Pagi itu, Thom terbangun karena suara gemuruh dari kejauhan. Ia duduk perlahan, mengusap wajah dan menajamkan telinga. Suara baling-baling helikopter menggema dari atas.
"Heli...?" gumamnya, lalu bangkit dan keluar dari tenda.
Di langit, dua helikopter besar menukik perlahan menuju area pendaratan. Debu dan angin kencang menerpa saat baling-baling memutar. Para militer mulai bersiaga, dan beberapa tenaga medis berlarian menuju lokasi.
Jigo muncul dari tenda sebelah dengan rambut acak-acakan. "Wah... rame amat pagi-pagi. Ini apaan lagi?"
Thom menoleh. "Kayaknya evakuasi baru. Lihat tuh, dari arah timur. Mungkin Manggarai Timur atau Tengah."
Karin dan Tania muncul tak lama kemudian, berdiri di samping Thom.
"Jumlah pengungsi nambah lagi," ujar Karin pelan.
"Semakin penuh, semakin sulit dikendalikan," tambah Tania.
Pintu helikopter terbuka, satu per satu pengungsi turun. Wajah-wajah kelelahan, penuh debu dan cemas. Anak-anak digendong, beberapa orang lanjut usia dibantu turun. Petugas memandu mereka ke tenda pemeriksaan awal.
Letnan Miko dan Letnan Tio berdiri di dekat barisan militer, mengawasi dengan wajah serius. Di samping mereka, Profesor Ridwan mencatat sesuatu di clipboard-nya, lalu memberikan aba-aba ke tim medis.
Thom menyipitkan mata saat melihat seorang anak kecil menangis sambil terus memanggil ibunya yang belum turun dari helikopter.
"Ini baru awal hari..." bisik Thom.
Letnan Miko berdiri tegak di depan tenda utama, wajahnya tegas namun terlihat letih. Thom, Karin, Tania, dan Jigo berdiri berhadapan dengannya, menunggu penjelasan.
"Kalian akan dibawa menuju pusat besok pagi," ujar Letnan Miko. "Pengungsi lama yang hasil tesnya negatif akan lebih dulu dievakuasi. Tujuannya biar gak numpuk dan pusat bisa ngatur karantina lanjutan lebih efektif."
Thom langsung melangkah setengah maju. "Terus... Kylie gimana?"
Letnan Miko menarik napas dalam. "Dia akan tetap diisolasi di sini. Belum bisa ikut. Statusnya masih berisiko. Akan sangat bahaya kalau dia ikut ke pusat sekarang."
"Tapi dia udah dikasih penawar dari profesor, kan? Ada perubahan positif," sela Karin.
"Belum cukup bukti," sahut Miko cepat. "Kami belum bisa pastikan apakah penawarnya benar-benar bekerja jangka panjang. Kami gak bisa ambil risiko besar di pusat."
Thom mengepalkan tangan, rahangnya mengencang. Ia menatap tanah beberapa detik sebelum akhirnya menatap Miko lagi.
"Berarti dia akan ditinggal sendirian?"
"Tidak sendiri," jawab Miko. **"Akan ada tim medis dan satuan pengawas di sini. Kalau dia stabil dan hasil evaluasi lanjutan bagus, dia bisa menyusul."
Suasana menjadi hening sesaat. Tania menunduk, Jigo mengusap tengkuknya gelisah.
"Kalian harus bersiap malam ini. Besok pagi, helikopter akan jemput kalian sebelum matahari naik," kata Miko sebelum meninggalkan mereka.
Thom tetap berdiri di tempatnya, menatap ke arah barak isolasi Kylie.
Ingin lanjutin ke malam sebelum keberangkatan atau saat Thom mengunjungi Kylie terakhir kali sebelum pergi?
Thom melangkah perlahan menuju tenda, langkahnya berat seolah pikirannya jauh tertinggal di belakang, di barak isolasi.
Sesampainya di depan tenda, ia berhenti, menarik napas dalam-dalam, lalu bergumam dengan suara serak:
"Aku gak tahu... antara senang atau sedih."
