Malamnya Thom pulang ke rumah setelah seharian bertugas. Begitu membuka pintu, suasana rumah terasa hangat dan familiar. Di ruang keluarga, Casie tengah duduk di depan televisi, menonton anime kesukaannya. Ia terlihat tenggelam dalam ceritanya, sesekali tertawa kecil.
Thom berjalan mendekat dan menyapa, sambil mengacak rambut Casie yang terurai, "Lagi nonton apa, Cas? Kalau gak salah, ini episode yang lo tunggu-tunggu, kan?"
Casie hanya melirik sejenak, tidak terlalu peduli. "Iya, ini episode baru. Kenapa, Pa? Ada yang mau ditanya?" jawabnya sambil tetap fokus pada layar.
Thom tersenyum, "Nggak, cuma pengen tau, Parker di mana? Kenapa dia belum pulang?"
Casie menoleh, agak malas menjawab. "Dia lagi keluar sama temennya. Katanya sih bakal lama."
Thom mengangguk, tidak ingin mengganggu lebih jauh. Ia berjalan menuju dapur dan langsung terhenti sejenak, menghirup aroma masakan yang menggugah selera. "Wah, enak banget bau makanan. Apa yang lagi dimasak?" tanyanya, mendekati Karin yang sedang sibuk memotong sayuran.
Karin tersenyum tanpa menoleh. "Nasi goreng spesial, sayang. Pasti lo suka."
Thom memeluk Karin dari belakang, kedua lengannya melingkari pinggangnya dengan penuh kasih sayang. "Aroma masakan ini pasti dari tanganmu yang luar biasa. Aku beruntung banget punya istri sebaik kamu."
Karin tertawa ringan, sedikit terkejut oleh pelukan tiba-tiba, namun ia membalasnya dengan senyum hangat. "Jangan cuma puji, sini bantuin motong sayuran."
Thom mencium rambutnya yang terurai lembut, kemudian berkata, "Malam ini, setelah makan, kita duduk bareng, ngobrol santai. Anak-anak masih muda, banyak hal yang harus kita bicarakan."
Karin menatapnya, merasa tenang dengan kehadiran suaminya yang penuh perhatian. "Tentu, kita memang butuh waktu lebih banyak untuk berbicara," jawabnya, tersenyum dengan lembut.
Di luar, malam semakin larut, tapi di dalam rumah mereka, kehangatan keluarga terasa sempurna.
Malam itu, di sisi lain kota Jakarta yang mulai tenang, Parker sedang nongkrong bersama teman-temannya di sebuah tempat makan kecil di pinggir jalan. Lampu jalan menerangi wajah mereka yang penuh tawa dan candaan. Ada Rio, Dimas, dan Rafi—geng kecil Parker sejak kelas sepuluh.
Rio sedang memainkan es batu dari minumannya, lalu berkata, "Eh, bro... nanti pas gathering minggu depan, lo harus tampil kece ya. Banyak anak kelas lain bakal hadir."
Dimas menyambung, "Apalagi lo sekarang udah makin terkenal, Park. Viral di sekolah, terus bela-bela-in Lisa... keren sih."
Parker tertawa kecil sambil menyedot minumannya, "Gila, itu bukan gue yang nyari viral. Gue cuma gak suka ada yang ditindas."
Rafi menepuk bahunya, "Justru itu, bro. Lo beda. Anak-anak pada respect sama lo."
Parker menyandarkan diri di kursi plastiknya, memandang ke langit yang berawan tipis. "Kadang gue ngerasa semuanya jalan cepet banget. Baru kemarin rasanya gue SMP... sekarang gue harus mikirin masa depan."
Rio menggoda, "Masa depan apa? Masa depan sama Lisa?"
Teman-teman lainnya langsung tertawa, termasuk Parker yang langsung melempar sedotan ke arah Rio, "Eh gila, jangan mulai ya. Kita di luar, nih!"
