Pagi itu cerah, angin laut berhembus lembut melewati kamp. Thom dan Jigo duduk di atas peti logistik kosong sambil main gunting batu kertas dengan penuh semangat.
"Gunting!"
"Batu!"
"Aduh! Lagi-lagi gue kalah!" keluh Jigo, lalu dengan enggan mencubit telinga sendiri. Thom tertawa puas, matanya menyipit bahagia.
Dari kejauhan, Tania duduk di dekat tenda medis, memperhatikan mereka. Senyumnya tipis, lalu ia membisik pelan ke dua temannya yang duduk di sebelahnya.
"Dia manis ya… dan… ganteng juga," ucap Tania lirih, matanya tak lepas dari Thom.
Karin dan Kylie spontan menoleh bersamaan.
"Hah? Siapa?" tanya mereka nyaris serempak.
Tania menunjuk dengan dagunya. "Thom lah."
Kylie langsung melirik Karin, begitu pula sebaliknya. Ada jeda kecil, seperti suara detik jam berhenti sejenak.
Karin menghela napas.
"Gue baru lihat dia ketawa lagi setelah kakaknya—Sony, dan dua temannya mati."
Nadanya tenang, tapi ada bekas luka di balik suaranya.
Kylie menunduk sedikit. "Iya… dia nahan semuanya sendiri, ya."
Tania mengangguk, lalu menatap Thom lagi yang masih tertawa bareng Jigo, kini sedang berebut biskuit tentara.
Karin tersenyum kecil, lalu berkata pelan, "Kadang orang paling kuat tuh justru yang paling diam."
Kylie menjawab lirih, "Dan paling bikin deg-degan juga."
Ketiganya pun tertawa kecil, sesaat kamp terasa hangat. Tapi di balik semua itu, ada rasa... yang mulai tumbuh dan belum tahu akan mengarah ke mana.
Thom tertawa keras sambil menepuk paha.
"Yah jancok! Lo kalah lagi, anjing! Hahaha…"
Jigo mengerucutkan bibir.
"Woy, jangan norak lo. Sekali-sekali gue kalah, biasa aja napa…"
Mereka berdua masih bercanda, tapi Thom tiba-tiba menghentikan tawanya. Pandangannya beralih ke arah laut yang membentang tenang. Langkahnya perlahan, meninggalkan Jigo yang masih mengomel soal permainan.
Thom berdiri di tepi pagar pembatas kamp, angin laut menyapu rambutnya. Laut itu tampak tenang, tak ada satu pun kapal. Tapi ada kedamaian di sana… dan juga rasa kehilangan.
Jigo menyusul dari belakang.
"Pulau ini kan katanya aman. Ya udah, kita ijin ke Letnan Jenderal aja buat nyari udara segar. Siapa tahu bisa main ke pantai."
Thom nyengir, menoleh sedikit.
"Gue sih maunya berenang sekalian. Udah lama gak ngerasain air laut. Trus jemur badan. Siapa tahu bisa ilang stres."
Jigo tertawa.
"Lo mau jadi Thom si kelapa bakar ya? Gosong tapi seksi."
Thom ngakak lagi.
"Mending gosong di pantai daripada gosong karena bom!"
Mereka berdua berdiri di sana, menatap laut… seakan sejenak melupakan dunia yang penuh luka. Tapi waktu terus berjalan—dan mereka tahu, kedamaian seperti ini gak akan bertahan lama.
Thom menoleh ke belakang, matanya menangkap sosok Letnan Miko yang duduk sendirian di bangku panjang dekat pos penjagaan, tatapannya kosong menatap tanah, seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Thom menyikut Jigo.
"Liat deh, si Letnan Miko itu. Mukanya kayak baru ditinggal mantan."
Jigo nyengir.
"Wah, cocok nih kita hibur. Yuk, gangguin dikit."
Mereka berdua jalan santai mendekati Miko, Thom sengaja bersiul keras-keras dengan gaya sok asik, sementara Jigo pura-pura batuk dramatis seakan mau menarik perhatian.
Thom menyapa,
"Lhooo… Letnan! Ngapain sendirian, lagi nyusun puisi ya?"
Miko melirik, malas.
"Apa sih…"
Jigo ikut duduk di sebelahnya.
