Malam itu, Letnan Tio menelepon ke pos dermaga timur.
Ia berdiri di ruang strategis yang gelap, hanya diterangi cahaya dari layar peta digital. Tangannya menekan tombol komunikasi.
"Ini Letnan Tio. Permintaan persetujuan evakuasi tahap akhir. Lokasi pulau Manjarite. Siap kirim pengungsi. Persetujuan akhir, segera."
Suara dari pos dermaga menjawab cepat, "Diterima. Proses evakuasi dimulai."
Dua minggu berikutnya
Pasukan militer tersebar ke berbagai titik kamp pengungsian. Mereka menjemput para penyintas satu per satu dan mengangkut mereka menuju pulau Manjarite. Selama itu juga, tim khusus menyisir rumah-rumah yang masih menyimpan harapan hidup, mengevakuasi siapa pun yang tertinggal.
Bom-bom diletakkan tersembunyi di tiap sudut kota: di bawah puing, dalam lemari toko, di menara gedung, dan saluran air kota. Strategi ini, meski dingin, adalah upaya terakhir untuk menutup lembaran kelam kota itu.
Hari terakhir – tengah kota
Thom dan Karin ditugaskan untuk memeriksa toko tua di tengah kota. Mereka berjalan pelan, tubuh mereka waspada, senyap.
Saat Thom membuka pintu toko, tiba-tiba dari arah belakang, sebuah mobil militer melintas cepat. Seseorang dari jendela melempar sebuah ponsel mainan berbunyi keras ke jalanan.
"Klik klik klik… Klik klik klik…"
Thom menoleh, matanya membelalak. "Anjing… kita dijebak."
Di dalam mobil, Letnan Tio melihat layar radar. "Aktifkan bom. Target ada di tengah kota."
Thom langsung menarik tangan Karin. "Lari!"
Zombie-zombie mulai berdatangan, tertarik pada suara mainan. Karin menembak tepat sasaran, satu persatu jatuh.
Thom menemukan motor di depan toko. Ia berusaha menyalakannya, namun gagal.
"Ayo nyala, nyala... ANJING KAMPRET!"
Dengan hentakan keras terakhir, motor menyala. Thom berteriak, "Rin, naik!"
Mereka melaju cepat, melewati kerumunan zombie—
BOOM!
Ledakan pertama menyusul mereka, lalu ledakan kedua. Api mengejar mereka. Zombie-zombie terpancing suara dan terbakar habis.
Di kapal menuju Pulau Manjarite
Letnan Tio duduk tenang, menatap layar peta digital.
"Mereka bilang tak perlu umpan? Sialan… tahu apa mereka," gumamnya dingin.
Di kamp pengungsian – Pulau Manjarite
Letnan Miko berdiri bersama Kylie, melihat kedatangan kapal. Ia mendapati Letnan Tio turun dari kapal.
Miko langsung menghampiri, "Tio! Mana Thom dan Karin?!"
Tio hanya menatap diam.
"Jangan bilang kau jadikan mereka umpan?!"
Tio akhirnya membuka suara. "Kau sama bodohnya dengan mereka. Dibodohi harapan."
Ia mendekat. "Kau pikir semua bisa selesai tanpa korban? Jika tidak ada umpan, bagaimana kita tarik gerombolan zombie ke satu tempat? Tanpa umpan, kita meledakkan tempat secara buta. Hasilnya? Kacau. Rugi. Gagal."
Tio menatap tajam. "Kau Letnan, Miko. Harusnya kau tahu... logika dan strategi. Kita bukan main perasaan, kita selamatkan ribuan nyawa."
Miko hanya terduduk, terpukul. Kylie menutup wajahnya, frustasi.
Sementara itu – Sebuah restoran ayam panggang di sudut kota
Motor yang dikendarai Thom dan Karin berhenti tepat di depan restoran tua.
Tanpa pikir panjang, mereka masuk dan mengunci pintunya.
"Cek dapur!"
Karin melangkah lebih dulu, tapi dari pojok kulkas tua, terdengar suara geraman.
Thom langsung menyambar pisau dapur. Dengan satu tebasan, kepala zombie itu terpisah.
Karin membelalak. "Gila, refleks lo..."
Thom mengangkat tubuh zombie itu dan menyeretnya keluar restoran.
Begitu suasana aman, Karin membuka freezer dan kulkas. "Thom! Ada ayam mentah! Dan… yes! Ada bumbu!"