Jigo yang duduk di kursi lipat sambil makan biskuit bekas bantuan militer menoleh. "Lo ngomong apa, Thom?"
Thom masuk ke dalam, duduk di pojokan, menatap lantai tenda. "Kita akhirnya keluar dari sini... ke pusat, mungkin lebih aman... tapi ninggalin Kylie... Gak tahu, rasanya aneh banget."
Tania menatap Thom dengan lembut dari sisi lain tenda. "Kadang bertahan hidup juga artinya harus ninggalin yang kita sayang."
"Gue cuma pengen semuanya beres," sahut Thom pelan. "Biar gak ada lagi yang harus ditinggal."
Karin duduk di sebelahnya, menyandarkan punggung ke dinding tenda. "Kalau lo percaya dia bisa sembuh, lo harus percaya juga dia bisa nyusul kita nanti."
Thom menatap langit-langit tenda. "Gue bakal ke sana... terakhir kali malam ini."
Semua terdiam. Mereka tahu apa maksudnya.
Jigo menepuk lututnya sambil berdiri, mencoba mencairkan suasana yang mendadak suram.
"Udah ah… daripada ngelamun semua, gimana kalo kita jalan-jalan sekitar pantai? Terakhir kalinya kita di sini, bro. Mumpung masih bisa lihat laut, angin, dan gak dikejar-kejar zombie."
Ia tersenyum lebar, berusaha membawa energi positif ke dalam tenda.
Karin mengangguk pelan. "Ide bagus, Jigo. Gue juga pengen hirup udara pantai sebelum kita cabut besok."
Tania berdiri sambil merenggangkan tubuh. "Yuk, sekalian ambil foto bareng. Buat kenang-kenangan. Biar nanti di pusat gak lupa sama rasa asin angin di sini."
Thom diam sejenak, lalu akhirnya ikut tersenyum tipis. "Oke, ayo... terakhir kalinya kita jadi 'anak pantai'."
Mereka pun keluar tenda, menyusuri jalur pasir menuju bibir pantai yang sudah mulai disinari cahaya senja. Ombak kecil bergulung lembut, angin berhembus pelan membawa aroma garam dan kenangan.
Langit jingga jadi latar langkah-langkah terakhir mereka di pulau itu.
Mereka sampai di tepian pantai. Ombak kecil membasahi kaki mereka yang menjejak pasir lembut, dan cahaya senja membuat segala sesuatu tampak hangat dan damai.
Jigo langsung mengambil posisi. "Oke, oke! Kamera di sini... Tania, lo berdiri di situ, biar kena cahaya bagus. Eh, senyum dong... jangan kayak abis kalah kartu."
Tania tertawa, lalu mendorong bahu Jigo pelan. "Dasar, lo! Ganggu terus, ya!"
Jigo pasang pose sok keren, membuat semua tertawa.
Thom berdiri beberapa langkah dari Karin yang menatap laut. Ia mengangkat kamera yang dipinjam dari militer, lalu berkata,
"Ayo, Rin. Berdiri di situ, gue ambil jepretan buat lo."
Karin menoleh dengan senyum tipis. "Yakin gak blur, fotografer dadakan?"
"Percaya aja, ini bukan kamera hati yang sering lo patahin," jawab Thom, menyeringai.
Karin tertawa dan berdiri di posisi yang diarahkan Thom. Cahaya jingga sore menyinari wajahnya, rambutnya diterpa angin, dan lautan jadi latar belakang yang sempurna.
"Tiga... dua... satu..." Klik.
Thom melihat hasilnya dan mengangguk puas. "Nah, keren. Udah kayak sampul majalah survival edition."
Karin berjalan mendekat. "Makasih, Thom... beneran."
Thom mengangguk pelan. "Momen terakhir di sini harus disimpan, siapa tahu nanti dunia gak seindah pantai ini."
Di sisi lain, suasana di kamp tengah sibuk. Beberapa pengungsi sedang menjalani tes kesehatan rutin. Militer Tama berjalan tergesa ke pos medis, wajahnya terlihat gelisah.
