War Of The Dead

Pagi itu, kabut masih menggantung rendah ketika Letnan Miko dan Thom berjongkok di balik semak lebat di atas bukit kecil yang menghadap langsung ke wilayah depo cadangan. Dari kejauhan, aktivitas militer sudah terlihat—beberapa tentara berjaga di gerbang, lalu-lalang kendaraan taktis, dan pos penjagaan yang diperketat.

Letnan Miko memicingkan mata, memperhatikan pola patroli dan pergantian jaga. Setelah beberapa menit, ia berbalik ke arah Thom.

"Aku harus menyusup ke sana," bisiknya pelan namun tegas. "Kita tak bisa menunggu terlalu lama."

Thom menatapnya, dahi berkerut. "Itu terlalu berisiko, Letnan."

Miko mengangguk singkat. "Memang. Tapi mereka tahu aku Letnan. Pangkatku akan membuat mereka segan… setidaknya cukup untuk bicara. Kalau aku bisa masuk dan menyusup sebagai bagian dari mereka, aku bisa menjebak mereka. Mengalihkan perhatian mereka dari kalian."

Thom masih ragu. "Kalau mereka tahu rencana lo, lo bakal mati di tempat."

Letnan Miko menepuk pundak Thom. "Itu resiko yang harus gue ambil."

Suara helikopter terdengar samar di kejauhan, membuat mereka berdua menoleh cepat.

"Waktu kita nggak banyak, Thom," lanjut Miko. "Siapkan yang lain. Begitu aku kirim sinyal… kalian masuk."

Karin yang sedang mengatur senjata di balik jendela rumah kosong itu tiba-tiba menahan napas. Dari celah kayu yang menganga, ia melihat dua tentara berjalan pelan mendekati area tempat mereka bersembunyi. Salah satunya menunjuk ke arah rumah tempat mereka berada.

"Semalam aku melihat sesuatu di arah rumah itu," katanya dengan nada curiga. "Apakah ada zombie?"

Tentara yang satunya menatap ke arah yang ditunjuk, lalu menjawab, "Bisa jadi. Tapi bisa juga binatang atau pengungsi liar."

Mereka berdua mulai berjalan lebih dekat.

Karin langsung bergerak mundur perlahan, menekan tombol kecil di alat komunikasi yang tergantung di kerah bajunya.

"Thom... kita ada masalah. Dua militer datang, curiga sama rumah ini."

Suara Thom terdengar di headset-nya. "Tetap tenang. Jangan lakukan apa-apa sampai mereka masuk. Kita nggak tahu apakah mereka sekadar patroli atau musuh."

Langkah-langkah sepatu bot kini semakin jelas terdengar. Pegangan senjata Karin makin erat. Jika mereka masuk dan tahu terlalu banyak… satu-satunya jalan adalah bertarung.

Letnan Miko menatap mereka satu per satu dengan cepat, lalu berkata pelan namun tegas, "Kalian sembunyi. Sekarang."

Karin langsung mengangguk dan mundur bersama Thom dan Kylie, masuk ke ruangan belakang dan menutup pintunya pelan.

Miko merapikan pakaiannya, merunduk, dan bergerak ke pintu belakang rumah. Sebelum keluar, ia menoleh sekilas.

"Aku akan pura-pura datang dari arah lain, seakan baru patroli dari atas bukit. Kalau berhasil, mereka nggak bakal curiga sama rumah ini. Jangan keluar sampai aku pastikan mereka pergi."

Thom mengangguk dari balik pintu, ekspresinya tegang.

Letnan Miko membuka pintu belakang perlahan dan menyelinap keluar, lalu memutari rumah dengan langkah cepat dan penuh percaya diri. Tak lama kemudian, dari luar terdengar suaranya.

"Hei! Ada apa? Aku baru turun dari sektor utara!" serunya lantang.

Dua tentara yang hampir sampai di depan rumah menoleh kaget. "Letnan Miko? Anda dari arah atas?"

Miko mengangguk, wajahnya tenang. "Iya. Dapat sinyal pergerakan dari sana, jadi aku keliling. Kalian lihat apa di sini?"

Salah satu tentara menjawab ragu, "Tadi malam kayak ada bayangan di sekitar rumah ini. Kami kira mungkin zombie."

Miko tertawa singkat. "Kemungkinan cuma hewan liar. Di belakang bukit banyak monyet nyasar. Ayo, gue tunjukin jalur patroli gue tadi."

