War Of The Dead

Pagi harinya, matahari baru saja naik saat Thom membangunkan yang lain. Mereka bergerak cepat, mengenakan pakaian militer yang sudah kotor dan sobek. Letnan Miko menyamarkan nomor identitas di seragam mereka, dan Ajis yang kini terbiasa dengan satu tangan membantu menyiapkan perlengkapan.

Mobil yang mereka curi malam sebelumnya disiapkan, dan tanpa suara berlebihan, mereka meluncur menuju Depo Cadangan sejauh lima kilometer.

Perjalanan terasa menegangkan. Jalanan sepi, hanya sisa-sisa kehancuran dan mayat zombie yang mengering di pinggir. Sesekali, Thom melirik ke kaca spion, berjaga kalau ada yang mengikuti.

Setelah hampir satu jam, mereka sampai.

Depo itu lebih besar dari perkiraan. Dikelilingi pagar tinggi dan pos penjagaan dengan militer pusat yang berjaga ketat. Helikopter tampak parkir di landasan kecil di sisi kanan. Aktivitas di dalam terlihat sibuk—militer memindahkan peti-peti logistik.

Mereka memarkir mobil cukup jauh, lalu menyelinap ke area semak di belakang depo.

"Banyak penjaga," bisik Karin.

"Kita nggak bisa langsung masuk," sahut Ajis. "Tapi kalau bisa masukin satu orang ke dalam bangunan itu... kita bisa tahu isi dalamnya, atau bahkan ambil kendaraan."

Letnan Miko menatap sekeliling, lalu menunjuk sebuah saluran pembuangan di balik tumpukan tong kosong.

"Itu... bisa jadi jalan masuk."

Thom mengangguk. "Oke. Kita tunggu momen yang pas. Tapi kalau ketahuan... ini bakal jadi pelarian terakhir kita."

Mereka bersembunyi, napas tertahan, menunggu kesempatan untuk bergerak.

Kylie menghela napas panjang, lalu akhirnya angkat suara dengan nada mantap.

"Percuma kita sembunyi begini terus. Keadaan belum memungkinkan buat masuk. Kita cari hari yang pas buat menyusup. Hari ini... mending cari tempat tinggal dulu, perumahan atau bangunan kosong buat kita berteduh dan rencanain langkah selanjutnya."

Thom mengangguk pelan, menyetujui. "Bener. Kita gak bisa terus di semak-semak kayak tikus. Bisa-bisa malah menarik perhatian."

Letnan Miko menunjuk arah kiri, ke jalan kecil yang membelah hutan semak. "Dulu waktu operasi awal, pernah ada kompleks perumahan kecil sekitar satu kilometer dari sini. Mungkin masih bisa dihuni."

Mereka segera bergerak, menyelinap keluar dari tempat persembunyian tanpa menarik perhatian militer depo. Jalan yang mereka tempuh menurun dan agak becek, tapi sunyi. Sesekali mereka dengar geraman zombie dari kejauhan, tapi tak ada yang mendekat.

Setelah sekitar dua puluh menit, mereka tiba di area perumahan yang sudah lama ditinggalkan. Beberapa rumah terlihat masih utuh, hanya dipenuhi debu dan tanaman liar.

Ajis membuka salah satu pintu dengan bahu, "Bisa dipakai. Lumayan luas juga."

Karin masuk lebih dulu, menyapu debu di meja. "Kita bersih-bersihin sedikit, pasang pengaman di pintu dan jendela. Malam ini kita istirahat dulu. Besok baru mulai susun rencana buat masuk ke depo itu."

Thom berdiri di depan jendela, menatap ke arah matahari yang mulai turun. "Kita nggak bisa lama-lama di sini. Tapi untuk malam ini... kita aman."

Karin membuka rak dapur satu per satu, mencari sesuatu yang masih bisa dimakan. Tangannya bergerak cepat, matanya tajam menyapu setiap sudut. Ia lalu membuka kulkas — kosong, hanya sisa botol air dan kaleng yang sudah berkarat.

