Saat mereka sedang bersantai, tiba-tiba pandangan Parker tertuju pada seorang murid yang sedang berolahraga di lapangan. Murid itu terlihat bergerak aneh, hampir seperti tak mengerti arah. Awalnya, Parker mengira itu hanya kelakuan konyol, tapi begitu dia melihat lebih dekat, sesuatu terasa tidak beres. Murid itu mendekati teman sekelasnya yang sedang beristirahat di pinggir lapangan, dan dalam sekejap, ia menggigit tangan temannya.
Parker langsung merasakan perasaan gelisah yang sangat mendalam, instingnya berkata bahwa ini bukan kejadian biasa. Wajahnya berubah tegang saat melihat darah mengalir dari tubuh temannya yang digigit. "Ayo, lari ke atas!" seru Parker dengan suara keras, menarik Rio untuk bergerak cepat.
Rio terkejut dan bingung, tetapi tanpa bertanya lebih lanjut, ia mengikuti perintah Parker, berlari cepat menuju ruang kelas di lantai atas. "Parker, ada apa? Apa yang lo lihat?" tanya Rio, masih mencoba mencerna apa yang baru saja mereka saksikan.
"Jangan tanya sekarang!" jawab Parker, napasnya terengah-engah. "Itu... itu bukan orang biasa lagi. Gue rasa kita harus segera keluar dari sini."
Parker menarik Rio lebih cepat, berusaha mencari tempat aman, sementara di belakang mereka, keributan mulai terjadi di lapangan olahraga. Suara teriakan dan kebingungan mulai terdengar, dan mereka bisa melihat lebih banyak siswa yang mulai panik dan berlari menghindari murid yang sudah berubah.
Parker merasakan ketegangan meningkat—ini bukan lagi masalah biasa. Apa yang terjadi sekarang akan mengubah semuanya.
Parker dan Rio akhirnya sampai di kelas mereka, dan dengan cepat, Parker menutup pintu kelas dengan suara keras. Suasana di dalam kelas langsung berubah, semua mata tertuju pada mereka, bingung dan penasaran. Parker, yang tampak kelelahan, masih memegang rokok di tangannya, meski tak benar-benar berniat untuk merokok lagi. Ia melirik rokok itu sejenak, lalu melemparkannya ke sampah di sudut kelas.
Dia berdiri di depan kelas, menatap semua temannya dengan serius. "Kalian... coba lihat lewat jendela," katanya dengan nada tegas, matanya tak lepas dari kerumunan teman-temannya. "Ada yang mulai gigit."
Beberapa teman di kelas saling berpandangan, merasa cemas, tapi tidak sepenuhnya mengerti apa yang Parker maksud. Mereka berdiri dan berjalan ke jendela, perlahan menarik tirai dan memandang ke luar. Dari jendela, mereka bisa melihat beberapa siswa yang mulai menyerang siswa lain dengan cara yang tak wajar—gigitannya keras, hampir seperti sesuatu yang terkontaminasi. Beberapa siswa sudah berlarian, berteriak ketakutan, dan ada yang tampak mencoba melawan.
"Shit," gumam Rio, matanya terbuka lebar dengan kaget. "Gue nggak percaya ini."
Parker menghela napas berat. "Kalian lihat itu? Ini bukan main-main lagi. Itu... infeksi yang kita denger di berita. Virusnya mulai nyebar."
Kelas menjadi hening, semua orang terdiam dan hanya memandang pemandangan menakutkan di luar jendela. Mereka tahu, saat ini, situasi sudah jauh di luar kendali. Parker menatap ke arah temannya, suaranya sekarang lebih serius, bahkan agak penuh penyesalan. "Kita harus keluar dari sini, cepat."
Dia lalu berbalik, membuka pintu kelas sedikit, memastikan tidak ada yang datang. "Siap-siap, siapa yang punya mobil atau cara keluar? Kita harus segera keluar dari sekolah."
Di sisi lain, suasana di kelas Casie berubah total. Teriakan dari luar mulai terdengar jelas—jeritan panik, suara kaca pecah, dan langkah kaki yang berlarian. Beberapa siswa mulai berdiri, panik dan bingung.
Casie yang tadi sedang mengobrol dengan Sandy, langsung menoleh ke jendela. Matanya membelalak melihat seorang siswa berdarah menyerang guru olahraga yang tadi sedang memimpin pemanasan. "Apa-apaan itu...?" bisiknya dengan suara gemetar.