Kedua tentara itu tampak saling pandang, lalu akhirnya mengikuti Miko menjauh dari rumah.

Di dalam, Karin menatap Thom dan Kylie, napasnya lega. "Dia berhasil..."

Thom menjawab lirih, "Iya. Tapi kita gak bisa lama di sini."

Letnan Miko muncul di ambang pintu, menyeret dua tentara yang tak sadarkan diri. Wajahnya serius, dan tangan kanannya memegang alat setrum portabel.

Thom langsung berdiri. "Letnan? Apa yang—"

"Aku nyetrum mereka," kata Miko cepat. "Mereka terlalu dekat untuk dibiarkan hidup-hidup tanpa kepastian niat mereka. Kita bakal interogasi mereka malam nanti, lihat apa mereka tahu sesuatu soal depo dan rencana pusat."

Kylie berdiri, menatap ngeri ke arah kedua tubuh itu. "Mereka masih hidup?"

"Masih," jawab Miko. "Cuma pingsan. Kita butuh informasi. Gak bisa terus jalan buta."

Karin menggigit bibirnya, lalu membantu membuka ruangan belakang yang lebih gelap. "Taruh di sana. Kita ikat tangannya sebelum mereka bangun."

Letnan Miko mengangguk, lalu bersama Thom menyeret para prajurit itu ke dalam ruangan. Setelah memastikan tangan dan kaki mereka diikat kuat dengan tali dan lakban yang mereka temukan di lemari, Miko menutup pintu dan berdiri di tengah ruangan utama.

"Malam ini, kita bakal tahu siapa yang bisa dipercaya... dan siapa musuh sebenarnya," ucapnya pelan.

Thom menatap letnan dengan tajam. "Kalau mereka bilang hal yang benar, apa kita lepasin?"

Miko menoleh, matanya tajam. "Kalau mereka bisa bantu kita selamat, mungkin. Tapi kalau nggak… kita gak punya banyak pilihan."

Malam itu sunyi, hanya suara jangkrik dan desau angin yang terdengar di luar rumah. Di dalam ruangan belakang yang remang, dua prajurit yang tadi tak sadarkan diri kini mulai terbangun, terikat erat di kursi. Letnan Miko duduk di depan mereka, tatapannya tajam seperti belati. Thom berdiri di sampingnya, memeluk senapan di dada. Kylie dan Karin mengawasi dari belakang, wajah mereka penuh waspada.

Salah satu dari dua prajurit—yang lebih muda—menelan ludah, ketakutan. "A-Apa yang terjadi?"

Letnan Miko mendekat, mencondongkan tubuh. "Gue yang nanya sekarang. Apa rencana pemerintah soal wabah ini?" Ia menekankan setiap kata. "Terutama soal pengungsi... jawab jujur."

Prajurit satunya, yang lebih tua, menghela napas pelan. Ia menatap Miko dengan berat. "Letnan... kalau saya jujur, Anda nggak akan suka jawabannya."

"Ucapin," desak Miko.

Prajurit itu menggertakkan gigi, lalu berkata lirih, "Pusat memutuskan... pengungsi dari zona merah dianggap terlalu berisiko untuk dibawa ke zona aman. Jadi... mereka dibiarkan terkonsentrasi di titik-titik tertentu."

"Untuk dibantu?" sela Thom.

"Untuk... dijadikan umpan. Pengalihan perhatian zombie. Supaya pusat bisa bersihin area lain tanpa gangguan."

Kylie menutup mulutnya, syok. Karin memalingkan wajah.

Letnan Miko mematung. Tatapannya gelap. "Berarti benar…"

Prajurit muda berkata cepat, "Tapi nggak semua setuju! Ada beberapa dari kami yang mau bantu! Kami... kami cuma nurut perintah!"

Miko berdiri perlahan. "Dan berapa lama sebelum titik itu... dibom?"

Prajurit tua menunduk. "Dua hari lagi. Sesuai rotasi jadwal."

Suasana di ruangan itu berubah drastis—menegang, gelap, dan penuh kemarahan yang terpendam.

Thom mengepalkan tangan. "Berarti... teman-teman kami yang dulu di pengungsian... semua cuma tumbal?"

Tak ada jawaban.

Miko menatap dua prajurit itu dalam-dalam. "Terima kasih... atas kejujurannya."

Lalu ia menoleh ke Thom. "Kita gak bisa nunggu lagi. Besok, kita harus masuk ke depo. Ambil alih tempat itu."

