Pagi itu, matahari baru mulai menyinari langit timur. Embun masih menggantung di ujung dedaunan saat prajurit Tama berjalan cepat ke arah tenda tempat Thom dan yang lainnya bermalam. Suara sepatunya menggurat tanah yang masih lembab.
Ia berhenti di depan tenda, menarik napas lalu menyibak tirainya.
"Kylie," panggil Tama, suaranya tegas namun tetap sopan. "Kamu diminta ke pos medis sekarang. Ada pemeriksaan lanjutan."
Semua mata di dalam tenda langsung tertuju ke Kylie yang sedang mengancingkan jaketnya. Ia terlihat kaget, tapi berusaha tetap tenang.
"Sekarang?" tanyanya pelan.
Tama mengangguk.
"Iya. Profesor dan Letnan Tio sudah menunggu."
Thom duduk di dekat pintu, langsung menatap Kylie.
"Gue ikut," katanya, hampir otomatis.
Tama mengangkat tangannya,
"Maaf Thom, perintahnya cuma Kylie. Tapi nanti kamu bisa lihat hasilnya."
Kylie berdiri perlahan, sempat melirik Thom dan tersenyum tipis.
"Gak papa. Gue pergi bentar doang kok."
Tania menggenggam tangannya sekilas, memberi semangat.
Karin hanya menunduk, cemas tak bisa ia sembunyikan.
Kylie melangkah keluar, menyusul Tama. Thom menatap punggungnya sampai hilang dari pandangan, perasaan was-was menggantung di dadanya.
"Gue rasa kita harus siap-siap..." gumam Thom pelan.
Jigo menatapnya serius.
"Siap buat apa?"
"Apa pun yang terjadi setelah hasil itu keluar."
Karin duduk di sebelah Thom, wajahnya penuh tanda tanya. Suasana tenda yang tadinya ringan kini terasa berat, penuh kekhawatiran.
"Thom… sebenernya apa yang terjadi semalam? Kenapa Kylie dipanggil lagi?" tanya Karin pelan, suaranya setengah berbisik agar yang lain tidak mendengar.
Thom menarik napas panjang. Ia menatap lantai tenda beberapa detik sebelum akhirnya menjawab.
"Gue keluar semalam. Ngerokok di pantai."
"Terus?" Karin mendesak, alisnya mengernyit.
"Ada perahu kecil nyasar ke arah pantai. Gak stabil, jalannya zig-zag. Pas gue dekati… ternyata zombie yang bawa."
Karin menahan napas, matanya membelalak.
"Tapi yang aneh… zombie itu gak langsung nyerang gue. Dia malah belok arah pas nyium bau rokok."
Karin makin bingung. "Maksud lo?"
Thom menatap Karin dengan serius.
"Gue langsung ingat waktu Kylie nolak bau rokok. Dia pusing. Mual. Waktu di ruang isolasi juga dia reaksi banget sama asapnya."
Karin terdiam. Perlahan potongan-potongan kejadian mulai masuk akal di pikirannya.
"Lo pikir…"
Thom mengangguk pelan.
"Dia lagi proses jadi zombie. Tapi lambat. Gak kayak gigitan biasa. Mungkin karena imunnya beda. Atau karena luka yang gak langsung parah."
Karin menutup mulutnya. Wajahnya pucat.
"Makanya lo minta jangan evakuasi dia ya?"
"Iya," kata Thom. "Gue minta profesor buat cari cara. Siapa tahu masih bisa diselamatin."
Karin menunduk.
"Gue ngerti sekarang..."
Suasana di antara mereka hening sejenak. Hanya suara angin luar tenda yang terdengar.
"Gue juga gak mau kehilangan orang lagi, Rin," bisik Thom.
Karin hanya mengangguk, matanya memerah.
Karin menoleh ke Tania yang ikut mendengarkan diam-diam dari sisi lain tenda.
"Pantas sikapnya aneh banget," gumam Tania pelan. "Bawah matanya merah terus, dia juga keliatan cemas semalam... kayak gak bisa tidur."
Tania menarik napas panjang, wajahnya sedikit tegang.
"Terus… kalo dia beneran berubah, kita harus gimana?"
Karin menatap Thom, hatinya berdebar.