"Dimana kamera ku? Yang tadi di meja pojok itu?" tanyanya cepat.
Seorang prajurit menjawab, "Empat anak itu yang pinjam, Pak. Thom dan teman-temannya. Katanya mau dokumentasi terakhir sebelum ke pusat."
Tama mendesah. "Astaga... ya udah, selama masih utuh balikinnya. Jangan sampai kecebur laut."
Sementara itu, kembali ke pantai...
Thom, Karin, Jigo, dan Tania duduk berjajar di atas batu besar. Angin laut membelai lembut wajah mereka, dan cahaya senja mulai memerah di cakrawala.
Jigo mengangkat tangannya, membentuk bingkai dengan jari-jarinya.
"Gimana kalau kita di sini sampai matahari terbenam? Abis itu baru balik kamp. Momen terakhir, bro."
Thom mengangguk pelan.
"Setuju. Kita gak tahu kapan lagi bisa lihat laut seindah ini tanpa suara jeritan atau tembakan."
Tania bersandar ke bahu Karin sambil tersenyum.
"Anehnya, gue gak takut... sekarang. Di sini. Sama kalian."
Karin memeluk bahu Tania, menatap laut yang membentang.
"Karena untuk pertama kalinya... kita bisa diam tanpa ketakutan. Walau cuma sebentar."
Langit perlahan berubah warna. Mereka duduk bersama, menatap cakrawala dengan diam dan damai, seolah dunia belum runtuh.
Matahari mulai menyentuh garis cakrawala, menciptakan semburat jingga dan ungu di langit. Ombak bergulung pelan ke pantai, angin membawa aroma laut yang tenang.
Thom berdiri beberapa langkah dari yang lain, pandangannya lurus ke arah matahari yang tenggelam. Siluet tubuhnya berdiri tegak, namun dalam diam, ia tampak tenggelam dalam pikiran.
Karin melirik ke arahnya. Ia berdiri perlahan, meninggalkan Jigo dan Tania yang masih duduk bercanda kecil, lalu mendekati Thom dengan langkah pelan.
Sesampainya di samping Thom, ia menatap wajah pria itu yang diterpa cahaya senja.
"Thom..." katanya pelan.
Thom menoleh sedikit, menatapnya singkat lalu kembali memandangi laut.
"Aku menyukaimu."
Kata-kata itu mengalir tenang tapi tegas, menggantung di antara suara angin dan debur ombak.
Thom terdiam.
Karin menunduk sedikit, lalu tersenyum kecil.
"Gak usah dijawab sekarang... Gue cuma pengen lo tahu, sebelum kita ke pusat, sebelum semua makin rumit... Gue gak mau nyesel karena gak pernah bilang."
Thom menoleh lagi, kali ini dengan mata yang sedikit melembut.
"Rin..." katanya pelan.
Tapi sebelum ia melanjutkan, Jigo dari kejauhan berteriak, "Woy! Foto terakhir nih! Ayo sini dulu, pasangan pantai!"
Karin tertawa kecil. "Yuk, kita ke sana."
Thom mengangguk, dan mereka berjalan berdampingan menuju yang lain—senja menyelimuti mereka dengan hangat, menyimpan rahasia kecil di antara cahaya terakhir hari itu.
Langit mulai gelap.
Mereka baru saja sampai di kamp, langkah mereka masih ringan dan wajah mereka menyimpan senyum sisa dari pantai. Tapi sebelum sempat duduk...
"WEEEOOO WEEEOOO—"
Sirene darurat meraung keras, memecah suasana tenang. Lampu merah berkedip-kedip di seluruh penjuru kamp.
Dari arah barak, Letnan Tio datang tergesa-gesa, wajahnya pucat dan tegang.
"KALIAN HARUS MASUK HELI SEKARANG! KEADAAN DARURAT! BEBERAPA BERUBAH JADI ZOMBIE DI DALAM! PROFESOR TERKENA GIGITAN!"