Prajurit yang lebih muda menggigit bibirnya, lalu buru-buru menambahkan,

"Ada satu jalan... Kalau kalian mau negosiasi dengan pusat atau setidaknya tahu jalur yang bisa ditembus, kalian harus cari Letnan Tio."

Letnan Miko menyipitkan mata. "Letnan Tio?"

Prajurit itu mengangguk cepat. "Dia orang dalam. Salah satu dari sedikit yang gak setuju sama rencana pusat. Tapi dia gak bisa bertindak sembarangan, makanya dia sembunyiin keberpihakannya."

"Dia di mana sekarang?" tanya Thom cepat.

"Harusnya dia ada di sektor barat depo utama. Tapi kalian harus hati-hati. Kalau ketahuan kalian nyari dia... bisa-bisa malah dianggap penyusup."

Letnan Miko menarik napas dalam. "Gue kenal Tio. Dulu kami satu latihan. Dia idealis. Kalau dia masih sama kayak dulu... dia bisa bantu kita."

Karin menatap mereka, gugup. "Kalau dia bisa bantu, berarti kita masih punya harapan, kan?"

Thom menoleh ke Miko. "Besok kita cari dia?"

Miko mengangguk mantap. "Besok malam kita nyusup. Tapi kali ini... kita gak cuma sembunyi. Kita mulai lawan balik."

Kylie menatap api kecil yang menyala di pojok ruangan. "Kita mulai revolusi di tengah kiamat, ya?"

Miko tersenyum tipis. "Kalau bukan kita, siapa lagi?"

Miko menatap dua prajurit itu tajam, lalu berdiri dan menghampiri mereka perlahan. Ia mencabut borgol dari ikat pinggangnya, lalu melemaskannya di tangan.

"Kalian bantu kami," katanya dengan nada tegas tapi tidak keras. "Bawa kami ke sektor barat. Ke Letnan Tio. Kalau kalian bohong, kalian tahu sendiri akibatnya."

Prajurit yang lebih tua menelan ludah, sementara yang muda mengangguk buru-buru. "Baik, Pak. Kami akan bantu. Tapi... kita harus hati-hati. Masuk ke sana gak gampang."

"Bagus," Miko berkata sambil membuka borgol mereka. "Mulai malam ini, kalian bagian dari kami. Jangan coba-coba kabur."

Thom menyilangkan tangan, memperhatikan dari sudut ruangan. "Kalau kalian macem-macem, peluru ini gak bakal meleset."

Karin menoleh ke jendela, memastikan situasi masih aman. "Kita gerak kapan?"

Miko melihat ke jam tangan tak berfungsi di lengannya, lalu ke luar jendela.

"Malam nanti. Saat patroli di sisi timur. Kita bergerak cepat dan diam. Kalau berhasil... kita tembus pusat dari dalam."

Malam itu, langit mendung menutupi cahaya bulan. Rumah tempat mereka berlindung sudah sunyi. Suara jangkrik terdengar samar dari kejauhan. Letnan Miko memberi isyarat dengan tangan.

"Sekarang," bisiknya.

Mereka bergerak. Dua militer yang kini bergabung—Andra dan Tama—mengambil posisi paling depan, memimpin rute yang aman. Thom, Kylie, dan Karin mengikuti di tengah, Letnan Miko menutup barisan dari belakang. Langkah-langkah mereka hati-hati, menyusuri semak dan bayangan pepohonan, menghindari jalan utama.

Sesekali, mereka bersembunyi saat sorotan lampu patroli dari pos militer menyapu ke arah mereka. Jantung Thom berdebar kencang saat sorot cahaya nyaris menyentuh kaki mereka—tapi berhasil lolos.

Setelah hampir satu jam perjalanan diam-diam, mereka tiba di tebing kecil yang menghadap ke markas sektor barat. Dari atas, mereka melihat pagar kawat tinggi, pos penjagaan, dan beberapa kendaraan militer parkir.

Tama menunjuk ke arah sebuah gudang besar di sisi utara kompleks. "Letnan Tio biasanya ada di sana. Tapi keamanan ketat. Kalian harus masuk pas dia pindah ke tenda logistik, itu momen kita."

Miko mengangguk. "Kita tunggu sinyalmu."

Mereka berjongkok di balik semak, menanti waktu yang tepat. Udara malam terasa makin dingin, tapi ketegangan yang mereka rasakan jauh lebih menusuk. Kali ini, satu kesalahan bisa berarti habis.