"Ayo dong, ikut kita ke pantai. Kita mau berenang, sekalian jemur dosa. Jangan serius-serius amat, nanti awet muda lo ilang."
Thom menepuk bahu Miko.
"Iya, Ten. Lo kan manusia juga. Main bentar, refreshing. Pulau ini aman kok, katanya. Masa iya cuma kita doang yang mau nikmatin udara segar?"
Miko menatap mereka berdua, lalu menghela napas panjang. Sejenak ia ragu… tapi bibirnya perlahan membentuk senyum kecil.
"Oke deh… Tapi kalian yang tanggung jawab kalau gue gosong ya."
Jigo bersorak,
"Asiiikkk! Trio pantai siap eksis!"
Dan begitu saja, ketiganya berjalan ke arah pantai, dengan semangat seperti anak-anak yang baru pulang sekolah. Dunia mungkin kacau, tapi sesaat—mereka bisa tertawa.
Di tepi jalan setapak menuju pantai, Letnan Miko meregangkan badannya sambil menikmati angin laut yang mulai terasa.
Letnan Miko menoleh ke Jigo dan berkata,
"Jigo, coba kamu ajak Karin dan yang lain. Siapa tahu mereka juga mau ikut. Biar rame sekalian."
Jigo mengacungkan jempol.
"Siap, Komandan! Misi: ngajak cewek-cewek buat piknik ke pantai!"
Thom menyahut sambil tertawa.
"Jangan bawa bekal doang, bro. Bawa hati juga, siapa tahu jodoh."
Jigo menirukan gaya jalan tentara sambil memberi hormat.
"Baik, Kapten Thom! Gue berangkat sekarang!"
Ia langsung lari kecil ke arah tenda pengungsian sambil berseru, "Woi cewek-cewek! Mau piknik gak? Ada pantai, ada angin, ada cowok-cowok ganteng, dan satu Letnan yang butuh liburan!"
Dari kejauhan, suara Karin terdengar, "Lagi ngelawak apa emang si Jigo pagi-pagi gini?"
Tania tertawa,
"Kalo pantainya aman, boleh juga sih. Udah lama gak nyentuh air laut."
Kylie mengangguk pelan,
"Aku ikut, asal gak disuruh nyebur."
Tak lama kemudian, Jigo kembali ke Thom dan Miko sambil jalan bangga.
"Pasukan cewek siap berangkat, Bang Thom! Piknik sukses besar nih!"
Thom menepuk pundaknya,
"Mantap, Navigator lokal. Sekarang kita nikmatin hidup... selama belum dikejar zombie lagi."
Mereka pun bersama-sama menuju pantai, siap menikmati momen langka di tengah dunia yang kacau.
Semua duduk di pasir, menikmati angin yang lembut dan suara ombak yang menenangkan. Tania dan Kylie sesekali bercanda, Jigo menggali pasir sambil bernyanyi pelan, Letnan Miko bersandar di batang pohon kelapa dengan mata terpejam, dan Karin duduk dekat Thom, diam-diam memperhatikannya.
Tiba-tiba Thom berdiri.
Ia mematung, menatap laut lepas. Wajahnya yang tadinya santai perlahan berubah. Matanya kosong... seperti melihat sesuatu yang jauh di luar sana.
Suara ombak perlahan memudar... digantikan oleh suara tawa anak-anak.
Kilasan ingatan muncul—
Ia kecil.
Berlari di pantai.
Tangan kecilnya menggenggam tangan kakaknya, Sony.
Di kejauhan, terlihat sosok ayah mereka memegang kamera, tertawa lepas.
Ibu mereka duduk di atas tikar, memanggil sambil melambai.
Laut biru terbentang megah di belakang mereka, matahari sore menyinari rambut Sony yang berantakan.
"Ayo lari, Thom! Siapa duluan ke air menang!"
teriak Sony kecil.
Thom dewasa menghela napas panjang, kembali ke dunia nyata.
Suara debur ombak kembali terdengar.
Karin melihat ekspresinya dan berdiri perlahan, mendekat.
"Lo gak papa?" tanyanya pelan.
Thom mengangguk pelan.
"Gue cuma... inget waktu kecil. Di pantai juga. Sama Sony, sama orang tua gue..."
Ia menatap laut.
"Gue harap mereka tahu... gue masih berjuang."