Suara ledakan kecil terdengar dari kejauhan, membuat tanah bergetar ringan. Beberapa militer sudah mulai memasang bom di titik-titik strategis sekitar kamp.
"AYO! MASUK!" teriak Letnan Miko sambil memegang radio.
"THOM, BANTU AKU BAWA PARA PENGUNGSI LAMA KE HELI SEKARANG! CEPAT!!!"
Thom berdiri kaku, napasnya tertahan.
"Bagaimana dengan Kylie?" tanyanya dengan suara berat.
Miko menatapnya sekilas, lalu kembali memberi perintah. Thom menunduk, membuka sakunya dan mengeluarkan bungkus rokok. Ia menarik satu batang dan berkata pada yang lain dengan suara datar:
"Ayo... merokok sebentar, habis itu kita lari lagi."
Nada setengah bercanda, setengah getir.
Tania dan Jigo tersenyum miris, tapi mereka bergerak cepat. Mereka mulai membantu militer menyeret dan menopang para pengungsi yang lemah. Teriakan terdengar dari dalam kamp. Suara tembakan bersahut-sahutan. Militer berjibaku menghadang para zombie yang mencoba keluar dari gedung isolasi.
Letnan Miko dan Letnan Tio memimpin langsung, menahan gerombolan itu.
"NAIKKAN YANG TERAKHIR! BOM SEBENTAR LAGI MELEDAK!" teriak salah satu prajurit.
Helikopter mulai hidup. Bilah-bilahnya berputar cepat, udara terpukul hebat.
Thom sudah di tepi pintu helikopter, matanya menatap ke dalam kamp.
"TIDAK! KYLIE MASIH DI DALAM!" teriaknya.
Ia hendak meloncat turun lagi, tapi Letnan Miko dari belakang menariknya dengan kasar.
"THOM! TIDAK ADA WAKTU! KALAU LO TURUN, LO MATI!"
"TIDAK! GUE HARUS—"
"DENGAR, ANAK MUDA! SEMUA PENGUNGSI SUDAH MASUK! SEKARANG GILIRAN KITA!"
Thom melawan sebentar... lalu terdiam.
Bom di bawah sudah berbunyi—
"BIP...BIP...BIP..." —semakin cepat.
Miko mendorong tubuh Thom ke dalam kabin.
Pintu ditutup rapat.
Helikopter mulai terangkat.
Thom berdiri di belakang pintu kabin, menggenggam keras besi pegangan.
Matanya menatap ke bawah, ke arah kamp yang kini terbakar merah dalam ledakan.
"TIDAAAAAAKKK!" teriaknya.
Matanya merah, air matanya jatuh satu-satu, namun ia tetap berdiri, menggertakkan gigi.
Helikopter menghilang di langit malam.
Kamp di bawah menjadi lautan api.
Di dalam helikopter.
Suara bilah baling-baling menderu keras, menggema di seluruh kabin. Semua duduk dalam diam. Wajah-wajah lelah, mata sembab, dan tubuh penuh debu serta keringat. Udara di dalam terasa panas dan sempit.
Thom duduk membungkuk, kedua tangannya menutup wajahnya.
Karin duduk tak jauh darinya, memandangi punggung Thom tanpa berkata-kata. Tania bersandar di bahu Jigo, matanya sembab tapi tak lagi meneteskan air mata.
Letnan Miko berdiri, memegang tali pengaman, menatap lurus ke luar jendela heli. Letnan Tio duduk di sebelah pilot, berbicara pelan lewat radio—melaporkan kondisi.
Jigo membuka mulut, mencoba mencairkan suasana, "Gue kira... kita bakal pulang bawa semuanya utuh. Ternyata…"
Ia tak melanjutkan, suara tercekat di tenggorokannya.
Tania menggenggam tangan Jigo erat-erat.
Thom perlahan menurunkan tangannya. Matanya merah. Ia menatap kosong ke lantai kabin, lalu berkata dengan suara serak,
"Gue janji ke Kylie... gue bakal jaga dia. Tapi gue malah ninggalin dia sendirian..."
