Pagi itu langit mendung menggantung rendah. Thom duduk di luar tenda karantina, bersandar di tiang penyangga, matanya menatap ke kerumunan pengungsi yang mulai bergerak pelan menyambut pagi.
Di sebelahnya, Jigo duduk sambil mengunyah roti kering yang dibagikan semalam.
"Thom…" gumam Jigo, nada suaranya setengah bercanda, setengah serius.
"Bayangin kalo semua pengungsi ini… kecuali kita, ternyata zombie."
Thom menoleh pelan, menyipitkan mata. "Jangan bercanda, Go. Gue baru bisa tidur tiga jam."
Jigo terkekeh pelan. "Gue serius. Lu liat tuh orang-orang di depan dapur? Ada yang jalannya pincang, ada yang lehernya dibebat, ada yang batuk gak berhenti. Gimana kalo itu semua tanda-tanda? Tapi mereka belum berubah aja…"
Thom menatap kerumunan itu lebih lama kali ini. Memang ada yang terlihat aneh. Satu orang tampak menggigil meski matahari mulai naik. Seorang wanita muda tampak menggaruk-garuk lengan dengan gelisah.
"Gila… jangan bikin gue parno, Go…" Thom akhirnya berkata pelan.
Jigo bersandar, menatap langit. "Gue gak mau jadi paranoid, tapi tadi malem gue denger kabar… katanya, dua tenda udah dikosongin diam-diam. Isinya? Gak keluar lagi sampe sekarang."
Thom mengerutkan kening. "Lu denger dari siapa?"
"Tania. Dia liat sendiri militer ngangkut tenda ke bagian belakang kamp."
Thom menggenggam lututnya.
"Kalo itu bener… berarti yang dibilang Letnan Tio soal mutasi lambat bisa aja nyata."
Mereka berdua terdiam. Hanya suara ombak kecil dan langkah-langkah kaki para pengungsi di kejauhan yang terdengar.
"Gue cuma mau satu hal, Thom…" kata Jigo pelan.
"Kalau bener semuanya berubah, gue mau kita udah naik heli duluan."
Thom menatap Jigo dalam-dalam.
"Deal."
Tak lama setelah percakapan mereka yang tegang, suara langkah sepatu berat terdengar mendekat. Thom dan Jigo menoleh serempak.
Letnan Miko datang dengan dua prajurit bersenjata di belakangnya. Wajahnya tegas seperti biasa, tapi ada sorot kecemasan samar di matanya.
"Thom. Jigo. Kalian ikut saya sekarang."
Thom bangkit perlahan. "Ada apa, Letnan?"
"Kalian akan diperiksa. Tes lanjutan. Prosedur baru dari pusat."
Jigo berdiri juga, ragu. "Tes apa lagi? Bukannya udah kemarin?"
Letnan Miko menatap keduanya dengan serius.
"Tes ini bukan hanya untuk mendeteksi infeksi biasa. Kami mencari tanda mutasi lambat."
Thom dan Jigo saling melirik. Itu kata yang tadi mereka bicarakan—mutasi lambat.
Thom mengepalkan tangan. "Dan kalau hasilnya positif?"
Letnan Miko menatap Thom dalam-dalam. "Kalau hasilnya positif… kalian akan diisolasi."
Jigo mendesis. "Sama kayak dua tenda yang diam-diam dibawa ke belakang, ya?"
Letnan Miko terdiam sejenak, lalu berkata pelan,
"Kami hanya menjalankan perintah. Tapi saya akan pastikan kalian aman selama masih bisa diajak bicara."
Tanpa banyak pilihan, Thom dan Jigo mengikuti Letnan Miko melewati tenda-tenda karantina, menuju sebuah bangunan kecil di pinggir kamp yang tampak seperti laboratorium darurat.
Karin melihat mereka dari kejauhan, matanya dipenuhi kekhawatiran.
"Hati-hati," bisiknya pelan.
