War Of The Dead 2

Sedangkan di kelas Casie —

Casie dan teman-temannya mulai mendekat ke jendela, suasana kelas Xl C mendadak hening. Semua penasaran, waspada, dan takut. Jalanan di luar sekolah tampak sepi, terlalu sepi. Tak ada suara, hanya angin yang meniup dedaunan.

Salah satu siswa berbisik

"Kayaknya... udah aman?"

Casie menelan ludah, lalu mengangguk

"Ayo, kita keluar pelan-pelan. Jangan panik."

Mereka mulai keluar satu per satu dari kelas. Langkah mereka cepat, tapi hati-hati. Lorong sekolah terasa seperti jebakan. Namun saat mereka mulai memasuki halaman depan…

Tiba-tiba

Dari arah taman sekolah, sosok-sosok tubuh menyeret kaki mereka, mulut berlumuran darah, mata kosong—ZOMBIE!

"Z-Z-Zombieee!!!"

Suara jeritan pecah. Semua langsung panik dan berlari berpencar, menyelamatkan diri masing-masing.

Casie ikut terpisah dari kelompoknya. Di tengah kekacauan itu, Eren muncul dari sisi kiri, berlari cepat dan menarik tangan Casie.

Eren

"Ikut gue!"

Casie menoleh ke belakang dan melihat Sandy tersandung. Refleks, ia balik arah dan menarik tangan Sandy dengan paksa.

Casie

"Sandy! Bangun! Jangan tinggalin gue!"

Mereka bertiga berlari secepat mungkin. Nafas mereka memburu, jantung berdegup keras. Tak jauh dari mereka, zombie mulai mengejar dengan geraman rendah.

Eren membuka salah satu pintu ruang UKS yang tidak dikunci

"Masuk ke sini!"

Mereka bertiga masuk ke dalam dan Eren segera menutup serta mengunci pintu dari dalam. Ketiganya terduduk di lantai, ngos-ngosan.

Casie

"Ya Tuhan... itu beneran... beneran zombie…"

Sandy menangis terisak, memeluk lututnya.

Eren berdiri mengintip lewat celah tirai jendela

"Kita nggak bisa lama di sini. Tapi untuk sekarang... kita aman."

Casie dan Eren saling berpandangan — belum pernah satu pun dari mereka membayangkan hari sekolah akan berubah jadi mimpi buruk seperti ini.

Di rumah, suasana terasa mencekam. Karin duduk di sofa dengan wajah pucat, sementara Tania mondar-mandir gelisah. Jigo yang sedari tadi berdiri di dekat jendela akhirnya berjalan menuju televisi dan menyalakannya.

Layar TV menyala, menampilkan berita darurat dengan warna merah menyala di bawah layar.

[BREAKING NEWS]

"Telah terjadi insiden mengerikan di beberapa sekolah wilayah Jakarta. Sejumlah siswa dikabarkan bertingkah tidak wajar dan menyerang teman-temannya. Diduga kuat ini terkait dengan virus lama yang sebelumnya melanda wilayah timur Indonesia puluhan tahun lalu."

Karin langsung berdiri, menutup mulutnya dengan tangan.

"T-Tidak mungkin... Itu kan... virus itu..."

Tania menatap Karin dengan ketakutan.

"Jangan bilang... ini kejadian kayak dulu lagi, Rin..."

Jigo mengepalkan tangan.

"Aku tahu ini nggak beres. Kita harus segera keluar dari kota ini. Thom harus tahu… anak-anak kalian ada di sekolah!"

Karin buru-buru mengambil ponselnya, mencoba menelepon Thom.

Suaranya bergetar

"Ayo... angkat, Thom... tolong..."

Layar TV terus memutar video amatir dari warga—rekaman siswa menyerang sesama siswa, darah berceceran di lantai sekolah, suara jeritan di latar belakang.

Jigo menarik nafas panjang

"Kalau ini benar virus lama... kita harus siap dengan kemungkinan terburuk."

Tania memandang Karin yang mulai gemetar

"Kita nggak akan tinggal diam. Kita cari cara buat sampai ke sekolah."

Karin menggenggam ponselnya erat. Dalam pikirannya hanya ada dua nama—Casie dan Parker. Mereka harus diselamatkan, apapun yang terjadi.

Di markas militer, Thom sedang sibuk di ruang taktis, dikelilingi oleh peta digital dan suara-suara komunikasi radio yang kacau. Seorang prajurit datang tergesa-gesa menghampirinya.

"Pak! Sinyal dari sekolah-sekolah mulai hilang satu per satu. Dan ada laporan dari warga—penyerangan oleh siswa terhadap siswa lainnya. Pola serangan seperti di masa lalu..."