Obrolan berlanjut dengan santai. Mereka bahas film, game, dan rencana-rencana kecil mereka setelah lulus nanti. Tapi jauh di dalam hati Parker, ada satu hal yang terus terbayang—ayahnya, Thom. Sosok pahlawan yang dihormati banyak orang, dan meski Parker sering kelihatan santai, ia diam-diam ingin jadi seperti sang ayah… atau mungkin lebih.
Malam itu, mereka menghabiskan waktu dengan tawa, tanpa tahu bahwa masa depan punya jalan cerita sendiri untuk masing-masing dari mereka.
Malam itu suasana masih santai di warung makan pinggir jalan. Lampu neon remang-remang menerangi meja Parker dan teman-temannya.
Rio sedang tertawa ketika Dimas tiba-tiba nyeletuk, "Lagian si Lisa itu… udah diunboxing, bro. Masa lo masih mau sih, Park?"
Tawa di meja langsung mereda. Parker berhenti mengaduk minumannya dan menatap Dimas, ekspresinya langsung berubah serius.
Rio mengangkat alis, "Eh, Dim… lo keterlaluan."
Parker menarik napas, lalu berkata pelan tapi tegas, "Lo pikir lo siapa buat nilai-nilai orang, Dim? Lo tahu apa soal dia? Kita semua punya masa lalu. Tapi lo ngomong kayak gitu... itu jatuhnya ngerendahin."
Dimas agak kaget, mencoba ketawa-ketawa, "Yah, gue cuma bercanda, bro..."
"Tapi bercandanya gak lucu," potong Parker.
Suasana di meja jadi canggung beberapa saat. Rafi cepat-cepat ganti topik, "Udahlah, ganti obrolan. Kita ke sini buat santai, bukan buat ribut."
Rio mengangguk, "Bener. Peace, peace."
Parker akhirnya bersandar lagi, meski raut wajahnya masih kaku. Ia menatap jalanan di luar. Suara kendaraan lalu lalang, tapi pikirannya melayang jauh.
Dalam hatinya, ia tahu—dunia ini masih kejam. Dan ia gak bakal diam kalau ada yang direndahkan, apalagi seseorang yang jelas-jelas gak salah.
Parker bersandar santai di kursinya setelah suasana mulai reda. Ia meneguk minumannya lalu menoleh ke teman-temannya.
"Oh iya, kapan gathering-nya jadi?" tanyanya santai. "Gue mau ajak cewek gue, Riska. Sama adek gue, Casie, sekalian biar kenal kalian."
Tiga temannya langsung melongo.
Rio hampir tersedak minumnya. "LO SERIUS?! Riska? Riska yang ranking satu itu?!"
Rafi ikut nimbrung, "Yang anak debat nasional itu? Yang kalo senyum aja bikin cowok lupa nama sendiri?"
Dimas masih terpaku, bengong. "Gila… lo jadian sama Riska? Itu cewek dewi akademik di sekolah bro…"
Parker cuma nyengir santai sambil memainkan sedotan, "Ya gitu deh. Biasa aja kali."
Rio tepuk jidat, "Nih orang… udah keren, populer, ternyata pacarnya Riska. Sekalian jadi tokoh utama hidup kita aja, Park."
Rafi tertawa, "Gathering bakal seru sih… tapi lo yakin mau bawa Casie? Jangan-jangan ntar semua cowok malah ngincer adek lo."
Parker melirik mereka, ekspresinya dingin, "Coba aja ada yang berani. Gue tandain."
Mereka langsung tertawa lagi, suasana jadi cair kembali. Malam pun terus berjalan dengan obrolan, candaan, dan rencana kecil yang tampak sederhana… tapi di baliknya, kehidupan mereka masing-masing mulai pelan-pelan membentuk arah yang baru.
