War Of The Dead 2

Tahun sekarang adalah 2055.

Pagi itu, di Jakarta, suara seorang gadis SMA terdengar mengomel, memanggil pemuda yang masih malas turun untuk sarapan. Gadis itu bernama Casie, sementara pemuda yang masih mengenakan seragam sekolah dengan rambut acak-acakan dan dasi longgar adalah Parker. Mereka berdua adalah anak dari Thom dan Karin.

Di dapur, Karin sedang menyiapkan sarapan. Thom turun dari atas, mengenakan baju militer, dan duduk di meja makan. Di sekitar mereka, ada beberapa foto keluarga, termasuk satu foto kenangan yang diambil bersama Jigo dan Tania.

Thom mengangguk, tersenyum lembut. "Kalian akan aku antar dulu sebelum ayah pergi bertugas," katanya sambil memandang Casie dan Parker yang sudah siap untuk berangkat ke sekolah.

Casie, yang biasanya ceria, melirik ayahnya dengan mata sedikit berkaca. "Hati-hati, ya, Ayah. Jangan lupa jaga diri."

Parker menambahkan dengan nada santai, "Jangan khawatir, Cas. Ayah pasti bisa jaga diri."

Thom tersenyum bangga mendengar mereka, meskipun perasaan berat juga ikut menyelimutinya. Mereka semua berjalan keluar, dan keluarga kecil itu menyusuri halaman rumah menuju mobil.

Sesaat sebelum menaiki mobil, Thom berhenti di depan Karin. Tatapan mereka bertaut sebentar, penuh makna. Lalu tanpa kata, Thom mencium bibir Karin dengan lembut.

Casie langsung memalingkan muka. "Ih, plis... pagi-pagi banget udah PDA," keluhnya geli.

Parker hanya tertawa kecil. "Biarin, itu bukti cinta abadi."

Karin tersenyum, menepuk dada Thom. "Hati-hati di luar sana, pahlawan."

Thom mengangguk mantap. "Selalu."

Mereka pun masuk ke dalam mobil, meluncur menembus pagi kota Jakarta yang sibuk, membawa kenangan masa lalu dan harapan untuk masa depan.

Mobil menyala dan perlahan keluar dari garasi. Casie duduk di depan sambil bersedekap, wajahnya cemberut.

"Ayah, kemarin Parker bikin ulah lagi di sekolah," keluhnya. "Tawuran, tahu nggak? Tawuran!"

Thom melirik ke kaca spion, menatap Parker yang duduk di belakang dengan santai. Rambutnya masih acak-acakan, dasi longgar, seolah nggak ada beban.

"Parker?" suara Thom tegas. "Kita udah janji nggak ada masalah lagi, kan?"

Parker menjawab dengan datar, "Dia nyenggol temen gue duluan, Ayah. Gue cuma ngebela."

Casie memutar bola matanya. "Selalu aja alasannya gitu."

Thom menarik napas dalam. "Nanti kita omongin sepulang sekolah. Tapi ayah gak mau denger ada laporan lagi, apalagi sampai lo diskors. Dunia udah cukup ribet, jangan bikin tambah runyam, oke?"

Parker akhirnya mengangguk pelan. "Oke, Ayah."

Mobil terus melaju di tengah pagi Jakarta yang padat, membawa sepotong cerita keluarga yang dulunya pernah melewati horor… kini berusaha menjaga damai yang telah diperjuangkan dengan darah dan luka.

Mobil berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Para siswa sudah mulai berdatangan, suasana pagi yang sibuk penuh suara sepatu, motor, dan celoteh remaja.

Casie membuka pintu lebih dulu, merapikan roknya lalu menatap Thom.

"Bye, Ayah. Hati-hati tugasnya," ucapnya, suaranya lebih lembut dibanding tadi di mobil.

Thom tersenyum dan mengangguk. "Kamu juga. Jangan terlalu galak sama Parker."

Casie hanya mendengus kecil dan melangkah pergi.

Parker masih duduk di kursi belakang, lalu keluar dan menutup pintu. Ia berdiri di samping jendela mobil, menatap Thom.