Karin menyentuh lengannya pelan.
"Gue yakin mereka tahu, Thom."
Sesaat, tak ada yang bicara. Hanya suara laut... dan kenangan yang tak pernah benar-benar pergi.
Thom melangkah mendekat ke arah ombak yang bergulung tenang. Angin pantai meniup rambutnya, membawakan aroma laut yang khas. Ia menunduk sedikit, menyentuh air dengan ujung jarinya, menikmati sejenak kesunyian damai yang langka.
"Woy, Thom!"
Tanpa peringatan, Jigo datang dari belakang dan mendorong Thom ke laut. Byur! Thom terjatuh ke dalam air, membuat cipratan besar.
"Anjayy Jigo! Lu cari gara-gara!" Thom tertawa saat muncul kembali ke permukaan.
Letnan Miko yang duduk tidak jauh dari situ hanya tertawa kecil. Ia tak ikut bermain air, hanya mengamati. Wajahnya tenang, tapi matanya penuh perasaan.
"Sudah sejauh ini..." gumamnya pelan.
"Anak-anak... kalian harus tetap seperti ini. Bahagia. Dan... lawan wabah kaparat ini sampai akhir."
Sementara itu, Thom berdiri lagi di air, menyeka wajahnya lalu membuka bajunya dan melemparkannya ke pinggir pantai. Tubuhnya terlihat atletis—pundak lebar, perut rata, kulit bersih sedikit kemerahan karena matahari.
"Woi, lo gak ngelawan nih?" teriak Thom ke arah Jigo sambil nyipratin air ke temannya.
Jigo tertawa dan langsung nyebur, berenang menuju Thom.
Di pinggir pantai, Tania yang sedang duduk bareng Karin dan Kylie menyipitkan mata, melihat ke arah Thom.
"Wah... bodynya bagus banget..." bisiknya.
"Udah tinggi, putih, atletis..."
Kylie menyikut Tania sambil cekikikan.
"Wah wah, mulai deh bu Tania..."
Karin melirik Thom sejenak, lalu kembali menatap ke laut tanpa komentar. Tapi pipinya sedikit memerah.
Tania masih menatap ke arah Thom yang sedang bermain air bersama Jigo. Ia menyisir rambutnya ke belakang lalu bersandar di bahu Kylie.
"Apa dia blasteran, ya?" gumamnya sambil tetap menatap Thom.
"Soalnya... mukanya tuh kayak... ada bule-bulenya gitu. Tapi enggak bule banget."
Kylie tertawa kecil.
"Mungkin aja. Siapa tau bapaknya orang asing, ibunya orang lokal... atau sebaliknya."
Karin, yang sejak tadi diam, akhirnya ikut bersuara pelan.
"Dia asli Flores, tapi ayahnya dulu pernah kerja sama perusahaan luar... katanya."
Tania menoleh ke Karin.
"Oh, kamu tau banyak juga ya soal Thom."
Karin menghindari tatapan mereka sambil pura-pura sibuk dengan pasir di tangannya.
"Enggak juga... cuma pernah diceritain aja, dulu sama Sony."
Kylie menatap Karin dengan senyum penuh arti, lalu berseru ke arah Thom dan Jigo yang masih di air:
"WOI! Udah puas belum tuh berenangnya?! Mau kita tinggalin loh!"
Thom membalas dengan cipratan air besar, membuat Jigo kelabakan. Suasana tawa kembali mengisi udara sore yang hangat. Sementara jauh di dalam hati masing-masing, mereka tahu... momen damai ini tak akan bertahan lama.
Thom berjalan ke pinggir, air masih menetes dari rambut dan tubuhnya. Saat ia hampir sampai, Kylie melemparkan handuk kecil ke arahnya.
"Nih, basah kuyup kayak ikan lepas dari ember," canda Kylie.
Thom menangkap handuk itu dengan satu tangan, lalu menyeringai.
"Makasih," katanya sambil mengusap rambutnya.
"Gue lebih mirip lumba-lumba keren, kali."
Jigo menyusul dari belakang, ngos-ngosan.
"Lumba-lumba apaan, lo lebih kayak lele gede."
"Lo kayak kepiting nyangkut di jaring," balas Thom sambil ketawa.
Kylie dan Tania ikut tertawa, dan bahkan Letnan Miko yang duduk agak jauh menggeleng-geleng kecil sambil tersenyum tipis.