"Rak-raknya hampir kosong... tapi di kulkas ada air, meski gak banyak," katanya sambil membawa botol yang masih tersegel.

Di ruang tamu yang gelap dan berdebu, Letnan Miko duduk bersandar di dinding, wajahnya muram. Ia menatap Thom, Karin, Ajis, dan Kylie satu per satu sebelum akhirnya membuka suara.

"Ada sesuatu yang harus kalian tahu." Suaranya berat. "Wilayah ini... termasuk zona yang akan dibom habis oleh pusat."

Semua langsung menoleh.

"Bom besar, napalm. Biar bersih. Mereka udah nentuin lokasi pengungsian terakhir—dan kalian tahu kenapa mereka gak mau jemput kita?"

Thom menyipitkan mata, wajahnya menegang.

Miko melanjutkan, "Karena tempat itu dijadiin titik kumpul terakhir buat umpan. Para pengungsi dikumpulin di satu titik... lalu diledakkan bareng zombie. Biar wabah terkontrol dan gak nyebar ke daerah lain."

Ajis mencengkeram ujung perban di lengannya, wajahnya penuh amarah. "Jadi kita semua cuma dijadiin... tumbal?"

"Makanya gue ikut kabur," Miko menunduk. "Gue gak bisa diam ngeliat itu semua. Kita harus tembus depo. Ambil data dan alat komunikasi. Satu-satunya cara biar suara kita didengar—dan rencana gila itu dibatalkan."

Thom berdiri perlahan, matanya dingin. "Kalau pusat nganggep kita cuma angka yang bisa dihapus, kita bakal buktiin... kalau kita bisa melawan."

Kylie berdiri membeku sejenak, napasnya tercekat. Matanya berkaca-kaca, lalu ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela yang retak.

"Dasar brengsek..." gumamnya pelan tapi penuh amarah.

Thom menatapnya sejenak, lalu mengepalkan tangan. Ajis masih diam, tapi wajahnya jelas menunjukkan hal yang sama—rasa dikhianati. Sedangkan Karin menatap Letnan Miko dengan campuran bingung dan geram.

Letnan Miko tak menjawab. Ia hanya menghela napas panjang, seolah tak punya pembelaan lagi.

Hening menyelimuti ruangan, hanya suara angin dari celah jendela yang terdengar... sebelum akhirnya Thom memecahnya, tenang tapi penuh tekad, "Kalau kita semua dijadikan umpan, ya udah... kita jadi umpan yang melawan."

BRAK!

Suara keras terdengar dari belakang rumah. Karin yang sedang memeriksa rak dapur langsung menegang. Dari balik pintu kayu yang sedikit terbuka, terdengar suara gresek... gresek..., seperti sesuatu yang diseret.

Karin perlahan meraih pistol di pinggangnya, jantungnya berpacu cepat. Ia mendekat, membuka pintu perlahan.

Seekor zombie menyembul, tubuhnya membusuk dan mata kosong menatap liar. Tanpa ragu, Karin menarik pelatuk.

DOR!

Peluru menembus kepala zombie itu, langsung membuatnya terhuyung dan jatuh tak bergerak. Darah hitam merembes di lantai.

Suara tembakan membuat Thom, Kylie, Ajis, dan Letnan Miko yang sedang memeriksa sisi depan rumah sontak menoleh.

"Karin?!" teriak Thom, langsung berlari ke arah suara.

Karin berdiri dengan napas tersengal, pistol masih terangkat, tubuh sedikit gemetar tapi matanya tegas.

"Ada satu nyasar... udah beres," katanya singkat.

Letnan Miko mengangguk pelan. "Bagus respon lo cepat."

Kylie menatap Karin dengan kagum, lalu ikut berjaga sambil berkata pelan, "Gue rasa kita bener-bener gak bisa lengah sekarang."

