Di sisi lain, Casie menempelkan tubuhnya di balik dinding ruang UKS yang sepi. Nafasnya masih terengah, napas Sandy juga terdengar tak jauh di belakangnya. Eren menjaga pintu, waspada dengan suara-suara di lorong luar.
Casie melirik ke bawah, menatap roknya yang mengganggu pergerakan. Dengan wajah kesal, ia mengekor rambutnya ke belakang menjadi satu kunciran tinggi.
"Gila, ini ribet banget…" gumamnya sambil menarik lengan seragamnya hingga tergulung ke atas, agar lebih leluasa bergerak.
Sandy menatapnya dengan khawatir. "Kita masih aman di sini?"
"Belum tentu," sahut Casie pendek. "Tapi selama Eren di sana, harusnya masih bisa tahan sebentar."
Eren menoleh ke mereka sebentar, lalu kembali menatap lorong luar. "Kalau mereka masuk, kalian lari. Aku tahan duluan."
Casie mendesis. "Nggak ada yang ninggalin siapa pun, tahu!"
Ia merogoh ke dalam laci meja UKS, berharap menemukan sesuatu yang berguna—perban, alkohol, atau bahkan gunting. Apa pun bisa berguna sekarang. Wajahnya serius, tapi matanya menyala dengan determinasi.
"Kalau kita mau keluar dari sini," bisiknya ke Sandy, "kita harus siap… secepat mungkin."
Parker mulai pergerakan begitu suara jeritan dari kejauhan terdengar makin dekat. Beberapa murid menjerit saat melihat salah satu temannya diterkam zombie tepat di lapangan. Darah muncrat, dan suara tulang retak membuat semuanya panik.
"Cepat! Ke bus! Lari!" teriak Parker sambil menahan pintu bus terbuka lebar.
Rio, Dimas, dan Rafi membantu menarik para murid yang masih bisa berlari. Beberapa hampir jatuh tersandung, tapi mereka saling bantu. Satu per satu berhasil naik ke dalam. Simon dan Pedri sudah duduk di kursi pengemudi, namun Simon terlihat ragu.
"Gue... ini bukan mobil biasa, Park. Bus gini... ribet nyetirnya," katanya gugup.
"Coba aja, Mon! Lu pernah nyetir mobil bak kan? Nggak jauh beda!" teriak Parker dari luar.
Pintu bus ditutup dari dalam begitu semua masuk, tapi Parker masih di luar. Dari loker yang sempat dia buka sebelumnya, Parker menarik sebuah gunting besar—alat yang sering dipakai untuk keperluan kelas seni atau proyek sekolah. Dengan itu, ia menahan zombie-zombie yang mendekat. Satu demi satu ia tusuk di leher, matanya liar tapi penuh tekad.
Mesin bus menyala perlahan. Roda mulai bergerak. Bus berjalan pelan, berusaha melewati jalanan sempit halaman sekolah.
Parker melirik ke arah bus yang mulai bergerak. Dia melambai sebentar pada Rio yang menatap dari jendela, lalu langsung berbalik dan berlari kembali ke dalam sekolah—arah ke mana Casie dan Riska masih tertahan.
"Gue janji, gue bawa mereka keluar juga," gumamnya pelan, sambil berlari menembus lorong yang remang dengan suara jeritan samar di kejauhan.
Parker berjalan pelan di lorong kelas, langkahnya hati-hati. Cahaya senja dari jendela memantul di lantai, menciptakan bayangan panjang. Tangannya menggenggam erat gunting besar—satu-satunya senjata yang ia punya.
Ia berhenti sejenak di depan jendela kelas XI-C, tempat Casie seharusnya berada. Tapi kosong.
"Kosong... ke mana kalian?" gumamnya lirih.
Ia lanjut menyusuri lorong, matanya cepat mengintip ke beberapa ruang lainnya. Sebagian sudah hancur, sebagian lain berisi zombie yang berkeliaran tanpa arah.
Tiba-tiba dari belakang—GRAAAHH!—suara jeritan mengerikan memecah sunyi. Parker membalik badan, tiga zombie sudah begitu dekat!
"Shit!" Ia mundur cepat, siap mengayunkan gunting, tapi sebelum ia sempat menebas, slash! Sebuah sabit menebas dari samping, memenggal satu kepala zombie dengan bersih. Dua lainnya roboh dihantam keras oleh bayangan cepat.
Parker terpana sejenak, lalu matanya membelalak. "Riska?!"
Riska berdiri di hadapannya, sabit berdarah di tangannya, napasnya berat.