Karin diam-diam memperhatikan dari belakang, melihat Thom yang begitu bebas tertawa dan bercanda. Ada rasa lega... tapi juga sedikit takut, karena di dunia sekarang, tawa bisa jadi hal paling langka.
Tania menepuk-nepuk sandalnya, lalu berkata pelan ke Karin,
"Andai dunia bisa terus kayak gini ya, Rin..."
Karin mengangguk pelan.
"Iya... andai aja."
Angin laut berhembus pelan. Tapi di balik semua kehangatan itu, bayang-bayang ancaman masih terus mengintai.
Thom dan Kylie berjalan pelan di sepanjang pasir, kaki mereka menyentuh air laut yang mengalir tenang ke bibir pantai. Mereka hanya berdua, agak jauh dari yang lain. Udara sore mulai sejuk, dan langit mulai berubah jingga.
"Gue kangen suasana kayak gini," ucap Kylie sambil menatap cakrawala.
"Tenang… gak ada suara tembakan, gak ada jeritan."
Thom mengangguk pelan, matanya juga menatap jauh ke depan.
"Gue pikir kita gak bakal dapet momen kayak gini lagi. Tapi ternyata… masih ada harapan ya."
Kylie menoleh ke Thom.
"Makasih udah percaya sama gue, Thom."
Thom mengangkat alis, tersenyum kecil.
"Percaya? Gue cuma gak pengen kehilangan siapa-siapa lagi. Lo temen gue, Ky. Salah satu yang tersisa."
Kylie menatap Thom dengan tatapan serius, meski senyumnya tetap menggantung di bibirnya.
"Karena lo gak mau kehilangan temen lagi... atau karena lo masih naksir sama gue?"
Thom terdiam. Langkahnya melambat, lalu berhenti sepenuhnya. Angin sore menyapu rambutnya yang basah, tapi dia tetap memandang ke depan.
"Kalo iya... apa lo masih mau bantah?" ujarnya pelan, hampir seperti bisikan.
Kylie ikut terdiam. Matanya menatap Thom, mencoba membaca perasaan yang tersimpan di balik sikap dinginnya itu. Namun sebelum suasana makin dalam...
"WOI! BERDUAAN??" suara Jigo memotong momen itu, berteriak dari kejauhan sambil melambai heboh.
Thom langsung memutar badan, "WOI JANGAN SOK GANGGU MOMEN ORANG LAH!"
Kylie hanya menutup muka dengan tangan sambil tertawa kecil, pipinya memerah.
"Gue lupa kalo dia ada di planet yang sama..." gumamnya pelan.
Di dalam tenda, suasana terasa hangat oleh matahari yang menyusup lewat sela kain. Thom duduk bersandar, menghela napas pelan. Ia membuka sedikit bajunya, tangannya meraba luka di perut—bekas tusukan saat bertarung dengan Tino di depo barat dulu. Luka itu belum sepenuhnya pulih, tapi setidaknya sudah tidak berdarah lagi.
"Berenang lumayan bikin cepet kering..." gumamnya, seperti menyakinkan diri sendiri.
Lalu ia membuka plester yang menempel di hidungnya—bekas goresan yang sudah mulai sembuh. Ia menatap plester itu sebentar sebelum meletakkannya di samping.
Pelan-pelan, Thom merebahkan tubuhnya, memejamkan mata. Angin lembut mengusap wajahnya, membawa aroma laut dan ketenangan sejenak di tengah dunia yang telah berubah.
Tak butuh waktu lama, napasnya mulai teratur.
Ia tertidur siang dengan damai… setidaknya untuk sekarang.
Di sudut tenda, suara tawa kecil terdengar dari arah Jigo, Karin, dan Tania yang sedang duduk melingkar, bermain kartu. Sesekali Jigo menggerutu karena kalah, membuat Karin tertawa geli dan Tania menggodanya.
Sementara itu, Kylie duduk terdiam di pojok tenda. Punggungnya bersandar ke dinding kain, kedua tangannya memeluk lutut. Pandangannya kosong, menatap lurus ke depan… tapi telinganya mulai menangkap sesuatu yang aneh.
Detak jantung.
Bisikan.
Suara berbicara yang samar, seperti di dalam kepalanya.
