War Of The Dead

Di sisi lain, mentari mulai naik di atas kamp pengungsian Pulau Manjarite. Angin pantai bertiup pelan, membawa aroma laut yang tenang namun menyimpan kecemasan.

Kylie duduk di tepi dermaga kayu, memandangi laut luas. Matanya kosong, pikirannya sibuk membayangkan—apakah Thom dan Karin selamat? Apakah mereka berhasil kabur dari kota sebelum bom dijatuhkan?

Letnan Miko berdiri tak jauh darinya, menyapa dari belakang. "Kylie," ucapnya pelan, "kami semua berharap yang sama..."

Tiba-tiba, Letnan Tio datang mendekat dengan langkah cepat dan nada tegas. "Letnan Miko, hari ini juga semua pengungsi akan diberangkatkan ke pusat ibu kota. Semua hasil tes negatif. Waktunya evakuasi besar-besaran."

Miko sedikit terkejut. "Seburu itu? Bagaimana dengan yang belum kembali?"

Tio menoleh tajam. "Sudah cukup waktu diberikan. Yang belum kembali, kita anggap... gugur."

Kylie berdiri, air mata mulai menggenang di matanya. "Tidak bisa! Kita harus tunggu Thom dan Karin! Mereka bisa saja masih hidup! Kita gak tahu pasti mereka kena bom atau enggak!"

Letnan Tio menghentak tanah dengan sepatunya. "Mereka SUDAH MATI! Kau pikir berapa persen kemungkinan selamat dari kota yang dibom penuh? Jangan bertindak bodoh dan egois! Banyak nyawa di sini yang harus diselamatkan!"

Suasana mendadak sunyi. Semua orang di sekitar mereka memperhatikan. Kylie menggertakkan gigi, menahan emosinya.

Letnan Miko maju, berdiri di antara Kylie dan Tio. "Dengan segala hormat, Letnan... aku paham keputusan Anda. Tapi izinkan aku dan beberapa orang menunda keberangkatan. Paling tidak sampai matahari terbenam. Jika mereka tak muncul... kami akan ikut ke pusat."

Tio menatapnya tajam beberapa detik, lalu membalikkan badan. "Satu hari. Itu saja. Setelah itu, tak ada yang bisa mencegah keberangkatan."

Miko mengangguk, lalu menoleh ke Kylie. "Kita masih punya harapan, Ky. Sampai senja nanti... kita percaya mereka masih hidup."

Di tepi pantai yang sepi dan asing, deburan ombak menjadi latar belakang percakapan tiga penyintas itu. Matahari sudah tinggi, membuat pasir terasa hangat di bawah kaki mereka.

Jigo duduk bersandar di batang pohon kelapa tumbang sambil mengelus perutnya. "Aku lapar..." gumamnya pelan.

Thom berdiri tak jauh, menatap hamparan laut yang tenang. Ia menghela napas, lalu menoleh ke Jigo. "Kita harus cari ikan. Tapi... alat aja gak ada."

Karin, yang duduk di atas batu besar tak jauh dari mereka, membuka ranselnya dan berkata, "Aku bawa pisau kecil... tapi itu gak cukup."

Thom mendekat ke garis air, memandangi ombak yang menyapu pantai. "Kita bisa buat tombak dari ranting. Kita ikat ujungnya pakai pisau atau besi kecil... asal kuat."

Jigo bangkit, matanya berbinar sedikit. "Di kampung gue dulu, kita biasa pake kayu panjang terus diruncingin. Ayo, kita cari di pinggir hutan!"

Mereka bertiga mulai menyusuri pinggiran hutan kecil di belakang pantai, mencari batang kayu panjang. Tak butuh waktu lama, mereka menemukan beberapa yang cocok.

Karin mulai mengikatkan pisau kecilnya di ujung satu batang. Thom membantu Jigo meruncingkan ujung lainnya dengan batu tajam.

Setelah selesai, mereka kembali ke pantai dan mulai menyisir tepian air.

Thom mencoba menusuk ikan yang berenang di dekat permukaan. Sekali, dua kali, gagal. Namun akhirnya...

"Dapat!" teriak Thom, mengangkat tombak dengan seekor ikan kecil yang masih menggeliat di ujungnya.

Jigo bersorak, "Mantap, bro! Gue masakin, asal lu mancingin terus!"

Karin tertawa kecil, "Deal. Kita bikin api, ya?"

Mereka mulai menyiapkan api unggun kecil, dan untuk sesaat, di antara kesesatan dan kelelahan, mereka merasa seperti manusia biasa lagi—bertahan hidup bukan dari pelarian, tapi dari kebersamaan.