Hari gathering pun tiba. Suasana sore itu cerah, langit biru tanpa awan. Sebuah tempat terbuka di pinggiran kota—seperti taman dengan area piknik dan panggung kecil—sudah mulai ramai oleh siswa-siswi yang datang berkelompok. Meja-meja penuh makanan ringan, musik diputar dari speaker portable, dan tawa menyebar ke mana-mana.
Parker datang lebih awal bersama Riska dan Casie. Casie memakai hoodie oversized dan celana jeans, rambutnya diikat santai. Riska tampak anggun meski sederhana—kaos putih dan rok panjang abu, membawa kue buatan sendiri.
"Eh itu Parker!" teriak Rafi sambil melambai dari kejauhan.
Mereka mendekat. Rafi dan Rio langsung heboh menyambut Riska dan menyapa Casie.
"Casie, ini pertama kali ikut gathering?" tanya Rio sambil nyengir.
"Ya… dan mungkin terakhir," sahut Casie jutek, tapi senyum tipis muncul di ujung bibirnya.
Dimas muncul terakhir, menggoda, "Riska, lo sabar banget ya pacaran sama cowok kayak Parker…"
Riska tertawa, "Banyak yang gak tau aja, dia sebenernya manis banget kalau lagi gak ngambek."
Parker nyengir dan menyikut Dimas, "Ngomong banyak lo."
Acara berlangsung seru. Mereka main games, ada sesi tukar kado lucu-lucuan, dan saat matahari mulai tenggelam, lampu-lampu taman mulai menyala, membuat suasana hangat dan syahdu.
Di sisi lain, Casie duduk di bangku taman sambil memandangi langit oranye kemerahan. Seorang cowok sekelasnya yang pemalu duduk tak jauh darinya, berusaha menyapa dengan kikuk.
Sementara itu, Parker dan Riska berjalan menjauh sebentar ke tepi danau kecil yang ada di area taman. Riska menggenggam tangan Parker.
"Thanks ya, udah ajak aku," katanya lembut.
Parker menatapnya, "Gue serius sama lo, Ris. Bukan cuma gathering, tapi semuanya."
Riska tersenyum, "Aku tahu. Dan aku juga."
Lampu-lampu di sekeliling mulai berkedip pelan. Suara tawa, musik, dan percakapan terus mengalun. Malam itu terasa damai. Seperti dunia yang pernah hancur… kini perlahan menemukan hidupnya kembali.
Casie mendengus kesal, tangannya nyentuh botol minum yang udah setengah kosong.
"Anjir, Parker sok cool banget. Gue mo muntah liatnya…" gumamnya, setengah pelan tapi penuh emosi.
Tiba-tiba—
"Serem amat mukanya, lo liat mantan zombie ya?"
Casie tersentak dan hampir lompat dari dudukannya. "YA AMPUN DIMAS!!"
Dimas duduk santai di sebelahnya dengan wajah polos, sambil nyeruput minuman dari gelas plastiknya.
"Gue kira lo udah pulang," kata Casie, masih megang dadanya yang deg-degan karena kaget.
"Lah gathering belum kelar, gue masih mau liat Parker jadi bucin. Seru," kata Dimas sambil cengengesan.
Casie menyipitkan mata. "Lo stalking abang gue?"
"Enggaklah. Cuma... seru aja ngeliat cowok yang katanya paling galak di sekolah bisa berubah jadi lelembut di depan ceweknya."
Casie nyengir. "Itu bener sih."
Mereka sama-sama tertawa kecil. Suasana di sekitar makin syahdu, lampu-lampu gantung di pepohonan menyala hangat, dan musik mellow mulai diputar.
Dimas melirik Casie sebentar. "Eh… lo besok ikut acara seni sekolah gak? Lo kan bisa gambar."
Casie mengangkat alis. "Lagi mikir. Kenapa?"
Dimas garuk belakang kepalanya, agak gugup. "Kalau lo ikut… mungkin gue juga mau daftar."
Casie melirik curiga, lalu senyum miring. "Ooooh, modus ya?"