"Lo yakin masih ada cara buat nyelametin dia?"
Thom mengangguk pelan.
"Selama dia belum kehilangan kendali sepenuhnya, masih ada harapan. Profesor Ridwan juga bilang… virusnya mutasi, tapi gak seagresif yang biasa. Bisa jadi ini celah."
Tania menunduk, jari-jarinya saling menggenggam.
"Dia baik... gue gak tega kalau harus lihat dia dibuang begitu aja."
"Makanya," kata Thom. "Kita jaga dia… sampai ada jawaban."
Karin mengangguk pelan, lalu memandang ke luar tenda dengan sorot mata penuh kecemasan.
"Kita semua cuma pengen bertahan... tapi kadang kita harus ambil risiko buat orang yang penting."
Thom terdiam sejenak sebelum menjawab,
"Dan Kylie salah satunya."
Jigo tiba-tiba muncul di pintu tenda dengan ekspresi penasaran.
"Ehh... ngomongin siapa sih dari tadi? Kylie lagi?" katanya sambil masuk dan duduk di sebelah Thom.
Ia mengambil salah satu kartu di lantai, lalu menyender santai.
"Gue sih jujur aja... agak takut. Tapi ya, dia temen kita juga. Gak adil kalau langsung diasingin."
Jigo menoleh ke Thom. "Tapi kalau dia beneran berubah, lo siap, Thom? Siap ngelakuin hal yang harus dilakuin?"
Thom menatap Jigo, matanya tajam tapi lelah.
"Gue gak akan biarin itu kejadian. Selama masih ada waktu, gue bakal cari cara."
"Yaa gue cuma bilang aja... jangan sampe lo ngorbanin diri lo sendiri juga," ucap Jigo pelan.
Karin menimpali sambil melipat tangan,
"Kita semua bakal jaga satu sama lain. Tapi tetap harus siap kalau keadaan berubah."
Jigo menarik napas panjang, lalu nyengir.
"Oke, oke… ngomong seriusnya udah cukup ya. Ntar gue stres duluan. Mau main kartu lagi gak nih?"
Di ruangan medis, Kylie duduk diam di atas ranjang periksa. Lampu neon di atasnya menyala terang, menciptakan bayangan tajam di wajahnya yang tampak lelah. Profesor Ridwan berdiri di depan meja monitor, memantau hasil tes darah yang baru saja diambil. Di sudut ruangan, Letnan Tio menyilangkan tangan, menatap Kylie penuh curiga.
Kylie menunduk, tangannya mengepal di atas paha. Ia terlihat menahan napas.
Profesor Ridwan memecah keheningan.
"Hasilnya… menunjukkan peningkatan aktivitas abnormal pada sel darah putih. Sama seperti sebelumnya."
Letnan Tio mengerutkan dahi.
"Berarti virusnya masih aktif?"
Profesor mengangguk pelan.
"Ya. Tapi... ini aneh. Virusnya seperti... stagnan. Tidak menyebar dengan cepat. Ada yang menghambatnya."
Kylie menatap mereka.
"Jadi gue... masih bisa bertahan?"
Profesor menghela napas.
"Kalau kita bisa temukan faktor penghambat itu, mungkin saja. Tapi kamu harus tetap diisolasi dulu."
Letnan Tio mendekat, suaranya tegas.
"Maaf, Kylie. Ini untuk keselamatan semua orang. Kita gak punya pilihan."
Kylie mengangguk pelan, wajahnya tegang namun pasrah. Saat Letnan Tio memberi isyarat pada dua prajurit untuk menemaninya kembali ke ruang isolasi, Kylie berdiri.
Namun sebelum keluar, dia menatap profesor.
"Kalau gue jadi kunci buat obatnya... tolong, jangan sia-siakan ini."
Profesor Ridwan menatapnya dalam-dalam.
"Kita akan berusaha, Kylie."
Di ruang isolasi, Kylie duduk bersandar, tatapannya kosong dan tubuhnya lesu. Tak lama, pintu terbuka pelan. Profesor Ridwan masuk dengan langkah hati-hati sambil membawa tablet dan beberapa dokumen hasil pemeriksaan.
"Kylie," ucapnya dengan suara tenang.
Kylie menoleh pelan, menatap Profesor dengan sedikit cemas.