Seperti kebiasaan mereka sejak dulu, Parker mengangkat tangan dan mengulurkan telapak—tos andalan mereka berdua.

Thom menyambutnya dengan semangat. "Hup!"

Tangan mereka saling bertemu dengan suara khas, disusul dengan gestur jempol terakhir.

"Jaga adikmu," kata Thom singkat, seperti biasa.

Parker mengangguk. "Iya, Ayah. Lo juga jaga diri."

Baru beberapa langkah menjauh, temannya yang baru datang menepuk bahunya dari belakang.

"WOI!"

Parker sedikit terlonjak. "Anjir, kaget gue!"

Temannya cekikikan, lalu matanya melirik ke arah mobil Thom.

"Serius deh, bokap lo keren banget, jir! Gaya militernya... mirip karakter game!"

Parker cuma nyengir dan berjalan bareng temannya ke arah gedung sekolah.

"Yah... dia emang keren, sih. Tapi jangan suruh dia ceramah, bisa sejam lebih."

Dari dalam mobil, Thom tersenyum kecil melihat kedua anak itu masuk ke dalam lingkungan sekolah… dunia baru, tapi dengan kenangan yang terus hidup di balik senyum.

Di rumah, suasana terasa hangat. Sinar matahari masuk lewat jendela besar, menyinari lantai yang baru dipel oleh Karin. Ia mengenakan kaos longgar dan celana santai, rambut diikat seadanya, sambil bersenandung mengikuti lagu lama yang mengalun dari speaker kecil di pojokan dapur. Tangannya lincah menyapu meja, sesekali bergoyang ringan mengikuti irama.

Tiba-tiba, bel rumah berbunyi.

Karin berjalan ke depan sambil berseru, "Sebentar!"

Begitu pintu dibuka, tampaklah Tania berdiri di sana dengan kacamata hitam dan senyum lebar.

"Eh, si tante kece datang juga!" kata Karin sambil memeluk sahabat lamanya.

Tania masuk tanpa basa-basi, langsung duduk di sofa. "Gue udah gak tahan Rin… beneran deh. Gue udah lama lajang, kayaknya gue pengen nikah!"

Ia melempar tas ke samping dan selonjoran, tampak dramatis.

"Gue iri banget sama lo. Suami lo ganteng, gagah, punya dua anak pula. Hidup lo tuh kayak... sinetron happy ending."

Karin nyengir nakal, lalu menyeka keringat di pelnya. "Ya elah, lo aja yang pilih-pilih. Nih ya, gue kasih ide—sama Jigo aja! Dia tuh jomblo sejati. Duit banyak, kerja santai. Sering nyebar pesona juga."

Tania tertawa keras. "Hah! Jigo? Itu mah bukannya pacar sejuta gebetan? Bisa-bisa gue digeser sama anak baru umur dua puluh."

Mereka tertawa bersama.

Setelah tawa reda, Tania memandang ke arah foto keluarga yang terpajang di dinding.

"Gak kerasa ya... Anak-anak lo udah pada gede. Casie cakep banget, Parker juga… aduh, udah remaja semua."

Ia menghela napas pelan. "Dan kita? Ya tambah berumur. Tapi tetep kece sih, ya kan?"

Karin tertawa kecil, lalu duduk di samping Tania. "Yah, umur boleh nambah… tapi kenangan kita? Masih hidup, tiap hari. Dan lo tahu kan, lo tuh udah kayak bagian dari keluarga gue."

Tania tersenyum, matanya sedikit berair—bukan karena sedih, tapi karena hangatnya persahabatan yang masih utuh setelah segala yang mereka lewati bersama.

Tania menyandarkan punggungnya ke sofa, menatap langit-langit sejenak, lalu berkata pelan, "Kita udah lewatin banyak hal semasa muda, Rin… tapi virus zombie itu—gue rasa itu hal terburuk yang pernah ada."

Karin menoleh, ekspresinya ikut berubah lebih serius. Ia mengangguk pelan.

"Iya… itu masa paling gelap dalam hidup kita," katanya lirih. "Gue masih suka mimpi buruk kadang. Tentang Sernaru… tentang Kylie… tentang suara sirine terakhir itu."