Thom berjalan pelan keluar rumah, menelusuri sisi-sisi pekarangan sambil mengangkat senjatanya, memastikan semuanya aman. Tiba-tiba, dari arah tempat sampah di pojokan, terdengar suara gemeretak.

"Siap-siap!" bisik Thom ke dirinya sendiri.

Ia mendekat perlahan, lalu...

"De nono manusia aku... asi tembak aku ra nono... Tolong ke go nono iyo..."

Seorang pria lusuh keluar dari balik tumpukan sampah, tangannya terangkat, wajahnya ketakutan, dan tubuhnya penuh luka tapi bukan gigitan. Thom bingung, menatap pria itu yang masih berbicara dengan cepat dalam bahasa asing.

"Lo ngomong apa, Bro...?" gumam Thom bingung, tapi tetap sigap.

Thom lalu menarik pria itu perlahan ke dalam rumah. Yang lain sudah menunggu di dalam, langsung menodongkan senjata.

"Dia manusia! Dia manusia!" seru Thom cepat.

Pria itu masih berbicara, penuh nada cemas.

"Ngasang gaku Tino ra... nia main hemi go?"

Ajis geleng-geleng. "Thom, percuma... Orang Manggarai, bahasanya aja udah kayak sandi rahasia."

"Dia bilang apa?" tanya Kylie dengan alis terangkat.

Karin maju, mengangkat tangan. "Gue ngerti dikit. Dia bilang namanya Tino. Terus dia nanya kita dari mana."

Tino melanjutkan, masih cepat, dengan suara seperti terbata karena trauma.

"Rebaong aku ita sangget taung ata akit cama tau..."

Karin menerjemahkan pelan, menatap mereka satu-satu. "Dia bilang... tadi dia lihat semua orang saling gigit."

Ajis mendesis, "Wah... berarti dia saksi mata kejadian di sekitar sini."

Thom melonggarkan senjatanya, menatap pria itu yang kini duduk gemetar.

Kylie nyengir sedikit sambil berbisik ke Karin, "Kalau semua zombie kayak dia, mungkin kita bisa ngobrol dulu sebelum ditembak."

Miko ngedumel, "Lucu-lucu... tapi kalau dia beneran saksi, bisa jadi kita tahu lebih banyak soal apa yang terjadi di wilayah ini."

Dan mereka pun duduk melingkar, mendengarkan Tino yang masih berbicara dengan dialek khas Manggarai... sementara Karin jadi penerjemah dadakan, dengan ekspresi setengah bingung, setengah ketawa.

Letnan Miko menyipitkan mata, menatap Tino yang masih berbicara dalam bahasa daerahnya dengan nada terbata.

"Logatnya…" gumam Miko pelan, lalu menoleh ke Thom dan Karin. "Aku pernah dengar logat ini sebelumnya. Salah satu rekan militerku dulu, dia asli Kempo. Logatnya sama persis."

Karin menoleh dengan alis terangkat. "Jadi dia dari Kempo?"

Miko mengangguk pelan. "Kemungkinan besar. Gaya bicaranya, intonasinya—itu khas banget."

Tino yang mendengar nama "Kempo" langsung mengangguk cepat.

"Iyo, Kempo. Saya dari sana. Tapi semua sudah habis…," katanya dengan campuran bahasa Indonesia dan daerah, nadanya muram.

Ajis menyikut Thom. "Nah lo, makin jelas. Nih orang asli sini."

Thom mengangguk. "Dan kalau dia selamat sendirian sampai sekarang, berarti dia tahu sesuatu yang kita nggak tahu."

Miko menatap Tino dalam-dalam. "Kalau begitu, kamu ikut kami. Tapi jangan coba-coba macam-macam."

Tino mengangkat kedua tangannya cepat, "Tidak! Saya cuma mau hidup!"

Kylie menoleh ke Karin, lalu berbisik pelan. "Suaranya mirip kayak kakek di film kartun, ya."

