Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk lewat celah jendela kedai yang retak. Casie dan Sandy sedang memakai pakaian bersih yang mereka temukan di lemari penyimpanan kedai—kaos longgar dan celana training sederhana. Meski bukan gaya mereka, tapi setidaknya nyaman dan praktis.
Parker duduk di meja dekat pintu, melihat celana training yang ia temukan semalam. Ia hanya mengangguk pelan, lalu mulai mengganti pakaiannya, memastikan lukanya tidak terbuka lagi. Sesekali matanya melirik ke arah Casie, yang tampak lebih tenang pagi ini.
Eren berjalan pelan melewati mereka, matanya sekilas menatap Casie. Namun ia tak berkata apa-apa. Jigo dan Karin sudah lebih dulu keluar, mengecek keadaan luar dan memastikan jalan aman.
Tania kemudian muncul sambil membawa beberapa roti kering dari meja dapur, "Ayo, sarapan seadanya, abis itu langsung jalan."
Satu per satu mereka keluar. Casie, Tania, dan Sandy masuk lebih dulu ke dalam mobil, disusul Parker dan Riska yang duduk di belakang. Eren duduk di kursi depan samping Jigo, yang kali ini mengambil alih kemudi.
Mobil perlahan mulai melaju keluar dari gang sempit itu, meninggalkan kedai yang tadi malam menjadi tempat perlindungan kecil mereka. Kota masih tampak kacau, tapi pagi itu mereka membawa sedikit lebih banyak harapan.
Di sisi lain, di lorong sekolah yang mulai gelap karena aliran listrik yang padam, suara langkah kaki menggema. Rama berjalan pelan, matanya merah, penuh dendam dan kebencian. Nafasnya berat, kulitnya pucat, namun tubuhnya masih bergerak… seakan antara manusia dan sesuatu yang bukan lagi manusia sepenuhnya.
Ia menemukan Sammy bersembunyi di ruang UKS lama yang kosong. Sammy terlihat panik saat melihat Rama berdiri di ambang pintu, tubuhnya penuh luka tapi matanya masih penuh gairah gila.
"Dasar anjing," desis Rama dengan suara serak. "Kenapa lo ninggalin gue waktu digigit zombie, hah?"
Sammy mundur satu langkah, ketakutan. "R-Rama… gue pikir lo udah mati..."
Rama tertawa pendek—tawa yang menyeramkan dan terdengar pecah. "Gue belum mati, Sammy… Tapi sekarang, lo yang akan gue buat mati."
Tanpa peringatan, Rama melompat maju. Giginya mengoyak leher Sammy, menggigit dengan liar. Sammy menjerit keras, tapi suaranya lenyap oleh suara darah yang menyembur dan daging yang tercabik. Rama menggigit dan mengunyah dengan brutal, darah memenuhi mulutnya, mengalir di dagu dan lehernya.
Ia muntah seketika, terlalu banyak darah dan daging yang ditelan. Tapi meski begitu, ia tersenyum puas—liar dan penuh kebencian—sementara tubuh Sammy menggeliat lemah di lantai, nyawanya perlahan menghilang.
Lorong sekolah kembali hening… hanya suara tetesan darah yang tersisa.
Karin dan yang lain tiba di gerbang markas militer, sebuah barikade kokoh dengan pagar kawat berduri dan pos penjagaan di setiap sisi. Tentara bersenjata langsung siaga, namun begitu mereka melihat lambang kendaraan dan wajah-wajah yang dikenal, mereka memberi izin masuk. Mobil perlahan melaju ke dalam.
Thom yang sedang berdiri di dekat pos komando langsung berlari ke arah mereka. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran dan harapan yang bercampur. Begitu Parker turun dari mobil, Thom langsung memeluknya erat, diikuti oleh Casie yang juga dihampiri dan dipeluk penuh kelegaan.
"Kalian selamat... Tuhan, kalian selamat..." ucap Thom, suaranya parau.
Kemudian ia melihat ke arah Karin, dan keduanya saling memeluk lama—erat, hangat, seperti melepaskan semua beban dalam satu pelukan.
Tiba-tiba, pandangan Thom jatuh pada perut Parker yang dililit kain. Wajahnya langsung berubah serius. "Ada apa dengan perutmu…?" tanyanya pelan, penuh tekanan, namun tidak panik.
Parker hendak menjawab, tapi sebelum sempat, terdengar suara dari kejauhan, "Parker! Eren!" Itu suara Rio—berteriak dari sisi lapangan markas. Ia bersama Dimas, Rafi, dan Zino, melambaikan tangan ke arah mereka.