Pintu kelas tiba-tiba terbuka dengan keras. Seorang pemuda masuk cepat-cepat lalu menutupnya dengan kuat dari dalam. Ia mengganjal pintu dengan bangku dan menoleh ke semua yang ada di kelas.
Casie terpaku. Itu Eren—siswa misterius yang akhir-akhir ini sering dia lirik diam-diam. Tatapan tajamnya dan sikap dinginnya selalu membuat Casie penasaran. Tapi kali ini, wajah Eren terlihat tegang, serius.
"Semua telah dimulai," kata Eren pelan namun tegas, suaranya bergema dalam ruang kelas yang mendadak sunyi. "Kalian harus tetap tenang dan jangan buka pintu ini, apapun yang terjadi."
Casie bangkit dari duduknya. "Eren, maksud kamu apa? Apa yang terjadi di luar?"
Eren menatap Casie sejenak, lalu menoleh ke semua siswa. "Virus yang kalian lihat di berita... itu bukan hoax. Ini nyata. Dan sekarang, sudah masuk ke sekolah kita."
Seseorang dari pojok kelas mulai menangis. Sandy menatap Casie dengan ketakutan. Casie menggenggam tangan temannya, mencoba tetap kuat meski jantungnya berdegup kencang.
Eren berjalan ke jendela, mengintip keluar. "Kalau kita nggak tenang dan kerja sama, kita nggak akan keluar hidup-hidup dari sini."
Casie menelan ludah. "Jadi... apa rencanamu?"
Eren menatapnya langsung. "Kita kumpulkan semua barang yang bisa dipakai untuk bertahan. Kursi, meja, apa pun. Tutup semua jendela. Dan tunggu waktu yang tepat untuk kabur."
Casie, yang biasanya cerewet dan keras, kini hanya bisa mengangguk pelan. Dalam hatinya, ia tahu—hari ini bukan hari biasa. Ini adalah awal dari kekacauan yang sesungguhnya.
Di dalam kelas Parker, suasana makin tegang. Beberapa siswa mulai panik, namun Parker tetap berdiri di depan pintu, mencoba mengendalikan situasi.
"Kita tahan pintunya!" serunya. "Pakai meja, kursi, apa aja yang bisa nutup akses masuk!"
Rio langsung mengangguk dan membantu menggeser meja panjang ke depan pintu. Beberapa siswa cowok lain mulai bergerak, mengikuti instruksi Parker. Mereka menumpuk kursi, lemari kecil, dan rak buku ke arah pintu sambil terus menoleh ke luar jendela, memastikan tidak ada yang menyerang dari arah lain.
"Sam, lo jaga jendela sebelah kanan!" Parker menunjuk. "Lo, Rian, kunci semua ventilasi! Kita nggak tahu mereka bisa masuk dari mana."
Salah satu siswi, wajahnya pucat, bertanya dengan suara bergetar, "Parker... itu beneran zombie ya?"
Parker menatap matanya sebentar, lalu mengangguk. "Iya. Sama kayak cerita-cerita lama. Tapi ini nyata. Dan kita harus tetap tenang."
Rio, sambil mengatur barikade, berseloroh dengan suara rendah, "Gila... lo kayak film action, Park. Tapi serius... gue nggak siap kalau harus bacok-bacokan begini."
Parker tersenyum tipis. "Gue juga nggak, Bro. Tapi kalau kita diem aja, kita bakal mati."
Kelas itu kini berubah menjadi benteng darurat. Anak-anak yang tadinya ribut dan santai, sekarang bekerja sama dalam diam. Parker berdiri di depan, matanya tajam menatap ke luar, menanti langkah selanjutnya.
Dan di dalam hatinya, satu hal jelas: dia harus melindungi semuanya.
Setelah barikade selesai dipasang, Parker berdiri di tengah kelas, mencoba tetap tenang meskipun napasnya sedikit berat.
"Teman-teman, siapa yang bawa HP sekarang?" katanya keras tapi tenang. "Gue butuh nelpon nyokap gue."
Seorang siswi di belakang, Nia, mengangkat tangan dengan ragu. "Aku... tapi sinyalnya jelek banget, Park."
