War Of The Dead 2

Di dalam bus, situasi mendadak berubah mencekam. Seekor zombie muncul dari kursi belakang, merayap cepat dan menyerang Sandy. Gadis itu menjerit saat lengannya tergigit. Casie berteriak panik, menarik Sandy menjauh, sementara Riska dengan refleks mengayunkan sabitnya dan menebas kepala zombie tersebut. Darah menyembur, membasahi lantai bus.

Sandy terduduk lemas, napasnya berat. "Gue... gue kena..." ucapnya lirih sambil menunjukkan bekas gigitan di lengannya.

Seketika itu juga, Sandy bangkit dan keluar dari bus, tak ingin membahayakan yang lain. Casie hendak mengejarnya, tapi Riska menahan. "Biarin dulu..."

Di luar bus, pertarungan sengit berlangsung. Parker bertarung habis-habisan melawan Rama. Hantaman, dorongan, dan teriakan memenuhi udara. Tapi Rama berhasil menusuk perut Parker dengan pisau kecil. Parker meringis menahan sakit, darah menetes dari sisi tubuhnya. Dengan amarah memuncak, ia memukul wajah Rama keras-keras hingga pria itu terjatuh dan tak bisa berdiri lagi.

Tiba-tiba, suara raungan zombie terdengar dari ujung lorong. Dalam sekejap, makhluk itu menerkam Rama, menggigit lehernya. Rama menjerit sebentar sebelum terdiam. Sammy yang melihat itu langsung kabur, meninggalkan semuanya.

Parker, setengah pincang, berjalan kembali ke bus. Di luar, ia melihat Sandy berdiri sendiri, pucat dan bingung.

"Ayo masuk!" seru Parker.

Sandy menggeleng pelan, menunjukkan bekas gigitan. Tapi Parker mendekat, menarik lengannya. "Udah, cepet masuk. Kita nggak tahu lo bakal berubah kapan."

Mereka masuk bus. Casie langsung membantu Parker yang berdarah, membuka tas dan mengikat lukanya dengan sobekan kain. Wajahnya panik tapi tetap tenang.

"Lo kenapa?" tanya Casie.

"Ditusuk... tapi gue masih bisa," ucap Parker pelan.

Riska menatap tajam ke arah Sandy, waspada. Tapi Parker hanya menyender di kursi, menarik napas berat. "Lo... lo bawa rokok, San?"

Sandy mengangguk, mengeluarkan sebungkus rokok dari saku roknya, lalu melempar ke arah Parker.

"Pantes..." Parker mengelus kepalanya.

Eren, yang duduk di samping jendela, menoleh heran. "Emangnya kenapa? Kenapa dia belum berubah?"

Parker menatap mereka. "Virusnya bermutasi. Penularannya nggak langsung... lambat. Bapak gue pernah bilang, ini bisa kayak bom waktu... bisa sejam, bisa sehari."

Semua terdiam. Ketegangan meningkat. Tapi untuk sesaat, mereka hanya bisa bernapas—dan bersiap untuk yang akan datang.

Parker menatap rokok di tangannya, lalu berkata pelan, "Karena... cairan nikotin."

Semua menoleh padanya, bingung.

"Gue pernah denger dari bokap... salah satu efek nikotin bisa memperlambat kerja virus di sistem saraf. Nggak nyembuhin, tapi ngerem proses penyebarannya. Setidaknya, buat sementara," Parker menjelaskan, suaranya pelan tapi tegas.

Sandy menatap rokok di tangannya, kaget. "Lo serius?"

"Lo belum berubah, kan? Itu cukup bukti. Tapi jangan seneng dulu... bisa aja cuma ngulur waktu. Kita harus tetap cari bantuan medis, dan..." Parker terdiam sebentar, menahan nyeri di perutnya. "...dan terus bergerak."

Casie menggenggam tangan Parker. "Berarti... kita punya sedikit waktu?"

Parker mengangguk lemah. "Sedikit. Tapi cukup buat keluar dari sini."

Riska masih menatap Sandy dengan curiga, tapi akhirnya menunduk, menerima. "Oke... kalau nikotin bisa ngerem virus, berarti lo harus tetap tenang. Jangan panik, dan jangan bikin gerakan aneh."