Ia mencengkeram lututnya lebih erat. Kepalanya sedikit tertunduk. Perlahan, matanya membelalak… napasnya tersengal. Ia mengusap wajahnya—di bawah matanya, kantong matanya terlihat merah kehitaman, seperti sembab dan meradang.
Kylie membatin pelan:
"Apa yang terjadi denganku... kenapa aku bisa dengar hal-hal itu...?"
Di luar, gelak tawa masih terdengar, tapi dunia Kylie kini perlahan terasa asing.
Dan semakin dalam ia tenggelam, semakin nyata suara-suara itu terasa…
Kylie memejamkan matanya sejenak, tangannya menggenggam erat bagian perutnya. Ia bergumam pelan, hampir seperti bisikan,
"Aku... lapar."
Karin yang sedang memainkan kartu, mendongak dengan alis berkerut.
"Kenapa, Ky? Lapar? Tadi siang kita baru makan bareng, kan?"
Kylie tak menjawab. Pandangannya kosong menatap lantai tenda. Keringat dingin mulai menetes dari pelipisnya. Jari-jarinya gemetar saat menyentuh lehernya sendiri, seolah mencari sesuatu.
Tania ikut menoleh.
"Kylie, lo gak apa-apa? Wajah lo pucat banget, sumpah."
Kylie perlahan berdiri, langkahnya goyah.
Ia menatap tangan kirinya, samar-samar urat-urat biru kehijauan mulai tampak jelas di balik kulit pucatnya.
Suara-suara di kepalanya makin keras. Detak jantung orang-orang di tenda terdengar seperti genderang perang.
"Aku... harus keluar dulu," katanya pelan, lalu berjalan cepat keluar tenda.
Jigo, Karin, dan Tania saling menatap—tatapan bingung berubah jadi cemas.
Karin berbisik:
"Apa dia mulai kambuh?"
Jigo bangkit berdiri, matanya menatap tajam ke arah luar tenda.
"Kenapa elo...?" gumamnya curiga, "jangan-jangan..."
Ia mengambil tongkat besi yang biasa dipakai untuk jaga malam.
Karin berbisik panik:
"Jigo, jangan gegabah... kita belum tahu apa-apa."
Tania menahan napas.
Tiba-tiba, suara dari belakang mereka terdengar.
"Udah cukup."
Thom membuka matanya perlahan, bangkit dari tidur siangnya.
Refleks, ia berdiri dan menghalangi Jigo yang sudah bersiap menyerbu keluar.
"Minggir, Thom!" bentak Jigo.
"Kalau dia udah terinfeksi—"
"Dia nggak terinfeksi," potong Thom cepat.
"Dia cuma lapar, men. Kalian semua pada panik, tapi dia masih manusia. Kalau lo nyerang dia tanpa alasan jelas, lo sama aja kayak orang-orang yang dulu ninggalin kita."
Suasana hening sejenak.
Thom menoleh ke arah pintu tenda, lalu melirik ke Jigo dan yang lain.
"Gue temenin dia makan. Gue yang tanggung jawab."
Ia melangkah keluar perlahan, memanggil,
"Kylie... ayo, gue temenin makan. Santai aja."
Dari kejauhan, terlihat Kylie berdiri dekat tiang bendera, memeluk dirinya sendiri.
Ia menoleh saat dengar suara Thom.
"Lo... gak takut gue nyerang lo?" tanyanya lirih.
Thom tersenyum kecil.
"Kalau lo masih bisa tanya itu, berarti lo masih Kylie yang gue kenal. Ayo makan."
Karin berdiri pelan, menatap ke arah punggung Thom yang berjalan mendekati Kylie.
Ia menghela napas panjang, lalu bergumam,
"Dia emang keras kepala… tapi selalu bisa bikin orang percaya."
Tania menoleh.
"Maksud lo?"
Karin menatap mereka sebentar, lalu berkata:
"Kalo yang lain ngerasa takut, Thom selalu jadi orang pertama yang ngelangkah. Gak peduli dia luka, capek, atau ketakutan. Sekarang dia lakuin itu lagi."
Jigo masih cemas, tapi raut wajahnya mulai melunak.
"Gue cuma gak mau kejadian buruk terulang… tapi ya, lo bener. Kita semua udah kehilangan banyak."