Thom langsung menoleh tajam. "Apa? Sekolah mana saja?"

"Beberapa SMA besar di Jakarta Selatan, salah satunya... SMA Merah Putih—tempat anak-anak Bapak sekolah."

Jantung Thom seolah berhenti berdetak. Ia segera meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Karin. Tapi tak sempat menunggu nada sambung, seorang perwira datang.

"Kolonel Thom! Pusat memanggil. Anda harus segera bergabung dalam pengarahan!"

Thom mengepalkan tangannya, lalu mengangguk berat. "Saya datang... tapi tolong! Prioritaskan informasi dari sekolah. Anak-anak saya di sana!"

Sementara itu...

Di sekolah, Parker dan teman-temannya berhasil turun dari lantai atas melalui tali kain jendela yang mereka rakit. Mereka bergerak pelan menyusuri lorong belakang sekolah.

Rio membisik, "Masih aman, Bro. Tapi kita harus cari jalan keluar dari sekolah secepatnya."

Parker memimpin di depan, Rafi dan Dimas di belakangnya. Mereka menemukan lorong menuju ruang UKS yang kosong. Beberapa siswa dari kelas lain juga mulai berkumpul, wajah-wajah penuh ketakutan.

Parker menatap mereka semua. "Kita nggak bisa panik. Kita masih hidup, dan kita harus bertahan. Nanti, kalau sudah aman, gue janji kita cari adik-adik kelas, termasuk Casie."

Salah satu siswi, Lexa, gemetar di pojokan, bertanya pelan, "Ini... beneran kayak dulu? Virus itu?"

Parker hanya menunduk. "Sepertinya iya... Tapi kita lebih siap sekarang. Kita harus lebih kuat dari mereka."

Dalam diam, Parker menggenggam ponselnya. Sinyal lemah. Ia hanya bisa berharap... ibunya dan ayahnya sedang bergerak.

Di dalam mobil milik Jigo, suasana benar-benar kacau.

Tania duduk di kursi penumpang depan sambil memeluk tasnya erat, panik bukan main. "GILA! Itu baru aja orang lewat terus lo TAAABRAK! Gila lo, Jigo!"

Jigo dengan wajah tegang menggenggam setir erat. "Itu bukan orang, Tania. Itu zombie. Matanya udah kosong. Tangannya ngelunjur ke arah mobil kayak mau nyerang. Gue yakin!"

Dari belakang, Karin ikut menegur, suaranya tajam. "Tapi lo harus pastiin dulu! Jangan asal hajar! Kita bisa celaka kalau lo terus nyetir gini!"

Tania makin heboh. "BISA GAK SIH LO BAWA MOBIL TANPA NYOPOTIN NYAWA, JIGOOO?!"

Jigo menoleh sedikit, mukanya kesal. "Kalau lo bisa bawa mobil lebih baik, SINI GUE KASIH SETIRNYA!"

Karin langsung menyela. "Udah! Fokus aja! Kita harus sampai sekolah. Habis itu hubungi Thom secepatnya."

Mobil kembali melaju cepat melewati jalanan kota yang mulai kacau—beberapa motor tergeletak, toko-toko mulai tutup paksa, dan suara sirene mulai terdengar dari kejauhan.

Tania menatap keluar jendela, napasnya tersengal. "Gue sumpah… ini kejadian kayak dulu lagi ya? Kita balik ke masa itu?"

Karin menatap ke luar juga, lalu menjawab pelan, "Belum tentu… tapi kita harus siap kalau itu benar-benar terjadi."

Jigo mencengkeram setir lebih erat. Matanya serius. "Kita harus kumpulin orang-orang kita. Bawa semua yang masih bisa diselamatkan. Kalau perlu… kita ke Labuan Bajo."

Mobil terus melaju di jalanan yang kini mulai terlihat tak aman lagi, menuju sekolah yang semakin dekat.

Di sekolah, Parker dan teman-temannya akhirnya masuk ke dalam ruangan kelas yang terkunci rapat. Semua masih terengah-engah, kecuali Parker yang terlihat lebih tenang. Dia menatap sekeliling dengan hati-hati, memastikan pintu dan jendela sudah tertutup rapat.

"Siap-siap aja, jangan sampai ada yang lengah," kata Parker, menyarankan kepada teman-temannya yang tampak cemas.

Beberapa dari mereka duduk di bangku yang ada di sekitar, sementara yang lain memeriksa loker dan barang-barang di sekitar. Rafi dan Dimas sibuk memeriksa pintu dan mencari cara agar mereka bisa bertahan lebih lama.

Sementara itu, Casie dan Sandy sedang bersembunyi di ruang lain, bersama Eren yang juga tampak cemas. Mereka bertiga berdiri di sudut ruangan, berusaha tetap tenang meski suara langkah kaki zombie semakin terdengar mendekat.