Eren yang sedang turun dari mobil langsung menoleh, lalu berlari kecil menyusul mereka.
Parker menoleh ke arah ayahnya, "Nanti gue ceritain semuanya, Pak. Tapi sekarang... ada banyak hal yang harus kita bicarakan."
Simon dan Pedri berdiri di dekat bus yang kini diparkir aman di dalam markas. Mereka masih mencoba memproses semua yang terjadi, dari sekolah yang kacau, perjalanan yang menegangkan, hingga akhirnya bisa selamat sampai sini.
Lexia berdiri tak jauh dari mereka, memperhatikan sosok Thom yang sedang berbicara dengan para perwira militer. Matanya menyipit sedikit, lalu menoleh ke arah Parker yang duduk di dekat Karin, sedang mengganti perban di perutnya.
"Parker," bisik Lexia sambil menyikut Simon. "Itu bokap lo ya?"
Parker melirik sekilas, lalu mengangguk pelan. "Iya, kenapa?"
Lexia bersiul pelan sambil masih memandang ke arah Thom. "Gila… cakep juga. Pantesan lo cakep, ternyata turunan 'wira negara'," katanya dengan nada menggoda, lalu tertawa kecil.
Pedri ikutan nyengir. "Fix... aura pahlawan emang turun-temurun di keluarga lo, Park."
Parker cuma menghela napas dan nyengir kecil, "Udah-udah, jangan lebay. Gue lagi luka loh."
Lexia melipat tangan dan tersenyum iseng, "Luka tapi masih bisa bikin cewek deg-degan... gokil."
Semua tertawa kecil—sejenak saja mereka bisa merasakan nuansa ringan, meski bahaya masih jauh dari kata usai.
Lisa duduk di sudut ruangan markas, menyendiri di bangku besi yang menghadap ke jendela kecil. Cahaya pagi menyelinap masuk, memantul di matanya yang tampak lelah. Rambutnya berantakan, seragamnya masih kotor dan robek di beberapa bagian. Tapi matanya... matanya penuh pikiran.
Dia memeluk lututnya, menyandarkan dagu, mendengarkan suara tawa kecil dari Parker dan teman-temannya tak jauh dari sana. Tapi dia tetap diam. Jauh di dalam dirinya, masih ada sisa trauma—tentang para pembully, tentang video yang tersebar karena paksaan, tentang bagaimana semua terasa kacau sebelum dunia ini kacau.
Beberapa tentara lewat di depannya, tak memperhatikannya. Lisa tak menggubris. Tapi kemudian, Riska menghampirinya dengan botol air dan roti.
"Lo udah makan belum?" tanya Riska, duduk di sampingnya.
Lisa menggeleng pelan.
Riska mengulurkan roti itu. "Gak ada yang salah dengan diam. Tapi kalau lo mau tetap hidup, lo harus kuat. Makan dulu."
Lisa menerima roti itu tanpa berkata apa-apa. Tapi sebelum Riska pergi, ia berkata pelan, "Mungkin... mereka yang nyakitin gue dulu udah mati. Tapi rasa sakitnya masih ada."
Riska menatapnya tajam tapi lembut. "Mereka mati... lo masih hidup. Itu udah cukup bukti siapa yang lebih kuat sekarang."
Lisa akhirnya menggigit rotinya perlahan. Untuk pertama kalinya sejak mereka tiba di markas, dia sedikit merasa... aman.
Casie dan Sandy duduk di sudut dekat tenda medis, tubuh mereka bersandar ke dinding. Angin pagi yang menerobos celah membuat mereka menggigil sedikit. Sandy memegangi perutnya dan mengerang pelan.
"Aduh… gue lapar, Cas," keluh Sandy sambil nyengir, mencoba meringankan suasana.
Casie melirik temannya itu lalu tersenyum kecil. "Iya, gue juga. Tapi kayaknya dapur umum belum buka."
Sandy merebahkan kepalanya di bahu Casie. "Gue kangen roti panggang sama telur setengah mateng…"
Casie tertawa pelan. "Lo gak kangen rumah?"
Sandy diam sebentar, lalu mengangguk pelan. "Kangen… tapi entah masih ada gak rumahnya."
Casie ikut diam. Tatapannya kosong menembus kejauhan, memikirkan semua yang udah mereka lewati. Lalu dia berkata, pelan, "Tapi lo masih hidup, San. Kita masih hidup."
