War Of The Dead 2

Esoknya, langit di atas markas militer mulai memucat, menandakan pagi telah datang. Udara dingin masih menggigit, dan sebagian besar penghuni markas masih terlelap dalam kelelahan.

Parker duduk di tangga luar bangunan utama, menatap kosong ke arah pagar kawat berduri yang mengelilingi markas. Bahunya dibalut jaket militer tipis, dan luka di perutnya masih diperban. Di tangannya, secangkir kopi instan mengepul pelan.

Thom datang menghampiri dengan langkah tenang, lalu duduk di samping putranya.

"Kamu gak tidur?" tanya Thom pelan, memecah keheningan di antara mereka.

Parker hanya mengangkat bahu, lalu menyesap kopi. "Gak bisa. Kepala gue penuh. Sandy, Casie, semua orang di sini... kayaknya gak bisa nyantai."

Thom mengangguk, matanya menatap lurus ke depan. "Kamu mirip gue waktu muda. Gak bisa tidur kalau mikirin orang lain. Tapi kamu harus ingat, Parker, kamu gak bisa ngelindungin semua orang sendirian."

Parker menatap ayahnya sebentar, lalu menghela napas. "Tapi gue harus coba, kan?"

Thom menepuk bahu anaknya pelan. "Kamu udah ngelakuin lebih dari cukup. Tapi kamu juga harus jaga diri. Jangan sampai hancur sebelum perang selesai."

Parker terdiam. Tatapannya kembali ke pagar, tapi di matanya ada semangat yang masih menyala—meski lelah, ia belum menyerah.

Karin datang membawa dua piring berisi makanan hangat, disusul oleh Casie yang menggandeng termos air panas. Mereka menghampiri Thom dan Parker yang masih duduk di tangga luar, menatap pagi yang masih berkabut.

“Ayo makan dulu, sebelum dingin,” ucap Karin sambil duduk di samping Thom, menyodorkan piring.

Casie duduk di samping Parker, menyerahkan termos. “Ini, teh. Biar gak makin pucat,” katanya pelan.

Parker menerimanya, sempat menatap Casie sebelum akhirnya tersenyum tipis. “Makasih.”

Mereka makan bersama dalam keheningan yang tenang. Di tengah kekacauan dunia, momen kecil seperti ini terasa begitu berharga—mengingatkan mereka pada masa lalu sebelum semuanya berubah.

Namun tak lama, langkah cepat terdengar mendekat. Seorang prajurit menghampiri mereka.

“Jenderal Thom,” ucapnya memberi hormat, “Anda dipanggil Komandan Miko. Katanya penting.”

Thom meletakkan sendoknya, menoleh ke Karin dan anak-anaknya. “Jaga mereka.”

Karin mengangguk singkat, memahami tatapan suaminya.

Thom berdiri, mengikuti prajurit menuju bangunan utama markas. Di dalam, Komandan Miko tengah menunggu—dulu ia hanyalah Letnan saat insiden Labuan Bajo terjadi, tapi sekarang, dialah pemimpin operasi militer di wilayah ini.

Pertemuan itu akan jadi awal dari fase baru dalam perjuangan mereka.

DI DALAM RUANG KOMANDAN

Thom berdiri di hadapan Komandan Miko yang sedang membolak-balik laporan di mejanya.

Miko: “Pagi ini kami menerima rombongan pengungsi baru. Beberapa dari mereka menyebut diri sebagai staf pengajar dari SMA Merah Putih.”

Thom: (menajamkan mata) “Sekolahnya Parker…”

Miko: “Kami sedang memverifikasi identitas mereka dan kondisi kesehatannya. Kami butuh bantuanmu untuk komunikasi jika perlu.”

Thom: “Siap. Aku akan bantu.”

DI LUAR Sejumlah guru masuk digiring tentara. Mereka kelelahan, tapi masih sadar dan bersyukur bisa selamat. Di antara mereka terlihat Bu Ratih, Pak Adi, dan Pak Gunawan.