Thom menoleh sejenak ke arah Karin, memberi anggukan kecil.
Di dalam hatinya, ia tahu—mungkin inilah momen penentu, apakah mereka akan tetap jadi manusia…
Atau berubah menjadi bagian dari bencana.
Satu per satu mereka dipanggil masuk ke ruangan kecil yang telah disulap menjadi ruang pemeriksaan. Udara di dalam ruangan itu terasa pengap, penuh tekanan.
Letnan Miko berdiri di pojok, mengawasi jalannya tes yang dilakukan oleh tim medis dan satu orang profesor dari pusat.
Yang pertama masuk: Karin.
Ia duduk dengan tenang, walau jari-jarinya terus meremas ujung jaketnya.
Tes darah. Scan thermal. Deteksi sel.
Hasil keluar… Negatif.
Karin menghela napas lega.
Berikutnya: Jigo.
Dengan gaya santainya, dia duduk dan bercanda, "Kalau gue positif, langsung dibuang aja ke laut."
Tapi ekspresinya berubah saat jarum masuk ke lengannya.
Hasil keluar… Negatif.
Tania berikutnya.
Dia sedikit gemetar, wajahnya pucat.
Beberapa menit pemeriksaan, lalu hasil… Negatif.
Thom masuk terakhir—dan mendapat perhatian lebih.
Dua kali tes darah. Dua alat scan digunakan. Profesor sendiri yang menanganinya.
"Kenapa gue dobel?" tanya Thom curiga.
Profesor menjawab pelan.
"Karena kamu sempat mengalami luka dalam perkelahian. Kami perlu pastikan tidak ada jalur kontaminasi yang terlewat."
Beberapa menit yang menegangkan…
Hasil: Negatif. Tapi profesor menandai namanya. "Perlu pemantauan ulang tiga hari ke depan."
Terakhir, Kylie masuk.
Ia tampak tenang, bahkan tersenyum kecil pada Karin yang memberinya dukungan dari luar ruangan.
Tapi begitu hasil muncul…
Semua membisu.
Profesor meletakkan hasil cetakan di meja.
"Positif."
Letnan Miko melangkah maju. "Ulangi tesnya."
Tes ulang dilakukan.
Hasilnya tetap… Positif.
Kylie menatap Karin, shock.
"Itu gak mungkin…"
Karin menjerit, "Jangan sentuh dia! Dia gak mungkin!"
Thom menahan Karin, matanya menatap kosong ke arah Kylie yang perlahan mundur.
Letnan Miko menunduk. "Maaf, Kylie. Kami harus isolasi kamu."
Kylie terisak. "Tapi aku gak ngerasa sakit apa-apa… aku… aku gak—"
Tania dan Jigo memalingkan wajah, tak sanggup menatap.
Pintu ruangan terbuka. Dua tentara dengan APD lengkap masuk, bersiap membawa Kylie ke tenda isolasi khusus.
Kylie menatap teman-temannya satu per satu.
"Jangan lupakan aku, ya…"
Karin menangis dalam pelukan Thom.
Dan di luar, matahari mulai tenggelam di ufuk barat, seolah ikut menyaksikan satu lagi hati yang patah… di tengah dunia yang belum pulih.
Kylie duduk diam di dalam tenda isolasi. Ruang itu sunyi, hanya suara kipas dan deru napasnya sendiri yang terdengar. Cahaya lampu putih menyinari tubuhnya dari atas, membuat setiap bayangan tampak panjang dan tajam.
Perlahan, ia menarik ujung celananya, memperlihatkan paha kirinya.
Ada bekas luka kecil di sana—hampir tak terlihat, sudah mengering dan tertutup. Tapi begitu ia menyentuhnya, rasa perih samar menyelinap. Luka itu… sudah lama. Ia bahkan sempat lupa.
Lalu…
Ingatannya kembali.
Saat itu, mereka sedang patroli bersama Reno.