Tania memandangi ujung meja, lalu menghela napas panjang. "Tapi lo tahu gak, kalau waktu itu gue gak ketemu kalian lagi di Kamp Manjarite… mungkin gue udah nyerah."

Karin menatap sahabatnya penuh haru. "Lo nyerah? Gak mungkin. Lo Tania, yang paling keras kepala dan paling susah dimatiin semangatnya."

Tania tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Tapi tetap aja… ketemu lo, Thom, Jigo… itu yang bikin gue inget kalau gue gak sendirian. Kita sama-sama lewatin neraka dan gak semua orang bisa bilang mereka selamat."

Karin menggenggam tangan Tania. "Dan sekarang lo di sini. Masih cantik, masih cerewet… cuma ya, masih jomblo juga."

Tania mendengus. "Ih, nyebelin lo!"

Mereka tertawa bersama, sejenak melupakan luka masa lalu, bersyukur atas hari ini.

Di kelas, suasana tenang saat guru memanggil, "Casie Eddison, silakan maju dan ceritakan pengalaman hidup yang paling berkesan."

Casie berdiri dengan santai, berjalan ke depan kelas sambil menghela napas. "Oke, pengalaman paling berkesan… Jadi gini, ibu gue dulunya itu pejuang, literally, lawan zombie bareng ayah gue. Mereka selamat dari kamp militer yang dibom, bantu nyelametin puluhan pengungsi…"

Beberapa siswa langsung tertawa, dan salah satu teman berkata, "Eh, itu mah pengalaman ortu lo, bukan lo!"

Guru menahan senyum. "Casie, tolong ceritakan pengalaman prib—"

Tapi Casie langsung menyela dengan ekspresi cuek. "Lah, tapi kan tetap pengalaman hidup… yang gue dengerin dari kecil, yang jadi cerita tidur gue waktu bayi. Lagian, hidup gue gak ada pengalaman seru… gue cuma anak biasa yang lahir setelah dunia hampir kiamat."

Seluruh kelas tertawa lagi. Guru geleng-geleng sambil tersenyum. "Ya sudah, duduk, Nona Eddison. Lain kali, cari pengalaman sendiri, ya."

Casie kembali ke bangku, tersenyum ke teman di sebelahnya. "Gue sih gak nyesel. Cerita ortu gue keren kok."

Di lapangan olahraga, Parker berdiri di depan, memimpin pemanasan dengan gaya santai namun tegas. Teman-temannya mengikuti gerakannya, sementara dia sesekali melirik ke arah barisan paling belakang. Setelah beberapa menit, pemanasan selesai, dan guru PJOK akhirnya muncul.

Parker dengan cepat berjalan ke barisan paling belakang, berdiri di samping dua sahabatnya, Rio dan Dimas. Mereka berdua terlihat sibuk membicarakan sesuatu dengan penuh perhatian.

Rio membuka pembicaraan, "Bro, kalian tahu nggak yang lagi viral di X? Udah kesebar banget di sekolah soal Lisa tuh. Gue nggak nyangka dia bisa kayak gitu."

Dimas ikut menimpali, "Iya, gue juga denger. Katanya dia ikut pemanasan tadi, terus tiba-tiba agak gugup gitu. Ada yang rekam, bro, terus langsung viral."

Parker menoleh ke arah Lisa yang tengah berdiri di barisan depan. Lisa terlihat sedikit cemas, matanya sesekali melirik ke teman-temannya, mencoba untuk tetap fokus, tapi terlihat jelas ada kegugupan di wajahnya. Dia menepuk-nepuk tangannya, berusaha menenangkan diri.

Parker mengangguk pelan, "Kayaknya semua orang di sini mulai tahu ya. Tapi jangan terlalu dibesar-besarin, itu cuma kecelakaan. Semua orang pasti pernah ngerasain hal kayak gitu."

Rio dan Dimas tertawa kecil, sambil mengangguk, mereka setuju. "Iya juga sih, nggak usah dipikirin. Lagian, kalau viral gitu malah bisa jadi popularitas."

Parker melirik ke arah Lisa sekali lagi, berharap dia bisa merasa lebih tenang, tapi tetap melanjutkan percakapan dengan teman-temannya.