Karin mendekat ke Jigo, menepuk bahunya.
"Kita jaga dari sini. Kalau ada apa-apa, kita langsung gerak."
Lalu ia melirik ke arah Thom dan Kylie yang kini duduk berdua dekat dapur lapangan.
Karin bergumam pelan:
"Tapi gue percaya… dia pasti bisa tenangin Kylie."
Thom duduk di samping Kylie, tapi pandangannya sengaja diarahkan ke luar tenda. Ia menatap langit yang mulai menguning ditelan senja, seolah tak ingin memberi tekanan apa pun pada Kylie.
"Makan aja dulu, gue gak liat kok," ucap Thom dengan nada ringan, sedikit bercanda.
Kylie diam beberapa detik, lalu menyuap perlahan. Thom tetap berpura-pura tak memperhatikan, meski dari ekor matanya ia bisa melihat tangan Kylie sedikit gemetar.
"Gue tahu lo masih takut... tapi lo masih lo, Ky," katanya pelan, masih menatap langit. "Kalo lo berubah... gue bakal tahu. Tapi sekarang? Yang gue liat cuma temen gue, yang sama-sama pengen bertahan hidup."
Kylie menelan perlahan, lalu lirih berkata,
"Gue gak tahu Thom... kadang suara di kepala gue kayak makin keras."
Thom akhirnya menoleh sebentar, menatap Kylie dengan mata lembut.
"Selama lo bisa denger suara gue juga... itu artinya lo masih di sini."
Kylie menunduk, tersenyum tipis.
"Makasih..."
Thom bangkit, lalu mengacak rambutnya.
"Makan yang banyak. Abis ini, kita main kartu bareng yang lain. Lo gak boleh kalah sama Jigo, nanti dia sombong."
Kylie terkekeh pelan.
"Deal."
Dan untuk pertama kalinya hari itu, suasana di sekitar mereka sedikit lebih hangat.
Di sisi lain, di dalam tenda komando yang dipenuhi dengan peta, data digital, dan catatan hasil pemeriksaan, Profesor Ridwan, Letnan Tio, dan Letnan Miko duduk mengelilingi meja bundar. Suasana terasa tegang.
Profesor Ridwan memutar hasil pemindaian terakhir di layar, menunjuk grafik fluktuasi pada sistem imun Kylie.
"Lihat ini," kata Ridwan serius. "Ada semacam keseimbangan aneh antara antibodi alami dan sel mutasi. Ini belum pernah kita lihat sebelumnya."
Letnan Tio menyilangkan tangan di dada. "Jadi maksudmu... dia bisa terinfeksi tapi tidak berubah?"
"Bukan begitu. Dia terinfeksi. Tapi ada sesuatu dalam tubuhnya yang... menahan prosesnya. Bukan menyembuhkan, tapi memperlambat."
Letnan Miko menatap data dengan alis mengernyit.
"Apa itu artinya dia... imun? Atau... bisa menyebar lebih lambat?"
Ridwan menghela napas.
"Belum bisa dipastikan. Tapi kemungkinan besar... dia adalah tipe pembawa laten. Tidak menunjukkan gejala penuh, tapi tetap punya potensi jadi sumber infeksi."
Letnan Tio menepuk meja dengan frustrasi.
"Kita gak bisa pertahankan seseorang yang bisa jadi ancaman di tengah pengungsi. Kita punya 200 lebih jiwa di sini!"
Letnan Miko menatap Tio tajam.
"Tapi kita juga gak bisa asal main bunuh. Kita manusia, bukan mesin eksekusi."
Profesor Ridwan melirik keduanya, lalu berkata pelan,
"Kita harus observasi lebih lama. Dia bisa jadi kunci. Kalau kita bisa pahami kenapa dia belum berubah... kita mungkin bisa bikin penawar."
Ketiganya saling pandang dalam diam. Di luar, malam mulai jatuh. Sementara waktu terus berjalan, keputusan mereka bisa jadi mengubah arah masa depan—bagi Kylie... dan seluruh pengungsi.
Malam itu angin laut berhembus lembut, membawa aroma asin dan suara ombak yang memecah sunyi. Di dalam tenda besar, Jigo, Karin, Tania, dan Kylie duduk melingkar bermain kartu. Tawa kecil sesekali pecah, meski masih dibayangi ketegangan hari-hari sebelumnya. Tapi satu orang tak ada di sana.