Karin hanya tertawa kecil. Suasana sedikit mencair, tapi ketegangan tetap menggantung di udara. Mereka belum tahu apa yang menunggu esok hari.

Sore itu, matahari mulai turun, cahaya keemasan menyorot lembut dari celah-celah awan. Thom dan Letnan Miko memantau dari balik reruntuhan rumah yang hancur sebagian. Dari kejauhan, mereka melihat konvoi kendaraan militer bergerak perlahan di jalanan berdebu.

Kylie mengambil teropong dari ranselnya dan memperhatikan lebih dekat. "Itu truk pengangkut… dan ada beberapa tentara turun bawa kontainer besi besar."

Ajis bergumam, "Itu bukan distribusi logistik biasa. Liat deh, penjagaannya ketat banget."

Karin menatap Thom. "Apa mereka tahu kita ada di sini?"

Thom menggeleng pelan. "Belum tentu. Tapi bisa jadi ini bagian dari operasi mereka untuk mengumpulkan umpan lain. Mereka bawa sesuatu… atau seseorang."

Letnan Miko mengangguk setuju. "Bisa jadi itu tahanan. Atau… zombie yang mereka tangkap buat eksperimen. Gaya gerak mereka terlalu rapi untuk sekadar distribusi."

Tino, yang duduk tak jauh dari mereka, memperhatikan dalam diam, lalu berkata dengan suara pelan, "Itu jalur biasa ke bukit tua. Di sana ada tempat… dulu buat simpan senjata."

Semua langsung menoleh padanya.

Thom menyipitkan mata. "Tempat penyimpanan?"

Tino mengangguk. "Mungkin mereka ke sana. Tapi tempat itu… sekarang sudah banyak yang mati."

Letnan Miko tampak berpikir keras. "Kalau mereka bawa sesuatu ke sana, kita harus tahu. Mungkin itu bisa jadi peluang atau justru bahaya besar."

Thom mengepalkan tangannya. "Kita intai malam ini. Kita harus tahu apa yang mereka rencanakan."

Malam mulai merayap pelan, dingin menggigit dan suara jangkrik terdengar samar di antara keheningan reruntuhan.

Letnan Miko mengencangkan sabuknya lalu berkata, "Thom, kau ikut denganku. Kita intai dari dekat. Yang lain, tetap di sini, jaga tempat ini."

Namun baru dua langkah ia berjalan, Karin sudah berdiri, memegang senjata. "Enggak. Gue ikut."

Ajis mengangguk. "Gue juga. Kalau itu berbahaya, lebih baik kita hadapi rame-rame daripada kalian dua balik dalam kantong mayat."

Kylie menyusul dengan raut serius. "Udah cukup kehilangan orang, Letnan. Kita kuat kalau bareng."

Letnan Miko menarik napas, hendak membantah, tapi Thom menepuk pundaknya pelan. "Mereka ikut, Letnan. Gue juga gak nyaman kalau cuma berdua. Ini bukan cuma misi intai, ini soal bertahan hidup."

Miko akhirnya mengangguk pasrah. "Baik. Tapi semua ikuti perintah. Kita gak cari ribut, kita cuma mau tahu apa yang mereka lakukan."

Mereka bersiap dalam diam. Thom memimpin barisan kecil itu, senyap di antara bayangan. Mereka menyusuri jalan setapak yang dipenuhi puing dan ilalang tinggi, menuju arah tempat konvoi militer terlihat sebelumnya.

Malam itu, langkah mereka ringan… tapi beban di hati mereka terasa berat.

Sesuatu sedang disembunyikan oleh militer pusat.

Dan malam itu… mungkin mereka akan menemukannya.

Di bawah cahaya bulan yang pucat, kelompok kecil itu bergerak pelan, menyusuri jalanan retak dan puing berserakan. Angin malam menghembus lembut, membawa bau besi dan debu.