Namun... langit mulai berawan. Dan suara pesawat dari kejauhan mengingatkan mereka—dunia belum benar-benar aman.

Aroma ikan bakar menyebar di antara semilir angin pantai. Api unggun kecil berkobar tenang, dengan tiga ekor ikan tertusuk di atas batang kayu, perlahan menghitam di bagian kulitnya.

Jigo dengan cepat mencabut salah satu ikan, meniupnya, lalu menggigit dengan lahap. "Ahhh... akhirnya makan beneran!" katanya dengan mulut penuh.

Thom duduk sambil mengunyah perlahan, pandangannya masih mengarah ke laut. "Setelah makan, kita harus segera berangkat. Kau tahu di mana letak Pulau Manjarite?"

Jigo menoleh cepat. "Manjarite? Wah, itu jauh. Tapi tenang..." Ia menyelipkan tangannya ke dalam kantong celana sobeknya, lalu mengeluarkan secarik kertas lecek yang dilipat kecil. "Gue bawa peta kecil."

Karin mendongak dengan ekspresi setengah terkejut setengah kesal. "Hah? Kamu punya peta? Kenapa gak bilang dari tadi sih?"

Jigo nyengir tak berdosa. "Hehe... lupa. Kan tadi panik. Lagi pula, gue kira kita masih butuh makan dulu, baru mikir jalan."

Thom tertawa kecil, "Ya udah... yang penting sekarang kita punya arah."

Karin mendekat, duduk di samping Jigo dan membuka lipatan peta itu bersama Thom. Mereka bertiga memperhatikan titik-titik kecil di kertas itu, dan Thom menunjuk satu arah.

Thom: "Kalau perkiraan gue bener, dan heli masih kuat, kita bisa sampai Manjarite sebelum malam."

Karin: "Kalau gak nyasar lagi kayak kemarin..."

Jigo: "Tenang, kali ini kita punya navigator lokal."

Mereka semua tertawa kecil, suasana kembali ringan. Tapi di balik canda itu, mereka tahu: masih banyak bahaya menunggu.

Tanpa berlama-lama, Thom berdiri sambil menepuk-nepuk celananya, lalu berkata tegas, "Ayo, berangkat. Kita harus sampai sebelum sore."

Jigo yang masih duduk sambil menggigit ekor ikan, meringis, "Hah? Tapi gue masih lapar, bro…"

Thom menoleh sambil jalan ke arah helikopter. "Makan aja di dalam heli. Gampang kan, navigator lokal?"

Karin tertawa kecil sambil mengangkat ranselnya. "Jangan sampai peta ketetesan minyak ikan ya, navigator."

Jigo berdiri sambil menggondol sisa ikan dan memasukkannya ke dalam kantong kain kecil. "Santai… gue multitasking. Bisa makan sambil ngarahin."

Mereka bertiga masuk ke dalam helikopter. Thom duduk di posisi pilot, mengecek kontrol cepat sambil mengingat kembali penjelasan Letnan Miko.

Rotor mulai berputar perlahan, angin dari baling-baling mulai mengangkat pasir dan dedaunan kering di sekitar mereka.

Jigo duduk di belakang, mulut masih penuh ikan, satu tangan pegang peta kecil. "Lurus dulu ke utara, terus belok ke arah matahari tenggelam... nanti gue arahin."

Karin duduk di samping Thom, jari tangannya menggenggam erat sabuk pengaman. "Semoga ini jadi penerbangan terakhir... yang damai."

Thom tersenyum. "Amin."

Heli perlahan naik, meninggalkan pantai sepi itu. Di bawah, hanya jejak-jejak kaki mereka yang tertinggal di pasir basah, perlahan menghilang tertiup angin.

Di dalam helikopter, angin dari ketinggian meniup rambut Karin yang tergerai ke sisi. Mereka melaju dengan kecepatan sedang, mengikuti arahan dari Jigo yang sesekali menunjuk titik-titik di peta kecilnya.

Thom menoleh sekilas ke Jigo dan berseru dengan nada setengah bercanda,

"Woi, lo gak digigit zombie kan? Jangan-jangan nanti lo berubah di dalam heli terus gue jatuh!"

Jigo menyeringai sambil angkat tangan, "Gue sehat, bro! Nih, liat—kulit mulus, gak ada bekas gigitan. Gue alergi sama zombie."

Karin nyengir. "Kalau lo gila sih, itu udah jelas dari tadi."

Mereka bertiga tertawa kecil, meski dalam hati, ketegangan masih menyelinap—tak ada yang benar-benar bisa percaya dunia lagi.

Sementara itu, di Kamp Manjarite Langit mulai memudar jingga saat Letnan Tio sedang berdiri di ruangan kontrol utama. Pintu terbuka mendadak.