"Gue nyari tempat aman. Tapi gue denger suara... lo," katanya cepat. "Lu sendirian? Casie di mana?"
"Gue juga nyari dia. Kayaknya dia udah keluar dari kelasnya," jawab Parker sambil mengatur napas. "Lo ikut gue, kita cari dia sama-sama."
Mereka bertukar pandang singkat, lalu bersama-sama kembali menyusuri lorong yang kini terasa jauh lebih berbahaya—tapi juga lebih kuat karena mereka tak lagi sendiri.
Di dalam bus, suasana semakin tegang. Dimas memandang ke luar jendela, matanya penuh kekesalan. "Anjing ngentot nih virus," katanya dengan suara geram, meremas genggamannya di kursi.
Parker, yang seharusnya berada di bus itu, kini tak ada di sana. Ia rela mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan teman-temannya, tapi setelah memastikan mereka aman, ia memutuskan untuk kembali ke sekolah. Ada yang lebih penting yang harus dilakukannya: memastikan Casie, adiknya, dan Riska, yang sedang mencari tempat aman, selamat.
Rio, yang duduk di sebelah Dimas, menatap lurus ke depan, seolah berusaha menenangkan dirinya. "Parker nggak akan menyerah gitu aja. Dia masih mikirin kita. Lo lihat kan dia betapa ngototnya? Pasti dia tahu yang terbaik."
Dimas terdiam, menatap jalan yang semakin kosong, seolah tak tahu harus berkata apa. "Iya, gue ngerti. Cuma... gue harap dia nggak nyasar. Kalau dia balik, harus cepat. Jangan sampai ada yang nungguin dia."
Di luar, bayang-bayang zombie terlihat bergerak pelan di jalan, sementara bus ini melaju lebih cepat. Mereka tahu betul, mereka tak aman di sini—tapi di luar sana, jauh lebih berbahaya.
Di dalam bus itu, Dimas, Rio, dan yang lainnya hanya bisa berdoa dan berharap Parker kembali dengan selamat.
Lisa duduk di salah satu kursi belakang bus, matanya kosong menatap jalanan yang semakin jauh tertinggal. Ia menggenggam erat tas ranselnya, tubuhnya sedikit gemetar. Seluruh perjalanan ini terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung. Dalam kepalanya, banyak pertanyaan dan perasaan bercampur aduk. Mengapa semua ini terjadi? Apakah mereka akan selamat? Dan yang lebih penting, di mana Parker sekarang?
Sambil menatap ke luar jendela, Lisa mulai berpikir tentang kejadian-kejadian yang sudah terjadi. Dia ingat saat pertama kali Parker muncul di sekolah, betapa tenangnya dia, selalu siap membantu dan melindungi orang-orang di sekitarnya. Lisa sendiri merasa sangat terhormat bisa berada di dekatnya, meskipun dia tahu Parker hanya melihatnya sebagai teman. Tapi saat ini, dia tak bisa berhenti memikirkan Parker—bahkan jika itu hanya sekadar perasaan kekaguman.
Namun, suasana di dalam bus semakin menegangkan. Suara mesin bus yang menggema, serta getaran yang semakin terasa, membuat Lisa semakin tidak nyaman. Tak ada yang bisa diprediksi di luar sana. Dunia mereka sudah berubah total, dan hidup mereka kini hanya bergantung pada kecepatan, kecerdikan, dan keberuntungan.
Di kursi depannya, Zino menoleh ke Lisa, memperhatikan ekspresinya yang gelisah. "Lo baik-baik aja?" tanyanya pelan, berusaha menghibur.
Lisa mengangguk, meski tak sepenuhnya meyakinkan. "Ya... cuma... bingung aja," jawabnya dengan suara pelan, "Parker... dia bakal selamat, kan?"
Zino menatapnya sejenak, lalu menghela napas. "Dia tahu apa yang dia lakukan. Kita semua tahu apa yang harus kita lakukan untuk bertahan hidup. Kita cuma harus percayakan pada diri kita sendiri."
Lisa hanya mengangguk, meski hatinya masih dipenuhi dengan kecemasan. Sambil menatap ke luar, dia berharap Parker bisa kembali dengan selamat dan bahwa semuanya akan segera berakhir.
Namun, dengan suara mesin yang semakin mengeras, mereka tahu bahwa perjalanan ini belum selesai, dan ujian yang lebih berat menanti di depan.
Lisa memejamkan mata sejenak, membiarkan kepalanya bersandar di jendela bus yang dingin. Di tengah suara mesin dan kepanikan samar yang mengisi udara, pikirannya kembali ke masa-masa paling kelam yang baru saja ia lalui di sekolah.
