Langkah mereka bergema di dalam lorong sunyi depo. Bau oli, besi tua, dan asap ledakan menyatu. Thom menyorotkan senter ke setiap sudut, berharap ada senjata atau amunisi tersisa.
"Periksa rak itu," kata Thom pelan.
Karin membuka laci logam, menemukan satu magazin setengah terisi dan pisau militer berkarat. "Lumayan," gumamnya.
Tiba-tiba, Thom mengangkat tangan ke atas—kode hening. Ia menunduk, matanya tajam menatap ke ujung lorong.
"Ada orang…" bisiknya.
Seketika, suara langkah kaki berat terdengar—Thom menarik Karin. "Lari!"
Mereka berlari di antara tumpukan peti logistik, napas memburu. Tapi di depan, dua orang muncul dari balik bayangan—satu membawa parang besar, yang lain pistol berlaras pendek.
Mereka berhenti mendadak, hampir tergelincir. Saat Thom hendak berbalik, tiga orang sudah menghadang di belakang. Di tengah—wajah yang tak asing.
"Tino?" gumam Karin.
Tino mengangkat tangan, wajahnya dingin. "Turunkan senjata kalian."
Dengan enggan, Thom dan Karin menaruh senjata mereka ke lantai.
Tino maju perlahan. "Saya tidak akan bunuh kalian… selama kalian tidak rebut helinya."
Thom menatap tajam. "Kami yang pertama nemuin itu heli. Kami berhak juga."
Tino mendekat, pisaunya berkilat di bawah cahaya senter. "Lihat sekeliling. Kami bertujuh. Apa kamu pikir semuanya bisa muat di satu heli kecil? Kami gak mau ada orang asing."
Thom melangkah maju, darah masih menetes dari lengan yang tergores tadi. "Jangan egois. Heli itu cukup buat kita semua. Kalau kita atur berat dan formasi, masih bisa—"
BRAK!
Tembakan pertama melesat dari salah satu anak buah Tino. Thom langsung menyambar senjatanya kembali dan menjatuhkan satu musuh dengan tembakan ke dada.
Karin bertarung sengit dengan pria bermachete, menangkis dan menendang. Thom duel brutal dengan Tino, yang bergerak cepat dan ganas.
Tino menusuk Thom di perut—darah muncrat, Thom mendesis kesakitan. Lalu sebuah goresan panjang dari pisau Tino melukai wajahnya, melewati hidung secara horizontal.
Namun, di detik terakhir, Thom menguatkan diri. Ia mengangkat pisau militer tua dari rak—dan menusuk Tino tepat di rusuk, menusuk ke dalam.
Tino terhuyung, matanya membelalak, lalu jatuh berlutut dan roboh, tak bergerak.
Thom terengah-engah, darah membasahi bajunya. Karin bergegas memapahnya.
"Kita… menang," bisik Thom, hampir roboh.
Karin menahan air mata, menopangnya. "Kita harus buru-buru cari heli itu… sebelum semua ini sia-sia."
Karin memapah Thom ke balik tumpukan peti logistik yang agak terlindung.
"Duduk di sini… pelan-pelan," ucapnya, setengah panik tapi berusaha tetap tenang.
Thom menggertakkan gigi, menahan rasa perih di perut dan goresan di wajah. Napasnya berat, bercampur darah di bibir.
Karin menatap sekeliling, lalu berkata cepat, "Biar aku obati lukamu. Aku akan cari P3K… tunggu di sini. Jangan tidur."
Ia berlari menyusuri lorong logistik, menendang pintu-pintu kecil dan memeriksa laci-laci rusak. Debu tebal dan bau karat menusuk hidungnya.
Akhirnya, di sebuah lemari besi yang setengah terbuka, ia menemukan kotak P3K. Isinya tidak lengkap, tapi cukup—kasa, alkohol, benang jahit, perban.
Ia kembali secepat mungkin, lututnya gemetar melihat Thom sudah setengah rebah.
"Hey! Jangan tidur! Thom!" panggilnya, menepuk pipi lelaki itu.
"Aku gak tidur…" desah Thom lemah. "Cuma… istirahat bentar aja."