"Bagaimana kalau kita keluar lewat jendela?" Sandy bertanya dengan suara pelan, mencoba mengusulkan solusi. "Tapi... kita perlu tahu di luar seperti apa."

Casie menggigit bibirnya, masih belum yakin. "Kita nggak tahu ada apa di luar sana, Sandy. Ini bukan hanya soal kita bertiga, tapi tentang semua orang. Kita harus pastiin dulu jalan keluar aman."

Eren yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. "Casie benar. Kalau kita keluar begitu saja, bisa-bisa kita malah terjebak. Kita perlu cari jalan keluar yang pasti."

Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar di luar. Casie menoleh ke jendela, matanya penuh kecemasan. "Kita nggak punya banyak waktu."

Sandy menatap Eren dengan khawatir. "Kita harus bergerak cepat, kan?"

Eren mengangguk. "Ya. Kita nggak bisa menunggu lebih lama lagi."

Dengan cepat, mereka bertiga menyiapkan diri untuk keluar, mencoba merencanakan langkah mereka selanjutnya sambil terus memantau keadaan di luar.

Sementara itu, di dalam kelas yang sama, Parker sudah memeriksa keadaan sekeliling dan menatap temannya. "Oke, kita perlu buat keputusan cepat. Kalau kita bertahan di sini, kita cuma menunggu sampai mereka masuk. Jadi, kita keluar sekarang juga, dan mencari jalan ke tempat yang lebih aman."

Di luar, suara gemuruh semakin keras. Mereka semua tahu, waktu mereka untuk bertahan semakin sedikit.

Ketua kelas, Pedri, berdiri di dekat jendela dengan napas memburu. Tangannya gemetar saat ia menarik tirai sedikit untuk mengintip ke luar. Matanya membelalak, lalu ia mundur perlahan, wajahnya pucat.

"Udah banyak banget," katanya pelan, hampir berbisik. "Zombienya… makin banyak. Mereka udah di halaman depan."

Suasana di kelas langsung tegang. Beberapa siswa yang duduk di lantai saling pandang, sementara yang lainnya memegang barang seadanya sebagai senjata. Parker mendekat.

"Kita gak bisa nunggu terlalu lama, Ped," ujar Parker tegas. "Kalo kita diem aja di sini, mereka bisa ngehancurin pintu."

Pedri menggeleng. "Gue gak mau mati sia-sia, Park. Kita gak tahu apa yang nunggu di luar. Bisa jadi lebih parah dari ini." Ia menatap Parker, suara lirih namun penuh tekanan. "Kadang bertahan lebih baik daripada nekat."

Rio, yang berdiri di dekat loker, ikut angkat suara. "Tapi kalo kita tunggu, kita kehabisan waktu. Kita harus mikir cara buat keluar sekarang… atau nanti udah gak ada jalan."

Suasana makin panas. Beberapa mulai panik, beberapa tetap diam, bingung harus mengikuti siapa. Parker menatap sekeliling, lalu kembali ke jendela lain yang lebih kecil dan agak tersembunyi.

"Kita gak bakal keluar asal-asalan," katanya mantap. "Kita cari celah, cari momen yang pas. Tapi kita harus siap... karena diem di sini selamanya juga bukan pilihan."

Ketegangan di ruangan makin terasa. Keputusan besar harus segera dibuat—kabur atau bertahan.

Beberapa gadis di pojokan ruangan mulai berbisik-bisik satu sama lain, suara mereka nyaris tenggelam oleh napas-napas cemas. Di antara mereka, Lisa duduk memeluk lututnya, matanya terus mengarah ke Parker yang berdiri dekat jendela, fokus mencari celah pelarian.

Salah satu dari mereka berbisik, "Gila sih… Parker emang beda. Di situasi begini dia masih bisa mikir jernih."

"Dia kayak… nggak takut apa pun," sambung yang lain.

Lisa menggigit bibir bawahnya, hatinya berdebar. Meski situasi di luar kacau, ada rasa tenang yang muncul tiap kali dia melihat Parker. Ia menarik napas dalam dan akhirnya berkata, cukup keras untuk didengar mereka, "Dia kayak ayahnya…"

Gadis lain menatap Lisa heran. "Ayahnya?"

Lisa mengangguk perlahan. "Ayahnya legenda. Dulu waktu wabah pertama... dia salah satu yang nyelametin orang-orang di Labuan Bajo."

Semua terdiam sejenak, seperti baru menyadari bahwa darah pahlawan mengalir dalam diri Parker.