"Berhati-hati," bisik Letnan Miko. "Jangan buat suara."

Mereka memutuskan untuk berpencar agar bisa mencakup area lebih luas. Karin, Ajis, dan Tino bergerak ke arah reruntuhan bangunan di sisi timur, menyelinap di balik semak-semak tinggi dan tembok-tembok lapuk. Tino sesekali berbisik pelan dalam bahasanya, sementara Ajis fokus mengamati setiap sudut.

Sementara itu, Thom, Kylie, dan Letnan Miko menyusuri jalur menuju menara pengawas tua, mendekati area di mana militer pusat terlihat beraktivitas sore tadi. Langkah mereka teratur, senjata siap di tangan.

"Lihat itu," ujar Miko pelan, menunjuk ke kejauhan.

Beberapa tenda militer berdiri tegak, diterangi lampu redup. Ada suara truk, dan beberapa sosok bersenjata lengkap tampak berjaga. Tapi yang membuat Thom menggertakkan rahangnya—ada satu kendaraan besar, semacam kontainer, yang dijaga lebih ketat. Dari dalamnya, samar terdengar suara-suara… seperti jeritan.

Kylie menelan ludah. "Mereka nyekap orang?"

"Bisa jadi pengungsi... atau sesuatu yang lebih buruk," gumam Thom.

Letnan Miko mengernyit. "Ini bukan prosedur evakuasi. Ini... eksperimen atau jebakan."

Dari radio kecil di saku Miko, terdengar bisikan Ajis, "Kami melihat sesuatu di sisi timur. Seperti... lubang besar. Mungkin tempat pembuangan."

Thom dan Miko saling pandang.

"Kita harus tahu apa yang mereka sembunyikan sebelum fajar," ucap Thom.

Dan malam itu, penyelinapan kecil itu berubah jadi awal dari kebenaran besar yang tersembunyi.

Di sisi timur, di dekat lubang besar yang menganga seperti perut bumi, Karin dan Tino menyusup hati-hati. Tanah di sekitarnya basah dan berbau anyir. Mereka menunduk, mengintip ke dalam lubang. Dalamnya gelap dan penuh asap tipis, samar terlihat tumpukan tubuh—beberapa masih bergerak, mengerang… bukan manusia, bukan pula sepenuhnya zombie.

"Tempat ini..." bisik Karin, napasnya tercekat.

Tiba-tiba, dari sisi gelap reruntuhan, suara geraman terdengar. Zombie muncul, tiga sekaligus, menerjang mereka.

Ajis mendorong Karin dan Tino ke belakang. "Minggir!"

Dengan cepat, ia menembak satu, menendang satu lagi. Tapi satu zombie sempat menggigit lengan kirinya.

"Agh!" jerit Ajis, tubuhnya jatuh menghantam tanah.

Karin membalas tembakan, menghajar zombie terakhir dengan gagang senjata. Ketika semuanya selesai, Ajis bangkit perlahan, tangannya berdarah, luka gigitan menganga di sana.

Karin terpaku. "Ajis…"

Ajis menatap mereka dengan tenang, meski napasnya berat. "Kalian lanjut. Gue udah digigit. Gue gak mau berubah di depan kalian."

Tino gelisah, tapi tak berkata apa-apa. Ajis menepuk bahu Tino lalu menyelipkan senjatanya ke pelukan Tino.

"Lo jagain Karin," katanya pelan.

Ajis mundur beberapa langkah. "Bilang ke Thom, gue nggak nyesel ikut dia sejauh ini."

Lalu, tanpa ragu, Ajis berlari ke tepi lubang… dan melompat masuk, tubuhnya menghilang ditelan kegelapan.

Karin menutup mulutnya, matanya berair. Tino memegang senjata erat, matanya kosong menatap lubang itu.

Mereka tahu, tak bisa berhenti. Dan kehilangan lagi… terasa semakin menyakitkan.