Sandy tersenyum lemah. "Iya… berkat lo. Dan Parker. Dan semuanya."
Casie mengangguk, lalu berdiri. "Ayo cari dapur. Siapa tahu udah ada nasi bungkus."
Sandy langsung berdiri juga. "Kalau gak ada, gue cari zombie buat ditukar makanan."
Casie tertawa geli. "Gue rekamin, bisa jadi viral."
Mereka berjalan perlahan menuju area logistik, dua gadis remaja yang tertawa kecil di tengah dunia yang hampir kehilangan harapannya.
Di sisi lain, Jigo, Karin, dan Tania duduk di bangku kayu yang menghadap ke lapangan dalam markas. Udara masih pagi, tapi suasana di markas militer sudah terasa lebih sibuk. Tentara lalu lalang, sesekali terdengar bunyi komunikasi radio dan langkah-langkah berat sepatu bot.
Jigo menggoyangkan kaki sambil memegang cangkir kopi hangat yang baru saja ia dapat dari dapur umum. "Gila… akhirnya kita sampai juga di tempat yang agak bener," katanya sambil menyeruput.
Karin duduk di sampingnya, matanya masih menatap ke arah bangunan tempat Thom berada tadi. Raut wajahnya masih serius, tapi sedikit lebih tenang.
"Lo masih khawatir soal Parker?" tanya Tania sambil melipat tangan.
Karin mengangguk pelan. "Lukanya belum sembuh total. Dia mungkin gak ngeluh, tapi gue tahu itu nyiksa banget."
Jigo menoleh. "Anak itu kuat, Karin. Gak jauh beda sama bokapnya. Dulu Thom juga kena tusuk pas lawan manusia, ingat nggak?"
Karin tersenyum tipis. "Justru karena itu gue takut. Luka fisik bisa sembuh… tapi trauma?" Ia menghela napas.
Tania menatap langit yang mulai cerah. "Yang penting sekarang mereka selamat. Kita semua masih di sini. Itu udah keajaiban."
Jigo mengangkat cangkir kopinya. "Untuk keajaiban kecil kita, dan anak-anak yang sekarang lebih hebat dari kita."
Karin dan Tania tersenyum. Mereka saling bertukar pandang, seolah sama-sama menyadari: perjuangan belum selesai, tapi hari ini… mereka bisa bernapas sedikit lebih lega.
Eren sedang berdiri di dekat tenda logistik saat matanya menangkap sosok Casie yang duduk tak jauh dari sana, tengah meneguk air dari botol plastik. Rambutnya dibiarkan terurai, wajahnya terlihat lelah tapi masih memancarkan ketegaran.
Casie pun tak sengaja menoleh, dan pandangan mereka bertemu sejenak. Ada sesuatu yang menggantung di udara — percakapan yang belum selesai sejak semalam.
Tiba-tiba Parker muncul dari belakang Eren, membawa dua botol air dan beberapa bungkus roti. Tanpa banyak bicara, ia menyodorkan satu set pada Eren.
"Nih, bagi ke yang lain juga," ucap Parker singkat.
Eren menerimanya, agak terkejut. Ia melirik Parker dengan ekspresi heran tapi tak berkata apa-apa. Parker hanya mengangguk lalu berjalan ke arah Casie, menyodorkan air dan roti padanya juga sebelum lanjut membagikan ke teman-teman lain yang duduk tak jauh dari situ.
Eren masih menatap punggung Parker sesaat, lalu tersenyum kecil, samar. Meski keras dan meledak-ledak, ternyata Parker lebih memikirkan orang lain daripada dirinya sendiri.
Casie menerima roti dari Parker, menatapnya sebentar. "Thanks..."
Parker hanya menjawab pelan, "Makan yang banyak. Kita gak tahu kapan bisa makan lagi." Lalu ia melangkah pergi lagi, menyisakan keheningan kecil antara Eren dan Casie.
Parker kembali duduk di dekat tumpukan logistik, setelah membagikan air dan roti. Ia melihat Sandy sedang melipat jaket miliknya dengan lelah. Parker merogoh sakunya, mengeluarkan bungkus rokok yang tadi sempat ia ambil dari Sandy saat di bus.
Ia melemparkan bungkus itu pelan ke pangkuan Sandy.
"San," katanya sambil menyandarkan punggung, "sering-sering rokok, ya."
Sandy menatap Parker, heran. "Hah? Ngapain?"
Parker hanya mengedikkan bahu sambil tersenyum tipis. "Gak tahu juga... mungkin nikotin emang bikin lo tahan lebih lama dari yang lain."