Tiba-tiba terdengar teriakan.
Reno terjatuh, dikepung zombie. Kylie mencoba membantunya.
Kylie berlari, menarik Reno dari tumpukan. Dalam kekacauan itu, seekor zombie menjambak kaki Reno dan mencakar paha kiri Kylie dengan kuku tajamnya.
"Aku cuma sedikit kena goresan," gumamnya waktu itu.
Mereka berhasil kabur… tapi Reno tidak bertahan.
Kylie menutup matanya.
"Jadi dari situ… aku tertular…" bisiknya.
Ia menunduk. Tangannya gemetar.
"Aku positif… dan aku gak sadar selama ini."
Seketika air mata mengalir di pipinya. Ia memeluk lututnya, tubuhnya menggigil.
"Maaf… Karin… Thom… semuanya… aku gak berniat… aku gak tahu…"
Di luar tenda, Thom berdiri menatap dari kejauhan.
Ia mengepalkan tangannya, mencengkeram udara kosong.
Karin duduk di kursi darurat, wajah tertutup lengan.
Hati mereka hancur perlahan, seiring malam yang kembali menelan harapan.
Thom menggeleng pelan, matanya menatap kosong ke arah tenda isolasi tempat Kylie berada.
"Tidak… ini gak bener," gumamnya, suara serak, hampir seperti bisikan.
Karin menoleh padanya, wajahnya masih menyimpan sisa air mata.
"Thom…"
Tapi Thom berdiri, melangkah menjauh beberapa langkah, lalu berhenti.
Ia menoleh, tatapannya tegas meski napasnya berat.
"Kylie gak mungkin tertular. Dia bareng kita selama ini. Kalau dia berubah, kita juga pasti udah kena. Tapi kita semua negatif!"
Jigo yang berdiri tak jauh ikut menimpali, "Gue juga mikir begitu. Harusnya efeknya nyebar kalau dia emang udah jadi bahaya."
Thom mengepalkan tinjunya.
"Ini ada yang aneh. Luka itu udah kering, udah lama. Tapi dia baru positif sekarang? Gak masuk akal."
Karin berdiri, pelan-pelan mulai paham arah pikiran Thom.
"Mungkin… itu bukan infeksi biasa. Atau—ada mutasi?"
Thom mengangguk pelan.
"Atau ada yang mereka sembunyikan dari kita."
Suasana jadi tegang. Di kejauhan, terdengar suara helikopter yang baru datang dari pusat.
Mereka bertiga saling berpandangan.
"Kita harus cari tahu," bisik Thom.
"Sebelum semuanya terlambat."
Sore itu, langit mulai jingga. Thom berdiri di depan tenda isolasi, sebatang rokok terselip di jari tangannya.
"Gue cuma mau ngobrol bentar sama dia," katanya pada salah satu petugas di luar. Letnan Miko tak terlihat—posisinya sudah tidak ada lagi.
Petugas itu ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk.
"Jangan terlalu lama."
Thom masuk. Udara di dalam tenda terasa pengap, bau disinfektan masih tajam menusuk hidung. Tapi Thom tetap menyalakan rokok, menarik napas panjang, lalu menghembuskannya pelan.
Kylie duduk bersandar di salah satu sisi tenda. Matanya sayu, tapi masih hidup. Ia menoleh saat Thom masuk, lalu melirik rokok di tangannya.
Asap perlahan menyelinap lewat sela-sela masker dan tirai plastik. Kylie mendadak mengangkat tangan, menutup mulut dan hidung.
"Argh… bau…" keluhnya.
"Pusing banget… Thom, matiin rokoknya…"
Thom kaget.
"Lo beneran gak kuat? Padahal lo pernah nahan napas di ruang penuh asap waktu di kamp Loyola."
Kylie memejamkan mata, wajahnya pucat.
"Entahlah… sekarang beda. Kepala gue kayak muter… lambung kayak ditarik."