Di sisi lain, Letnan Miko, Thom, dan Kylie menyusuri lorong sempit di balik reruntuhan bangunan tua. Mereka bergerak hati-hati, langkah mereka nyaris tanpa suara, hanya desiran napas yang terdengar.

Kylie menoleh ke belakang, gelisah. "Kita udah jauh dari yang lain… yakin mereka bakal aman?"

Thom mengangguk pelan, walau wajahnya sendiri penuh keraguan. "Karin bisa jaga diri. Tino juga."

Letnan Miko mengangkat tangan, memberi isyarat berhenti. Ia menunduk, menunjuk bekas jejak sepatu yang masih basah di tanah berdebu.

"Baru lewat. Satu tim militer… atau lebih," bisiknya. "Kita gak sendirian di sini."

Mereka berlindung di balik dinding yang setengah roboh. Dari kejauhan, suara percakapan terdengar samar—suara militer.

Thom mengintip sedikit. Beberapa tentara sedang memindahkan sesuatu dari truk ke sebuah kontainer besar. Di sebelahnya, ada helikopter kecil dengan baling-baling tertutup terpal.

"Lihat itu…" Thom menunjuk. "Heli… bisa jadi satu-satunya jalan keluar kita."

Miko mengangguk pelan. "Tapi kita belum tahu tujuannya. Bisa jadi buat bawa bahan, bukan orang."

Kylie menatap mereka bergantian. "Terus… apa rencana kita?"

Letnan Miko menarik napas dalam, lalu menjawab pelan, "Kita tunggu sampai mereka lengah. Malam ini, kita cari celah. Tapi… hati-hati. Satu kesalahan, tamat sudah."

Mereka bertiga saling pandang. Tidak ada kata "mudah" di medan seperti ini. Tapi pilihan pun semakin sedikit.

Disisi lain Karin menoleh ke kanan—tempat terakhir ia melihat Tino—tapi kosong. Tidak ada siapa-siapa.

"Tino?" panggilnya pelan, berharap sosok pria Manggarai itu muncul dari balik puing atau bayangan. Tapi tak ada jawaban.

"Tino!" panggilnya sekali lagi, kali ini lebih keras, dengan suara tegang. Ia mulai bergerak pelan, menyusuri sisi bangunan yang remuk, matanya awas.

Langkahnya berhenti ketika mendengar suara ranting patah. Ia menoleh cepat, bersiap dengan senjata di tangan—namun masih belum melihat apa pun.

"Tino… kalau lo bercanda, sumpah ini bukan waktunya," gumamnya sambil maju pelan.

Tiba-tiba—

DOR! Suara tembakan dari arah jauh memecah keheningan, membuat Karin terlonjak dan berlutut refleks.

Matanya melebar. Bukan suara zombie… tapi tembakan manusia.

Jantungnya berdetak kencang. Ia berdiri dan melangkah lebih cepat. Tapi bukannya menemukan Tino, ia malah mendapati setetes darah di lantai retak, tak jauh dari jejak kaki yang mengarah ke sisi bangunan lain.

"Tino…" bisik Karin, kali ini lebih pelan—penuh kekhawatiran.

Ia tahu... sesuatu terjadi. Tapi apakah Tino diculik? Diserang? Atau...?

Ia menatap langit yang mulai gelap, lalu menguatkan diri dan berbalik arah. Ia harus temukan Thom dan Letnan Miko secepatnya.

Letnan Miko berdiri di bawah bayangan reruntuhan, memandangi area di depannya dengan sorot mata serius. Ia menarik napas panjang.

"Kita kembali saja," katanya pada Thom dan Kylie. "Yang penting sekarang, kita sudah tahu rute dan celah untuk menyusup ke dalam depo. Nanti malam atau besok kita bisa rancang rencana masuk."

Thom mengangguk. "Setuju. Tapi kita harus temukan yang lain dulu. Karin, Tino…"

"Dan Ajis," tambah Kylie lirih, meski dalam hati ia tahu Ajis tak akan kembali.