Thom, dengan hoodie gelap dan tatapan kosong, melangkah pelan melintasi area tenda. Ia melihat ke sekeliling—semua pengawas sibuk, penjaga berganti shift. Tanpa suara, ia melompat melewati pagar pembatas kamp.
Rokok menyala di bibirnya. Ia mengisap dalam-dalam lalu menghembuskan asap ke langit malam yang bertabur bintang. Thom berjalan sendirian menyusuri jalan setapak kecil menuju arah pantai.
Sesampainya di bibir pantai, ia duduk di batu besar. Ombak menyentuh kakinya perlahan. Pandangannya kosong menatap lautan yang gelap dan luas. Ia membuka hoodie-nya sebentar, menyentuh luka di perutnya. Masih terasa nyeri, tapi tak separah dulu.
Ia bergumam pelan, seperti berbicara pada angin,
"Gue capek, Son. Tapi gue masih di sini. Dan gue gak bakal pergi sebelum beresin semua ini."
Asap rokok terakhir menghilang bersama angin malam. Thom menatap laut... seakan mencari jawaban yang belum ia temukan.
Di tenda, Jigo celingak-celinguk gelisah. Ia bertanya ke Karin dan Tania, "Eh, si Thom ke mana? Dari tadi gak nongol. Jangan-jangan keluar lagi tuh orang..."
Sementara itu, di tepi pantai yang gelap, Thom berdiri membisu. Rokok terakhirnya sudah habis, ia injak ke pasir. Pandangannya menangkap bayangan kapal kecil mendekat dari kejauhan. Geraknya aneh, zig-zag tak stabil, seakan dikendalikan oleh orang mabuk... atau sesuatu yang lain.
Thom menyipitkan mata, mencoba melihat lebih jelas. Kapal makin dekat. Ia melangkah ke bibir air, gelombang menyentuh sepatunya.
"Halo! Siapa di sana?!" serunya.
Tiba-tiba—
"ARGHHHH!!"
Sosok tubuh terlempar dari kapal, jatuh ke pasir. Thom mundur reflek, jantungnya berdebar. Sosok itu menggeliat, lalu berdiri perlahan. Kulitnya pucat, gerakannya kaku. Matanya kosong. Bau busuk menusuk hidung.
Zombie.
Tapi aneh—zombie itu tak langsung menyerang. Ia seperti… mencium udara. Kepala bergerak perlahan, hidung mencium arah Thom. Tapi tak mendekat. Justru ia membelok, beringsut ke arah lain.
Thom menyadari sesuatu.
"Bau rokok…" gumamnya.
"Mereka gak suka bau rokok…"
Namun, Thom tak ambil risiko. Ia meraih batu besar di tanah, lalu menghantam kepala zombie itu sekuat tenaga. Sekali. Dua kali. Tubuh itu ambruk dan tak bergerak.
Dengan napas memburu, Thom berdiri. Ia menatap tubuh itu sejenak, lalu berbalik dan berlari secepatnya kembali ke kamp. Ada sesuatu yang harus ia beri tahu… dan ini bisa jadi petunjuk penting.
Thom memanjat pagar perlahan, kakinya menjejak besi dingin lalu ia melompat turun dengan satu hentakan lembut. Nafasnya berat, tapi otaknya terus bekerja. Ia berjalan menyusuri jalan tanah menuju tenda utama, namun pikirannya melayang…
"Kylie..." bisiknya.
Ia mengingat tadi siang—saat ia merokok dekat ruang isolasi, dan Kylie menutup mulut, wajahnya pucat, mengeluh pusing.
"Dia gak kuat bau rokok... sama kayak zombie itu..."
Langkah Thom terhenti. Ia menatap tanah lalu mengangguk pelan.
"Berarti benar… Dia dalam proses. Bukan cuma luka. Dia mulai berubah."
Dengan cepat, Thom mempercepat langkah. Ia masuk ke area utama kamp dan langsung menuju tenda komando. Di dalam, Letnan Miko, Letnan Tio, dan Profesor Ridwan tengah berdiskusi di depan layar monitor kecil yang menampilkan peta wilayah.
Thom masuk tanpa basa-basi.
"Saya harus bicara. Sekarang."