Dalam perjalanan menuju titik penyusupan, suasana tegang masih menggantung di antara mereka. Langkah-langkah kaki di tanah lembab tak terdengar jelas, tapi Thom tampak mulai kehilangan fokus.

Karin yang berjalan di sampingnya mencuri pandang. Thom tampak tersenyum kecil, agak tak wajar dalam situasi seperti ini.

"Thom?" tanya Karin pelan.

"Apa?" Thom menoleh, masih dengan senyum itu.

"Kau kenapa? Kayak... nggak serius."

Thom mengangkat alisnya, lalu tiba-tiba menirukan gaya pasukan militer dengan cara konyol—langkah tegap yang dilebih-lebihkan, lalu berseru pelan, "Siap komandan, zombie di depan... izinkan saya ajak joget dulu!"

Kylie yang mendengar ikut menggeleng pelan. "Lo ngapain sih?"

Thom terkekeh, lalu berkata, "Kalo kita tegang terus, malah mati duluan. Otak butuh rileks juga."

Letnan Miko menoleh ke belakang dengan tatapan datar. "Kau kalau mau main gila, tunggu kita hidup sampai besok."

Thom angkat tangan, "Siap, Pak. Gila-nya nanti aja."

Mereka melanjutkan perjalanan, tapi sedikit tawa kecil itu seolah menjadi pelindung tipis dari tekanan mental yang menghantui mereka semua. Meski maut mengintai, Thom tetap jadi dirinya sendiri—gila, nyebelin, tapi penting buat jaga waras.

Mereka akhirnya sampai di sebuah area hutan tipis yang berbatasan langsung dengan pagar kawat tinggi—pagar luar dari kompleks depo militer yang menjadi target mereka. Thom berjongkok di balik semak, menatap ke kejauhan. Lampu sorot berputar perlahan, patroli bersenjata berjalan dalam pola tetap.

Letnan Miko berbisik, "Kita sudah di titik koordinat. Ini bagian belakang kompleks. Akses paling longgar, tapi tetap dijaga."

Dua militer yang mereka bawa, Andre dan Tama, menunjuk ke arah sisi kiri pagar. "Ada celah kecil di situ. Biasanya kendaraan keluar-masuk logistik dari sana. Tapi sensor gerak masih aktif," ujar Andre.

Kylie mengamati lewat teropong mini. "Ada dua orang berjaga. Kalau kita terlalu lama di tempat terbuka, habis kita."

Thom menepuk bahu Tama. "Lo bilang kenal orang dalam? Letnan Tio?"

Tama mengangguk. "Iya. Tapi dia keras kepala. Kalo gak ada alasan kuat, gak bakal bantu. Dia juga gak tahu aku di sini."

Letnan Miko menarik napas. "Kita punya dua opsi. Menyusup lewat celah logistik dan atur pertemuan dengan Letnan Tio... atau bikin keributan kecil buat pengalihan."

Karin menoleh ke Thom. "Kamu pilih yang mana?"

Thom menatap ke arah pagar, pikirannya bekerja cepat. "Kita coba dekati celah itu dulu. Kalau terdeteksi, baru kita cari masalah... dengan gaya."

Mereka bersiap. Malam makin pekat. Jantung berdetak cepat.

Misi baru saja dimulai.

Mereka mulai bergerak pelan ke celah logistik. Andre dan Tama memimpin, sesekali memberi aba-aba untuk berhenti saat lampu sorot melintas. Thom, di belakang mereka, sesekali melihat sekeliling dengan waspada.

Begitu mereka mendekati celah pagar, bunyi bip halus terdengar. Sensor gerak aktif.

Alarm menyala. Sirine meraung. Lampu sorot langsung mengarah ke posisi mereka.

Letnan Miko mendesis, "Sial! Terdeteksi! Menyebar!"

Mereka semua langsung berlompatan ke arah semak berbeda. Namun, Thom tidak. Ia justru bangkit berdiri—mengangkat tangan sambil berkoar lantang.

"Hei! Woy! Gue bawa oleh-oleh dari luar pagar nih!" teriak Thom sambil mengangkat botol kosong dari kantong bajunya dan menggoyangkannya ke udara.

Militer dari dalam pos langsung mengarah padanya dengan senapan terangkat. "Angkat tangan! Siapa kamu?!"

Dengan nada santai Thom melangkah maju, "Gue Thom. Anak SMA. Eks pengungsi. Juga korban... patah hati berkepanjangan. Tapi tenang, gue masih waras."

Letnan Miko membelalak dari balik semak. "Bocah ini..."