Sandy mengangguk pelan.

Eren menoleh keluar jendela, lalu berkata, "Kita harus buru-buru. Tempat ini nggak aman lama-lama."

Parker mengatur napas, memandang semua temannya satu per satu. "Kita belum selesai. Masih banyak yang harus diselamatkan... termasuk sekolah ini."

Dan bus kembali melaju perlahan, menembus bayang ancaman yang belum selesai.

Ditengah perjalanan, Eren yang mengemudikan bus dengan hati-hati tiba-tiba mengerutkan kening saat melihat indikator bensin berkedip. Ia melirik ke bawah, lalu berkata dengan nada cemas, "Bahan bakarnya habis…"

Semua di dalam bus terdiam. Parker yang duduk bersandar sambil menahan luka di perutnya langsung bangkit sedikit, "Serius, Ren?"

Eren mengangguk. "Kita cuma bisa jalan beberapa meter lagi sebelum mogok total."

Sementara itu, di jalan yang sama, sebuah mobil SUV milik militer melaju perlahan. Di dalam mobil, Karin duduk di kursi penumpang depan, sementara Jigo menyetir dan Tania duduk di belakang sambil terus menatap jalan dengan gelisah.

Tiba-tiba Karin menunjuk ke depan. "Itu... bus sekolah!"

Tania mencondongkan tubuhnya ke arah jendela. "Iya, bus merah putih. Sekolahnya Casie dan Parker, kan?"

Karin langsung menoleh ke Jigo, wajahnya tegang. "Cepat, dekati. Cek siapa tahu mereka ada di dalam..."

Mobil mereka segera menepi ke arah bus yang mulai berhenti karena kehabisan bensin. Karin langsung turun dari mobil dan berlari mendekat, "Parker! Casie!"

Dari dalam bus, Casie yang sedang memegangi perban Parker langsung mendongak. Matanya membelalak, "Mama...?!"

Parker yang setengah terduduk langsung tersenyum lega. "Syukurlah..."

Pintu bus dibuka dari dalam, dan momen pertemuan pun terjadi—di tengah kekacauan, mereka masih menemukan satu sama lain. Tapi waktu tak berpihak terlalu lama… suara geraman samar mulai terdengar dari kejauhan.

Mereka semua buru-buru masuk ke dalam mobil SUV. Jigo memindahkan gigi dan segera melajukan kendaraan menuju markas militer terdekat. Di dalam mobil, suasana hening untuk beberapa saat, hanya suara napas berat dan deru mesin yang terdengar.

Karin duduk di samping Parker yang setengah berbaring di kursi belakang. Dengan sigap, ia mengambil kain dari tas medis dan mulai mengikat luka di perut anaknya. Wajahnya tegang, tapi tangan tetap stabil. "Tahan sedikit ya, Nak…"

Parker meringis tapi tetap diam, lalu berkata pelan, "Ma… soal Sandy…"

Karin melirik ke arah Sandy yang duduk diam di pojok belakang, wajahnya pucat tapi tetap sadar. "Dia digigit?" tanya Karin tanpa membuang waktu.

Parker mengangguk. "Tapi dia belum berubah. Gue pikir… bisa jadi karena nikotin. Dia sempat ngerokok sebelum digigit. Gue gak yakin… tapi mungkin itu ngelambatin efek virusnya."

Semua yang ada di mobil menatap Sandy dengan campuran rasa kaget dan bingung.

Sandy menjawab pelan, "Gue juga gak ngerti. Tapi sejak digigit... gue ngerasa aneh, tapi gak kehilangan kendali. Belum."

Tania bersuara dari depan. "Kalau itu benar… kita harus laporkan ini ke markas. Ini bisa jadi kunci."

Jigo menambahkan, "Kalau nikotin bisa melambatkan mutasi virus… bisa aja jadi penemuan penting."

Mobil terus melaju, mendekati area gerbang markas militer yang kini mulai terlihat di kejauhan—dengan penjagaan ketat dan asap yang mengepul dari kejadian sebelumnya. Hari semakin sore… dan pertarungan melawan virus ini baru saja memasuki babak baru.