Thom langsung mencabut rokoknya, membuang ke lantai dan mematikan. Ia mendekat, jongkok di hadapan Kylie.
"Ini bukan cuma luka itu, ya?" bisiknya.
"Kylie… jujur aja, lo ngerasa ada yang berubah gak?"
Kylie terdiam. Hanya napasnya yang pelan, berat.
"Kadang... gue denger suara. Detak jantung orang. Kayak... bisa ngerasain gerakan kecil dari luar tenda."
Thom menatapnya lekat-lekat.
"Kita harus keluarin lo dari sini sebelum mereka tahu yang sebenernya."
"Tapi kalau gue berbahaya?" tanya Kylie lemah.
Thom menggeleng.
"Gue gak percaya lo monster. Tapi kalau mereka tahu lo berubah... mereka gak akan tanya-tanya dulu."
Suasana hening.
Di luar, matahari nyaris tenggelam.
Dan di dalam tenda itu, satu keputusan besar mulai tumbuh di benak Thom.
Di dalam tenda utama, suasana sedikit lebih tenang. Lampu-lampu kecil menyala, menyinari wajah Karin dan Tania yang tengah duduk bersebelahan, berusaha menenangkan diri setelah hari yang panjang.
Thom masuk diam-diam, lalu mendekat dan jongkok di hadapan mereka. Matanya serius, suaranya nyaris tak terdengar saat berbisik.
"Karin... Tania..." ia menatap keduanya bergantian. "Bisa gak... kalian bantu gue sabotase alat tes itu?"
Karin langsung mengerutkan alis. "Maksudmu?"
"Biar Kylie dites ulang nanti malam... dan hasilnya negatif. Kalau itu berhasil, dia bisa dikeluarkan dari ruang isolasi."
Tania menatap Thom tajam, lalu menoleh pada Karin yang masih terlihat bimbang.
"Lo sadar gak apa yang lo minta, Thom? Itu sistem utama, ada pengawasan. Kalau ketahuan..." bisik Tania.
Thom menunduk sejenak, lalu berkata pelan, "Gue tahu risikonya. Tapi dia berubah... iya. Tapi dia bukan zombie. Dia masih sadar, masih Kylie. Dan lo tahu sendiri, kalau mereka tahu ada perubahan sekecil apapun... dia bakal 'diurus' besok pagi."
Karin menunduk, memeluk lututnya sebentar, lalu menarik napas panjang.
"Aku bisa coba... aku tahu alurnya, alat pembacaan datanya pakai sensor kimia... kalau kita bisa ganggu sensornya sedikit, hasil bisa muncul negatif... Tapi harus cepat. Sekali doang. Dan harus malam ini, saat semua tertidur."
Tania masih ragu, tapi akhirnya mengangguk.
"Gue bantu pantau dari luar lab. Kalau ada patroli, gue kasih kode."
Thom menatap mereka berdua dengan rasa lega dan tekad menyala di matanya.
"Terima kasih... untuk ini, lo berdua nyelametin satu-satunya orang yang masih bisa gue anggap rumah."
Karin menarik tangan Thom dengan cepat, menjauh dari tenda menuju sisi belakang kamp yang gelap dan sepi. Langkahnya tegas, sorot matanya tajam. Begitu mereka cukup jauh, ia berhenti, menatap Thom lurus-lurus.
"Lo nolongin dia karena lo masih cinta, kan? Karena dia mantan lo??" suaranya hampir bergetar. "Jangan lakuin hal konyol deh, Thom."
Thom terdiam sejenak. Angin malam meniup pelan, membuat daun-daun bergesekan lirih di sekitar mereka.
Ia akhirnya menjawab pelan, tapi tegas, "Rin... gue cuma gak mau kehilangan temen lagi."
Napasnya berat. "Sony, Vian, Reno... gue gak bisa diem lagi tiap kali satu-satu dari kita hilang. Kylie—dia masih sadar. Masih manusia. Dan kalau kita diem aja... mereka bakal anggap dia ancaman."