Parker yang sedang duduk di barisan belakang, mendengar namanya dipanggil oleh guru olahraga. Ia langsung berdiri, merasa ada yang tidak beres. Teman-temannya, Rio dan Dimas, melihat dengan cemas.

"Parker Eddison, kemari!" teriak guru olahraga, wajahnya serius.

Parker mendekat dengan langkah pelan, masih sedikit bingung dengan apa yang terjadi. Begitu sampai di depan, guru olahraga menatapnya tajam.

"Kau ikut tawuran kemarin, kan?" tanya guru itu dengan nada yang lebih rendah, tapi cukup tegas.

Parker terdiam sejenak, mencoba mencerna pertanyaan itu. Dia merasa semua mata tertuju padanya, terutama teman-teman sekelas yang kini mulai memperhatikan.

"Ada apa, Pak?" Parker bertanya dengan sedikit gugup, meskipun berusaha tetap tenang.

Guru olahraga menghela napas. "Saya dengar dari beberapa siswa, kamu terlibat dalam tawuran kemarin. Apa benar itu?"

Parker menunduk, merasa cemas. Meskipun dia tidak terlibat langsung dalam pertarungan fisik, tapi dia tahu betul bagaimana tawuran bisa cepat menyebar di antara para siswa, dan dia tidak bisa menghindar dari perdebatan itu.

Dia melihat sekeliling, kemudian menjawab dengan nada lebih rendah. "Itu... bukan tawuran yang saya inginkan, Pak. Saya cuma coba melerai mereka, nggak lebih dari itu."

Guru olahraga mengangguk pelan, masih tidak sepenuhnya yakin. "Lain kali, coba cari cara yang lebih baik untuk menyelesaikan masalah. Kita tidak di sini untuk menyelesaikan hal seperti itu. Sekarang, saya akan bicara dengan pihak sekolah tentang ini. Untuk sementara, jangan lagi terlibat dalam masalah seperti itu."

Parker hanya mengangguk pelan, merasa lega meskipun masalah ini belum selesai. Setelah beberapa detik, guru olahraga berbalik, memberikan isyarat agar Parker kembali ke tempatnya.

"Lanjutkan pemanasan, semua," guru itu berkata tanpa menoleh.

Parker kembali ke tempat duduknya, di mana Rio dan Dimas sudah menunggunya. Mereka berdua hanya mengangguk dan memberikan tatapan simpati, seakan mengerti bahwa Parker sedang berusaha untuk keluar dari situasi yang tidak nyaman ini.

saat jam istirahat kantin sekolah.

Casie duduk santai sambil menikmati nasi goreng yang baru ia beli. Di depannya, duduk sahabat perempuannya, Sandy, yang tampak gelisah seperti ingin mengatakan sesuatu.

"Ada apa sih, San? Dari tadi gelagat lo aneh," tanya Casie sambil mengunyah.

Sandy menunduk sedikit, lalu akhirnya berkata pelan, "Gue… suka sama Parker."

Casie langsung tersedak. "Kuhkh—!"

Sandy panik. "Eh, lo gak apa-apa?! Minum, nih!"

Casie meneguk air mineral cepat-cepat, lalu menatap Sandy dengan mata melebar. "Lo bilang apa barusan?!"

Sandy menggaruk kepala, canggung. "Ya... gue suka sama Parker. Kakak lo itu... dia charming banget, populer pula."

Casie menatap sahabatnya, masih tercengang. "Gue sebagai adeknya... jujur ya, merinding denger lo ngomong kayak gitu."

Sandy tertawa malu, "Ya gimana dong... dia ganteng, karismatik, anak militer lagi. Aura-aura pelindung gitu."

Casie memutar mata. "Percayalah, lo gak lihat sisi aslinya di rumah. Dasi gak pernah rapi, kamar selalu berantakan, dan... dia bangun kesiangan tiap hari."

Sandy tertawa lagi. "Ya tapi tetap aja, Parker itu... nama dia tuh udah kayak brand di sekolah ini."

Casie hanya bisa geleng-geleng kepala sambil lanjut makan.

Di sisi lain, di belakang gedung olahraga.