Karin menunduk, suara pelan,
"Lo gak ninggalin dia, Thom... lo selamatin kita semua."
Thom menoleh sedikit, lalu berkata,
"Kalau profesor ketularan... dan Kylie masih hidup... artinya mungkin dia benar-benar satu-satunya kunci."
Letnan Miko menyahut dari belakang, suaranya tenang tapi dalam:
"Kita akan cari jalan, Thom. Kita belum selesai. Selama kita hidup... kita tetap bisa lawan ini."
Semua terdiam lagi. Tapi kali ini bukan dalam keterpurukan... melainkan dalam tekad.
Helikopter terus terbang melintasi kegelapan malam, meninggalkan kobaran api di belakang. Di kejauhan, lampu markas pusat mulai terlihat di balik gunung dan kabut.
Langkah selanjutnya: pusat pemerintahan—tempat terakhir yang masih bertahan.
Tempat kebenaran harus diungkapkan. Tempat perlawanan baru dimulai.
Di dalam helikopter, masih dalam perjalanan menuju pusat.
Thom menoleh perlahan ke arah Karin, suaranya lirih tapi terdengar jelas di antara dengungan mesin.
"Karin..."
Ia terdiam sejenak, menatap mata gadis itu dengan serius.
"Gue mau bilang makasih... buat segalanya. Buat tetap di sisi gue, buat gak nyerah, bahkan waktu gue sendiri udah gak yakin sama diri gue."
Karin menelan ludah, matanya sedikit berkaca.
"Lo gak sendiri, Thom. Gak pernah."
Thom mengangguk pelan, lalu senyum tipis terbentuk di bibirnya.
"Gue gak tau apa yang bakal nunggu kita di pusat... tapi satu hal yang gue tau..."
Karin menatapnya, menunggu.
"Selama masih ada kalian, gue gak takut."
Karin tersenyum, meninju pelan bahu Thom.
"Gue pegang omongan lo itu. Jangan kabur kalau nanti gue nangis."
Thom tertawa kecil, untuk pertama kalinya sejak mereka naik helikopter. Di belakang mereka, Jigo berseru pelan,
"Kalau kalian pacaran nanti, ingetin gue buat nyiapin kado kawinan."
"Diam lo, Jigo," sahut Tania dengan senyum tipis.
Thom menoleh ke Jigo sambil nyengir.
"Gue aja belum nembak dia."
Semua di dalam helikopter langsung menoleh.
"HAH?!" seru Jigo, Tania, bahkan Karin yang kaget sendiri.
"Gila lo, Thom!" Jigo ngakak.
"Dari tadi so sweet banget, gue kira lo udah resmi jadian!"
Karin menatap Thom dengan campuran heran dan malu.
"Lo belum...?"
Thom mengangkat bahu, senyumnya tenang.
"Belum... Tapi kalau lo gak nolak, sekarang gue mau."
Ia menatap langsung ke mata Karin.
"Rin, mau gak lo jadi pacar gue?"
Karin terdiam sebentar, lalu perlahan senyum merekah di wajahnya.
"Dasar bodoh... Iya."
Jigo dan Tania bersorak pelan, menepuk-nepuk punggung Thom.
"Akhirnyaaa! Dunia belum kiamat ternyata!"
Tiba-tiba Letnan Miko yang duduk agak di ujung helikopter menoleh sambil menyilangkan tangan dan menyipitkan mata.
"Lain kali mau nembak cewek itu harus romantis, Thom."
Semua yang mendengar langsung tertawa kecil. Tania bahkan berseru,
"Nah tuh, dibilangin sama senior!"
Thom nyengir santai, menyandarkan punggungnya ke dinding kabin helikopter.
"Tenang aja, Letnan. Nanti kalo udah gak dikejar zombie, gue siapin lilin, bunga, sama gitar akustik."
Letnan Miko geleng-geleng kepala sambil tersenyum,
"Gue tunggu, jangan cuma omong doang."