Thom menghampiri. "Wah akhirnya bisa makan beneran. Ayam goreng atau panggang nih?"
Karin tertawa kecil, mulai memotong ayam. "Udah motong begini, digoreng aja. Balur bumbu, kasih tepung. Malam ini, kita makan ayam crispy."
Thom diam sejenak, lalu berkata pelan, "Rin... lo naksir gue ya?"
Karin langsung berhenti memotong, menatapnya.
Thom tersenyum samar. "Gue tahu waktu pelatihan pertama. Reno bisik ke gue, katanya lo ngeliatin gue terus. Terus, pas malam itu… waktu Kylie nyamperin gue di api unggun, lo mantau dari jauh. Gue liat kok, dari ekor mata gue."
Karin tertawa kecil, gugup. "Gue gak nyangka lo sadar."
Thom menatapnya serius. "Gue sadar, tapi baru sekarang bisa ngomong."
Mereka saling tatap sejenak… lalu tertawa pelan, di antara aroma ayam goreng dan dunia yang mulai hancur.
Thom berkata sambil menatap panci penggorengan yang mulai mengeluarkan aroma gurih, "Gue udah gak habis pikir sama mereka. Kita udah capek-capek bantuin, berkorban, bela-belain ikut semua operasi, tapi malah berakhir begini."
Karin menuang adonan ayam ke minyak panas, suaranya berdesis. Ia diam sesaat, lalu berkata pelan, "Gue juga kesel, Thom. Tapi entah kenapa... gue gak nyesel masih hidup. Masih bisa masak, bisa denger lo ngoceh."
Thom tersenyum tipis. "Yah, gue juga gak nyesel lo masi ada di sini."
Ia menarik kursi dan duduk sambil menatap Karin yang sibuk di dapur. "Lo tau, kalau bukan karena lo, mungkin gue udah nyerah dari kemarin."
Karin menoleh, wajahnya disinari cahaya hangat dari kompor, "Dan kalau bukan karena lo, gue gak tau harus gimana ngadepin semua ini."
Mereka saling pandang sejenak.
Suara ayam goreng makin ramai mengisi ruang itu. Di luar, dunia masih kacau. Tapi di dalam, mereka seperti mencuri sedikit damai.
Karin meletakkan spatula di samping wajan, lalu bersandar di meja dapur.
Suara ayam goreng masih berdesis, tapi suasana di antara mereka berubah sedikit lebih serius.
Karin menatap Thom, lalu berkata pelan, "Gimana soal Kylie?"
Thom terdiam. Ia menatap ke lantai sejenak, lalu menarik napas.
"Gue gak mau bohong. Dulu, gue sempet mikir dia... ya, spesial. Tapi setelah semua kejadian ini, gue ngelihat semuanya dari sisi yang beda."
Ia menoleh ke Karin, matanya lurus, jujur.
"Gue bukan anak SMA yang lagi pilih cewek mana yang cantik. Ini bukan soal itu. Ini soal siapa yang bener-bener mau ada di sisi gue, bahkan waktu dunia runtuh."
Karin menahan napas, lalu perlahan duduk di kursi seberang Thom.
"Dan menurut lo... itu gue?"
Thom tersenyum kecil, tapi kali ini tanpa nada bercanda.
"Lo yang masak ayam crispy waktu dunia mau kiamat. Lo yang nembak zombie sambil tetap inget gue gak tahan lapar. Lo yang bertahan."
Ia menunduk, suaranya sedikit gemetar, "Iya, itu lo, Rin."
Karin memalingkan wajahnya sebentar, menyeka matanya yang mulai berair. Tapi ia tertawa kecil.
"Ya ampun, lo bikin gue masak ayam pake air mata nih."
Thom tertawa pelan, bangkit dari duduknya lalu melangkah ke arah Karin.
Ia berdiri di belakangnya, lalu meletakkan tangannya di bahu Karin.
"Setelah ini... apapun yang terjadi. Kita jalan bareng, ya?"
Karin mengangguk pelan.
"Bareng."
Karin terdiam. Senyum kecil yang sempat muncul di wajahnya perlahan memudar.
Thom menarik kursi dan duduk kembali, menatap ayam goreng yang mulai matang di wajan.
"Rin, gue gak mau kasih harapan. Gue anggap lo... kayak saudari gue sendiri. Dari awal. Lo tau itu, kan?"
Karin menatap Thom lekat-lekat, matanya berkedip pelan seolah sedang menahan sesuatu.
"Saudari?"