Lisa, yang sedang duduk dengan Rio dan Zino, langsung berdiri dengan mata membelalak.

Lisa: “Itu… guru-guru kita!”

Rio bangkit. “Seriusan? Itu Pak Gunawan! Sama Bu Ratih!”

Tiba-tiba, dari belakang barisan pengungsi, sosok pemuda kurus muncul. Rama. Wajahnya pucat, bola matanya sedikit keruh, ada bekas luka samar di lehernya yang tampak... tidak wajar. Tapi ia berdiri tegap dan tersenyum sinis.

Lexia: (tegang) “Gila... itu... Rama?!”

Zino: “Enggak mungkin. Dia... dia digigit, kan?”

Lisa menegang. “Dia seharusnya udah mati.”

Rama melangkah pelan, dan tatapannya langsung tertuju pada satu orang: Parker, yang tengah berjalan sambil membawa kotak logistik.

Rama: (senyum miring, pelan) “Lama nggak ketemu, Parker…”

Parker menoleh. Tubuhnya langsung tegang saat melihat Rama.

Parker: (berbisik pada dirinya) “Lo… masih hidup?”

Casie, Riska, dan Eren berdiri beberapa langkah di belakang Parker, melihat Rama yang baru saja muncul di antara pengungsi. Wajah mereka langsung berubah tegang, terutama Casie yang tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejut.

Casie: (terbelalak) “Rama… Dia… harusnya sudah mati, kan?”

Riska: (mendekat ke Casie, berbisik) “Gue… nggak ngerti. Itu… nggak mungkin.”

Eren: (serius, menatap Rama dengan hati-hati) “Dia digigit. Lo semua lihat kan, dia diserang zombie waktu itu?”

Casie: “Tapi… dia masih hidup! Kalau dia nggak mati, berarti dia... dia berubah?” (menarik napas dalam-dalam, bingung)

Riska: “Gue nggak tahu. Tapi yang jelas, ada yang aneh dengan dia.”

Mereka semua terdiam sesaat, menatap Rama yang kini berjalan mendekati Parker. Wajahnya penuh dengan senyum sinis, seperti ingin menunjukkan bahwa dia masih berkuasa.

Casie: (berbisik) “Parker, hati-hati.”

Parker yang mendengar Casie, menatap Rama dengan tatapan tajam. Ia merasa ketegangan mulai menghampirinya. Rama berjalan ke arahnya dengan langkah perlahan dan penuh percaya diri, membuat Parker semakin waspada.

Parker: (dengan nada tegas) “Lo masih hidup, Rama?”

Rama: (tersenyum) “Kenapa, Parker? Lo khawatir sama gue? Gue nggak bakal mati, kok. Gue malah jadi lebih kuat dari sebelumnya.”

Parker menggigit bibirnya, merasa ada yang aneh dengan keadaan Rama. Dia bisa merasakan bahwa Rama bukanlah orang yang dulu mereka kenal. Namun, ia tetap harus menjaga kewaspadaan.

Eren: (dengan suara rendah, mengingatkan) “Parker… hati-hati.”

Rama mendekatkan wajahnya, dan tatapannya semakin tajam, seolah menyembunyikan rencana besar di balik senyumannya.

Rama: (dengan suara pelan, penuh nada ancaman) “Kita lihat siapa yang bertahan lebih lama, Parker.”

Rama melangkah dengan santai menuju dalam markas, seolah tidak ada yang salah dengan dirinya. Dia mengenakan pakaian militer relawan yang diberikan oleh pihak markas. Parker dan yang lain memerhatikannya dengan cermat, rasa curiga semakin mendalam.

Rama tersenyum lebar. “Ayolah, bro. Gue cuma jadi relawan di sini. Kayaknya enak ya, bisa bantu orang di tengah-tengah kekacauan ini,” ujarnya sambil melangkah masuk, meninggalkan Parker dan yang lain di luar. Suasana tegang di antara mereka.