Parker sedang berjalan santai menuju lapangan kecil di belakang sekolah saat mendengar suara ribut. Ia menoleh dan melihat Lisa—teman sekelasnya yang akhir-akhir ini jadi bahan gosip—dipojokkan oleh dua siswa: Rama dan Sammy. Wajah Lisa tegang, tubuhnya sedikit gemetar.

Rama dengan senyum menyebalkan menggenggam spidol dan mulai mencoret bagian belakang seragam Lisa dengan tulisan: "PELACUR".

Lisa terdiam, menggigit bibirnya agar tidak menangis, sementara Sammy hanya tertawa.

"Lo pikir bisa gaya-gayaan kayak cewek baik-baik? Semua orang udah lihat video itu," ujar Rama sinis.

Parker langsung mempercepat langkah. Matanya menajam, rahangnya mengeras. "Hapus itu. Sekarang."

Rama menoleh, mendecak. "Eh, yang viral juga datang nih. Parker si bintang sekolah."

Parker tak menggubris. "Gue gak mau ngulang dua kali. Hapus."

Sammy meneguk ludah dan menarik lengan Rama. "Udahlah, bro. Gak usah bikin ribut."

Tapi Rama menantang. "Emangnya kenapa? Lo bela cewek ini? Lo juga udah lihat kan isinya—"

BRAK!

Parker mendorong Rama ke tembok, satu tangan menahan kerah bajunya. "Lo pikir itu alasan buat lo ngebully orang, hah? Lo pikir lo siapa?"

Sammy langsung panik. "Woy, woy! Udahan! Ada guru nanti!"

Lisa masih terpaku, matanya mulai berkaca-kaca.

Parker mendekatkan wajahnya ke Rama. "Kalau lo ngulangin ini lagi, bukan tembok yang lo tempelin... tapi ruang BK dan panggilan orang tua."

Ia akhirnya melepas Rama, yang langsung mengumpat dan pergi dengan Sammy sambil membetulkan bajunya.

Parker berbalik ke Lisa, nadanya melunak. "Lo gak apa-apa?"

Lisa hanya mengangguk pelan, suaranya kecil, "Iya… makasih…"

Parker menghela napas, lalu menatap coretan di seragamnya. "Yuk. Kita ke ruang guru. Biar mereka bantu urus ini."

Lisa menatapnya dalam diam. Ada rasa aman, dan mungkin—untuk pertama kalinya sejak video viral itu—ada sedikit harapan di matanya.

Di kantin sekolah, Casie baru saja selesai menyendok makanannya saat seorang teman sekelasnya, Mella, menghampirinya dengan ekspresi penasaran.

"Casie, lo udah denger belum?" tanya Mella sambil duduk di seberangnya, nada suaranya seperti siap menyebar gosip.

Casie mengunyah cepat dan menjawab, "Denger apaan?"

"Parker! Tadi di belakang lapangan. Dia katanya nyelametin Lisa dari Rama dan Sammy!"

Casie langsung meletakkan sendoknya. "Apa?! Dia berantem lagi?"

Mella buru-buru menggeleng. "Gak, gak sampai berantem… tapi katanya Parker dorong Rama ke tembok. Terus marah banget gara-gara Rama coret-coret baju Lisa. Kayak… serius banget gitu."

Casie menatap Mella dengan ekspresi bingung. "Ya ampun… tuh anak makin drama aja. Tapi…," Casie menghela napas pelan, "…ya gue ngerti sih. Gue juga bakal marah kalau liat cewek diperlakukan kayak gitu."

Sandy yang duduk di sebelah Casie ikut nimbrung, "Tapi makin lama gue makin yakin deh, Parker tuh sebenernya sweet banget."

Casie menutup wajahnya dengan tangan, lalu menggerutu, "Oke, cukup. Gue gak siap denger sahabat gue naksir kakak gue sendiri."

Mella dan Sandy tertawa bareng, sementara Casie hanya bisa geleng-geleng, walau diam-diam ia tersenyum bangga atas apa yang dilakukan kakaknya.