"Gapapa, gue coba aja dulu," kata Parker cepat, berjalan ke arah Nia dan mengambil ponsel dari tangannya. Jemarinya gemetar saat menekan nomor ibunya.
Parker menempelkan ponsel ke telinga, menunggu nada sambung dengan jantung yang berdebar. Beberapa detik kemudian, suara ibunya—Karin—terdengar panik di ujung sana.
"Parker! Kalian masih di sekolah, kan? Dengar, jangan keluar dari ruangan. Tetap di dalam dan cari tempat aman. Ayahmu sedang menuju ke sana!"
Parker buru-buru menjawab, suaranya sedikit gemetar, "Iya, Bu... gue di kelas. Kita udah ngunci pintu dan bikin barikade. Tapi di luar—udah mulai... satu anak digigit."
Ada jeda sejenak, lalu suara Karin terdengar makin cemas, "Tuhan... Parker, bagaimana dengan Casie? Kamu lihat adikmu?!"
Parker menghela napas, menatap ke luar jendela. "Belum, Bu. Dia di kelas lain. Tapi dia pasti bisa jaga diri, kan? Dia Casie."
Karin menahan suaranya yang mulai bergetar. "Kalau bisa, cari dia... tapi jangan ambil risiko. Parker, janji sama Mama, kamu lindungi dirimu dulu."
"Iya, Bu... gue ngerti. Gue bakal pastiin semuanya aman. Tunggu kabar dari gue lagi."
"Parker... hati-hati. Mama sayang kalian."
Sambungan terputus. Parker memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam-dalam, lalu mengembalikan ponsel itu ke Nia.
Dia berdiri tegak di depan teman-temannya, lalu berkata tegas, "Kita bertahan di sini. Gue bakal cari cara buat hubungin Casie kalau ada sinyal. Sekarang, gak ada yang keluar dari ruangan ini. Ngerti?"
Semua mengangguk, lebih tenang mendengar ketegasan Parker.
Sementara di luar, suara jeritan dan langkah kaki makin terdengar menggema di lorong sekolah.
Diruang guru Suara teriakan dan dentuman dari lapangan membuat suasana di ruang guru mendadak tegang. Beberapa guru berdiri dari kursi mereka, sementara Pak Hendra, guru olahraga, masuk dengan napas memburu dan wajah panik.
Pak Hendra:
"Semua! Kunci pintu! Ada siswa yang menyerang temannya saat olahraga! Gigit, beneran gigit!"
Bu Yuni, wali kelas XI C, berdiri kaget.
"Apa maksudmu? Gigit? Kamu serius, Hendra?"
Tiba-tiba seorang siswa terhuyung masuk ke ruang guru, seragamnya berlumur darah. Mulutnya terbuka lebar, matanya kosong, dan dia langsung menerjang ke arah Pak Bambang, guru sejarah, yang tak sempat menghindar.
Teriakan membahana.
Guru-guru panik—ada yang lari, ada yang terdiam membeku. Bu Yuni menarik pintu dan berusaha menutupnya sambil berteriak,
"Cepat dorong meja! Kursi! Apapun!"
Pak Hendra dan dua guru lain mendorong meja untuk menutup akses. Suasana berubah menjadi kacau balau.
Bu Yuni berkata setengah berteriak:
"Siswa-siswaku masih di kelas! Anak-anak XI C! Casie! Sandy! Mereka masih di dalam!"
Pak Hendra, tegas: "Tenang. Kita cari jalan keluar. Tapi pertama-tama, kita harus tetap hidup."
Di luar, suara langkah kaki dan jeritan terdengar makin banyak. Beberapa kaca jendela pecah. Bayangan-bayangan mulai menempel di sisi luar pintu dan jendela.
Ruang guru bukan lagi tempat aman.
Disisi lain — Markas Militer Pusat, Jakarta
Suasana ruang rapat darurat dipenuhi ketegangan. Thom, kini berpangkat tinggi di militer, berdiri berhadapan dengan Komandan Surya, yang berkeras menegakkan protokol evakuasi.
Komandan Surya:
"Kita harus fokus pada rute evakuasi utama dan prioritas penyelamatan pejabat sipil, Thom!"
Thom, menahan amarah:
"Kita harus utamakan semua warga, Komandan! Termasuk sekolah-sekolah! Anak-anak kita! Kita nggak bisa biarkan mereka jadi tumbal karena prosedur birokrasi!"