Dimas cepat-cepat menimpali, "Bukan! Maksud gue—ah sudahlah."
Casie tertawa lagi, lebih lepas kali ini. "Santai aja, Dim. Gue belum tentu daftar sih… tapi kalau daftar, gue kasih tahu lo duluan."
Dimas tersenyum tipis. "Deal."
Rio dan Rafi datang dari arah tenda minuman sambil membawa es teh jumbo masing-masing.
"Bro, itu cewek lo manis banget, sumpah," kata Rio, nunjuk ke arah Parker dan Riska yang lagi ngobrol di dekat meja snack.
"Beneran, Parker," timpal Rafi. "Lo menang banyak sih. Paling pinter, paling cantik, paling dingin… kayak es batu."
Parker cuma ngangkat bahu santai. "Gue nggak nyari trofi. Nyambung aja udah cukup."
Rio dan Rafi tertawa. "Sok bijak banget lo, Bro."
Saat itu, dari arah belakang kerumunan, Lisa muncul. Wajahnya canggung, tapi senyumnya tetap ditahan agar terlihat biasa. Ia melihat ke arah Parker sebentar, lalu buru-buru mengalihkan pandangan.
Casie, yang duduk tidak jauh dari sana, melihat kemunculan Lisa dan langsung merasa hawa aneh.
Tiba-tiba Sandy datang menghampirinya, membawa dua es krim.
"Untuk lo," katanya sambil nyodorin satu.
Casie menerimanya dengan bingung. "Lho, kenapa baik banget?"
"Karena gue butuh lo tenang," bisik Sandy pelan, matanya melirik ke arah Lisa yang kini berdiri sendirian tak jauh dari kerumunan.
Casie menyipitkan mata. "Jangan bilang lo mau—"
Sandy buru-buru potong, "Enggak, bukan gue. Tapi liat deh... kayaknya Lisa masih nyimpan rasa sama abang lo."
Casie mendengus. "Yaelah, udah telat, Say. Abang gue udah 'diikat' Riska. Lagian Lisa juga gak punya hak muncul-muncul gitu aja."
Sandy duduk di sampingnya, membuka es krim dan menjilat pelan. "Yah, cinta tuh emang gak pake izin."
Casie tertawa kecil, lalu memandangi keramaian di sekitarnya. Gathering ini jadi lebih seru dari yang dia bayangkan. Tapi... entah kenapa, ada firasat kecil di dadanya. Sesuatu akan terjadi malam ini—entah baik, atau justru memicu drama.
Casie menoleh ke samping, memperhatikan Sandy yang tiba-tiba diam, tak lagi mengunyah es krimnya. Tatapan Sandy mengarah lurus—tepat ke Parker dan Riska yang sedang tertawa bersama di dekat meja hidangan.
Casie mengerutkan alis. "Eh... kenapa lo?" tanyanya pelan.
Sandy menghela napas panjang, mencoba tetap tersenyum tapi gagal. "Enggak apa-apa... gue cuma... ya, tiba-tiba ngerasa aneh aja."
Casie memiringkan kepala. "Aneh gimana?"
Sandy akhirnya menoleh, menatap Casie dengan mata sedikit berkaca. "Gue kira gue cuma kagum sama abang lo, Cas... tapi ternyata... mungkin lebih dari itu."
Casie langsung melotot. "Hah?! Lo naksir abang gue??"
Sandy buru-buru menutup mulut Casie. "Ssssst! Jangan keras-keras! Gila lo!"
Casie menyingkirkan tangan Sandy sambil tetap kaget. "Lo beneran? Tapi tadi lo bilang suka, sekarang lo cemburu liat dia ama Riska? Wah, wah... ini gosip baru!"
Sandy menghela napas, matanya kembali ke arah Parker. "Dia beda, Cas. Gak kayak cowok-cowok lain. Dan dia... dia gak pernah nyinyir, gak kasar. Selalu ada aura tenang."