Karin memejamkan mata sejenak, menahan emosinya. Lalu berkata lebih pelan, "Tapi gimana kalau lo salah? Gimana kalau kita semua yang jadi korban cuma karena lo masih gak bisa ngelepas masa lalu?"
Thom menatap tanah, lalu ke Karin. "Mungkin gue salah. Tapi gue lebih nyesel kalau gue gak nyoba nyelametin orang yang masih bisa kita selametin."
Keduanya diam cukup lama, saling menatap dalam ketegangan yang mengandung rasa khawatir... dan peduli.
Karin akhirnya berbalik perlahan, suaranya lirih, "Kalau ini gagal, gue harap lo siap kehilangan semuanya, Thom."
Dan Thom hanya menjawab pelan, "Gue udah kehilangan terlalu banyak, Rin..."
Thom berjalan gontai menuju tendanya. Saat ia hampir sampai, Jigo muncul dari samping dengan tangan disilang dan alis terangkat.
"Ekhem... ada yang lagi debat nih. Soal apa, Pak Drama?" godanya sambil senyum miring.
Thom mendengus pelan, "Ngeluarin Kylie."
Jigo langsung berhenti senyum, wajahnya bengong sejenak. "Lo udah gila ya, Thom??"
Thom malas menjawab, malah menutup muka Jigo pakai tangannya sambil jalan masuk ke tenda. "Udah diem... Kalau lo gak mau ikut, ya terserah."
Jigo dari luar nimpalin, "Kalau ada zombie nanti, gue gak bantu lo naik helikopter ya!"
Thom dari dalam nyaut santai, "Gue juga gak bantu lo kalau lo kepleset pas lari!"
"Eh itu kejam!"
"Keadilan!"
Tengah malam, suasana kamp hening. Kabut tipis menyelimuti tenda-tenda, dan suara jangkrik bersahutan seperti soundtrack film misteri kelas B. Thom dan Jigo merangkak—ya, merangkak—di antara tenda, berusaha tidak mengeluarkan suara.
"Lo yakin ini jalannya?" bisik Jigo sambil nyangkut di tali jemuran. "Kayaknya kita muter di tempat deh, itu tenda gue lagi tuh!"
"Bukan, itu... kembarannya," jawab Thom sambil nyaris nabrak ember. Ember jatuh. "Duh..."
"Lo ceroboh banget!" Jigo panik. "Gue rasa gue harus ganti partner. Mungkin seekor kura-kura akan lebih lincah."
Tiba-tiba mereka melihat sinyal lampu dari kejauhan. Karin dan Tania muncul dari balik semak-semak dengan langkah cepat dan wajah puas.
"Selesai. Alat udah di-reset," kata Karin dengan lirih.
"Mantap," Thom menyambut dengan gaya seperti baru menang pertandingan catur, padahal dia cuma jadi pengalih perhatian yang nyaris ketahuan tiga kali.
Namun kesenangan mereka tak berlangsung lama. Dari arah tenda isolasi, cahaya terang menyala. Dua militer dan profesor muncul, mengapit Kylie yang kini berjalan keluar dengan wajah bingung.
"Tes ulang menunjukkan hasil berbeda. Dia negatif," ucap profesor singkat.
Semua berpura-pura kaget, terutama Thom dan Jigo yang pura-pura bangun dari tenda, padahal jelas ada daun di rambut Thom dan lutut Jigo kotor.
"Hah? Wah, hebat ya... ilmu pengetahuan memang gak pernah salah..." kata Thom dengan senyum sok polos.
"Iya... kadang sistemnya lemot kayak sinyal Wi-Fi di gunung," tambah Jigo sambil nyolek Thom pelan.
Kylie menatap mereka curiga. Karin menggeleng pelan sambil menutupi tawa.
Misi sukses. Dengan gaya ala amatiran.