Kylie hampir tertawa di tempat persembunyiannya. Karin menggeleng tak percaya.

Militer mulai mengelilingi Thom, sebagian bingung, sebagian waspada.

Thom menatap mereka sambil cengar-cengir. "Kalian pasti gak sering liat orang masuk zona militer cuma buat ngasih tahu: kalian dibohongi. Wabah ini bukan gagal kontrol. Ini sengaja dibikin."

Salah satu militer menghardik, "Diam!"

Tapi sebelum Thom ditangkap, Letnan Miko keluar dari persembunyian sambil mengangkat tangan. "Dia bersama saya!"

Tama dan Andre menyusul.

Suasana jadi hening sejenak.

Salah satu perwira pengawas di sana mengenali Miko. "Letnan Miko?! Apa-apaan ini?"

Miko berdiri tegak. "Saya ingin bicara langsung dengan Letnan Tio. Sekarang."

Perwira itu menatap tajam, tapi mengangguk pelan. "Ikuti saya."

Thom menoleh pada yang lain dan tersenyum kecil. "Gue bilang kan, kalau kena masalah, sekalian aja yang besar."

Kylie terkekeh. "Gila lo, Thom."

Dengan cara gila dan tak terduga, mereka berhasil masuk.

Sekarang tinggal menunggu apa yang akan terjadi setelah mereka bertemu Letnan Tio.

Di tengah perjalanan menuju pusat pertemuan dengan Letnan Tio, suasana cukup tegang. Semua melangkah cepat dengan tatapan serius.

Tiba-tiba Thom, yang seperti biasa tak bisa diam terlalu lama, melirik ke salah satu militer yang berjaga. Militer itu tampak dingin, matanya tajam, bibirnya menggenggam sebatang rokok yang hampir habis.

Thom melirik rokok itu, lalu dengan santai mencondongkan badan.

"Bang, ada rokok nggak? Bagi satu lah, demi persahabatan baru," ucap Thom sambil mengedip.

Militer itu menatap Thom sekilas tanpa ekspresi, lalu kembali menatap lurus ke depan.

Sebelum Thom sempat lanjut bercanda, Tama—yang berdiri tak jauh di belakang—langsung mendorong kepala Thom dari samping, cukup keras hingga kepala Thom agak terhuyung.

"Jangan main-main sama mereka, tolol!" gumam Tama kesal. "Lo pikir ini warung rokok?"

Thom mengusap kepalanya dan cengengesan. "Ya elah, guyon dikit biar nggak tegang suasananya."

Andre yang mendengar itu cuma menggeleng pelan, hampir seperti menahan tawa. "Lu kalau gak mati karena zombie, bisa mati karena bacot sendiri, Thom."

Letnan Miko melirik Thom sekilas. "Fokus. Ini bukan tempat buat cari rokok."

Thom mengangkat tangan menyerah, lalu bersenandung kecil seolah tak terjadi apa-apa.

Di antara langkah kaki mereka, udara terasa makin berat.

Dan di depan sana—Letnan Tio... sudah menunggu.

Mereka sampai di sebuah ruangan semi-tertutup di dalam bangunan logistik utama. Lampu gantung menyala redup, dan di sana berdiri seorang pria berumur empat puluhan, gagah dengan seragam militer lengkap. Dialah Letnan Tio.

Letnan Miko melangkah maju lebih dulu. Thom, Karin, Kylie, Andre, dan Tama menunggu di belakang, siaga.

Tio menatap Miko lama, lalu tersenyum tipis.

"Miko," sapanya datar. "Kupikir kau sudah mati."

"Aku terlalu keras kepala buat mati," jawab Miko sambil menahan dingin di suaranya.

Tio menoleh ke Andre dan Tama. "Kalian bawa mereka ke sini?"

"Kami nggak punya pilihan, Pak. Mereka tahu terlalu banyak," jawab Andre hati-hati.

Tio menarik napas panjang lalu berkata, "Jadi? Kau datang untuk apa? Meminta pusat mencabut keputusan soal pengungsi? Atau... sekadar mau dengar alasan kenapa kami jadikan mereka umpan?"

Miko maju selangkah.

"Gue datang buat satu hal, Tio. Keadilan. Mereka bukan barang yang bisa lo buang buat nutup aib pemerintah. Mereka manusia."

Tio tertawa pelan, getir.

"Manusia? Lo kira pusat masih peduli soal itu? Yang mereka takutkan cuma satu: penyebaran virus ke ibukota. Kalau itu sampai terjadi, habis semua. Lo juga tahu itu, Miko."