Tahun 2055 – Di Markas Pusat Militer Nasional, Jakarta

Thom—sekarang berpangkat Jenderal Tertinggi Angkatan Pertahanan Nasional—berdiri tegap di balkon ruang rapat lantai atas, menatap layar besar yang menampilkan citra udara wilayah Nusa Tenggara Timur.

Wilayah itu kini tampak berbeda dari tujuh belas tahun yang lalu, saat wabah zombie menghancurkan peradaban. Kini, tanah-tanah itu tampak hijau kembali. Jejak kehancuran mulai terhapus perlahan oleh pembangunan. Jalur-jalur baru terbuka, rumah-rumah hunian dibangun kembali, dan pelabuhan Labuan Bajo yang dulu porak-poranda, sekarang dalam tahap rekonstruksi besar-besaran.

Seorang perwira muda datang membawa tablet laporan dan berkata, "Pak Jenderal, wilayah barat Manggarai sudah bisa dihuni kembali. Proyek relokasi gelombang pertama juga berjalan lancar."

Thom mengangguk pelan, matanya tetap pada peta. "Orang-orang Nusa Tenggara… mereka akhirnya bisa kembali ke rumah," gumamnya.

Ia menarik napas dalam. "Jakarta sudah mulai terlalu padat. Kita butuh penyebaran populasi. Tapi bukan cuma itu—mereka juga berhak kembali ke tanah asal mereka. Kita yang janji, kita yang pulihkan."

Perwira muda itu tersenyum. "Banyak dari mereka bangga, Pak. Mereka bilang… rumah itu layak diperjuangkan, karena dulu, salah satu pahlawan mereka—Jenderal Thom Eddison—lahir dari tanah itu."

Thom hanya tersenyum tipis. "Aku bukan pahlawan. Aku cuma… seseorang yang gak bisa membiarkan segalanya hancur sia-sia."

Ia menatap jauh, pikirannya melayang pada wajah-wajah lama—Sony, Vian, Kylie, Pak Gatra… juga teman-temannya yang masih hidup: Karin, Tania, Jigo.

Kini waktunya membangun kembali. Untuk mereka semua.

Di Sekolah – Kelas Parker

Kelas XII-F, yang dikenal sebagai "kelas buangan", sudah seperti pasar. Suara tawa, teriakan, bahkan ada yang main lempar-lemparan kertas. Beberapa siswa tertidur di bangku, sementara yang lain sibuk main game di bawah meja.

Pintu kelas terbuka. Parker masuk, kini sudah berganti pakaian rapi setelah insiden olahraga tadi. Ia menatap sekeliling, menghela napas pelan. Kursinya berada di barisan tengah dekat jendela, tapi bahkan untuk sampai ke sana, ia harus melangkahi kaki teman yang lagi selonjoran di lorong bangku.

"Woi, minggir," ucap Parker, mendorong pelan kaki temannya.

"Eh, Parker Eddison masuk!" salah satu teman berteriak. "Gimana hukuman lo, bro?"

"Cuma dikasih ceramah, terus disuruh ganti baju," jawab Parker santai. "Gue kira bakal dikirim ke ruang BP, ternyata enggak."

Salah satu temannya yang duduk di pojok menimpali, "Wajar, lo kan viral. Gak ada yang berani macem-macem ke anaknya Jenderal."

Parker duduk di bangkunya, membetulkan dasinya yang masih setengah longgar. Di balik kaca jendela, ia menatap ke luar—ke lapangan yang tadi sempat tegang karena insiden Lisa dan para pembully.

Kelas masih berisik. Seseorang di belakang malah menghidupkan musik keras-keras dari ponsel.

Parker menutup mata sejenak dan menggumam, "Tidur aja susah di kelas ini..."

Tapi di balik keluhan itu, ada sesuatu yang terpikirkan—soal Lisa, soal rasa tidak adil, soal apa yang harus ia lakukan setelah ini.

Tiba-tiba, pintu kelas terbuka dengan keras.

Seorang siswa dari kelas sebelah—bernama Rino, dikenal sering jadi kurir dadakan antar kelas—muncul dengan wajah cengengesan. Ia mengangkat segumpal kertas warna-warni yang dilipat rapi-rapi.

"Parker Eddison," serunya dengan nada teatrikal. "Ada kiriman."