Karin langsung membersihkan luka, mengompres, lalu menjahit cepat dengan tangan gemetar. Setiap tusukan jarum membuat Thom menggertak gigi, tapi ia bertahan.
"Sedikit lagi… tahan, Thom…"
Setelah luka dijahit dan diperban, Karin duduk di sampingnya, napasnya belum teratur. Thom memejamkan mata sejenak, lalu membukanya kembali.
"Dengar…" gumamnya. "Kalau heli itu masih bisa jalan… kita harus buru-buru. Sebentar lagi bom dari pusat mungkin bakal datang."
Karin mengangguk. "Kita temukan helinya… dan keluar dari neraka ini."
Suara baling-baling di kejauhan kini terdengar lebih jelas. Namun bersamaan itu… juga terdengar geraman. Zombie mulai berdatangan, tertarik oleh suara pertarungan sebelumnya.
Waktu mereka… benar-benar tinggal sedikit.
Sebelum berdiri, Thom menatap sejenak ke arah kotak P3K yang masih terbuka. Di dalamnya, matanya menangkap selembar plester luka kecil. Ia mengulurkan tangan, mengambilnya perlahan, lalu menempelkannya tepat di goresan panjang di hidungnya yang masih mengeluarkan darah.
"Lumayan biar gak makin perih," gumamnya.
Karin membantu Thom berdiri, lalu mereka berjalan terseok menuju helikopter yang terparkir di pelataran terbuka. Mesin itu sudah tua, tapi tampak masih utuh. Bayangan api dari kejauhan mulai menyala di langit—bom dari pusat mungkin benar-benar akan segera dijatuhkan.
Begitu masuk, Karin langsung duduk di kursi kopilot dan memeriksa panel instrumen.
"Sepertinya bahan bakarnya cukup," katanya, mengecek indikator. "Setidaknya kita bisa keluar dari sini."
Thom menduduki kursi pilot, matanya menyapu seluruh dashboard. Tangannya menyentuh tuas-tuas kendali. Ia terdiam.
Karin menoleh padanya. "Kau yakin bisa menyalakannya dan membawanya terbang?"
Thom diam sejenak, lalu menarik napas dalam. "Kita lihat saja nanti."
Kilas Balik
Beberapa hari sebelumnya—di kamp militer Sernaru…
Letnan Miko berdiri di depan helikopter latihan militer bersama Thom. Ia tersenyum tipis, lalu menepuk bahu Thom.
"Kau punya insting bagus. Tapi insting aja gak cukup. Lihat ini."
Miko menunjuk ke panel kontrol.
"Pertama, nyalakan power utama. Lalu aktifkan sistem bahan bakar. Ini tuas untuk kolektif—buat angkat helinya. Ini cyclic, untuk arah. Dan yang ini… pedal tail rotor buat belok kiri-kanan."
Ia duduk di kursi pilot, lalu menyalakan simulasi.
"Pegang tuas dengan tenang. Jangan panik kalau helinya goyang. Tarik perlahan kolektif, dan arahkan cyclic pelan ke depan."
Thom memperhatikan dengan seksama, matanya tak lepas dari setiap gerakan Letnan Miko.
"Kalau angin kuat, lawan dengan tail rotor. Jangan over-steer."
Thom mengangguk perlahan, menyimpan setiap detail dalam benaknya.
Kembali ke Sekarang
Thom menarik tuas power utama. Panel menyala. Mesin mendengung.
Ia aktifkan bahan bakar. Suara mesin mulai meningkat.
Lalu perlahan, ia tarik tuas kolektif.
Rotor mulai berputar—lambat, lalu makin cepat.
Karin memegangi sabuk pengaman. "Kita bisa, Thom…"
Thom mengepalkan tangan. "Ayo, burung besi. Terbanglah…"
Rotor helikopter menderu semakin kencang. Debu dan daun-daun kering beterbangan saat roda-roda perlahan terangkat dari tanah. Helikopter mulai naik, sedikit goyah di awal, tapi kemudian stabil.
Thom tertawa keras sambil mencengkeram kendali. "Wahh... anjay! Gue bisa bawa ini!"