Sandy mendengus kecil, lalu menatap bungkus rokok itu. "Gue juga heran. Harusnya gue udah berubah..."
Riska yang duduk tak jauh dari mereka ikut menimpali sambil mengasah sabitnya, "Atau mungkin lo cuma bandel, makanya virusnya juga takut nyatu."
Semua tertawa kecil. Untuk sesaat, di antara luka, trauma, dan kehancuran… mereka masih bisa menemukan sedikit ruang untuk bercanda.
Di tengah canda tawa yang mulai mereda, Parker tak bisa menahan untuk melirik ayahnya, Thom, yang tengah duduk bersama Jigo, berbicara tentang situasi yang semakin tegang. Sesekali mereka saling melempar pandangan serius, seakan memahami bahwa bahaya bisa datang kapan saja.
Parker merasa ada yang mengganjal di dadanya, dan meskipun di luar ia tampak tenang, dalam hatinya ia khawatir, terutama soal Sandy. Setelah beberapa saat, ia berdiri dan berjalan perlahan menuju arah ayahnya.
"Ayah," kata Parker pelan, matanya tidak lepas dari Sandy yang sedang duduk di sudut. "Tentang Sandy... gue nggak yakin dia aman."
Thom yang sedang mendengarkan Jigo langsung berhenti berbicara. Wajahnya berubah serius saat melihat kekhawatiran di mata Parker.
Tanpa berkata lebih, Thom bangkit dan mendekati Sandy yang sedang duduk tidak jauh dari mereka. Sandy tampak sedikit kebingungan saat Thom mendekat, namun langsung mengerti apa maksud Thom ketika ia melihat ekspresi serius di wajah ayah Parker.
"Sandy," kata Thom tegas, namun dengan nada yang lembut, "Kita harus bawa kamu ke ruang tes. Cek lebih lanjut kondisi tubuhmu."
Sandy menatap Thom, sedikit ragu, namun akhirnya mengangguk dengan pasrah. "Baiklah, Pak... Kalau itu yang perlu dilakukan."
Parker berdiri di samping ayahnya, mengawasi setiap gerak tubuh Sandy yang berdiri dan mulai berjalan perlahan. Sekarang, lebih dari sebelumnya, ia merasa betapa beratnya tanggung jawab yang ada di pundaknya sebagai kakak. Tidak hanya untuk melindungi adiknya, tetapi juga teman-temannya.
Rio dan yang lainnya memerhatikan Parker yang mendekat dengan ekspresi serius. Mereka tahu bahwa apa yang akan disampaikan Parker bukanlah hal yang biasa. Suasana semakin tegang, terutama setelah Sandy yang masih tampak cemas. Semua tahu, ini bukan hanya soal bertahan hidup—ini soal apakah mereka akan selamat dari virus ini atau tidak.
Parker berhenti di depan mereka, menatap satu per satu, lalu berkata dengan suara tegas, "Malam ini kita semua harus tes, untuk lihat apakah kita positif atau negatif. Kita harus tahu apakah ada infeksi atau nggak, sebelum semuanya terlambat."
Mereka semua terdiam sejenak, saling memandang. Rio mengangguk pelan, meskipun masih ada kecemasan di matanya. "Tapi, Parker, tesnya kayak gimana? Apa bener kita harus buka baju?"
Parker menghela napas, menjelaskan, "Setahu gue, tes ini bakal dilakuin dengan cara itu, buat ngecek apakah ada gigitan atau tanda infeksi yang nggak kelihatan. Kita nggak bisa sembarangan, harus pastiin semuanya aman. Kalau ada yang terinfeksi, kita harus tahu secepatnya."
Casie, yang dari tadi diam, akhirnya berkata dengan suara pelan, "Tapi... kalau kita ada yang positif, gimana, Kak?"
Parker menatap adiknya, mencoba memberikan rasa aman meski dirinya sendiri merasa khawatir. "Gue nggak tahu, Cas. Kita harus siap dengan apapun yang terjadi. Yang penting sekarang, kita lakukan tes dulu, dan pastikan semuanya aman. Jangan sampai ada yang ketinggalan."
Kemudian, dia menoleh ke arah yang lain, memastikan bahwa mereka semua mendengar dan mengerti. "Kita semua harus kuat. Ini untuk keselamatan kita semua."
Semua saling menatap, menyadari beratnya situasi ini, tapi tak ada pilihan lain. Mereka harus bertahan—untuk satu sama lain.