Karin menatap Parker dan Sandy, lalu bergumam pelan, "Sama kayak dulu… Kylie juga kan…"

Semua yang ada di mobil sejenak terdiam. Ingatan tentang Kylie—salah satu penyintas kuat yang dulu bersama mereka—kembali mengisi ruang kepala.

Tania menoleh, heran. "Tapi Kylie kan bukan perokok…"

Karin mengangguk. "Bukan. Tapi kalau lagi nongkrong sama Thom atau Reno yang merokok, dia tetap di situ. Nggak pernah pindah tempat. Dia bisa tahan lama di sekitar asap."

Casie yang duduk dekat jendela ikut menoleh, ragu. "Kylie itu… mantannya Ayah, ya?"

Karin menarik napas. "Iya."

Casie lanjut, nada suaranya pelan, "Tapi dia ujung-ujungnya mati juga… karena terjebak di tempat isolasi, kan? Yang pengungsi-pengungsi itu tiba-tiba berubah semua… terus kamp di Pulau Dimanjarite dibom habis…"

Parker hanya menunduk, sementara rasa perih muncul di matanya. Karin tak langsung menjawab, hanya memalingkan pandangan ke luar jendela.

Jigo menggenggam kemudi lebih erat. "Semua itu… nggak sia-sia. Kylie, Sony, Vian, dan lainnya… mereka semua mati buat kita bisa hidup sampai hari ini."

Mobil pun melaju memasuki kawasan markas, dengan bayangan masa lalu yang perlahan muncul kembali—bersamaan dengan teka-teki baru yang mungkin bisa membuka jalan untuk harapan.

Di baris belakang mobil, Eren duduk bersebelahan dengan Riska dan Sandy. Suasana di antara mereka sunyi untuk beberapa saat, hanya suara mesin dan hembusan angin dari jendela yang sedikit terbuka.

Eren melirik ke arah Sandy, lalu ke perban yang membungkus luka gigitan di lengannya. "Lo masih ngerasa aneh nggak?" tanyanya pelan.

Sandy menggeleng perlahan. "Nggak. Cuma agak panas. Tapi gue masih bisa mikir jernih. Masih bisa ngerasain takut juga… aneh banget, Ren."

Riska menatap tajam, ekspresi waspada tak pernah lepas dari wajahnya. "Jangan terlalu santai. Gue masih belum yakin lo bener-bener aman."

Sandy mendesah. "Gue juga nggak minta lo percaya. Gue cuma… ya, bingung aja. Gue pikir gue bakal berubah dalam hitungan menit."

Eren menyandarkan kepalanya ke jendela. "Virus ini… makin lama makin aneh. Bukan cuma soal gigitan. Bisa jadi, ada pemicunya. Kondisi tubuh, mental, atau bahkan kebiasaan… kayak yang tadi Parker bilang."

Riska mengangguk, walau masih menatap Sandy tanpa mengendurkan kewaspadaannya. "Kalau sampai lo mulai nunjukin tanda-tanda... gue yang pertama bakal turun tangan."

Sandy tersenyum miris. "Deal. Tapi sebelum itu, kita pastiin dulu semua sampai markas dengan selamat."

Mereka bertiga kembali terdiam, masing-masing larut dalam pikirannya sendiri—tentang mutasi virus, tentang siapa yang akan selamat, dan apa yang akan mereka hadapi di depan.

Mobil berhenti perlahan di ujung gang sempit yang dipenuhi mobil-mobil terbengkalai. Jigo mengumpat pelan sambil menepuk setir. "Macet. Didepan ada mobil mogok atau ditinggal. Gak bisa lewat."

Semua saling pandang. Karin yang duduk di belakang memandang keluar jendela, matanya menangkap sebuah kedai kecil di sisi jalan, pintunya setengah terbuka, tampak kosong.

Karin cepat-cepat membuka pintu. "Ayo kita masuk ke sana dulu. Sambil nunggu situasi lebih aman atau cari cara mindahin mobil itu."

Tania memicingkan mata. "Lo yakin itu aman? Jangan-jangan isinya zombie juga."

Karin menoleh cepat, wajahnya serius. "Makanya kita harus periksa dulu. Tapi kita gak bisa diam di sini. Kalau suara mobil kita narik perhatian, habis udah."

Parker yang masih terbaring di jok belakang, menahan perutnya yang terluka, mengangguk pelan. "Kalian duluan... gue nyusul pelan-pelan."