"Saya ingin menyampaikan sesuatu. Berdasarkan hasil analisa terakhir... kami menemukan bahwa ada senyawa tertentu di dalam tubuhmu yang tampaknya memperlambat perkembangan virus," katanya sambil menatap data di tangannya. "Senyawa itu berkaitan dengan paparan nikotin."
Kylie mengerutkan dahi.
"Dari rokoknya Thom, ya?"
Profesor tersenyum kecil, sopan.
"Kemungkinan besar, ya. Zat kimia tersebut rupanya memiliki efek menghambat pada proses mutasi virus yang menyerang tubuhmu. Ini memang bukan solusi akhir, tapi... ini adalah kemajuan penting."
Kylie mengangguk pelan.
"Berarti... saya belum sepenuhnya berubah?"
"Betul," jawab Profesor lembut. "Selama ini tubuhmu masih berjuang, dan dengan bantuan dari senyawa itu, ada kemungkinan kita bisa menekan virus lebih lanjut. Kami akan mulai meneliti lebih dalam untuk meracik pengobatan yang tepat. Namun untuk sementara, kamu tetap harus dalam pengawasan."
"Saya mengerti, Prof. Terima kasih... karena tetap melihat saya sebagai manusia."
Profesor mengangguk dalam.
"Setiap nyawa berharga, Kylie. Dan kamu... mungkin membawa harapan besar untuk yang lain."
Letnan Miko memanggil Thom keluar dari tenda, nadanya serius namun tak terdengar panik.
"Thom, ikut saya sebentar," ucapnya singkat.
Thom menoleh dari obrolan dengan Karin dan Jigo, lalu berdiri dan mengikuti Letnan Miko ke sisi tenda, agak jauh dari yang lain.
"Ada apa?" tanya Thom.
Letnan Miko menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya berkata,
"Profesor Ridwan menemukan sesuatu. Tentang Kylie."
Thom menegakkan badan, sorot matanya langsung berubah tegang.
"Dia gimana?"
"Ada kabar baik. Untuk sekarang," kata Letnan Miko. "Ada reaksi kimia yang memperlambat perkembangan virus di tubuh Kylie. Kemungkinan besar dari paparan nikotin."
Thom mengerutkan alis, teringat pertemuan mereka di ruang isolasi—saat dia merokok dan Kylie bereaksi aneh.
"Jadi... dia masih bisa diselamatkan?"
"Masih terlalu dini untuk bilang begitu," jawab Letnan Miko jujur namun lembut. "Tapi Profesor percaya ini bisa jadi langkah awal. Karena itu... kami ingin dia tetap diobservasi, tapi dengan penanganan berbeda. Dan... kami butuh bantuanmu."
"Bantuan apa?"
"Jaga dia tetap stabil. Secara mental dan emosional. Kau salah satu dari sedikit orang yang dia percaya sekarang."
Thom terdiam sejenak, menunduk lalu mengangguk.
"Baik, gue bakal lakukan."
Letnan Miko menepuk bahu Thom, lalu berjalan kembali ke arah pos militer.
Malam mulai larut. Di bawah cahaya lampu temaram dari ruang isolasi, Thom masuk perlahan sambil membawa dua batang rokok di tangan.
Kylie yang duduk menyandar di ranjang kecil menoleh ke arahnya. Matanya masih terlihat lelah, kantong hitam di bawahnya makin dalam.
"Lo yakin boleh masuk?" tanya Kylie pelan.
"Udah dapat izin," jawab Thom. Ia duduk di kursi kecil dekat tempat tidur Kylie. "Dan gue bawa ini." Ia menunjukkan dua batang rokok.
Kylie mengerutkan alis, lalu tersenyum kecil.
"Mau racunin gue sekalian?"
"Enggak, justru ini yang mungkin nyelametin lo."
Thom menyalakan sebatang rokok dan menyodorkannya ke Kylie. Kylie menatapnya ragu, tapi akhirnya mengambilnya, menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Asap putih melayang di udara, menciptakan suasana hening yang aneh, tapi menenangkan.
Thom ikut menyalakan rokok untuk dirinya sendiri, lalu bersandar di sandaran kursi. Mereka berdua diam sejenak, hanya asap dan suara napas masing-masing yang terdengar.