Lexia berbisik dengan suara pelan, mencoba untuk mengurangi ketegangan yang ada di udara. "Aku kira yang periksain kita khusus cewek, petugas cowok... Gila kali yah kalau cowok." Ia tertawa kecil meskipun ada kecemasan di matanya.
Riska hanya mengangguk pelan, sedikit tersenyum, meskipun jelas ada kekhawatiran. "Ya, mungkin mereka cuma pengen cek semuanya, Lex. Tapi ya, bisa jadi agak canggung juga."
Militer yang datang mulai mengarahkan mereka untuk masuk ke dalam area pemeriksaan. Di depan, beberapa tentara wanita tampak siap memimpin pemeriksaan, namun suasana tetap terasa serius. Semua orang berusaha untuk tetap tenang, meskipun ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan.
Parker berdiri di belakang, memandang adiknya, Casie, dan teman-temannya. "Kalian harus siap," katanya, matanya penuh perhatian. "Ini buat keselamatan kita. Percaya pada sistem ini, walaupun terasa nggak nyaman."
Sandy yang sudah dibawa terlebih dahulu, tampak tenang meski sedikit cemas. Militer wanita memeriksanya dengan hati-hati dan teliti, memastikan bahwa tidak ada tanda-tanda gigitan atau infeksi lainnya.
Setelah pemeriksaan selesai, militer wanita yang memimpin memandang ke arah Riska dan Lexia, memberi isyarat untuk maju. "Ayo, kita pastikan semuanya aman," katanya dengan suara tegas namun tetap sopan.
Lexia melirik Riska lagi, "Ayo, kita bisa lewati ini," bisiknya, mencoba memberi semangat pada temannya.
Setelah pemeriksaan selesai, satu per satu orang-orang diperiksa dengan seksama. Beberapa diantaranya terlihat gelisah, tapi tetap menjalani proses dengan penuh kesabaran. Casie dan teman-temannya sudah selesai, dan mereka mengembalikan pakaian mereka dengan cepat. Sandy yang sudah lebih dulu diperiksa, terlihat agak cemas meskipun tidak ada tanda-tanda gigitan di tubuhnya.
Di bagian belakang, Parker berdiri, menunggu gilirannya. Ia menatap ke depan dengan serius, sedikit gelisah meskipun berusaha untuk tetap tenang. Militer pria yang memimpin pemeriksaan kali ini memanggil namanya, "Parker, giliran kamu."
Parker mengangguk, berjalan menuju meja pemeriksaan dengan langkah tegas. Sesampainya di meja, militer itu meminta Parker untuk melepas bajunya dan berdiri tegak. Dengan sedikit ragu, Parker melakukannya, mengungkapkan tubuhnya yang penuh luka-luka kecil akibat bentrokan sebelumnya dengan zombie, tetapi tidak ada gigitan yang mencolok.
Militer pria memeriksa tubuhnya dengan hati-hati, memastikan tidak ada tanda-tanda gigitan atau luka yang bisa menandakan infeksi. Beberapa menit berlalu sebelum akhirnya pria tersebut mengangguk puas.
"Tidak ada gigitan atau tanda-tanda infeksi. Kamu aman, Parker," kata militer itu dengan suara tegas. "Namun, tetap waspada. Jika ada gejala yang muncul, segera laporkan."
Parker menarik napas lega, mengenakan kembali bajunya, dan mengangguk. "Terima kasih."
Setelah selesai, Parker kembali ke kelompoknya. Casie dan yang lainnya memandangnya, semua tampak menunggu dengan cemas. Begitu dia duduk, Casie memberi tatapan lega.
"Semua baik-baik saja?" tanya Casie, masih dengan rasa khawatir.
Parker mengangguk. "Ya, kita aman. Tapi, kita harus terus waspada. Jangan anggap ini selesai. Kalau ada yang merasa nggak enak badan, segera bilang."
Semua mengangguk setuju, dan suasana sedikit lebih lega. Namun, masih ada perasaan cemas di udara, karena meskipun semuanya aman untuk sekarang, situasi dunia yang semakin kacau membuat semua orang merasa tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Di ruang isolasi yang sepi dan dingin, Sandy duduk di atas ranjang kecil dengan tubuh berselimut selimut tipis. Dinding-dinding metalik dan cahaya lampu neon yang menyala terus-menerus membuat suasana makin tidak nyaman. Di sekelilingnya, hanya ada suara alat pemantau detak jantung dan nafasnya sendiri.