Nada suaranya datar, tapi jelas terdengar retakan kecil di baliknya.
Thom mengangguk, mencoba tetap tenang.
"Iya. Gue nyaman sama lo, dan itu bukan berarti... lo ngerti kan? Kita udah lewatin banyak hal, Rin. Tapi perasaan gue bukan yang lo pikir."
Karin mengalihkan pandangan, matanya menatap kosong ke dapur yang remang.
Ia berdiri, mematikan kompor dan mengambil piring.
"Oke," katanya singkat.
Thom melihat gerak-geriknya.
"Rin... gue gak mau kehilangan lo sebagai temen. Kita udah terlalu jauh bareng-bareng."
Karin membalik badan, menaruh ayam goreng di meja.
Senyumnya kembali muncul, tapi kali ini agak dipaksakan.
"Gak apa-apa. Gue ngerti. Siapa sih gue, cuma cewek yang bisa masak ayam goreng waktu kiamat."
Thom tertawa canggung, mencoba mencairkan suasana.
"Eh tapi ayam goreng lo juara, sumpah. Kalau dunia normal lagi, kita buka restoran."
Karin mengangguk pelan sambil mengambil satu potong ayam,
"Kita lihat aja, kalau kita masih hidup sampai dunia normal lagi."
Suasana hening sebentar. Hanya suara renyah ayam saat digigit dan aroma bumbu yang memenuhi ruangan.
Malam itu sunyi, hanya suara jangkrik dan angin malam yang menggesek dedaunan di luar restoran ayam panggang yang mereka tempati. Thom duduk bersandar di dinding, memandang kosong ke arah jendela yang ditutupi kain lusuh.
Tak lama, Karin datang membawa dua piring ayam goreng, lalu duduk di sampingnya. Mereka makan dalam diam sebentar, masing-masing tenggelam dalam pikirannya.
"Kita gak boleh bertahan di sini aja," Thom akhirnya membuka suara.
Karin melirik ke arah Thom, mengunyah perlahan.
"Lo punya rencana?"
Thom mengangguk pelan, matanya masih menatap gelap di luar.
"Gue mikir... zombie-zombie itu takut sama suara, kan?"
Karin mengangguk, sedikit tertarik.
"Iya, kayak waktu mereka ngumpul karena suara mainan HP itu..."
"Nah," Thom lanjut, "kalau kita bisa nyebarin suara ke seluruh kota, kita bisa ngumpulin mereka ke satu titik. Biar pasukan yang di pulau bisa ngebom sisa-sisa yang tersebar."
Karin mulai paham arah pikirannya.
"Lo mikir buat pake... studio siaran radio?"
"Iya," Thom menatapnya serius. "Pasti ada satu dua studio siaran yang masih utuh di kota ini. Kita cari. Siaranin suara keras—alarm, suara ledakan, suara manusia... apapun yang bisa narik perhatian mereka."
Karin meletakkan piringnya.
"Itu ide bagus. Tapi kita harus siapin rute, nyari bahan bakar, dan pastiin sinyal siarannya bisa jangkau luas."
Thom tersenyum tipis.
"Makanya gue butuh lo, Rin. Lo pintar soal alat-alat teknis. Kita bareng-bareng siapin ini."
Karin mengangguk mantap.
"Besok pagi kita mulai."
Thom menatapnya dengan penuh rasa terima kasih. "Kalau ini berhasil, kota ini bisa bener-bener bersih."
"Dan kita bisa buka restoran ayam goreng beneran," Karin menambahkan setengah bercanda.
Mereka tertawa kecil bersama. Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ada sedikit harapan dalam gelap.
Thom dan Karin melaju dengan motor melewati jalanan rusak dan puing-puing kota. Aroma asap masih tercium dari kejauhan, sisa ledakan kemarin malam. Matahari mulai naik, sinarnya menembus kabut debu tipis yang menyelimuti kota.
Di tengah jalan, Thom memperlambat motor. Ia memperhatikan sekelompok zombie yang berjalan pelan, tersebar di sisi jalan. Di antara mereka, satu zombie berambut pirang mengenakan kaus pariwisata Bali.
Thom tertawa kecil.
"Rin, ternyata bule juga bisa jadi zombie, ya? Kirain cuma di film doang," katanya setengah bercanda.
Karin melirik, mengangkat alis. "Gue tunggu lo bilang 'braaaains' ala film barat."