"Gimana rasanya?" tanya Thom, memecah sunyi.
Kylie melirik ke arahnya, tersenyum tipis.
"Gak nyangka ya... rokok bisa jadi obat sekarang."
Ia tertawa pelan, lalu mendesah. "Gue gak pengen berubah, Thom..."
Thom menoleh ke arahnya.
"Gue tahu. Makanya gue di sini."
Kylie menatapnya lekat.
"Lo yakin ini bukan cuma karena rasa bersalah?"
Thom menghembuskan asap pelan.
"Mungkin awalnya iya. Tapi sekarang... gue cuma pengen lo tetap ada."
Mereka kembali diam, hanya ditemani cahaya temaram dan asap rokok yang mengambang lambat.
Pintu ruang isolasi terbuka pelan. Karin melangkah masuk, wajahnya cemas. Ia menatap Thom yang duduk santai di dekat Kylie, keduanya sedang mengisap rokok.
"Thom?!" serunya pelan namun tegas. "Kenapa lo nyuruh Kylie ngerokok?"
Thom belum sempat menjawab saat Karin melangkah cepat, hendak mencabut rokok dari tangan Kylie.
"Udah cukup! Lo bisa ngeracunin dia!"
Namun Thom segera berdiri, menahan tangan Karin dengan lembut namun tegas.
Thom menahan tangan Karin dengan tenang namun tegas.
"Biarin, Rin," katanya pelan. "Ini bukan soal rokok biasa."
Karin menatapnya curiga. "Maksud lo apa?"
Thom menarik napas dalam dan mulai menjelaskan.
"Tadi siang Letnan Miko bilang... Profesor nemuin zat dalam rokok—lebih tepatnya nikotin dan senyawa asapnya—yang bisa memperlambat kerja virus di dalam tubuh. Gak menyembuhkan, tapi ngehambat."
Ia menoleh ke Kylie yang duduk diam, mengisap rokok pelan.
"Mereka masih uji coba, tapi sementara ini... itu satu-satunya yang bisa bikin virusnya gak cepat aktif. Makanya gue kasih dia itu, bukan karena gue asal nyuruh."
Karin terdiam, menatap Kylie yang kini tampak sedikit lebih tenang dibanding sebelumnya.
"Jadi ini kayak penahan waktu..." gumam Karin pelan.
Thom mengangguk.
"Ya. Kita lagi nyari cara buat bener-bener nyembuhin dia. Tapi untuk sekarang... kita tahan dulu. Jangan sampai dia berubah."
Karin menurunkan tangannya perlahan, napasnya berat.
"Oke... tapi gue bakal awasi dari dekat."
Thom tersenyum samar. "Itu bagus. Gue juga gak mau ngambil risiko."
Malam itu.
Karin dan Thom berjalan perlahan menjauh dari ruang isolasi. Angin malam meniup pelan, membawa aroma laut dan debu tanah. Langkah mereka lambat, tak ada suara selain desir angin dan dengung jauh dari barak militer.
Karin akhirnya bicara duluan.
"Lo tahu, Thom... gue gak pernah lihat lo seputus asa ini."
Thom menoleh, lalu mengernyit pelan.
"Seputus asa?"
"Iya," lanjut Karin. "Dulu waktu Sony mati, lo diem aja. Waktu Vian gugur juga... lo tahan semuanya sendiri. Tapi sekarang... gue bisa lihat lo beda."
Thom berhenti melangkah. Ia menatap Karin, nadanya mulai berat.
"Lo bilang gue diem aja?"
Ia menarik napas.
"Lo ingat gak, waktu Sony mati... gue peluk lo, Rin. Karena gue pikir lo satu-satunya orang yang bisa nenangin gue waktu itu. Gue ngerasa tenang karena lo ada di situ."
Karin terdiam, tak langsung membalas.
Thom melanjutkan, suaranya lebih pelan.
"Kalau lo cemburu... ngomong aja. Jangan bungkus semuanya seolah gue gak peduli sama lo."
Karin menatap Thom, sedikit tersentak oleh kejujuran itu.
"Bukan gitu maksud gue..."
Thom tersenyum tipis, tapi matanya tetap serius.