Parker berbisik kepada Eren, “Dia sama kayak Sandy. Virusnya bermutasi.”

Eren menatap ke arah Rama yang sedang berjalan masuk. “Lo yakin? Bukannya dia seharusnya udah berubah setelah digigit?”

Parker menggigit bibir. “Mungkin... Tapi dia nggak seperti zombie. Dia masih bisa ngomong dan jalan biasa, bahkan nggak ada luka yang parah. Itu yang bikin gue khawatir.”

Riska mencoba berpikir logis. “Tapi lo lihat itu, nggak ada bekas gigitan yang jelas, kan? Cuma luka kecil yang kayak goresan aja. Gimana kalau dia cuma terluka?”

Rio memperhatikan Rama masuk lebih jauh. “Militer nggak bakal percaya, gue rasa mereka nggak akan anggap itu sebagai masalah. Lihat aja, bekas lukanya nggak berbentuk gigitan. Itu lebih kayak luka gesekan atau goresan biasa.”

Parker mengernyitkan dahi, berpikir keras. Rambut belakang lehernya meremang. Dia merasa ada yang aneh. Sesuatu yang lebih besar sedang terjadi, dan mereka belum tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Rama.

Parker berbicara dengan suara berat, “Mungkin aja. Tapi kita nggak bisa tenang. Lo tahu sendiri, virus ini nggak main-main. Sandy aja bisa jadi begitu, tiba-tiba…”

Eren menatap Parker, khawatir. “Tapi lo harus hati-hati, Parker. Kalau Rama bener-bener berubah, bisa jadi dia lebih berbahaya dari yang kita kira.”

Riska melihat ke arah Rama yang semakin jauh. “Jangan lupa, kita juga nggak tahu seberapa banyak militer tahu soal ini. Mereka masih belum paham betul tentang virus ini.”

Parker berdiri tegak. “Ya, kita bakal cari tahu. Tapi untuk sekarang, kita harus tetap waspada. Militer bisa bantu, tapi kita juga harus siap kalau ada yang nggak beres.”

Rama yang telah masuk ke dalam bangunan markas militer kini berada di ruang pengujian. Di sana, seperti yang dilakukan pada semua pengungsi, ia menjalani tes untuk memastikan apakah dia terinfeksi atau tidak. Dia tidak menunjukkan tanda-tanda bahaya, dan tidak ada reaksi aneh. Namun, Parker merasa semakin yakin bahwa sesuatu tidak beres.

Dari dalam, terdengar suara santai Rama, “Gue baik-baik aja, kok. Tesnya cuma formalitas kan?”

Di luar, Parker dan yang lain hanya bisa memandang dengan curiga.

Parker berbisik, “Dia bisa jadi ancaman, tapi kita belum tahu pasti. Kita harus cari tahu lebih banyak.”

Eren mengangguk. “Ayo kita coba bicarakan dengan komandan Miko. Mungkin kita bisa cari jalan keluar sebelum semuanya terlambat.”

Rafi, Dimas, dan Mario duduk di dekat api unggun, melemparkan candaan satu sama lain untuk mengurangi ketegangan yang menyelimuti malam itu. Tertawa kecil mereka terasa aneh di tengah kehancuran yang melanda dunia. Namun, di antara tawa dan obrolan ringan, ketua kelas mereka menulis sesuatu di atas kertas, terlihat serius, seolah ingin melupakan situasi yang menakutkan.

Di sisi lain, Riska, Casie, Laxie, dan Lisa duduk bersama. Lisa terlihat gelisah. Tangan kanannya mengepal, jelas terlihat bahwa ketakutannya semakin meningkat.

"Kenapa Rama masih hidup?" gumam Lisa dengan suara gemetar. "Dia... dia pembuli yang harusnya mati. Kenapa dia bisa kembali? Kenapa dia nggak berubah jadi zombie?"