Letnan Miko menoleh.
"Apa lagi, Thom? Kau keluar tanpa izin—"
"Dengar dulu!" potong Thom. "Saya baru bertemu zombie di pantai. Dia keluar dari kapal kecil… dan dia gak nyerang saya. Dia justru menghindar. Setelah saya perhatikan, satu hal yang mencolok—bau rokok."
Ketiganya saling pandang.
"Maksudmu?" tanya Profesor Ridwan.
"Zombie itu terganggu bau rokok. Sama seperti Kylie siang tadi. Dia mual dan pusing begitu cium asap rokok saya. Gak kayak reaksi manusia biasa. Dia mungkin belum sepenuhnya berubah, tapi tubuhnya udah bereaksi kayak zombie."
Letnan Tio menegang.
"Jadi menurutmu Kylie sedang dalam proses transformasi?"
Thom mengangguk tegas.
"Saya yakin. Dan kita harus ambil keputusan sebelum terlambat."
Letnan Tio mengepalkan tangan, wajahnya tegang.
"Kalau begitu, kita harus evakuasi dia dari kamp sebelum dia berubah total. Ini bukan cuma soal satu orang, Thom. Ini soal semua orang di sini."
Thom melangkah maju, suara dan tatapannya tegas.
"Tidak. Jangan... tolong. Kita belum tahu pasti. Dia belum sepenuhnya berubah, dia masih sadar, masih Kylie. Kita bisa cari tahu lebih lanjut... Profesor, saya mohon—cari cara supaya virusnya bisa dilawan, dimatikan, ditahan... apapun."
Profesor Ridwan menarik nafas berat, menatap layar di hadapannya.
"Secara ilmiah... virusnya sudah mulai menyerang sel tubuhnya. Tapi..." ia menatap Thom. "Gejalanya berjalan lambat, bahkan tidak seperti infeksi biasa. Artinya ada sesuatu yang menahan virus itu—entah sistem imun Kylie, atau faktor lain yang belum kita pahami."
Letnan Miko akhirnya angkat bicara.
"Kalau ada kemungkinan, sekecil apapun, kita harus coba."
Letnan Tio mendesah, menatap Thom lama.
"Baik. Tapi satu tanda saja dia hilang kendali... kita tak akan ambil risiko. Mengerti?"
Thom mengangguk cepat.
"Saya akan jaga dia. Saya janji."
Profesor Ridwan berdiri dari duduknya.
"Aku akan siapkan tes darah lengkap. Kita analisis sekarang juga. Kalau kita bisa pahami kenapa infeksinya lambat... mungkin ini kunci buat nyelamatin lebih banyak orang."
Letnan Tio masih terlihat gelisah, tapi akhirnya berkata pelan,
"Satu kesempatan. Hanya satu, Thom."
Thom menatapnya penuh keyakinan.
"Itu lebih dari cukup."
Thom melangkah pelan menuju tenda, kepalanya penuh pikiran, tapi wajahnya tetap berusaha tenang. Saat ia membuka tirai tenda, cahaya lampu kecil menyinari wajah-wajah teman-temannya yang sedang tertawa dan bermain kartu.
Jigo langsung melirik.
"Woy, akhirnya nongol juga. Ke mana aja lo?"
Thom menjawab santai sambil duduk di sudut,
"Cari angin. Sekalian mikir dikit."
Karin menatap Thom penuh rasa ingin tahu,
"Mikirin Kylie?"
Thom tak menjawab langsung, hanya tersenyum tipis. Kylie yang duduk di pojok, memeluk lututnya, sekilas menatap Thom lalu kembali menunduk.
Tania menyodorkan kartu padanya.
"Udah sini gabung, biar gak tambah stres."
Thom mengambil kartu dan berkata,
"Gue cuma main sebentar, abis itu gue tidur. Besok bakal panjang harinya."
Jigo mengedip ke Tania dan bergumam pelan,
"Wah, kayaknya ada rahasia nih..."
Thom melirik ke Jigo dengan senyum malas.
"Rahasia lo ntar gue bongkar juga."
Suasana tenda kembali cair. Tawa dan canda memenuhi udara malam, meski di luar sana, dunia masih penuh ketidakpastian. Tapi malam itu, walau hanya sebentar, terasa seperti sepotong damai di tengah badai.