Jigo menepuk bahu Thom sambil terkekeh,
**"Gue dokumentasikan tuh nanti, bro."
Tania menambahkan,
"Asal jangan lupa ajak kita kalo ada pestanya ya!"
Letnan Miko menatap Thom dengan ekspresi setengah serius, setengah bercanda, tapi jelas ada makna di baliknya.
"Tapi sebelum pestanya... Thom harus siap jadi anggota militer."
Ia menatap Thom tajam.
"Ini keputusan dari pusat. Setelah semua yang lo lakuin, mereka nilai lo pantas dapet pelatihan resmi."
Thom terdiam sejenak, kaget, tapi tak sepenuhnya menolak.
"Hah? Serius lo, Letnan?"
"Serius. Suratnya bakal keluar begitu kita mendarat di pusat," lanjut Miko. "Lo udah nunjukin keberanian, kepemimpinan, dan... ya, kemampuan bikin strategi juga."
Jigo berseru,
"Waduh, kapten Thom nih ceritanya!"
Tania tertawa,
"Wah, makin manis aja tuh seragam militer nanti!"
Thom nyengir, tapi matanya tetap menatap ke luar helikopter, ke cakrawala.
"Kalau itu artinya gue bisa lindungin lebih banyak orang... ya udah, gue terima."
Letnan Miko menepuk bahunya,
"Bagus. Dunia butuh anak-anak muda kayak lo."
Karin yang duduk di sebelah Thom, menoleh setelah mendengar percakapan itu. Ia tersenyum lembut, tapi matanya menyimpan kekhawatiran.
"Jadi lo beneran bakal jadi tentara sekarang?" tanyanya pelan, nyaris hanya terdengar oleh Thom.
Thom menatapnya dan mengangguk pelan.
"Kayaknya begitu, Rin. Gak nyangka juga sih."
Karin menunduk sebentar, lalu menatap Thom lagi.
"Asal lo gak berubah aja. Tetep jadi Thom yang gue kenal."
Thom tertawa kecil.
"Gue gak bakal berubah. Kecuali... jadi lebih keren dikit pake seragam."
Karin mencubit lengannya pelan.
"Ih, dasar pede."
Lalu ia menambahkan, lebih pelan,
"Tapi gue seneng... soalnya gue juga bisa lebih tenang kalau lo di tempat yang jelas, bukan lagi lari-lari gak tentu arah kayak kemarin-kemarin."
Thom menoleh menatap Karin serius.
"Rin... makasih ya. Udah nemenin gue selama ini."
Karin tersenyum, dan untuk sesaat, dunia yang kacau itu terasa sedikit lebih damai.
Helikopter terus melaju di atas lautan, cahaya mentari pagi mulai menembus awan tipis. Dari kejauhan, mereka mulai bisa melihat daratan—pusat evakuasi nasional, tempat yang dijanjikan aman, bersih dari wabah.
Thom masih menatap keluar jendela, matanya kosong namun tenang. Karin bersandar di bahunya, tertidur singkat dengan tenang. Jigo tidur dalam posisi aneh, mulut sedikit terbuka. Tania memainkan gelang di pergelangan tangannya, sesekali melirik ke luar.
Letnan Miko berdiri di dekat pintu helikopter, melihat ke arah daratan, lalu menoleh ke Thom.
"Siap, calon tentara?"
Thom menarik napas dalam-dalam.
"Belum siap... tapi gue mau coba."
Miko mengangguk.
"Kadang, jadi pahlawan bukan karena kita siap... tapi karena kita gak punya pilihan lain."
Helikopter mulai menurun, roda-roda menyentuh tanah pusat evakuasi. Para tentara dan petugas medis mulai berlari menghampiri, menyambut para penyintas yang baru datang.
Saat pintu helikopter terbuka, Thom berdiri—ia menatap matahari pagi yang hangat, lalu menatap ke belakang. Dalam hati, ia berbisik:
"Tunggu aku, Kylie. Gue akan cari cara..."
Lalu ia melangkah keluar.
Cerita belum berakhir. Tapi hari ini, mereka berhasil selamat.