Riska berusaha menenangkan Lisa. "Tenang, Lisa. Kita nggak tahu pasti. Mungkin ada sesuatu yang berbeda dengan virus ini, kita harus hati-hati."

Namun, Lisa tidak bisa menenangkan dirinya. Pikiran tentang Rama yang masih hidup terus menghantui dirinya. "Dia nggak seharusnya ada di sini. Dia harus mati."

Eren dan Simon duduk bersama, terpisah dari yang lainnya. Mereka duduk dengan tenang, meski suasana terasa sangat mencekam. Mereka bisa merasakan ketegangan yang menggantung di udara. Tidak ada yang datang mengganggu mereka, suasananya sepi, hanya suara angin dan jarak yang terasa membekukan.

Tiba-tiba, Eren menatap keluar pagar markas, matanya menyipit, seakan merasa ada sesuatu yang tidak beres.

"Lo lihat itu?" Eren berbisik pelan, menunjuk ke arah pagar.

Simon mengikuti arah pandang Eren dan terdiam, matanya membulat. Di kejauhan, terlihat sesosok tubuh bergerak-gerak dengan cepat di luar pagar. Ketika fokus, Eren dan Simon menyadari bahwa itu adalah Rama. Tapi kali ini, dia tidak sendirian.

Rama menggigit seorang militer yang sedang patroli di luar markas, tubuhnya terjatuh dengan tubuh kaku dan tak bergerak. Gigi Rama terbenam di leher militer tersebut, dan dalam hitungan detik, tubuh pria itu terkulai lemas.

"Shit..." Eren berbisik, hatinya berdebar. "Dia... dia nyerang orang-orang di luar!"

Simon langsung berdiri. "Kita harus kasih tahu yang lain! Kalau dia sudah mulai menggigit, berarti ada lebih banyak orang yang terancam!"

Di dalam markas, kekacauan mulai terjadi. Para militer yang ada di sekitar Rama tiba-tiba terserang rasa panik. Mereka melihat dengan ngeri bagaimana tubuh teman mereka yang baru saja digigit mulai menunjukkan tanda-tanda perubahan.

"Rama... dia... nggak berubah jadi zombie?" Tanya salah seorang prajurit yang masih memantau keadaan, merasa cemas. "Apa yang dia lakukan, kenapa dia menyerang kita?"

Di luar, ketegangan semakin meningkat. Orang yang telah digigit mulai menunjukkan gejala-gejala yang mengerikan—mulai menggigit sesama anggota militer. Dalam hitungan detik, lebih banyak tentara yang terjangkit virus, dan kegilaan pun menyebar dengan cepat.

Rama hanya tersenyum, matanya penuh kegilaan. Ia berjalan dengan tenang ke dalam markas, mencari Parker. Dia ingin membuat kekacauan lebih besar.

"Kalau mereka nggak tahu siapa gue, gue bakal bikin mereka tahu. Parker, kita harus bertemu," gumamnya sambil melangkah, menatap mata orang-orang yang sedang panik.

Parker berdiri di luar, melihat ke arah markas yang semakin ramai dengan militer yang panik. Eren dan Simon mendekat dengan ekspresi khawatir. "Rama... dia... udah mulai menggigit orang, kayak zombie!" Eren berkata dengan terburu-buru.

Parker menatap mereka dengan serius. "Itu nggak mungkin. Rama nggak mungkin jadi zombie. Tapi kalau dia sudah menggigit orang lain, kita harus segera keluar dari sini."

Riska datang dari belakang, wajahnya pucat. "Tunggu, kita harus hati-hati. Kita nggak tahu apakah dia udah bermutasi atau nggak, tapi kalau dia sudah mulai menyerang orang lain, kita nggak bisa tinggal di sini lagi."

Parker menggigit bibir, berpikir cepat. "Kita harus keluar sebelum semuanya jadi kacau. Kalau markas sudah diserang, kita nggak akan punya tempat aman lagi."