Ia menoleh ke Karin yang terbelalak setengah kaget, setengah tak percaya. "INI AKAN JADI SEJARAH BUAT GUE!"
"Hu hu..." suara tawa setengah nangis keluar dari mulutnya sendiri. Antara lega, terkejut, dan euforia bercampur jadi satu.
Karin ikut tertawa kecil. "Kau gila, Thom... Tapi hebat. Kita berhasil!"
Di bawah sana, suara ledakan mulai terdengar dari kejauhan. Bola api naik ke udara, mengejutkan kawanan zombie yang berkeliaran. Semuanya mulai lenyap dalam kabut dan asap.
Helikopter itu melesat menjauh, meninggalkan neraka di Labuan Bajo—menuju langit yang belum tentu lebih aman, tapi penuh harapan baru.
Di dalam helikopter yang mulai stabil di udara, angin dari baling-baling menciptakan gemuruh konstan. Karin membuka ranselnya dan mengeluarkan peta yang mulai kusam karena sering dipakai.
"Thom, lihat ini," katanya sambil merentangkan peta di pangkuannya. "Kalau kita terus ke arah timur... kita akan sampai di Pulau Majarite. Di sini," ia menunjuk titik kecil di ujung pulau itu, "kamp pengungsian yang dibilang Letnan Miko... seharusnya ada di sekitar sini. Mereka bilang tempat itu dijaga ketat dan aman."
Thom melirik sekilas sambil tetap fokus mengendalikan helikopter. "Oke. Tapi kita harus hemat bahan bakar. Jangan nyasar."
Karin mengangguk. "Arah kita sudah benar. Kalau angin nggak terlalu kencang, kita bisa sampai dalam waktu satu jam."
Ia menatap keluar jendela, melihat bayangan daratan mulai mengecil di bawah, dan kabut tipis yang menyelimuti lautan.
"Aku harap mereka masih di sana," gumamnya pelan.
Thom mencengkeram kendali lebih erat. "Kalau pun nggak... kita akan terus cari. Sampai ketemu tempat yang aman."
Dan helikopter itu terus melaju, meninggalkan sisa-sisa kehancuran, menuju harapan terakhir yang masih tersisa di peta lusuh mereka.
Di dalam kokpit helikopter yang berguncang ringan diterpa angin, suasana sempat hening sejenak. Thom melirik ke arah Karin yang masih menatap peta, wajahnya terlihat tegang.
Untuk mencairkan suasana, Thom nyengir kecil.
"Eh, Karin... lo tau gak? Kalau kita selamat dari semua ini, lo bakal jadi satu-satunya orang yang pernah naik helikopter bareng pilot dadakan kayak gue."
Karin menoleh dengan senyum tipis. "Iya, pilot dadakan yang hampir nyungsep waktu take-off tadi."
Thom tertawa. "Eh itu latihan refleks, biar dramatis! Biar lo deg-degan terus mepet-mepet ke gue gitu."
Karin mencibir sambil memutar matanya. "Ih, dasar..."
"Tapi serius, lo keren, Rin. Sejak awal lo selalu kuat. Gue aja kadang pengen nyerah. Tapi lo tetep berdiri, tetep berjuang."
Thom menoleh sebentar, lalu menatap ke depan lagi. "Makanya... jangan sekarang ngelamun. Masih panjang jalan kita. Dan, ya... gue gak mau ngelewatin ini semua tanpa lo."
Karin menatap Thom, ada sedikit senyum yang muncul, walau matanya masih menyimpan lelah.
"Tenang aja, Tom. Gue gak bakal kemana-mana."
Dia menyandarkan kepala sebentar ke sandaran kursinya dan menatap langit. "Kita harus sampai. Demi semua yang udah pergi... dan yang masih bisa kita lindungi."
Thom mengangguk pelan, semangat dalam dirinya kembali menyala. Helikopter itu terus melaju, membawa dua jiwa yang tak ingin menyerah, menuju sebuah harapan bernama Majarite.
Thom melirik indikator bahan bakar yang nyaris menyentuh nol. Mesin mulai bergetar tak stabil, suara helikopter pun berubah jadi kasar dan mengerang.