Jigo membuka pintu dan keluar lebih dulu, menggenggam linggis di tangannya. Riska mengikuti dari sisi lain, sabitnya sudah siap di genggaman. Sandy membantu Karin menopang Parker, sementara Eren berjaga sambil memeriksa sekitar.

Mereka mulai bergerak pelan-pelan menuju kedai itu, menyelinap di antara mobil, bayang-bayang senja mulai menelan langit Jakarta yang hancur perlahan.

Karin duduk di kedai kecil itu, matanya memandang teleponnya yang masih menyala, berpikir tentang kondisi di luar sana. Dia menekan beberapa tombol di ponselnya, mencoba menghubungi Thom, namun sinyalnya lemah dan telepon itu terus berdering tanpa ada yang mengangkat.

Sementara itu, Parker, Casie, dan yang lainnya duduk di meja, beristirahat sejenak setelah perjalanan panjang. Ketegangan masih terasa di udara, namun mereka semua tahu mereka harus terus bergerak.

Karin akhirnya berhenti mencoba menelepon dan meletakkan teleponnya di atas meja. Dia menoleh ke arah Parker dan Casie. "Kita harus tetap hati-hati," katanya dengan suara tenang meskipun kekhawatiran jelas terlihat di wajahnya.

Parker mengangguk pelan, namun wajahnya menunjukkan kelelahan. "Semoga kita bisa sampai dengan aman," ujarnya, matanya masih mencari-cari sesuatu di luar jendela.

Casie yang dari tadi lebih banyak diam, akhirnya berkata, "Kita harus cepat. Jangan sampai ada yang terpisah."

Karin mengangguk. "Aku tahu. Kita akan terus bergerak, tapi kita harus tetap waspada."

Di luar kedai, hujan mulai turun, menambah ketegangan. Namun, di dalam kedai, suasana sedikit lebih tenang meskipun tetap ada rasa cemas yang menyelimuti.

Tiba-tiba, telepon Karin berbunyi. Kali ini, suara Thom terdengar dari ujung sana. "Karin, kamu masih di jalan?" Suaranya terdengar cemas, namun penuh semangat.

"Iya, masih di kedai kecil. Sedang istirahat sebentar," jawab Karin. "Kami dalam perjalanan menuju markas militer."

"Jaga Parker dan Casie baik-baik. Jangan sampai ada yang terpisah lagi," Thom memperingatkan dengan tegas.

Karin menatap Parker dan Casie sejenak, mengangguk. "Tenang, kita akan sampai dengan selamat. Kita harus tetap bersama."

Suara Thom terdengar sedikit lebih ringan. "Aku akan menunggu kalian di markas. Semoga semuanya baik-baik saja."

Karin menutup teleponnya dan menoleh ke semua yang ada di kedai itu. "Ayo, kita lanjutkan perjalanan. Markas militer sudah tidak jauh lagi," katanya dengan suara penuh tekad.

Di dalam ruang tertutup kedai, Eren dan Casie duduk cukup dekat. Casie menatapnya dengan mata yang sedikit ragu, lalu berkata pelan, "Ren, sebenarnya gue suka sama lo."

Eren terdiam sesaat, wajahnya sedikit kaget mendengar pengakuan itu. "Jadi lo suka sama gue?" tanyanya, nada suaranya lebih rendah, seolah mencoba mencerna kata-kata Casie.

Casie mengangguk, lalu buru-buru menambahkan, "Kenapa, salah ya? Sori bikin canggung." Suaranya terdengar sedikit cemas, seolah takut membuat suasana semakin aneh.

Eren menatapnya lebih lama, lalu akhirnya menjawab dengan suara pelan, "Sebenarnya gue juga suka sama lo."

Suasana menjadi hening sesaat, sebelum Eren mendekat sedikit lebih dekat. Casie hanya bisa menatapnya, merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Tak lama kemudian, Eren menyentuh wajahnya dan perlahan mendekatkan bibirnya. Casie terdiam, membiarkan itu terjadi, hingga…

Pintu ruang kedai terbuka dengan keras. Parker masuk dengan langkah cepat, matanya langsung tertuju pada Eren yang sedang terlalu dekat dengan Casie. "Apa yang lo lakuin, Ren?" Parker mendekat dengan wajah marah, tanpa pikir panjang menarik kerah baju Eren. "Kita masih anak SMA. Jangan macam-macam apalagi sama adek gue!"