"Gue cuma gak mau kehilangan siapa pun lagi, Rin. Gak lo. Gak Kylie. Gak siapa pun yang tersisa."
Mereka terdiam sejenak. Malam makin sunyi.
"Besok pagi, biar gue bantu jagain dia juga," ujar Karin akhirnya, pelan.
"Kalau lo capek, gantian sama gue."
Thom menatapnya, kali ini lembut.
"Makasih."
Mereka melanjutkan langkah ke tenda. Di antara ketegangan dan kebingungan, masih ada sisa kehangatan yang belum hilang.
Di ruang isolasi lain...
Suasana mulai berubah. Salah satu pasien yang sebelumnya positif—seorang pria dewasa berambut cepak dengan tubuh kekar—tiba-tiba mengerang pelan. Tubuhnya berkeringat deras, matanya memerah. Dua prajurit yang berjaga mulai saling melirik khawatir.
"Dia gelisah terus dari tadi," bisik salah satu prajurit.
Tiba-tiba, pria itu meronta keras. Kursi yang menahannya terjungkal ke belakang, dan suara jeritannya menggema keluar ruang isolasi. Ia menggeram, giginya gemeretak, lalu menyeruduk kaca pembatas.
"PENGAWAS! KAMI BUTUH BANTUAN DI ISOLASI DUA!" teriak salah satu militer lewat radio.
Letnan Miko dan Professor Ridwan yang sedang di luar ruang kontrol langsung bergegas masuk. Dari balik kaca tebal, mereka melihat si pria mulai berubah: kulitnya menegang, urat di leher menonjol, dan matanya tak lagi menunjukkan kesadaran manusia.
"Dia mutasi cepat... lebih cepat dari perkiraan," ucap Profesor dengan nada cemas.
Letnan Tio datang dengan ekspresi tegang.
"Jangan sampai dia lepas. Kalau satu aja keluar, bisa bawa wabah ke seluruh kamp."
Militer membawa alat kejut listrik dan senjata bius, bersiap. Tapi si pria sudah terlalu kuat—ia membenturkan tubuh ke dinding hingga tembok bergetar.
Di ruang isolasi lain, Kylie yang duduk diam mulai mendengar suara ribut itu. Matanya membelalak. Ia berdiri dan menatap ke arah pintu ruangnya dengan napas berat.
"Apa yang terjadi di luar...?" gumamnya, sambil menahan rasa takut.
Sementara itu di luar, perintah darurat diumumkan. Sirine kecil berbunyi pendek.
"Status: Risiko Kebocoran Biologis. Semua personel siaga satu."
Suasana kamp jadi tegang.
Dari tenda-tenda sekitar, suara teriakan dan kegaduhan terdengar makin jelas. Pengungsi mulai keluar, bingung dan panik. Beberapa anak kecil menangis, para ibu memeluk mereka erat.
Thom dan Jigo keluar dari tenda dengan langkah cepat. Karin dan Tania menyusul dengan wajah cemas.
"Thom, apa yang terjadi?" tanya Karin sambil menarik lengan Thom.
Thom menoleh singkat, "Tunggu di sini. Jangan ikut."
Ia mengeluarkan rokok, menyalakannya, lalu mengisap dalam-dalam. Asapnya mengepul samar dalam cahaya bulan yang tertutup awan.
"Jigo."
Thom menyodorkan satu batang rokok pada Jigo.
"Isap ini."
"Hah? Buat apa sih?" Jigo mengernyit, masih bingung.
"Lakuin aja. Ini mungkin satu-satunya cara supaya kita aman dari mereka." Thom menatapnya serius.
Jigo menurut, menyalakan rokok dan mulai mengisap, walau batuk beberapa kali.
Mereka berdua lalu berjalan ke arah ruang isolasi, di mana para prajurit militer baru saja bersiap masuk dengan senjata dan alat kejut.
Thom mengangkat tangan, "Tunggu! Biar kami yang masuk!"
Letnan Tio menahan anak buahnya.
"Kalian yakin?"
"Kami lebih cepat, dan mereka gak suka bau rokok. Ini bisa bikin mereka bingung."
Letnan ragu sejenak, lalu mengangguk.
"Oke. Tapi kalau situasi gak terkendali, kami masuk paksa."