Mereka tertawa pendek, lalu kembali fokus. Motor mereka berhenti di depan sebuah gedung tua bertuliskan: "Radio Flores FM". Catnya mengelupas, tapi antena tinggi di atap masih berdiri.
Thom memegang senapan. "Semoga aja gak mati listrik…"
Mereka masuk pelan. Thom memeriksa sudut-sudut ruangan. Tiba-tiba ia berhenti dan menunjuk ke depan.
"Lihat pintunya… kebuka. Gue rasa ada zombie di dalam."
Mereka menegangkan tubuh. Langkah-langkah perlahan membawa mereka masuk ke ruang siaran. Tapi begitu melewati koridor sempit, suara geraman terdengar dari belakang. Tiga zombie keluar dari salah satu ruang edit suara.
"Kontak kiri!" seru Karin.
Mereka bertarung cepat. Thom menembak satu zombie tepat di kepala, darah menyembur ke dinding. Karin mengayunkan pipa besi ke arah zombie yang mendekat dari kanan. Tubuh zombie roboh, dan yang terakhir langsung diselesaikan Thom dengan hentakan gagang senapan.
Setelah ruangan tenang, Thom menarik napas.
"Kayaknya itu semua..."
Mereka masuk ke ruang siaran utama. Panel-panel penuh debu, tapi sebagian lampu indikator masih menyala. Karin segera duduk di kursi operator, mulai memeriksa peralatan.
Thom berjalan ke radio komunikasi di pojok ruangan.
"Kita hubungi Letnan Miko dulu lewat radio ini."
Ia menyalakan alat itu, memutar frekuensi, lalu menekan tombol transmisi.
> "Letnan Miko, ini Thom. Ulangi, ini Thom. Kami di stasiun radio. Siaran bisa kita aktifkan. Over."
Beberapa detik hening. Lalu, suara lain menyela.
> "Ini Tio. Kalian masih hidup?"
Thom langsung menjawab cepat.
"Pak, kami butuh bantuan. Kami punya rencana—para zombie tertarik suara. Kami siarkan suara dari sini, tarik mereka ke satu titik. Setelah cukup banyak, kalian bom dari jauh. Fokuskan semua ke arah sinyal ini."
Tio terdiam sebentar sebelum menjawab.
> "Kau sadar risikonya? Kalo zombie gagal kumpul, kalian terjebak. Siaran bisa jadi mercusuar buat kematian kalian sendiri."
Thom menatap Karin yang masih sibuk menyambungkan kabel dan mengecek mikrofon.
"Kami udah ambil banyak risiko, Pak. Tapi kalau ini bisa bantu bersihin kota, kita siap jalanin."
Tio akhirnya menjawab dengan nada pelan tapi tegas.
> "Baik. Aku akan koordinasi dengan kapal induk dan tim artileri. Kalian punya waktu tiga jam. Pastikan siaran nyala. Setelah itu, kami akan mulai serangan."
Thom memutus komunikasi. Ia menoleh ke Karin.
"Gimana? Bisa dinyalain?"
Karin tersenyum tipis, menyalakan satu tombol. Suara 'bip' mengisi ruangan.
"Siap. Siarannya kita kasih kejutan. Gue rekam suara tembakan, suara tangisan, dan suara 'tolong' pake rekaman lama dari penyintas. Biar maksimal nariknya."
Thom mengangguk puas. "Keren, Rin."
Mereka saling pandang sejenak. Tak ada waktu untuk banyak bicara, tapi sorot mata mereka menyiratkan tekad yang sama.
Karin menghela napas panjang.
"Oke. Mari kita siarkan neraka kecil... buat mengakhiri neraka besar ini."
Dan dengan satu sentuhan di tombol merah besar bertuliskan "LIVE", siaran dimulai.
Suara siaran keras menggema dari speaker studio—teriakan, alarm, dan dentuman disetel berulang. Kota yang tadinya sunyi kini kembali riuh, tapi dengan kengerian yang bergerak. Zombie-zombie mulai mendekat dari berbagai arah, tertarik oleh suara yang menyerupai aktivitas manusia.
Thom memutar tombol volume maksimal lalu berteriak, "Rin, waktunya cabut!"
Karin langsung meraih tasnya dan ikut berlari keluar studio. Begitu mereka keluar, gerombolan zombie sudah tampak merayap dari kejauhan, sebagian bahkan mulai menuruni atap bangunan seolah suara itu menarik mereka dari segala arah.
Thom melompat ke motor, Karin segera duduk di belakang.