Andre dan Tama masuk tergesa, wajah mereka tegang.

"Pak, kami dapat laporan hasil pemeriksaan lanjutan. Beberapa pengungsi... ternyata tidak sepenuhnya negatif," kata Andre.

Letnan Tio menatap mereka tajam. "Maksud kalian?"

Tama menambahkan, "Ada anomali. Respon imun mereka lambat… Tapi selnya bermutasi, Profesor bilang bisa jadi tipe infeksi baru—tak terlihat secara kasat mata di awal."

Tio menghela napas berat, lalu terdengar teriakan dari luar.

"ZOMBIE!! ADA YANG NGEGIGIT!!"

Letnan Tio langsung berlari keluar. Di lapangan tengah kamp, beberapa penjaga menahan seorang pengungsi pria yang meronta dengan liar. Mulutnya berlumuran darah, dan seorang korban lainnya tergeletak dengan luka gigitan di bahu.

Pengungsi itu diikat kuat, tubuhnya bergetar tak terkendali. Para penjaga mulai membuka bajunya untuk mencari tanda.

Semua terdiam.

Di lengan atas, terlihat bekas gigitan—tapi tidak seperti biasa. Bekas itu mengering perlahan, tak menunjukkan tanda-tanda membusuk. Urat di sekitar bekasnya berwarna gelap, menyebar seperti akar pohon.

Di samping Letnan Tio, Profesor Ridwan memperhatikan dengan seksama, wajahnya murung dan berkeringat.

Letnan Tio bertanya pelan, hampir berbisik,

"...Apa sebenarnya ini, Profesor?"

Profesor Ridwan menggeleng perlahan.

"Saya... saya belum pernah lihat ini sebelumnya. Ini bukan infeksi biasa. Seolah tubuhnya mencoba beradaptasi dengan virus. Ini mutasi... tapi terkontrol."

Tio menatap ke langit, lalu menatap penjaga.

"Karantina seluruh kamp. Tidak ada yang keluar... sampai kita tahu siapa yang benar-benar bersih."

Dan malam pun jatuh di kamp Manjarite, sementara kebenaran yang lebih gelap perlahan mencuat ke permukaan...

Dari kejauhan, bayangan helikopter mulai terlihat di langit senja. Suaranya yang khas semakin mendekat ke atas kamp pengungsian Manjarite.

Letnan Tio berdiri di tengah lapangan bersama beberapa prajurit.

Mereka menyiagakan senjata, sebagian besar membidik ke udara.

Tama bertanya khawatir,

"Pak, ini pasti bukan dari pusat… kita gak dapat laporan bakal ada heli datang."

Andre mengangguk. "Bisa jadi perompak udara… atau kelompok luar."

Letnan Tio mengangkat tangannya.

"Siapkan tembakan peringatan. Tapi tunggu aba-aba saya. Kita pastikan dulu siapa mereka."

Helikopter itu perlahan menurunkan ketinggiannya. Mesin berderu pelan, menyesuaikan sudut pendaratan. Beberapa pengungsi keluar dari tenda, menatap langit dengan campuran harapan dan kecemasan.

Kylie yang juga berada di lapangan menatap heli itu dalam-dalam.

Matanya membelalak.

"…itu… bentuk helinya… itu heli yang dipakai Thom…!" serunya.

Letnan Miko muncul di sampingnya, menatap tajam ke arah helikopter.

"Tak mungkin… mereka selamat?"

Kylie mulai berlari, menerobos barisan penjaga. "ITU MEREKA!! ITU MEREKA!!"

Tio yang melihat itu segera berseru, "Tahan tembakan! Jangan tembak! Tahan semua!"

Helikopter mulai menyentuh tanah, debu berterbangan. Pintu terbuka perlahan.

Dari balik pintu, tampak Thom turun duluan—wajah lelah, sedikit luka di perutnya masih dibalut seadanya. Di belakangnya, Karin dan Jigo mengikuti. Thom melambaikan tangan.

Thom berseru, suara hampir tenggelam oleh suara baling-baling,

"JANGAN TEMBAK, ORANG BAIK INI! KAMI SELAMAT!"

Semua pengungsi bersorak. Kylie berlari memeluk Karin sambil menangis.

Namun Letnan Tio tak ikut bersorak. Matanya tetap tajam menatap Thom.

Ia berbisik ke Miko, "Kita pastikan mereka benar-benar… belum terinfeksi."

Dan ketegangan baru pun menanti.

Setelah kerumunan mulai tenang, Thom, Karin, dan Jigo digiring oleh dua tentara menuju tenda khusus yang agak terpisah dari kamp utama. Di depan tenda, Letnan Miko berdiri menunggu mereka, wajahnya serius.