"Ada cara lain!" tegas Miko. "Lo punya akses heli, lo bisa evakuasi sebagian yang sehat!"

Tio menatapnya tajam.

"Dan kalau satu aja dari mereka ternyata pembawa virus tersembunyi? Lo siap tanggung jawab, Mik?"

Thom yang mendengar itu mengepalkan tangan. Karin menahan lengannya.

Miko menghela napas panjang.

"Kalau begitu... kita akan cari jalan sendiri."

Tio menyipitkan mata.

"Gue harap lo nggak ngelakuin hal bodoh, Mik. Masih ada waktu buat lo balik ke pihak kami. Jangan lawan sistem."

Tapi tatapan Miko tegas.

"Kau tahu gue nggak pernah tunduk sama sistem yang busuk, Tio."

Ketegangan menebal.

Dan ini... baru permulaan.

Setelah keluar dari ruangan itu, Thom duduk bersama Miko, Karin, dan Kylie di sebuah lorong gudang. Wajah Thom serius, matanya menyala seperti menyimpan sesuatu.

"Aku punya rencana," katanya tiba-tiba, memecah keheningan.

Miko menoleh. "Rencana apa lagi, Thom?"

"Daripada terus dijadikan umpan, kenapa gak kita pindahin pengungsi ke pulau kosong sementara? Ada banyak pulau gak berpenghuni dekat Labuan Bajo. Kita tinggal cari satu yang cukup aman dan jauh dari jangkauan zombie."

Karin mengangguk pelan. "Dan kalau kita bawa dokter, perawat... mereka bisa dirawat di sana tanpa risiko menyebarkan virus ke kota."

Thom melanjutkan, semakin yakin, "Kota ini kita bom habis-habisan. Semua zona merah kita bersihkan total. Pengungsi aman di pulau, kota bersih, virus gak nyebar. Semua bisa mulai dari awal."

Miko menyandarkan punggungnya ke dinding, berpikir dalam.

"Itu ide gila, Thom… tapi mungkin satu-satunya cara masuk akal."

Kylie menambahkan, "Tapi kita butuh kapal, koordinasi, dan seseorang dari dalam buat akses alat dan izin."

Miko menatap Thom. "Kalau kau yakin dengan rencana ini, kita mulai gerak dari sekarang. Kita cari peta, cari pulau, dan kita bentuk tim evakuasi."

Thom mengangguk, penuh tekad.

"Kita gak akan biarin satu orang pun lagi jadi korban sistem busuk ini."

Letnan Tio berdiri di balik meja logistik, mendengarkan penjelasan Miko dan Thom dengan alis berkerut. Ia menatap Thom lama, lalu menyilangkan tangan di dada.

"Pulau kosong?" gumam Tio.

Thom mengangguk. "Kita butuh tempat netral. Gak ada penduduk, gak ada ancaman zombie. Kita pindahkan semua pengungsi ke sana. Selamatkan yang tersisa."

Tio mendekat beberapa langkah, nadanya pelan tapi tegas.

"Kau anak SMA dan berani ngasih ide sebesar ini?"

Thom menatap balik tanpa gentar. "Karena aku udah kehilangan semua. Saudara, teman. Kalau ini satu-satunya cara, aku akan lakuin."

Tio terdiam sejenak. Wajahnya tegang, tapi ada secercah rasa kagum. Ia memandang Miko, lalu kembali ke Thom.

"Kalau kau pikir ini cuma soal bawa kapal dan pindahin orang, kau salah. Ini politik, logistik, dan nyawa taruhannya. Tapi…" ia menghela napas dalam.

"…kalau Letnan Miko ada di belakangmu, dan kau punya nyali kayak begini, mungkin ide ini pantas dicoba."

Tio akhirnya berjalan ke rak logistik dan menarik satu map biru. Ia menaruhnya di atas meja, lalu membuka peta-peta pulau di sekitar Labuan Bajo.

"Ini. Pulau Manjarite. Tak berpenghuni. Air bersih ada, jalur laut bisa diakses. Tapi…"

"Tapi apa?" tanya Thom cepat.

"Kita harus ambil alih kapal militer yang sekarang ada di dermaga timur. Kapal itu dijaga ketat karena digunakan untuk pasokan senjata."

Miko melirik Thom. "Siap, Jenderal?"

Thom menarik napas panjang.

"Lahir bukan buat diem, Pak."