Wajah Rama dan Sammy melintas jelas di benaknya—dua orang yang tanpa belas kasihan mempermalukannya, menyebarkan video itu, memaksanya untuk tunduk pada tekanan dan rasa malu yang bukan kesalahannya. Saat itu, dunia terasa seperti neraka, dan ia tak punya siapa-siapa. Bahkan guru pun lebih memilih tutup mata daripada menolong.
Namun kini... semuanya telah berubah.
Lisa membuka matanya perlahan, menatap ke arah belakang bus, ke jalanan yang sudah ditinggalkan. Sebuah senyum tipis muncul di wajahnya, bukan karena kebahagiaan, tapi lebih ke rasa lega yang getir. Mungkin... mungkin mereka sudah tidak ada. Mungkin, mereka yang dulu menertawakannya, kini menjadi bagian dari kekacauan yang mengerikan ini.
"Lucu, ya…" gumamnya pelan, hampir tak terdengar, "Dunia akhirnya memihak."
Zino yang duduk tak jauh darinya menoleh, tapi tak berkata apa-apa. Ada sesuatu di wajah Lisa—campuran kelelahan, luka batin, dan secercah pembebasan.
Untuk pertama kalinya sejak lama, Lisa merasa sedikit ringan. Luka di hatinya belum sembuh, tapi rasa takut yang dulu mengekangnya mulai menguap. Dunia mungkin sedang runtuh, tapi setidaknya, untuk saat ini... dia bebas dari mereka. Bebas dari rasa malu yang bukan kesalahannya.
Dan mungkin, kalau ia bisa bertahan hidup dari semua ini—ia bisa mulai membangun ulang dirinya. Bukan sebagai korban, tapi sebagai penyintas.
Sementara itu, di salah satu ruang kelas yang sudah porak-poranda, Rama dan Sammy bersembunyi di balik tumpukan meja yang dijungkirbalikkan. Nafas mereka terengah, wajah penuh keringat dan darah—bukan dari luka mereka sendiri, tapi dari serpihan kekacauan yang mengepung.
Sammy menggigit bibirnya gugup. "Ram... kita gak bisa terus di sini. Lo lihat sendiri tadi, mereka semua lari, kita harus cari jalan keluar juga."
Tapi Rama... dia malah tertawa pelan. Tawa yang tidak biasa. Bukan cemas, bukan lega—melainkan geli, puas, dan sedikit... gila.
"Lu ngerasa gak, Sam? Dunia kayak ngasih kita panggung. Chaos, mayat hidup, semua orang ketakutan. Dan kita? Kita masih hidup." Mata Rama melebar, pupilnya seperti menari dalam kegilaan. "Kita bisa jadi raja di neraka ini."
Sammy menatap Rama, bingung dan mulai takut. "Apaan sih lo ngomong?"
Rama berdiri perlahan, mengambil sebilah besi tajam dari lantai. Ia mengelus-ngelusnya seperti barang berharga.
"Selama ini mereka semua sok suci. Lisa, guru-guru, bahkan anak-anak cupu itu. Sekarang? Nggak ada aturan. Nggak ada nilai. Yang ada cuma bertahan atau mati. Dan gue tahu banget caranya bertahan."
Sammy mundur satu langkah, mulai merinding. Rama kini bukan lagi teman yang dikenalnya. Tatapannya kosong, tapi penuh niat gelap.
"Kita bakal buat dunia ini tunduk, Sam... atau kita bakar semuanya," bisik Rama pelan tapi tajam.
Dari kejauhan, suara geraman zombie mulai mendekat... tapi Rama tetap berdiri, tersenyum lebar. Seolah neraka adalah taman bermainnya.
Rama menarik napas dalam-dalam lalu menatap ke arah jendela kelas yang sedikit terbuka. Di luar, langit mulai menggelap, suasana mencekam. Ia menoleh ke Sammy yang masih tampak ragu.
"Ayo panjat jendela ini," bisik Rama dengan suara rendah namun tajam. "Kita turun ke bawah. Cari Lisa... terutama Parker, si sok pahlawan itu."
Sammy menelan ludah, masih setengah gemetar. "Lo serius mau nyari mereka? Buat apa, Ram? Kita bisa cari jalan keluar, cari tempat aman..."
Rama melirik tajam. "Tempat aman? Gak ada yang aman sekarang. Dunia ini udah rusak. Tapi gue gak bakal pergi sebelum kasih pelajaran ke mereka yang bikin gue keliatan kecil di sekolah ini. Lisa, Parker... mereka semua bakal tahu siapa yang harus ditakuti sekarang."