Parker mendorong Eren dengan keras, membuat Eren terhuyung mundur. Casie terkejut, tapi Parker sudah menarik tangannya dengan cepat, menariknya keluar dari ruang tersebut. "Ayo, Casie. Kita pergi," katanya dengan suara datar namun penuh ketegasan.

Casie menatap Eren yang masih terpaku di tempatnya, dengan ekspresi wajah yang sulit dibaca, sebelum akhirnya mengikuti Parker keluar dari kedai. Waktu terasa lebih lama dari biasanya, dan Casie tidak bisa menghilangkan rasa canggung di antara mereka.

Di dalam kedai, Tania tiba-tiba berteriak, "Aaaaaah! Ada makanan!" Dia berlari dengan kegirangan menuju meja yang penuh dengan hidangan, seolah menemukan harta karun yang sudah lama dia cari. Jigo yang melihatnya hanya bisa tertawa kecil, merasa lucu dengan reaksi berlebihan Tania.

"Tenang, Tan, kita juga bisa makan kok. Cuma jangan sampai ngeborong semuanya," ujar Jigo sambil duduk santai, melihat Tania yang sudah mulai melahap makanan dengan lahap.

Tania menoleh sambil tersenyum lebar, "Siapa yang mau makan lebih dulu, kalau bukan aku?" jawabnya sambil mengunyah makanan dengan cepat.

Jigo hanya menggelengkan kepala, tersenyum melihat tingkah Tania yang selalu bisa menghibur di tengah situasi gawat seperti ini. Meskipun mereka semua tengah menghadapi ancaman yang besar, Tania selalu punya cara untuk mengalihkan perhatian mereka dengan kelucuannya.

Parker tertawa, menampakkan deretan gigi manisnya. Tawa itu jujur dan lepas, meski hanya sesaat di tengah semua kekacauan.

Karin yang duduk tidak jauh darinya memperhatikan dengan lembut, matanya berkaca-kaca penuh kenangan. Ia tersenyum kecil lalu berkata pelan, hampir seperti bergumam, "Tawa itu... aku baru melihatnya lagi. Sama seperti ayahnya saat masih muda... manis. Thom yang pemberani."

Tania yang mendengar ikut melirik Parker, lalu menepuk bahu Karin pelan. "Anakmu emang nurun yang terbaik dari Thom... dan juga kamu."

Karin tersenyum, menahan haru, "Semoga dia bisa terus bertahan. Dunia ini masih butuh orang-orang yang berani... seperti Thom. Seperti Parker."

Riska tersenyum kecil sambil memutar sendok di dalam gelasnya saat mendengar Jigo bercerita dengan gaya khasnya yang aneh tapi lucu. "Terus gue bilang ke zombienya, 'Eh, lo antre dong, gue masih makan!'" ujar Jigo dramatis, membuat Tania mencibir sambil tertawa.

Sandy ikut tersenyum, tubuhnya mulai lebih rileks meski sesekali ia masih memegang lengan yang sempat tergigit.

Casie, berbeda dari yang lain, hanya terdiam. Matanya menatap kosong ke arah meja. Di benaknya, kejadian tadi masih berputar—terutama tentang Parker.

Selama ini, mereka sering bertengkar. Aneh dan sepele. Tapi Parker selalu mengalah. Casie tahu itu. Tapi kali ini... kali ini Parker tidak hanya mengalah—ia melindunginya, bahkan marah demi dirinya. Casie menggenggam roknya erat. Ada sesuatu yang berbeda dalam sikap kakaknya tadi.

Parker, yang duduk tak jauh dari situ, sedang menyandarkan tubuhnya di kursi, matanya setengah tertutup. Luka di perutnya sudah dibalut rapi oleh Karin, dan kini ia mencoba beristirahat.

Casie menoleh pelan ke arahnya. Mungkin, pikirnya, ia selama ini terlalu keras kepala. Dan mungkin... sudah saatnya ia mulai mengerti arti sebenarnya dari seorang kakak.