Thom dan Jigo masuk. Di dalam, zombie itu menggeram keras, darah menetes dari mulutnya, tubuhnya bergetar seperti menahan rasa sakit yang luar biasa.
Tapi begitu aroma rokok menguar ke dalam ruangan, makhluk itu tampak... bimbang. Ia memalingkan wajah, seperti terganggu. Matanya mencari arah bau itu, bingung.
"Sekarang, Jigo!" bisik Thom.
Dengan cepat, mereka berdua menyergap dari dua sisi. Thom mengalihkan perhatian dengan senter, sementara Jigo melompat dan menjatuhkan makhluk itu ke lantai. Thom mengambil tali pengikat dari sisi ranjang dan melilitkan ke tangan makhluk itu, mengencangkan simpul secepat mungkin.
Dengan napas tersengal, mereka berdiri, menatap makhluk itu yang kini meronta namun terikat kuat.
"Selesai," kata Thom sambil mengusap keringatnya.
"Mereka masih bisa dikendalikan… untuk sekarang."
Di balik kaca, para prajurit dan Profesor Ridwan hanya bisa terdiam, menyaksikan dua anak muda yang baru saja menyelamatkan semua orang dari kehancuran.
Letnan Miko berdiri di balik kaca pengawas, menyilangkan tangan di dada, wajahnya serius namun ada senyum tipis di sudut bibirnya.
"Aku suka gayamu, Nak," katanya pada Thom lewat interkom.
"Cepat, tepat, dan... nekat. Tapi itu yang bikin kamu beda."
Thom mengangguk pelan, napasnya masih berat.
"Gue cuma ngelakuin apa yang bisa gue lakuin, Letnan."
Jigo menyela sambil batuk-batuk karena asap rokok, "Dan gue... gue cuma pengen pulang hidup-hidup."
Letnan Miko tertawa kecil. "Dan kalian baru saja membuktikan bahwa kadang... metode gila bisa menyelamatkan banyak nyawa."
Ia menoleh ke Letnan Tio dan Profesor Ridwan.
"Kita harus pikirkan cara lebih luas. Kalau bau rokok bisa mengacaukan indra zombie... mungkin itu bisa dikembangkan."
Profesor Ridwan mengangguk setuju.
"Kami akan analisis senyawa kimianya. Mungkin ada senyawa tertentu yang bisa diisolasi dan digunakan sebagai penghambat perilaku agresif."
Letnan Tio menambahkan, "Sementara itu, kita pantau terus para yang terinfeksi tapi belum berubah... terutama Kylie."
Letnan Miko menatap Thom lagi dari balik kaca.
"Dan kau, istirahatlah. Tapi tetap waspada. Dunia ini belum aman, tapi kamu—kalian—baru saja membuka secercah harapan."
Letnan Tio berdiri dengan tangan di belakang punggung, menatap ke arah Thom yang duduk di sudut ruangan sambil menyeka keringat dari wajahnya.
"Sebelumnya aku meremehkan anak itu," gumam Letnan Tio pelan, namun cukup jelas untuk didengar oleh Letnan Miko dan Profesor Ridwan.
"Setelah semua ini berakhir… dia harus jadi anggota militer."
Letnan Miko menoleh dengan alis terangkat, lalu tersenyum kecil.
"Kau bukan satu-satunya yang berpikir begitu."
Ia menepuk bahu Letnan Tio.
"Anak itu punya insting bertahan yang langka. Tapi lebih dari itu, dia punya hati. Itu yang bikin dia berbahaya... dan berharga."
Profesor Ridwan menimpali, "Jika kita bisa selamat dari ini semua… Thom bukan cuma penyintas. Dia akan jadi kunci."
Letnan Tio mengangguk perlahan, menatap ke arah luar tenda yang mulai gelap.
"Kita lihat saja seberapa jauh dia bisa pergi."
Suasana hening sejenak, lalu terdengar suara tertawa kecil dari Jigo di kejauhan. Letnan Miko melirik ke arah suara itu dan terkekeh pelan.
"Dan jangan lupakan si badut itu. Si Jigo juga... bagian dari keajaiban kecil mereka."
Mereka semua tersenyum, walau samar. Di tengah wabah dan kehancuran, harapan itu... perlahan tumbuh.