Di luar, suara tembakan mulai terdengar. Keadaan semakin mencekam. Rama telah memulai kekacauan yang dia inginkan. Parker dan yang lainnya tahu, mereka harus bertindak cepat.

Di dalam markas, suasana mulai kacau. Tembakan terdengar dari berbagai arah, dan suara teriakan pengungsi yang panik mengisi udara. Komandan Miko dan Thom keluar dari ruang komando, mata mereka penuh ketegangan. Komandan Miko berteriak, memerintahkan para pengungsi untuk segera masuk ke dalam mobil militer. "Bawa mereka masuk mobil, sekarang juga!" teriaknya dengan suara yang penuh otoritas.

Beberapa militer mulai menembak untuk menghalau zombie yang semakin banyak datang. Sementara itu, Thom mencari-cari Jigo, Tania, dan istrinya, Karin. Ia berlari ke arah mereka, berusaha menuntun anak-anak masuk ke mobil yang sudah siap.

Namun, di tengah keributan, Jigo tergigit saat mencoba membantu pengungsi. Pandangan Thom berubah gelap. Ia berlari ke arah Jigo, namun temannya itu sudah jatuh ke tanah, tubuhnya mulai berubah.

Parker berlari untuk membantu teman-temannya yang terjebak. Beberapa pengungsi, termasuk Dimas, mulai dikejar dan digigit. Sisa-sisa pengungsi yang selamat berlari panik mencari perlindungan.

Dimas bersembunyi dibalik tumpukan barang, tubuhnya gemetar ketakutan. Rio dan Rafi, yang berlari bersamanya, digigit oleh zombie yang menyerbu mereka. Parker berteriak, "Rio! Rafi!" dalam kepanikan. Namun, semua sudah terlambat.

Ketua kelas berhasil lolos dari serangan zombie, tetapi dari samping, teriakan keras terdengar. "Arrgh!" Zombie menggigit lehernya, dan dalam hitungan detik, ketua kelas itu pun jatuh, berubah menjadi salah satu dari mereka.

Eren berlari mencari Casie, dan akhirnya ia menemukannya di belakang. Mereka berdua bergerak cepat menuju tempat di mana Parker berada, berlari secepat yang mereka bisa.

Karin, yang sedang berusaha menyelamatkan Tania, tiba-tiba juga digigit. Ia merasa lemah, dan darah mengalir dari luka di lengannya. Thom, yang melihat kejadian tersebut, langsung menarik Karin dan berlari menuju Parker.

"Masuk ke mobil!" teriak Thom kepada Dimas, Eren, Casie, dan Riska. Mereka cepat-cepat naik ke dalam mobil, sementara Thom berlari kembali ke dalam markas, berusaha menemukan Komandan Miko.

Thom berlari dengan cepat menuju ruang komando, tetapi begitu ia tiba, ia melihat Komandan Miko sudah terjatuh. Komandan itu digigit, tubuhnya mulai bergetar dan berubah menjadi zombie. Thom merasakan hatinya hancur, tapi dia tahu, harus cepat keluar dari sana.

Ia bergegas mencari Sandy, dan begitu menemukan ruang isolasi tempat Sandy berada, ia membukakan pintu. Sandy keluar, masih dalam keadaan bingung dan lemah, namun dengan sedikit kekuatan yang tersisa.

Tiba-tiba, dua militer bernama Fito dan Karel muncul dari sudut markas. "Jenderal, markas ini sepertinya harus dibom. Tidak ada waktu lagi," kata Fito dengan nada tegas.

Thom, tidak bisa menunggu lebih lama lagi, segera memerintahkan Fito untuk membawa Sandy masuk ke dalam mobil militer yang masih tersisa. "Bawa dia ke mobil!" teriak Thom, memastikan semuanya keluar secepat mungkin.

Di dalam mobil, Karin tampak gelisah. "Casie, di mana Parker?" tanyanya dengan suara terputus-putus, cemas.