Casie menatap sahabatnya itu dengan wajah bingung campur geli. "Lo jatuh cinta... sama abang gue. Gue gak tau harus jijik atau khawatir sekarang."
Sandy menunduk, ketawa getir. "Gue juga gak nyangka, sumpah."
Casie menepuk pelan bahu Sandy. "Tenang aja, San. Kalau Riska nyebelin... gue bisa bantu lo cari celah."
Sandy menoleh, tertawa kecil. "Jangan jahat, dong."
Casie tersenyum nakal. "Gue cuma adik yang peduli."
Sementara itu, di kejauhan, Parker dan Riska sedang tertawa, sama sekali tidak sadar bahwa drama kecil sudah mulai bergulir tak jauh dari mereka...
Pagi itu, suara alarm menggema di kamar Parker. Casie berdiri di depan pintu kamar, menatap jam tangan dengan kesal. "Parker! Bangun!" serunya sambil menendang sedikit pintu kamar adiknya.
Tidak ada reaksi.
Casie mendekat dan menendang kasur adiknya lebih keras. "Parker!! Ayo bangun!"
Parker hanya berguling di tempat tidur, menarik selimut hingga menutupi wajahnya.
"Parker!!" Casie berteriak lagi. "Gue udah bilang tadi! Kita telat!"
Parker cuma menggerutu, masih setengah tidur. "Gue nggak peduli..."
Casie menghela napas panjang, menatap jam di pergelangan tangannya dan kemudian menatap Parker lagi, yang hampir tenggelam dalam selimut. "Semalam lo putus sama Riska kan?" tanyanya dengan nada yang sedikit menantang.
Parker langsung membuka matanya lebar-lebar, dan dengan cepat duduk, kaget. "Dari mana lo tahu?"
Casie melipat tangannya, terlihat seperti sedang menikmati momen. "Gue denger semalam. Kasihan deh, singkat banget hubungan kalian." Casie mendekat sedikit, mencibir. "Dia mau pindah ke Bali kan? Apa susahnya sih LDR-an? Gue tebak nih, kayaknya dia ngincar bule deh."
Parker langsung terbangun, duduk tegak, dan menatap Casie dengan tatapan bingung. "Lo nggak lihat gue spek bule kayak gini hah?" jawab Parker dengan nada sedikit sarkastik, seolah mencoba menanggapi dengan cara bercanda.
Casie mengangkat bahu dan menyeringai. "Mungkin karena beda agama. Lo Katolik, dia Hindu kan?"
Parker menatap Casie sejenak, lalu menyandarkan punggungnya ke tembok. "Enggak ada hubungannya itu, Ces. Lagian, ortunya juga yang nggak setuju. Mereka minta dia nggak pacaran dulu, makanya dipindah ke Bali, jauh dari gue. Ya udah, selesai."
Casie memiringkan kepala, mencerna penjelasan Parker. "Hmm, jadi intinya lo nggak ada niat buat pertahanin?"
Parker mendesah, melihat ke luar jendela. "Gue nggak pernah mikir buat LDR. Kita udah beda, dan hubungan ini... ya nggak bisa dipaksain."
Casie melihat wajah kakaknya yang tiba-tiba lebih serius. "Oke, oke, gue ngerti sekarang." Casie tersenyum sedikit, lalu berjalan keluar dari kamar. "Tapi lo harus buru-buru, gue nggak mau telat gara-gara lo, ya!"
Parker hanya mengangguk, lalu bergegas untuk bersiap-siap.
Pagi itu, di meja makan yang hangat dengan aroma telur orak-arik dan roti panggang, keluarga Eddison duduk lengkap. Casie sedang memainkan sendoknya sambil menguap, Parker masih terlihat lesu, dan Karin sibuk menuangkan teh ke cangkir Thom.