Thom menghampiri dengan langkah berat, menahan nyeri di perutnya.

"Kenapa kami harus dikarantina, Letnan? Kami selamat, kami bukan zombie."

Letnan Miko menatap mereka satu per satu. Ia menarik napas panjang.

"Thom… ini bukan soal kamu hidup atau mati. Tapi sekarang, infeksi itu berevolusi."

Karin bertanya, "Maksudmu?"

Miko melirik ke arah Letnan Tio yang sedang bicara dengan seorang profesor, lalu menoleh kembali.

"Beberapa pengungsi yang awalnya kelihatan sehat… ternyata terinfeksi. Tapi mutasi selnya lambat. Tidak menunjukkan gejala langsung."

Thom mengernyit. "Jadi kalian pikir kami juga... mungkin?"

Miko mengangguk pelan.

"Prosedur baru dari pusat. Siapa pun yang kembali dari zona merah harus dikarantina 24 jam untuk observasi. Apalagi setelah ledakan dan kabar soal proyek rahasia itu."

Jigo langsung panik. "Gue gak digigit! Sumpah! Gue cuma anak pulau!"

Miko menenangkan, "Tenang, ini hanya untuk memastikan. Kami akan pastikan kalian aman... dan kalau iya, kami akan bawa kalian ke pusat."

Thom menatap Miko tajam. "Dan kalau tidak?"

Miko terdiam sejenak.

"Kami harap itu tidak terjadi…"

Keheningan sejenak. Di dalam tenda, tiga ranjang sudah disiapkan. Di atas meja ada alat-alat medis dan lemari kecil berisi obat-obatan.

Karin berbisik pelan ke Thom, "Gue gak suka ini…"

Thom menghela napas. "Kita pernah selamat dari zombie dan manusia, Rin. Kita bisa selamat dari ini juga."

Mereka pun masuk ke tenda karantina. Di luar, Letnan Tio terus mengawasi.

Bayang-bayang dari proyek militer, mutasi virus, dan kebenaran yang belum sepenuhnya terungkap mulai menggantung di atas kamp pengungsian Manjarite.

Malam mulai merambat ke kamp pengungsian Manjarite. Di dalam tenda karantina, suasana hening. Thom duduk memandangi atap tenda, Jigo tertidur meringkuk dengan tangan di perut, sementara Karin memeluk lutut di pojok tempat tidur, matanya kosong.

Tiba-tiba terdengar langkah tergesa di luar. Tirai tenda disingkap perlahan.

"Karin...?"

Suara pelan itu membuat Karin mendongak cepat.

Seorang perempuan muda berdiri di ambang pintu tenda, matanya berkaca-kaca.

"Karin… ini aku, Tania…"

Karin membelalak.

"Tania?!" Ia langsung berdiri dan memeluk temannya dengan erat.

"Ya Tuhan… kamu masih hidup…"

Tania menangis, memeluk erat. "Aku kira kamu udah... waktu kota itu dibom…"

Thom menoleh penasaran. "Teman lo?"

Karin mengangguk. "Dia temanku sejak SMP. Kita sempat terpisah waktu evakuasi besar-besaran…"

Tania mengangguk cepat. "Aku denger kabar kalian datang. Aku paksa petugas biar bisa lihat kamu sebentar."

Jigo bangun dengan mata sembab. "Gue gak kenal lo, tapi salam kenal."

Tania tertawa kecil. "Salam kenal juga, Igo."

Karin bertanya, "Kamu tinggal di kamp ini sekarang?"

Tania menjawab, "Iya. Aku ikut rombongan dari barat. Kita ketemu militer di laut waktu kapal kami mogok. Aku disini udah seminggu."

Thom menyela pelan, "Kamu tahu soal karantina ini? Dan soal orang yang bisa terinfeksi meski gak kelihatan?"

Tania tampak muram.

"Ya… bahkan anak-anak pun diperiksa ulang. Aku lihat satu keluarga diisolasi pagi tadi. Kita gak tahu siapa yang bisa berubah sekarang…"

Karin menggenggam tangan Tania. "Terima kasih udah datang."

Tania mengangguk. "Kamu kuat, Rin. Aku yakin kamu dan teman-temanmu akan lolos dari ini juga."

Tania lalu pamit, menoleh terakhir ke Karin.

"Kalau kamu keluar besok… cari aku. Aku di tenda oranye dekat dapur umum."

Begitu Tania pergi, keheningan kembali menyelimuti tenda.

Thom tersenyum kecil. "Temanmu baik juga ya."

Karin menatap pintu tenda yang bergoyang pelan ditiup angin.

"Iya… dia satu dari sedikit orang yang bikin dunia ini terasa masih normal."