"Dia masih di dalam," jawab Casie, suaranya juga penuh kecemasan.

Di dalam markas, Parker masih berdiri, merokok, dengan wajah penuh kelelahan dan ketegangan. Dua kali ia menghisap rokoknya, berusaha menenangkan diri. Ia melihat Rama berdiri di hadapannya, pistol terarah ke pundaknya.

Rama, dengan senyum sinis, berkata, "Kau kira bisa kabur begitu saja, Parker? Aku akan mengakhiri ini."

Parker mematikan rokoknya dengan cepat, lalu menggosokkan ujungnya ke bajunya, berusaha menghilangkan bau rokok. Ia tahu zombie bisa mencium bau manusia, dan itu bisa menjadi masalah besar. "Lo nggak bisa menyelesaikan ini dengan cara seperti ini, Rama," kata Parker dengan suara tenang, meski hatinya penuh amarah.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar. Rama bersiap menembak, namun sebelum ia bisa bertindak, tiba-tiba tubuhnya terjatuh berlutut. Parang terbenam di tubuhnya, yang dilempar dengan akurat oleh Lisa.

Rama terjatuh, tubuhnya terkulai lemas.

Thom dan Karel berlari mendekat, dan Karel segera menarik Lisa menjauh dari Rama. Thom, dengan cepat, menarik Parker keluar dari ruangan itu. "Markas ini sebentar lagi akan meledak, kita harus keluar dari sini!" kata Thom dengan suara yang penuh tekanan.

Thom dan Parker akhirnya masuk ke dalam mobil. Di dalam, mereka merasakan sedikit kelegaan. "Akhirnya, kita keluar," kata Parker, sedikit lega meskipun tubuhnya terasa lelah.

Mereka semua duduk dalam diam, mendengarkan suara ledakan dari jauh yang menandakan bahwa markas militer itu akan segera hancur.

Parker menatap keluar jendela mobil, mengingat semua yang terjadi, sementara orang-orang di dalam mobil mulai merasa sedikit tenang. Namun, mereka tahu bahwa perjalanan masih panjang, dan ancaman tidak akan pernah berhenti.

Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, suara mesin berderu di tengah keheningan yang tegang. Di dalam, suasana terasa hening, meskipun ketegangan tetap melingkupi semua yang ada di dalamnya.

Riska akhirnya打 berucap, memecah keheningan. "Anak SMA tersisa kita," kata Riska, pandangannya tertuju ke luar jendela, "Dan orang dewasa tinggal dua militer dan Tante Karin, serta Jenderal Thom—bokap Parker dan Casie."

Dimas yang duduk di sebelahnya, tampak sedikit terdiam, lalu ia membuka mulut, mencoba menambah pembicaraan. "Iya, kita hampir nggak ada yang tersisa," ujarnya pelan. "Tapi kita harus tetap bertahan. Kita nggak bisa nyerah sekarang."

Eren dan Lisa terdiam, masing-masing dengan pikiran dan perasaan yang sulit untuk diungkapkan. Eren menatap kosong ke depan, seolah-olah berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. Di sampingnya, Lisa memegang erat tangannya, ekspresi wajahnya menunjukkan kecemasan yang mendalam.

Sementara itu, Casie merangkul Sandy yang duduk di sampingnya, tubuh Sandy tampak pucat, masih dalam keadaan lemah. Casie bisa merasakan betapa rapuhnya Sandy saat ini, dan dengan lembut ia berbisik, "Kamu baik-baik aja, San. Kita semua ada di sini."

Sandy hanya mengangguk pelan, meski wajahnya menunjukkan kelelahan yang luar biasa. "Aku nggak tahu seberapa lama aku bisa bertahan," katanya dengan suara yang hampir tak terdengar.

