamkan mata sebentar. Tapi saat semuanya mulai tenang...
Letnan Miko mendekat ke Thom pelan, lalu berbisik. "Kalau kita mau kabur jauh dari pusat dan bukan ke depo... sekarang kesempatan terbaik. Jalanan masih sepi. Tapi kita harus milih sekarang. Lanjut ke depo, atau... cari rute alternatif?"
Thom menatapnya lama. "Kalau kita ke depo, bisa dapat kendaraan. Tapi kalau itu jebakan...?"
Karin yang ternyata masih terjaga ikut bicara pelan, "Kalau ini kesempatan kabur dari semua... kita ambil. Tapi kita harus sepakat."
Thom berdiri perlahan, menatap satu per satu—Ajis, Kylie, Karin, lalu Miko.
"Siapa pun yang masih mau percaya sama tempat aman, silakan lanjut. Tapi gue… lebih milih bertahan bareng kalian, di luar sistem busuk itu."
Kesempatan untuk kabur... kini tergantung keputusan mereka semua.