Sammy menunduk, tahu dia gak punya pilihan. Ia mengikuti Rama memanjat jendela dengan hati berat. Begitu kakinya mendarat di tanah, suara jeritan samar terdengar dari sudut sekolah yang gelap.
Rama mencengkeram besi di tangannya erat-erat. "Ayo, Sam. Permainannya baru dimulai."
Di ruang UKS yang sunyi dan gelap, Casie, Sandy, dan Eren duduk berdekatan, napas mereka tertahan tiap kali terdengar suara dari luar. Tiba-tiba—
DUARRR!
Pintu digedor keras. Casie dan Sandy langsung berdiri panik, sementara Eren refleks mendorong meja ke arah pintu untuk menghalangi. "Tahan! Tahan aja dulu!" teriaknya.
Casie menggigit bibirnya kuat-kuat. "Zombie?" bisiknya dengan suara tercekat.
Namun suara dari luar bukan erangan… melainkan teriakan manusia. "Casie! Buka! Ini gue, Parker!"
Eren menoleh kaget. "Parker?"
Satu dorongan keras lagi—dan pintu pun terbuka lebar.
Parker berdiri di ambang pintu, napasnya memburu, mata langsung mencari adiknya. Di belakangnya, Riska menahan pintu, menjaga situasi. Begitu pandangan Parker bertemu dengan Casie, ia langsung melangkah cepat dan—untuk pertama kalinya—memeluk adiknya erat.
Casie awalnya kaku, terkejut, tapi lalu membalas pelukan itu. "Lo... lo beneran dateng, Parker..."
Parker mengusap kepala Casie sambil menahan emosi. "Tentu aja gue dateng. Lo pikir gue tinggalin lo?"
Riska melirik ke arah Sandy dan Eren, memberi anggukan singkat. "Kita harus pergi sekarang. Tempat ini nggak aman lagi."
Eren menarik napas lega. "Gue udah gak yakin mereka bisa masuk, tapi... kalian datang tepat waktu."
Parker menepuk bahu Eren. "Bagus lo tahan sampai sekarang. Tapi kita harus keluar dari sini."
Casie menyeka matanya, mencoba kembali tenang. "Oke... ayo pergi dari sini."
Tiba-tiba dari ujung lorong, terdengar suara langkah tergesa, disusul erangan parau yang khas—zombie.
Parker yang masih memeluk Casie langsung refleks menoleh. "Sial! Mereka datang!" Ia bergerak cepat, mendorong Casie dan Sandy ke belakang, lalu menutup pintu UKS secepat mungkin.
TARAAKK!!
Sebuah tangan pucat dan busuk menyelinap tepat sebelum pintu tertutup penuh. Tangan itu terjepit, jari-jarinya bergerak-gerak liar seperti mencoba mencengkeram udara.
Riska tanpa pikir panjang mengayunkan sabitnya. SWIIING!!
CROK!
Tangan itu putus dan jatuh ke lantai, darah hitam menyembur dari ujungnya. Semua yang ada di ruangan terdiam sejenak, terpaku oleh kejutan adegan brutal itu.
Casie memelototkan mata. "Anjir... lo serius motong tangan orang..."
Riska masih memegang sabit, matanya dingin tapi tegas. "Itu bukan orang lagi, Ces."
Sandy menutup mulutnya, menahan rasa mual. "Gue... gue rasa kita harus cepet-cepet keluar sebelum mereka makin banyak."
Parker mengangguk. "Oke, sekarang atau nggak sama sekali. Kita keluar dari sini."
Eren membuka jendela belakang ruangan. "Lewat sini. Ayo!"
Di sisi lain, di dalam ruang situasi markas militer pusat Jakarta, layar-layar besar menampilkan peta kota dengan titik-titik merah yang terus bertambah. Asap dan suara tembakan samar terdengar dari luar markas. Thom berdiri dengan seragam lengkap, wajahnya tegang namun tetap tenang.
Ia menatap lurus ke arah Komandan Besar yang berdiri dengan tangan terlipat di belakang punggung, wajahnya muram menatap monitor.
"Pak Komandan," suara Thom terdengar tegas, "saya butuh jawaban jujur. Dari mana virus ini berasal?"
Komandan itu diam sejenak, lalu menarik napas berat. "Itu... informasi terbatas, Mayor Thom. Tapi kau pantas tahu."