Suasana di dalam mobil semakin terasa tegang, setiap orang terperangkap dalam pikiran mereka sendiri, terjebak dalam kenyataan yang pahit bahwa dunia mereka telah berubah dalam sekejap. Mereka tahu, perjuangan belum berakhir, dan ancaman yang mengintai di luar sana masih sangat besar. Tapi, untuk saat ini, mereka hanya bisa terus bergerak, berharap untuk menemukan tempat yang aman.

Suasana yang sebelumnya tegang dan mencekam perlahan mulai sedikit mencair ketika Parker, dengan cara khasnya, membuka pembicaraan.

Parker menoleh ke Lisa yang duduk di sampingnya, mencoba menghilangkan ketegangan yang masih terasa di udara. "Lisa, lo tahu nggak? Tadi itu keren," katanya dengan senyum kecil, meskipun ada kegelisahan yang masih tersisa di matanya.

Lisa melirik Parker, sedikit bingung. "Maksud lo?" tanyanya, mencoba memahami arah pembicaraan.

Parker terkekeh pelan, memiringkan kepalanya. "Meskipun keren, tapi serem juga loh," jawabnya. "Lo bener-bener membunuh pembuli yang setengah zombie. Itu...gila banget."

Lisa menatap Parker, dan sejenak ada kekakuan di antara mereka, sebelum akhirnya ia menyadari bahwa Parker hanya mencoba mencairkan suasana. Perlahan, senyum tipis muncul di wajahnya, meskipun masih ada sedikit keraguan di matanya.

Dan begitu juga dengan yang lain. Casie, Riska, Eren, bahkan Dimas, yang biasanya cenderung serius, ikut tersenyum, meskipun senyum mereka terlihat sedikit aneh dan dipaksakan. Sepertinya, mereka semua baru kali ini merasakan sedikit tawa setelah begitu banyak peristiwa mengerikan yang terjadi.

Di luar jendela, pemandangan gelap dan sunyi berlalu, tetapi sejenak, tawa itu, meskipun canggung, memberi mereka sedikit rasa ringan, seolah memberi mereka harapan bahwa mereka masih bisa mempertahankan sedikit kenormalan di dunia yang semakin kacau ini.

Mobil berhenti dengan suara rem yang berat, mengerem perlahan hingga akhirnya berhenti di tengah hutan. Pemandangan di sekitar mereka gelap, dengan pohon-pohon tinggi yang menjulang, memberi kesan bahwa mereka berada di tempat yang sangat terpencil. Hanya cahaya dari kendaraan dan beberapa lampu kecil yang memberi sedikit penerangan.

Para penumpang di dalam mobil mulai membuka pintu, dan satu per satu mereka keluar. Mereka memandang markas yang terletak di tengah hutan, sebuah struktur yang tampaknya sudah cukup lama, namun masih tampak kokoh meskipun dikelilingi oleh alam liar.

Militer yang menjaga markas menyambut kedatangan mereka dengan pandangan yang waspada. Beberapa dari mereka mengenakan pelindung tubuh dan memegang senjata dengan siap siaga. Komandan Vaughn, yang sejak tadi berada di belakang mobil, memimpin mereka menuju pintu masuk markas.

"Masuk, cepat," perintah Vaughn, dengan nada tegas namun khawatir. "Kami harus segera mengatur semuanya di dalam."

Parker, Casie, Riska, Eren, dan yang lainnya mengikuti Vaughn memasuki markas, dengan pandangan yang penuh ketegangan. Mereka masih belum tahu apa yang akan mereka hadapi di dalam, tapi yang mereka tahu adalah mereka harus bertahan, tidak peduli dengan apa yang ada di depan.

Begitu memasuki markas, mereka bisa melihat beberapa militer lainnya yang sedang berjaga-jaga, berbicara dengan cepat, dan mengatur peralatan yang tampaknya digunakan untuk memantau situasi luar.

"Tempat ini tidak seperti yang kalian pikirkan," ujar Vaughn sambil menatap semua orang dengan serius. "Kita berada di tempat yang sangat jauh dari peradaban yang tersisa. Kita harus bersiap menghadapi kemungkinan terburuk."