Tangan Sandy masih sedikit gemetar. Ia memandangi bekas gigitan di lengannya yang sudah dibersihkan dan dibalut rapi oleh petugas medis militer. Namun, rasa takut tetap menggerogoti pikirannya—takut akan berubah… atau mungkin lebih buruk, disuntik mati seperti para penyintas lain yang dianggap terlalu berisiko.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari luar. Pintu terbuka, dan masuklah seorang wanita berpakaian medis serta seorang pria berseragam militer. Wanita itu membawa tablet digital dan senyum tipis.
"Kami di sini untuk cek perkembangan, Sandy," katanya lembut.
Sandy mengangguk pelan. "Aku… aku masih belum berubah, kan?"
"Belum," jawab si dokter. "Dan itu hal baik. Tapi kami masih perlu observasi selama 24 jam ke depan. Kalau kamu tetap stabil… mungkin kamu jadi bukti bahwa mutasi virus ini bisa dikendalikan."
Sandy menelan ludah. "Kalau aku tetap hidup… aku bisa bantu kalian."
Petugas militer memandangnya serius. "Kita lihat nanti. Untuk sekarang, istirahat dan tetap tenang. Kami akan terus memantau."
Saat mereka pergi, Sandy merebahkan tubuhnya perlahan. Matanya menatap ke langit-langit. Meski dikelilingi ketidakpastian, satu hal jelas di pikirannya—jika ia bisa bertahan, ia akan jadi lebih dari sekadar penyintas. Ia akan jadi harapan.
Di sisi lain, di dalam toilet sekolah yang remang-remang dan penuh noda darah, Rama berdiri di depan wastafel yang retak. Air mengalir pelan dari keran tua saat ia membasuh wajahnya, mencoba menghilangkan jejak darah dan sisa daging Sammy yang masih menempel di pipinya.
Cermin di depannya retak, tapi cukup jelas untuk menunjukkan refleksi dirinya—mata merah samar, urat-urat di sekitar lehernya membengkak, dan kulit di sekitar luka gigitan di lengannya… mulai menutup. Bukan dengan cara normal, tapi seperti kulit yang tumbuh cepat, kasar, dan pucat.
Rama memandangi bekas gigitan itu. "Sialan…" gumamnya. "Kenapa gue masih hidup…"
Tangannya yang lain gemetar, dan ia melihat jari manisnya—patah. Tapi bukan hanya patah, jari itu tampak menggantung dengan posisi miring aneh, kulitnya menebal seperti jaringan mati yang belum sepenuhnya membusuk. Gerakannya kaku. Setengah zombie.
Rama tertawa kecil—dingin dan getir. "Jadi... gue bukan manusia… tapi belum sepenuhnya zombie juga?"
Ia meremas sisi wastafel, retakan semakin melebar. Dalam kepalanya, mulai muncul bisikan aneh, suara samar yang membuatnya senyum menyeringai.
"Aku kuat sekarang… mereka semua bakal lihat…"
Rama berjalan keluar toilet perlahan, dengan mata tajam dan langkah berat. Tidak sepenuhnya manusia. Tidak sepenuhnya monster. Tapi jelas… sesuatu yang lebih berbahaya.
Rama berjalan menyusuri lorong bangunan tua di sisi sekolah dengan langkah berat, tatapan matanya penuh amarah dan kegilaan yang tak bisa disembunyikan. Ia berbicara sendiri, tapi seolah ditujukan langsung pada Parker.
"Parker… lo tunggu ya. Markas militer, hah? Tempat lo ngumpet-ngumpet sama anak-anak itu? Kecil. Gue acak-acak tuh markas," gumamnya dengan nada rendah tapi menusuk.
Rama mencengkeram sisa tongkat besi karatan yang ia temukan di jalan. "Gue jebak lo. Lo pikir lo pahlawan? Sok jadi kakak pelindung. Sok berani. Gue kasih tau, dunia udah gak butuh orang kayak lo."
Ia tertawa pelan, lalu berhenti dan menatap ke kejauhan. "Gue jadi relawan militer aja, ya. Mereka pasti suka sama orang kayak gue… kuat, tahan gigitan, dan gak mati-mati. Gue bisa nyusup. Bisa ngacak-ngacak dari dalam."
Senyumnya melebar tak wajar. Luka di tubuhnya memang belum sembuh total, tapi Rama sudah bukan manusia biasa lagi. Dan pikirannya kini sepenuhnya tertuju pada satu hal—menghancurkan Parker dan segala yang ia lindungi.