Thom membuka suara sambil melirik kedua anaknya. "Kemarin di markas, kami rapat besar... pusat sudah putuskan. Labuan Bajo bakal dibuka lagi untuk permukiman penuh. Infrastruktur mulai dibangun lagi, sekolah, rumah sakit, semuanya."
Casie mengangkat kepala. "Serius, Dad?"
Parker berhenti mengunyah. "Tunggu... jadi kita bakal balik ke sana?"
Thom mengangguk pelan. "Iya. Bukan sekarang, tapi sebentar lagi. Aku ditugaskan untuk bantu pengawasan pembangunan. Dan kalau semua sesuai rencana... kita akan pindah."
Karin menatap Thom, sedikit kaget, tapi juga penuh pengertian. "Berarti… kita bakal kembali ke tempat semuanya dimulai?"
Thom tersenyum, tatapannya jauh, seperti kembali ke tahun-tahun penuh perjuangan. "Tempat di mana hidup kita berubah. Tapi kali ini... kita kembali bukan untuk bertahan. Tapi untuk membangun."
Casie dan Parker saling pandang, ekspresi mereka campur aduk antara penasaran, ragu, dan juga rasa penasaran akan kampung halaman yang dulu hanya mereka dengar dari cerita.
Casie bertanya pelan, "Tapi... aman kan, Dad?"
Thom memandang mereka semua dengan tenang. "Kali ini, kita pastikan aman. Kalian nggak perlu takut. Ini bukan tentang masa lalu. Ini soal masa depan kita."
Tiba-tiba, ponsel Thom yang tergeletak di atas meja berdering dengan nada khusus—nada yang hanya dia pasang untuk panggilan dari markas pusat. Semua orang di meja langsung terdiam. Thom meraihnya, melihat sekilas layar, lalu menerima panggilan itu.
"Ya, Jenderal Thom di sini."
Hanya beberapa detik Thom mendengarkan, wajahnya berubah serius. "...Kapan terdeteksinya? Sudah ada tindakan? Baik, saya segera merapat."
Ia menutup telepon, tak bicara sejenak. Lalu dengan cepat ia mengambil remote dan menyalakan televisi di dinding ruang makan.
Layar menampilkan siaran berita langsung.
"Breaking News — Pemerintah Pusat mengonfirmasi adanya indikasi penyebaran virus baru di beberapa titik wilayah Jakarta. Belum dapat dipastikan apakah virus ini berkaitan dengan wabah yang terjadi dua dekade lalu, namun warga diminta untuk tetap tenang dan mengikuti arahan militer setempat..."
Karin berdiri kaku, Casie membekap mulutnya, dan Parker langsung menatap ayahnya.
Thom menggenggam remote kuat-kuat. Wajahnya dingin tapi tegas. "Ini bukan kebetulan."
Casie berbisik, "Apa ini... kayak dulu lagi?"
Thom mematikan televisi. Ketegangan di ruang makan masih terasa. Casie dan Parker saling bertatapan, bingung dan khawatir.
Thom menghela napas dalam-dalam, lalu memaksakan senyum tipis. "Ayo, ayah antar kalian ke sekolah. Semua akan terkendali."
Namun, sesaat kemudian ia menatap Karin dan berkata dengan nada lembut, "Sayang… bisakah kau yang antar mereka ke sekolah? Aku harus segera ke markas. Mereka butuh aku sekarang."
Karin mengangguk pelan, memahami keseriusan situasi. "Tentu. Hati-hati ya…"
Thom menatap anak-anaknya. "Kalian dengerin mama kalian. Jangan kemana-mana sepulang sekolah, oke? Aku akan kirim kabar secepatnya."
Casie dan Parker mengangguk meski raut mereka masih diliputi cemas. Thom meraih tas taktisnya, lalu keluar rumah dengan langkah pasti, siap menghadapi ancaman yang mungkin akan membuka kembali luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.
Di sekolah, suasana sudah tak seperti biasanya.
Parker baru saja duduk di kursinya saat suara bisik-bisik dan desas-desus terdengar dari segala arah. Satu sekolah heboh.