Komandan Surya:
"Kau harus yakin anak-anakmu akan selamat. Fokus, Thom! Kalau kita gagal menahan penyebaran ini, bukan cuma mereka, kita semua habis!"
Thom mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Ia tahu dia harus membuat keputusan cepat—sebagai prajurit... dan sebagai ayah.
Kembali ke sekolah — Kelas XI C
Di tengah ruangan yang kini agak tenang, Casie duduk termenung di sudut kelas. Suara gaduh dari luar masih terdengar, tapi untuk sesaat, hanya suara napas dan ketegangan yang terasa di dalam kelas.
Eren, duduk sendiri di barisan belakang, menatap keluar jendela dengan wajah datar. Salah satu siswa mendekatinya pelan dan berkata,
"Eren, bukannya lo dari kelas XII F? Kok bisa lo ada di sini?"
Eren menoleh perlahan, nadanya tenang tapi tegas.
"Gue lagi di lantai bawah pas kekacauan mulai. Gue lari ke atas, dan kelas lo yang paling dekat."
Mata Casie melirik ke arah mereka, lalu kembali tertunduk. Dalam hati, ia bertanya-tanya—apa semua ini akan berakhir? Dan... kenapa perasaannya malah makin nggak karuan saat melihat Eren ada di sana?
Siswa yang tadi bicara kembali menyahut,
"XII F itu sekelas sama Parker, kan? Kakaknya Casie tuh..."
Eren mengangguk pelan.
"Iya. Dan kalau lo semua pengen selamat, kita harus kerja sama. Bukan cuma tunggu di sini."
Casie perlahan menatap Eren. Mungkin, di tengah kekacauan ini, dia bukan cuma sekadar anak kelas atas yang pendiam... tapi seseorang yang bisa diandalkan.
Sementara itu — Kelas XII F
Parker berdiri tegak di depan kelas, matanya mengawasi seisi ruangan dengan serius. Suara dari luar kelas sudah makin liar—jeritan, benda pecah, dan suara langkah kaki tak beraturan menggema di lorong-lorong.
Parker melangkah ke depan
"Periksa semua loker! Cari tas, senjata apa pun yang bisa dipakai, dan... ganti baju olahraga. Yang pakai rok ketat, kalian bakal susah gerak kalau harus lari!"
Beberapa murid perempuan mulai gelagapan, buru-buru mencari celana training dan kaos di loker olahraga mereka. Salah satu dari mereka, Lexa, tampak gugup, mencoba membuka loker dengan tangan gemetaran.
Parker menunjuk ke jendela
"Lexa, lo duluan nanti. Lo paling kecil, bisa ngetes jalurnya. Tapi gue bakal turunin lo pelan-pelan. Jangan panik."
Parker lalu menoleh ke kain tirai panjang yang menggantung di samping jendela. Dengan cepat, ia menariknya, merobek bagian bawahnya, dan mulai menyambungnya menjadi semacam tali darurat.
Rio menatapnya dengan takjub
"Gila... ini kayak film, Bro."
Parker menanggapi tanpa senyum
"Ini bukan film, ini hidup kita. Dan kita harus keluar dari sini kalau nggak mau jadi korban."
Begitu tali darurat selesai diikat ke tiang jendela, Rio mengambil posisi dan mulai turun lebih dulu.
Rio berseru sambil meletakkan tangan di kain
"Oke, gue duluan. Doain nggak jatoh!"
Dengan cermat, Rio meluncur ke bawah menuju halaman sekolah. Selanjutnya, giliran Ketua Kelas, lalu Rafi, dan Dimas. Mereka turun satu per satu, dibantu Parker yang memastikan semuanya aman.
Parker dalam hati
"Harus tenang. Harus fokus. Kalau gue panik, semua bisa hancur."
Akhirnya, setelah semua teman-temannya berhasil turun, Parker menarik napas dalam-dalam, melirik sekali lagi ke dalam kelas.
"Semua siap? Gue nyusul terakhir."
Dia menuruni tali buatan itu dengan penuh konsentrasi, jantungnya berdebar keras. Di bawah, Rio dan yang lain menunggu dengan mata siaga.
Begitu kakinya menyentuh tanah, mereka langsung menyelinap menuju sisi bangunan, menjauhi pusat kekacauan