Parker masih berdiri di depan, belum sadar jadi pusat perhatian. Ia bicara ke Rio dan Rafi, suara pelan tapi tegas, "Kita harus lindungi yang lain. Kita laki-laki di sini, kita pastiin mereka bisa keluar hidup-hidup."

Lisa menatap Parker dengan sorot berbeda.

Parker mengambil spidol dari meja guru, lalu berjalan ke papan tulis yang penuh coretan. Ia menghapus sebagian dan mulai menggambar cepat—rute keluar dari sekolah menuju tempat bus-bus biasanya parkir. Semua mata menatapnya, tegang dan penasaran.

Sambil menggambar, Parker bergumam, cukup keras untuk didengar oleh Rio dan Rafi, "Setelah gue bisa amanin kalian dan bawa kalian ke bus di luar... gue masuk lagi ke sekolah."

Rio langsung menoleh cepat, matanya membelalak. "Hah? Lo gila?"

Parker tetap menulis sambil bicara, suaranya datar tapi penuh tekad. "Gue harus pastiin Casie selamat. Dia adek gue. Dan... Riska juga masih di dalam."

Rafi mencibir pelan. "Lo masih mikirin Riska? Bukannya udah putus?"

Parker berhenti sebentar, menatap papan. "Putus nggak bikin gue berhenti peduli. Dia tetap penting buat gue."

Ruangan sunyi. Beberapa siswa mulai saling menatap, melihat Parker dengan pandangan berbeda. Bukan cuma karena keberaniannya, tapi juga karena hatinya yang tulus di balik wajah cueknya.

Rio menatap Parker dalam-dalam, lalu mengangguk pelan. "Kalau gitu, kita bantu lo. Tapi lo harus balik hidup-hidup. Casie nggak bisa kehilangan kakaknya."

Parker menoleh ke arah Rio dan Rafi yang masih tampak ragu. Dengan suara tenang namun tegas, ia berkata, "Tidak. Jangan ikut aku. Kalian harus bantu yang lain. Bawa mereka ke markas militer... atau kamp pengungsian."

Rio hendak protes, tapi Parker langsung menatapnya tajam. "Gue serius. Kalau kalian ikut, siapa yang jagain mereka? Gue bakal lebih lega tahu mereka aman sama kalian."

Semua terdiam.

Parker kemudian melirik Simon yang berdiri agak belakang, terlihat gugup. "Mon," katanya sambil melangkah ke arah temannya, "lo bisa nyetir, kan?"

Simon mengangguk cepat. "Bisa, meski belum mahir banget."

Parker menepuk bahunya. "Gue percaya sama lo. Nanti kalau keadaan udah aman, bawa mereka keluar. Jangan berhenti sampai lo temuin tempat aman. Jangan heroik, Mon. Lo harus hidup."

Simon menatap Parker dengan sorot mata tegang, tapi akhirnya mengangguk penuh tekad. "Oke. Gue bakal lakuin."

Parker menarik napas panjang, menatap semua teman-temannya satu per satu. "Kita nggak boleh saling ninggalin. Tapi kadang... kita juga harus percaya satu sama lain buat bertahan."

Beberapa dari mereka mulai berkaca-kaca. Rafi mengacak rambut Parker pelan, "Jangan mati bego."

Parker tersenyum tipis. "Gue juga nggak niat mati, kok."

Di sisi lain, di koridor belakang sekolah yang mulai dipenuhi bayangan dan bau darah, terdengar suara langkah cepat dan helaan napas teratur. Seorang gadis dengan rambut terikat dan seragam olahraga robek di bagian lengan melangkah mantap. Di tangannya, sebuah sabit pertanian yang entah dari mana ia dapatkan, berkilau dengan darah segar.

Dengan gerakan cepat dan penuh presisi, ia menebas kepala salah satu zombie yang muncul dari balik pintu gudang tua. Kepala itu terpental dan tubuhnya ambruk tak bernyawa.

Itu Riska.

Matanya tajam, waspada. Nafasnya berat tapi teratur. Ia menyeka keringat di dahinya dan terus melangkah cepat, menghindari tempat-tempat sempit dan tertutup. Ia tahu sekolah ini. Ia tahu lorong-lorong yang jarang dilewati.

"Aku harus cari tempat aman," gumamnya sambil menoleh ke kanan dan kiri. "Mungkin ruang peralatan olahraga... atau tangga darurat ke rooftop."

Tapi yang lebih penting dari semua itu, pikirannya hanya tertuju pada satu hal.

Parker.

Ia belum melihatnya sejak kekacauan dimulai, dan itu membuatnya gelisah.

Langkahnya semakin cepat. Jantungnya berdetak lebih keras. Di tangannya, sabit itu terus menggenggam erat, siap menebas siapa pun—atau apa pun—yang menghalangi jalannya.