"Rin... bahan bakarnya habis!" seru Thom, matanya terfokus ke depan.
Karin langsung tegak. "Serius? Bisa mendarat enggak?"
"Akan gue coba! Pegangan!"
Helikopter itu mulai menurun tajam, bergetar lebih keras. Di bawah, tampak garis pantai dan kumpulan rumah-rumah sederhana—seperti desa kecil di pulau terpencil.
"Ada daratan! Gue coba mendarat di sana!"
Dengan sisa kendali dan napas yang tertahan, Thom mengarahkan helikopter ke lapangan berumput di antara pepohonan dan rumah-rumah. Rotor berputar makin lambat, lalu...
DUUUGHH!!
Helikopter menghantam tanah dengan keras, namun masih terkendali. Tubuh mereka terguncang hebat tapi selamat. Thom langsung membuka sabuk dan memeriksa Karin.
"Lo oke?"
Karin mengangguk sambil terengah. "Masih hidup… kayaknya jantung gue copot barusan."
Mereka keluar dari kabin. Angin laut menyambut, dan suara burung-burung terdengar. Di kejauhan, ada asap dari cerobong rumah. Ada perahu kayu terparkir di sisi pantai.
"Tom, lihat deh," ujar Karin, menunjuk ke arah perahu dan desa. "Sepertinya ada orang di sini. Mungkin... pengungsi?"
Thom menyipitkan mata, memandangi pulau kecil itu. "Entah mereka penyelamat... atau ancaman baru."
Karin menghela napas. "Yuk, kita cari tahu."
Mereka pun mulai berjalan pelan menuju desa itu—menyimpan harapan... dan bersiap menghadapi kemungkinan terburuk.
Langkah kaki mereka menyusuri jalan sempit di antara rumah-rumah kayu yang tampak seadanya. Thom dan Karin tiba-tiba keluar ke sebuah area terbuka—sebuah pasar kecil yang masih aktif. Orang-orang yang sibuk dengan aktivitasnya langsung menghentikan gerakan, memalingkan wajah ke arah dua orang asing yang baru saja datang.
Suasana jadi hening. Puluhan pasang mata menatap mereka dengan curiga, bingung, dan waspada.
Thom berbisik pelan, "Kita harus cari bensin. Helinya butuh itu kalau mau keluar dari sini."
Karin mengangguk. "Tapi kira-kira... bisa gak sih pakai bensin biasa buat helikopter?"
"Kita lihat aja nanti, gak ada pilihan lain."
Mereka bertanya ke beberapa warga dengan isyarat dan kata-kata sederhana, dan akhirnya diarahkan ke sebuah bengkel tua di pinggir desa. Di sana, mereka mendapatkan beberapa jeriken bensin—tidak banyak, tapi cukup untuk percobaan.
Kembali ke helikopter Thom mengelap keringat dan mulai membuka panel bahan bakar. "Nih... keras banget."
Karin mengeluarkan peta dan peralatan kecil dari ranselnya, lalu mencongkel pelan-pelan bagian penutup tangki. Dengan suara klik, akhirnya tutupnya terbuka.
Mereka mengisi bahan bakar dengan hati-hati. Saat Thom mencoba menyalakan mesin...
BRRMMM!
"Nyala!" seru Thom, matanya berbinar.
Karin buru-buru mengambil ranselnya yang tadi digeletakkan, masuk ke helikopter, dan duduk di sebelah Thom. Tapi di tengah penerbangan, ia membuka ransel lagi, mengaduk-ngaduk isinya. Wajahnya langsung pucat.
"Thom... petanya gak ada. Kayaknya ketinggalan waktu tadi nyari bensin."
Thom mendesah, menenangkan. "Gak apa. Kita bisa cari pulau-pulau sekitar yang punya tanda-tanda kamp. Tetap tenang."
Tiba-tiba, suara menderu terdengar. Pesawat militer melintas di langit, cukup rendah.
"Ikuti pesawat itu!" kata Karin cepat.
Thom langsung mengarahkan helikopter mengikuti arah pesawat. Mereka terbang seharian, berjam-jam di udara mengikuti bayangan pesawat, tapi akhirnya kehilangan jejak saat matahari mulai tenggelam.