"Eh, lo udah denger belum?"
"Virus katanya muncul lagi…"
"Di Jakarta loh… ini serius gak sih?"
Rio yang duduk di sebelah Parker melirik sambil menyikut pelan.
"Bro… lo liat berita pagi tadi?"
Parker mendesah pelan. "Iya, gue liat. Di rumah juga udah tegang banget."
Rio mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat. "Lo pikir... ini bakal kayak dulu lagi? Zombie dan semacamnya?"
Parker menatap lurus ke papan tulis di depan mereka, matanya kosong sejenak. "Gue gak tahu. Tapi ayah gue udah dipanggil ke markas pagi ini…"
Rio membisu. Untuk pertama kalinya, gurauan dan celetukan khasnya tak keluar sama sekali. Ketegangan mulai merayap pelan ke tiap sudut ruangan. Para siswa masih mencoba bercanda, tapi nada tawa mereka terasa dipaksakan.
Dan di tengah semuanya, Parker duduk diam, menyadari bahwa hidup tenang yang mereka kenal… mungkin akan segera berubah. Lagi.
Di kelas Xl C, suasana semakin ricuh. Beberapa teman sekelas Casie berbicara dengan keras, membahas berita virus yang tiba-tiba kembali muncul. Semua orang tampaknya panik, berbicara dengan nada tinggi, berusaha memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Casie yang merasa terganggu dengan ributnya kelas, membuka matanya dan menatap ke sekeliling. Ia sudah cukup kesal dengan semua yang sedang terjadi, dan suara bising itu membuatnya semakin tidak bisa fokus.
Dia menghela napas, lalu tiba-tiba berdiri dan membentak, "Oi, bisa diam nggak kalian?!"
Semua teman-temannya terkejut dan langsung diam seketika. Casie, yang biasanya pendiam, sekarang tampak sedikit lebih tegas.
"Cara supaya nggak tegang itu cukup diam. Bukan hanya kalian yang kaget soal berita ini, gue juga. Tolong jangan bikin gue tambah muak," tambahnya, suaranya masih sedikit kesal.
Teman-temannya hanya diam, tak berani berkata apa-apa. Beberapa dari mereka merasa malu karena Casie jarang bicara keras seperti itu. Sementara itu, Casie kembali duduk dan memejamkan matanya, berusaha menenangkan diri di tengah kebingungan yang melanda.
Ada yang berbisik pelan, "Gue rasa dia cuma pengen diem aja, udah cukup semua ini..."
Dengan suasana kelas yang akhirnya lebih tenang, Casie hanya bisa berharap semuanya akan baik-baik saja. Tapi entah kenapa, rasa khawatir masih menggantung di benaknya.
Di sebelah Casie, Sandy dengan hati-hati berkata, "Galak amat, Buk."
Casie menoleh dan melirik Sandy dengan tatapan setengah kesal, namun ada sedikit senyum di bibirnya. "Udah, jangan ikut-ikutan. Kalian tahu kan gue bukan tipe yang bisa diem aja. Kalau udah muak, ya teriak aja."
Sandy cuma mengangguk, menahan tawa, dan kembali fokus ke depan. "Tapi serius, Cas. Lo kayak bukan lo yang biasa. Ada apa sih?"
Casie menghela napas, "Gue cuma nggak suka liat orang ribut nggak jelas. Lagian, siapa yang nggak stress mikirin apa yang bakal terjadi setelah ini?"
Di sisi lain, Thom sedang duduk di ruang kerjanya, tatapannya kosong saat ia memandangi peta dan laporan yang tersebar di mejanya. Suara telepon berdering, memecah keheningan yang sempat menguasai ruangan. Thom mengangkat telepon itu, suaranya serius.
"Thom, keadaan di Jakarta semakin parah," suara atasan di ujung telepon terdengar tegas dan penuh kekhawatiran. "Kita harus segera membuat keputusan tentang Labuan Bajo dan pengungsi yang masih ada di sana."