Parker memandang sekeliling, merasakan betapa beratnya dunia ini kini. Ini bukan tempat untuk menemukan kenyamanan, tapi mungkin satu-satunya tempat di mana mereka bisa bertahan lebih lama.

"Jadi, apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Parker, suaranya penuh keraguan.

Vaughn menatapnya, lalu berbalik ke arah para militer. "Kita akan bertahan di sini," jawabnya. "Tapi ini hanya sementara. Kami harus mencari cara untuk menghentikan penyebaran virus ini, atau semua ini akan sia-sia."

Di tengah hutan yang sunyi dan markas yang diliputi ketegangan, mereka tahu bahwa ini adalah titik balik yang besar dalam perjuangan mereka untuk bertahan hidup. Tidak ada lagi tempat yang aman, hanya perjuangan dan kepercayaan satu sama lain yang dapat membawa mereka lebih jauh.

Jenderal Thom memandang sekeliling, memastikan bahwa semua orang sudah berada di tempat yang aman, meskipun ketegangan masih terasa di udara. Dia tahu bahwa malam ini akan menjadi malam yang panjang dan penuh kecemasan.

"Anak-anak, semuanya tidur," perintah Thom dengan nada yang tegas namun penuh perhatian. "Kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok, jadi kalian butuh energi untuk bertahan."

Parker, Casie, Riska, Eren, dan yang lainnya saling bertukar pandang. Meskipun mereka merasa cemas, mereka tahu bahwa mengikuti perintah Thom adalah cara terbaik untuk tetap aman, setidaknya untuk malam ini.

Thom memandang mereka satu per satu. "Kalian sudah melalui banyak hal. Sekarang kita perlu beristirahat, sejenak. Jangan khawatir, kami akan menjaga kalian."

Casie mengangguk pelan, meskipun masih terlihat khawatir. Dia melirik ke arah Parker, yang sudah duduk di dekatnya, tampaknya sedang berpikir tentang banyak hal. Eren dan Lisa juga duduk bersama, berusaha untuk mencari sedikit ketenangan.

Sementara itu, di sudut ruangan, Jenderal Vaughn dan beberapa militer lainnya tampak sibuk memeriksa perangkat komunikasi dan mempersiapkan strategi untuk menghadapi ancaman yang mungkin muncul. Mereka tahu bahwa markas ini hanyalah tempat sementara, dan ancaman zombie serta kemungkinan serangan dari manusia lain selalu mengintai.

Setelah beberapa saat, suasana mulai sedikit lebih tenang. Anak-anak yang masih muda, seperti Casie dan Riska, mulai berbaring di tempat tidur yang sudah disiapkan untuk mereka. Parker dan Eren duduk terpisah, masing-masing merenung tentang apa yang akan mereka lakukan selanjutnya.

"Lo baik-baik aja?" tanya Eren kepada Parker, yang masih terlihat sedikit terganggu dengan apa yang terjadi.

Parker mengangguk pelan. "Cuma capek, Eren. Banyak yang harus dipikirin."

Eren mengerti. "Kita semua merasa kayak gitu. Tapi kita bisa lewat ini. Lo gak sendirian."

Parker menghela napas dan melihat ke arah Casie yang sudah tidur. "Gue cuma nggak tahu kalau kita bisa bertahan lebih lama di sini. Tapi kita harus coba."

Di luar, suara angin berdesir di antara pepohonan yang tinggi. Keheningan malam terasa begitu mencekam, tapi di dalam markas, ada sedikit harapan bahwa mungkin mereka bisa bertahan sedikit lebih lama, menemukan tujuan baru, dan bertahan hidup lebih lama.

Namun, malam ini mereka tidak tahu bahwa ancaman terbesar bisa datang dari dalam, bukan hanya dari zombie atau manusia luar. Mereka harus tetap waspada, beristirahat sejenak, dan bersiap untuk apapun yang akan datang.