Seluruh kelas hening sejenak. Lalu tawa pecah di mana-mana.

"Wah, surat cinta tuh!"

"Buset, baru viral sehari langsung banjir konfes."

"Eh, bagi-bagi dong! Biar gak jomblo mulu!"

Parker melirik Rino dengan tatapan malas, "Satu aja kayaknya udah lebay, apalagi segitu…"

Rino nyengir dan mulai menaruh surat-surat itu di meja Parker. "Gue kira cuma satu, bro. Ternyata banyak banget yang nitip di gue, sampe berat."

Tumpukan surat lipatan hati mulai menumpuk. Kertas warna pink, biru, bahkan ada yang dilapisi stiker lucu. Satu ada yang ditulis pakai spidol glitter, mencolok banget.

Parker memandangi tumpukan itu dengan napas berat, lalu menyenderkan kepalanya ke kursi. "Astaga… bisa gak sih gue hidup normal sehari aja?"

Teman-temannya makin ribut.

"Buka dong satu, kita bacain!"

"Gue taruhan isinya pasti ada yang ngajak kencan ke mall!"

"Yang ini tulisannya 'dari secret admirer' nih, awas jangan sampe ketahuan gebetannya Lisa!"

Parker menoleh tajam, "Jangan bawa-bawa nama Lisa."

Langsung suasana agak redam. Tapi hanya sebentar, sebelum satu lagi nyeletuk, "Ih, baper. Jangan-jangan beneran suka, ya?"

Parker geleng pelan, lalu ambil satu surat paling kecil. Ia buka perlahan, sementara semua teman menunggu reaksi wajahnya. Tapi ia cuma membaca datar, lalu melipatnya kembali dan menyelipkannya ke saku.

"Biasa aja," gumamnya. Tapi di dalam hati… dia merasa suasana ini makin gak karuan.

Setelah bel pulang berbunyi, suasana sekolah ramai dengan para siswa yang bersorak gembira. Casie dan Parker berjalan menuju gerbang sekolah. Di sana, Karin sudah menunggu di dalam mobil, tersenyum melihat kedua anaknya keluar.

Casie tiba-tiba berhenti dan meraba tasnya dengan alis mengernyit. Ia membuka resleting dengan penasaran dan mendapati secarik kertas beraroma parfum menyembul dari dalam.

"Apaan nih..." gumamnya.

Begitu dibuka, terlihat tulisan tangan rapi dengan gambar hati kecil di pojok.

Casie langsung memukul kepalanya pelan dengan ekspresi horor.

"Surat... konfesyaah?? Ih, jijik banget!" Ia buru-buru meremas surat itu dan memasukkannya kembali ke tas. "Gue bahkan gak mau tahu siapa yang ngirim!"

Parker ngakak, "Lo tuh keturunan orang tua paling romantis se-Indonesia, tapi benci drama cinta."

Casie mendelik ke kakaknya, "Beda! Cinta mereka berdua itu kayak... sinetron veteran. Gak bisa diulang!"

Mereka berdua masuk ke dalam mobil. Karin menoleh ke belakang, "Hari ini gimana?"

Casie cemberut, "Hari ini bikin trauma..."

Parker belum sempat komentar, karena seseorang memanggilnya dari luar.

"Bro! Parker!" teriak Rio, sahabatnya yang berambut gondrong, dari pinggir gerbang.

Parker menurunkan kaca mobil.

"Apa?"

Rio memasang wajah serius tapi penuh semangat, "Nanti malam jadi, ya bro. Lo harus dateng. Kita udah sebar kabar. Semua bakal hadir."

Parker mengangguk santai, "Santuy. Gue dateng. Jangan sampe panggungnya ambruk aja."

Rio mengacungkan jempol, lalu lari kecil ke arah gengnya.

Casie menoleh curiga, "Panggung? Apaan lagi tuh?"

Parker hanya tersenyum misterius, menatap keluar jendela.

"Rahasia anak cowok."

Karin melirik lewat spion dan mengangkat alis.

"Selama gak bikin tawuran lagi, I'm fine."

Parker tertawa kecil. Tapi dalam hatinya, dia tahu... malam ini bakal ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar acara biasa.