Motor meraung. "Kita ke depo yang kemarin, bukan yang utama!" seru Thom di tengah deru suara.
"Yang tempat kita nemuin kontainer itu?" tanya Karin, memeluk erat.
"Ya! Siapa tahu ada heli... atau apapun yang bisa bawa kita pergi!"
Mereka melaju kencang, melewati jalan-jalan sempit yang mulai dipenuhi zombie. Thom zig-zag menghindari tubuh-tubuh mati yang limbung, Karin sesekali menembak ke belakang untuk menjauhkan yang terlalu dekat.
"Jalan ini buntu!" teriak Karin saat mereka masuk ke lorong kecil yang ternyata terhalang puing.
Thom berbelok cepat, hampir kehilangan keseimbangan. "Gak peduli, kita harus sampai sebelum mereka nutup semua jalur!"
Suara siaran radio yang mereka aktifkan masih terdengar samar dari kejauhan, membawa serta lautan zombie ke satu titik.
Karin menatap ke langit. "Kalau beneran ada heli... itu satu-satunya cara kita bisa keluar dari sini hidup-hidup."
Thom menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras. "Kalau gak ada pun… kita bikin jalan sendiri."
Motor melaju kencang di antara kehancuran. Dan di ujung kota, di balik tembok-tembok beton dan kawat berduri, bayangan depo lama mulai terlihat. Sunyi. Mencekam. Tapi bagi Thom dan Karin, itu satu-satunya harapan yang tersisa.
Motor mereka menderu kencang di antara jalanan retak dan puing berserakan. Di belakang, zombie-zombie terus mengejar—banyak, terlalu banyak.
Karin menembak sambil menoleh ke belakang. Klik! Klik! Senjatanya tak lagi bersuara.
"Thom! Peluru habis!" teriaknya panik.
Thom menggertakkan giginya, tangannya menggenggam setang motor kuat-kuat. "Pegangan yang kenceng!"
Ledakan kecil terdengar dari kejauhan—bom pertama yang mereka bantu arahkan mulai meledak.
"Sebentar lagi semua meledak!" Karin berseru, napasnya memburu. "Kalau kita kena ledakannya, tamat sudah!"
Di depan, asap tipis mulai terlihat di langit. Tanda bahwa titik ledakan utama mulai aktif. Thom mempercepat motor, menunduk untuk menghindari reruntuhan besi yang menjuntai.
"Kita harus masuk ke dalam depo sebelum semuanya hancur!" katanya sambil memutar tajam.
Zombie-zombie dari gang-gang samping mulai bermunculan, menghalangi jalan. Salah satu melompat ke arah motor—Thom menendangnya keras hingga terpental dan tergilas roda.
Karin hanya bisa berpegangan erat, napasnya tercekat. "Thom! Kita gak akan sempat kalau…"
"BISA! GUE GAK MAU MATI KARENA LEDAKAN YANG GUE RENCANAIN SENDIRI!" Thom berteriak, menatap ke depan—gerbang logam depo sudah terlihat.
Namun, di depannya—tiga zombie menghalangi pintu masuk.
Thom menarik rem mendadak. "Pegang, Rin!"
Ia mengangkat motor sedikit dan menghantam para zombie dengan roda depan. Dua jatuh, satu masih berdiri goyah.
Thom langsung turun, meraih linggis dari tas samping dan menghantam kepala zombie itu sekuat tenaga. Brak! Mayat itu tumbang.
"Masuk! Sekarang!" serunya.
Karin berlari lebih dulu, dan Thom mendorong motor masuk ke dalam depo tua yang kini sunyi.
Begitu mereka masuk dan mengunci pintu baja di belakang mereka, suara BOOM! mengguncang udara—ledakan besar terjadi tak jauh dari posisi mereka. Dinding depo bergetar, debu berjatuhan dari langit-langit.
Thom terduduk, tubuhnya gemetar, napas tersengal. Karin duduk di sampingnya, sama lelah dan ketakutan.
"Kita… selamat?" tanya Karin, lirih.
Thom menatapnya, lalu mengangguk pelan. "Untuk sekarang, iya. Tapi belum selesai. Kita masih harus cari helinya."
Karin menarik napas panjang, lalu berdiri perlahan. "Ayo cari. Mumpung belum ada zombie yang masuk."
Dengan langkah berat namun tekad yang tetap menyala, mereka mulai menyusuri lorong gelap depo militer itu… berharap keajaiban masih berpihak pada mereka.