Thom mengepalkan tangannya. "Jangan beri saya jawaban politik. Saya punya anak di luar sana."
Komandan itu akhirnya menatap Thom. "Virus ini... bukan alami. Ini varian baru dari proyek yang seharusnya sudah dihentikan sejak tahun 2048. Proyek regeneratif biologis yang dilakukan di wilayah timur… Labuan Bajo."
Thom terdiam, wajahnya mengeras.
"Eksperimen itu bertujuan menciptakan regenerasi cepat untuk militer," lanjut sang Komandan. "Tapi mereka terlalu serakah. Subjek uji coba kabur, dan—"
"Dan sekarang Jakarta jadi neraka," potong Thom dingin.
"Ya," jawab Komandan lirih. "Dan ini baru awalnya."
Thom menarik napas dalam. "Berapa lama kita punya waktu sebelum kota ini benar-benar jatuh?"
Komandan menatap layar. "Kurang dari 72 jam."
Thom mengepalkan rahangnya. "Kalau begitu, saya akan turun ke lapangan. Dan saya akan bawa anak-anak saya keluar dari sini… hidup-hidup."
Komandan menunduk, ekspresinya berat. Thom menggeleng pelan dengan tatapan tajam, langkahnya maju mendekat sambil menunjuk ke layar yang menampilkan wilayah timur.
"Udah tahu dulu virus pertama muncul di Labuan Bajo," suara Thom meninggi, penuh amarah yang selama ini ia tahan, "mereka malah balik lagi dan ngelanjutin uji coba di sana. Apa kalian gila?!"
Komandan tidak menjawab. Diamnya adalah bentuk pengakuan.
Thom menghela napas panjang, emosinya campur aduk antara marah, kecewa, dan cemas.
"Berapa banyak lagi yang harus mati buat kepentingan kalian?" Thom menatap lurus ke mata Komandan. "Labuan Bajo udah cukup hancur waktu itu. Orang-orang yang selamat udah bangun kota itu dari nol, dan kalian malah jadiin itu laboratorium neraka lagi."
Komandan akhirnya menjawab lirih, "Kami… tidak punya pilihan. Pusat perintah dari atas. Kita kalah dalam teknologi medik dibanding beberapa negara, dan—"
"Jangan bawa negara lain," potong Thom. "Ini bukan soal siapa paling unggul. Ini soal nyawa. Dan sekarang? Kota ini jadi kuburan hidup."
Komandan menunduk.
Thom menghembuskan napas berat. "Saya akan tetap ikut turun ke lapangan. Tapi setelah ini semua selesai… saya nggak bakal diam."
Ia kemudian berbalik, keluar dari ruang kendali dengan langkah cepat, meninggalkan ruangan yang hening, hanya diisi suara pelacak posisi zombie yang makin mendekat ke pusat kota.
Kembali ke Parker dan yang lain.
Mereka berjalan cepat melewati lorong belakang yang tampak aman dari zombie. Bau darah masih tercium, tapi tempat itu relatif sepi. Casie menggenggam tangan Sandy, sementara Eren memegang sabit milik Riska, berjaga di belakang. Parker berjalan paling depan, matanya awas.
Namun tiba-tiba dari tikungan, dua siluet muncul.
"Lama banget lo muncul, pahlawan kesiangan," suara itu familiar dan penuh nada benci.
Itu Rama—bersama Sammy. Wajah Rama tampak gelap, matanya tajam seperti binatang liar. Di tangannya, ada tongkat besi.
"Kayaknya lo bangga banget nyelamatin mereka ya, Park?" ujar Rama melangkah maju. "Sayang banget, kita nggak diundang ke drama heroik lo."
Parker langsung maju, menahan langkah yang lain. "Eren, bawa mereka. Ada bus kosong di parkiran belakang. Sembunyi di dalam. Gue urus dua bajingan ini."
"Tapi—" Eren tampak ragu.
"Cepat, gue serius. Jangan biarin Casie dan Sandy kenapa-kenapa."
Eren mengangguk cepat, lalu memberi isyarat pada Casie dan Sandy. Mereka berlari mengikuti jalur samping. Parker menatap Rama dan Sammy tajam.
"Gue udah capek sama orang kayak lo, Rama," ucap Parker dingin, mengangkat obeng tajam yang ia pegang sejak tadi.
Rama tertawa pendek. "Ya udah. Ayo kita selesaikan sekarang… lo, gue, dan semua dosa lama."
Ketegangan memuncak. Lantai lorong sunyi, hanya suara napas dan derap langkah mendekat. Pertarungan tak terhindarkan.