Thom menghela napas panjang, menatap layar peta dengan rasa tanggung jawab yang semakin berat. "Apa rencana kita selanjutnya? Apakah ada bantuan dari luar?"
Atasan itu terdiam sejenak. "Sedang dalam proses. Tapi saat ini kita butuh keputusan cepat. Kami membutuhkanmu di lapangan, untuk memimpin operasi di sana. Jangan tunda, Thom. Waktunya tidak banyak."
Thom menatap foto keluarga yang ada di meja kerjanya—Karin, Casie, dan Parker—dengan rasa campur aduk di dalam dada. "Baik, saya akan siap dalam satu jam. Kita akan atur semuanya dari sana."
Dia menutup telepon dengan tangan yang sedikit gemetar, lalu berdiri. Ditariknya jas militer dari gantungan, mengenakannya dengan penuh tekad. Ini adalah tugas besar, dan meskipun hatinya berat, dia tahu tak ada pilihan lain.
Di rumah, Karin sedang duduk di ruang tamu ketika Tania datang. Tania tampak cemas, wajahnya sedikit pucat.
"Karin, aku dengar kabar dari Jigo," kata Tania dengan suara pelan. "Kita harus mulai bersiap-siap, Labuan Bajo... sepertinya kita harus pergi ke sana."
Karin mengerutkan kening, sedikit bingung. "Apa maksudmu? Labuan Bajo? Tapi masih banyak yang belum jelas, kan?"
Tania mengangguk, menatapnya dengan serius. "Iya, memang. Tapi Jigo bilang kita nggak bisa cuma diam aja. Wabah itu makin parah, dan sepertinya Jakarta nggak lagi aman. Kalau kita nggak pindah, siapa tahu apa yang bakal terjadi."
Saat itu, Jigo masuk ke dalam rumah, wajahnya tampak serius. "Karin, Tania benar. Kita nggak bisa santai lagi. Walaupun ini baru rencana, kita harus siap. Jangan sampai terlambat."
Karin hanya bisa mengangguk, merasa berat dengan kenyataan yang datang begitu cepat. "Aku harus bicara dengan Thom. Ini keputusan besar."
Sementara itu, di luar sekolah, Parker duduk santai dengan teman-temannya, merokok. Udara sore terasa lebih sejuk, tetapi hatinya tetap gelisah. Meskipun ada banyak hal yang mengganjal dalam pikirannya, kali ini dia mencoba untuk tidak terlalu memikirkan semuanya.
Rio, temannya yang selalu tampak ceria, mendekat dengan langkah santai, tersenyum lebar. "Bro, lo ngapain di sini sendirian? Semua orang lagi pada heboh di kelas."
Parker menghisap rokoknya, matanya melirik ke arah teman-temannya yang ramai di dalam sekolah. "Gue butuh waktu buat sendiri dulu," jawabnya, sedikit enggan melibatkan diri dalam keramaian.
Rio tertawa pelan. "Wah, lo kayak orang yang lagi banyak pikiran. Udah, santai aja, bro. Hidup kan nggak selalu harus serius."
Parker hanya mengangguk, walaupun perasaan gelisahnya masih belum bisa hilang sepenuhnya. "Iya, mungkin lo bener. Cuma kadang gue ngerasa semuanya makin nggak jelas, gitu."
Rio duduk di samping Parker dan menepuk bahunya. "Ya udahlah, bro. Kadang kita cuma butuh buat ngerem sebentar. Lo santai aja, kita semua di sini."
Parker tersenyum kecil, merasa sedikit lebih tenang. "Lo selalu tahu cara bikin gue nggak mikirin yang aneh-aneh, ya."
Mereka berdua terdiam sejenak, hanya menikmati waktu santai mereka di luar sekolah, tanpa perlu membahas apapun yang terlalu berat.