Mereka bertiga bergerak cepat dan hati-hati, menyusuri jejak yang tadi dilewati Karin dan Tino. Setiap suara kecil membuat mereka menoleh waspada. Angin malam mulai berhembus, membuat puing-puing dan kaleng kosong berdenting pelan—menambah ketegangan.

Setelah beberapa menit, Thom melihat siluet familiar. "Karin!"

Karin menoleh cepat. Wajahnya lega, namun juga tegang. "Kalian lama banget."

"Mana Tino?" tanya Letnan Miko cepat.

Karin menggeleng. "Dia menghilang. Tadi kami diserang, dan sebelum itu… Ajis—" suaranya tercekat, "dia digigit. Dia... lompat ke dalam lubang besar itu."

Keheningan mendadak menyelimuti mereka. Thom menunduk dalam, sedangkan Kylie menatap Karin penuh simpati.

Letnan Miko mengepalkan tangannya, lalu menghembuskan napas.

"Kita harus pergi dari sini sekarang. Sebelum patroli militer atau zombie kembali," katanya tegas.

Mereka semua mengangguk, lalu mulai berjalan cepat menyusuri jalan gelap untuk kembali ke tempat persembunyian, tanpa tahu bahwa perjalanan mereka baru saja memasuki babak yang lebih berbahaya.

Di sisi lain, di balik rimbunnya pepohonan yang tumbuh liar di pinggiran reruntuhan kota, seorang pria tampak jongkok, membelakangi batang pohon besar. Nafasnya tenang, matanya tajam mengamati kerumunan zombie yang bergerak lambat di kejauhan.

Dengan gerakan pelan dan terlatih, pria itu membuka kantong kecil di pinggangnya, mengeluarkan peluru, lalu memasangnya satu per satu ke dalam senjatanya. Klik. Klik. Setiap suara kecil terdengar nyaring di tengah kesunyian malam.

Sebuah rokok sudah terselip di bibirnya. Ia merogoh saku jaket lusuhnya dan mengeluarkan korek api kayu. Diseretkan pada permukaan kasar di sisi korek, menyalakan api kecil yang gemetar. Api itu memantul samar di wajahnya yang penuh debu dan luka goresan. Sekilas, tampak tatapan kosong... atau mungkin terlalu banyak yang telah ia lihat.

Asap rokok mengepul tipis dari bibirnya, mengambang di udara malam.

Tino.

Masih hidup. Masih bertahan. Dan kini, sendirian… bersiap memburu makhluk-makhluk yang telah merenggut semua yang ia kenal.

Dengan satu gerakan mantap, ia menyampirkan senjatanya di bahu, lalu berdiri perlahan, menyatu dalam kegelapan dan sunyi yang mematikan.

Tino menghembuskan asap rokok dari mulutnya perlahan, tatapannya tak lepas dari arah pergerakan militer yang samar terlihat di kejauhan.

Satu gumaman lirih keluar dari mulutnya, nyaris tak terdengar.

"Orang-orang bodoh itu… gampang ditipu."

Ia menggeser posisi senjatanya sedikit, menepuk-nepuk kantong kecil berisi amunisi di pinggangnya. Sebuah senyum tipis muncul di sudut bibirnya, bukan karena bahagia—tapi karena perhitungan yang berjalan sesuai rencana.

"Aku harus lebih dulu menyusup ke dalam depo itu nanti," gumamnya lagi. "Kalau mereka duluan yang masuk, semua rencana kacau."

Tino menjatuhkan puntung rokoknya, menginjaknya hingga padam. Tanpa suara, ia mulai melangkah menjauh dari pohon tempatnya bersembunyi, menyelinap masuk ke jalur yang menuju sisi belakang depo.

Tak ada yang tahu… bahwa dia bukan hanya penyintas. Tapi seseorang dengan misi lain yang belum mereka sadari.