Malam turun, dan bahan bakar makin menipis. Thom memutuskan untuk mendarat di pulau besar yang mereka temui—tanpa tanda-tanda kamp, hanya hutan luas dan sebagian gundul.
Heli mendarat dengan aman di tengah area lapang.
Thom keluar, memandang sekitar yang gelap dan lengang. "Kita di mana sekarang...?"
Di belakangnya, Karin sudah menyandarkan kepalanya di dinding kabin. "Aku capek banget... bangunin kalau ada apa-apa, ya..." katanya pelan, sebelum akhirnya tertidur.
Thom duduk, menatap langit penuh bintang. Di tengah kelelahan, ia tahu... perjuangan mereka masih jauh dari selesai.
Pagi itu, kabut tipis menyelimuti permukaan hutan. Suara burung dan serangga jadi latar yang menenangkan. Karin membuka matanya perlahan, duduk, lalu turun dari helikopter. Ia menatap sekeliling—deretan pohon tinggi membentuk kanopi alami di atas kepala.
"Sebenernya... kita ada di mana sih?" gumamnya pelan, merasa sedikit asing dengan suasana.
Ia menyadari Thom tak ada di sampingnya. Karin melangkah pelan, mengikuti suara gemericik air yang makin jelas. Tak jauh dari situ, di balik semak dan pohon besar, ia melihat Thom sedang berendam dan membasuh mukanya di sungai jernih.
Thom menoleh dan mendapati Karin tengah memerhatikannya. Karin buru-buru memalingkan pandangan, wajahnya agak merah, lalu balik arah menuju heli.
Tak lama kemudian, Thom kembali dengan rambut sedikit basah, dan duduk di sebelah Karin. Ia membuka mulut, tapi Karin lebih dulu bertanya, "Kita ada di mana, Thom?"
Thom menggeleng pelan. "Aku gak tahu. Tapi kayaknya kita tunggu aja dulu. Siapa tahu ada orang lewat... mungkin yang nyari kayu atau semacamnya."
Sudah lebih dari tiga jam mereka menunggu, duduk di atas batu dan kadang mengelilingi area sekitar helikopter. Tiba-tiba dari arah hutan terdengar suara langkah terburu-buru. Seorang pria seusia mereka muncul dari balik semak, berlari panik.
"Zombie!! Zombiee!!" teriaknya.
Tanpa pikir panjang, Thom langsung menarik Karin masuk ke dalam heli. Thom menyalakan mesin, dan mereka pun terbang meninggalkan hutan tersebut.
Saat udara sudah cukup tenang dan mesin stabil, Karin menoleh ke pria itu. "Siapa namamu?"
"Gue Jigo. Panggil aja Igo."
Thom ikut menimpali, "Igo... ini di mana? Pulau apa ini? Setahuku nggak ada pulau di sekitar Flores yang sebesar ini, apalagi ada sungai gede kayak tadi... ini luas banget, gue bahkan gak lihat ujungnya."
Igo menarik napas dalam. "Ini... pulau tempat tinggal gue. Kalian tadi udah mau masuk wilayah Larantuya. Pulau ini nggak ada di peta, bro. Dulu bekas proyek rahasia. Tapi sekarang penuh penyintas dan... juga zombie."
Thom menatapnya tak percaya. "Apa? Serius? Kenapa kami bisa sampai sejauh ini, ke tempat yang bahkan gak ada di peta?"
Karin menggigit bibirnya, lalu mengaku, "Ini salah gue... kita seharusnya ke pulau Manjarite. Tapi petanya ketinggalan waktu kita buru-buru naik heli... dan gue gak hafal rutenya."
Thom menatapnya sebentar, lalu tersenyum kecil. "Yah... namanya juga perjalanan hidup. Kadang nyasar dulu, baru ketemu tujuan." Ia menoleh ke Igo. "Jadi... di sini banyak penyintas?"
Igo mengangguk serius. "Ada beberapa kamp... tapi juga ada kelompok-kelompok gila. Kalo kalian pengen keluar hidup-hidup dari Larantuya... kalian butuh lebih dari sekadar bensin dan keberanian."