War Of The Dead 2

Sinar matahari mulai menembus sela-sela pepohonan lebat yang mengelilingi markas kecil itu. Kabut pagi masih menggantung rendah ketika Karin menghampiri Thom yang sedang duduk di bangku kayu, menikmati kopi pahit dari termos logam militer.

Karin duduk di sampingnya, wajahnya agak tegang tapi juga ada senyum canggung.

Thom menoleh dan bertanya pelan, “Ada apa, Rin?”

Karin menghela napas. “Aku mau jujur... Sebenarnya kita udah punya anak lagi. Anak ketiga.”

Thom yang baru saja mau menyesap kopi langsung berhenti di tengah jalan, matanya membulat. “Hah?! Kok bisa??”

Karin memelototinya setengah geli. “Kok nanya?! Ya siapa lagi kalau bukan ulah kamu?”

Thom terdiam sejenak, lalu geleng-geleng sambil terkekeh tidak percaya. “Jadi… Parker dan Casie bakal punya adik? Astaga, Rin... kenapa baru kasih tahu sekarang?! Giliran dunia udah kayak kiamat begini baru ngomong. Kemarin kamu hampir digigit zombie! Untung kamu nggak mati duluan.”

Karin nyengir. “Aku tuh awalnya mau kasih kejutan... eh malah kejebak kejar-kejaran zombie, markas dibom, dan aku hampir jadi lauk makan malam. Kejutan jadi deg-degan.”

Thom tertawa pelan sambil menepuk dahinya. “Ya ampun, hidup kita drama banget. Kalau anak ini lahir selamat, kita kasih nama... Miracle aja deh.”

Karin menyikut pelan. “Nama kayak sabun pencuci.”

Thom nyengir. “Yaudah, terserah ibunya aja deh. Yang penting kamu sehat, bayi kita juga sehat.”

Keduanya terdiam sejenak, menikmati momen langka di tengah dunia yang kacau. Untuk sekali ini, tawa kecil dan kabar mengejutkan terasa seperti harapan di tengah reruntuhan.

Di sisi belakang markas, suara aliran sungai kecil terdengar jernih di antara pepohonan tinggi yang rimbun.

Parker berdiri di bawah tenda, menatap antrean panjang menuju kamar mandi militer.

Ia menoleh ke Eren dan Dimas yang sedang duduk selonjoran, terlihat bosan. “Udahlah, daripada nunggu lama, kita mandi di sungai aja yuk. Tadi gue liat ada aliran sungai nggak jauh dari sini.”

Eren bangkit sambil merenggangkan badannya. “Sungai? Boleh juga. Asal jangan airnya dingin banget aja.”

Dimas tertawa kecil. “Daripada nggak mandi tiga hari, air dingin mah nggak masalah.”

Mereka bertiga mengambil handuk lusuh dan baju ganti seadanya. Berjalan menyusuri jalur kecil yang penuh semak, menuju suara gemericik air.

Saat sampai, mereka langsung melihat aliran sungai yang tenang, airnya bening dan dingin menyegarkan. Parker langsung loncat ke air, cipratan kemana-mana.

“Wah, dingin banget!” teriaknya sambil tertawa.

Eren ikut nyemplung sambil menyiram wajah. “Tapi enak juga. Ini mendingan daripada rebutan sabunan di tenda.”

Dimas duduk di batu besar, mencelupkan kakinya, lalu ikut menyusul ke air. “Rasanya kayak liburan kalau nggak inget di luar sana lagi kiamat zombie.”

Mereka bertiga tertawa bareng. Di tengah kengerian dan tekanan selama ini, sesaat mereka bisa merasa jadi remaja biasa lagi.

Tiba-tiba dari arah atas tebing sungai, terdengar suara memanggil.

“Hei! Parker! Kalian di bawah ya?” teriak Casie sambil mencondongkan tubuh dari atas, tampak penasaran melihat aliran sungai di bawah.

Ketiganya langsung refleks panik.

“Woi! Tutupin! Ada cewek!” teriak Dimas sambil setengah membenamkan diri ke air, hanya kepalanya yang terlihat, ekspresinya kocak.

Eren juga buru-buru jongkok dalam air, menutupi tubuhnya dengan tangan, wajahnya merah. “Astaga... Casie, jangan ke sini dulu lah!”

Casie terdiam sejenak, lalu berseru polos, “Loh, rame banget di atas, kamar mandi penuh. Gue kira sepi di sini...”

Parker menoleh santai ke belakang, melihat Casie yang masih berdiri di atas, lalu kembali menghadap depan dan membasuh tubuhnya tenang, seperti tidak terganggu. Setelah itu, ia perlahan menenggelamkan badannya ke dalam air, hanya menyisakan kepala.

Dimas berbisik, “Kok lo kalem banget sih, Park...”

Parker menjawab setengah nyengir, “Udah biasa gue disergap situasi mendadak...”

Namun tiba-tiba, dari balik semak di atas, muncul Riska, Sandy, dan Lisa.

“Hah?!” seru mereka bertiga serempak begitu melihat yang di bawah sungai.

Casie spontan memutar badan, menutupi pandangan teman-temannya. “Eh! Eh! Eh! Jangan lihat ke sana! Kita mandi di bagian atas aja, ya! Mereka bertiga lagi mandi tuh, biar nggak ganggu.”

Riska menahan tawa, Sandy menutup mulut, dan Lisa langsung memalingkan muka.

Sandy nyeletuk, “Fix, ini kayak sinetron. Tapi... versi zombie.”

Mereka semua tertawa cekikikan sambil naik ke arah bagian sungai yang lebih atas, menyisakan Parker, Dimas, dan Eren yang masih kedinginan dalam air, tapi lega karena krisis visual sudah lewat.

Dimas mengomel dengan ekspresi kesal yang dibuat-buat, “Ahhh nyebelin banget! Gue udah ngerasa aman, eh tahu-tahu kayak mau disergap pas mandi!”

Eren tertawa kecil, menutup mulutnya biar suaranya nggak nyaring. “Hahaha... nasib, Mas. Tapi ekspresi lo tadi priceless banget sih.”

Parker yang dari tadi tenang, akhirnya ikut tersenyum tipis. “Biar adem, Mas,” ujarnya singkat sambil memercikkan air ke arah Dimas.

“Woi!” Dimas langsung membalas dengan cipratan lebih besar. “Lo mulai, ya!”

Eren ikut-ikutan, dan dalam sekejap mereka bertiga terlibat dalam perang ciprat air yang riuh tapi seru. Suasana yang sempat tegang beberapa hari terakhir, perlahan mencair. Tawa mereka mengalun di antara gemericik sungai dan rindangnya hutan, sejenak menghapus bayang-bayang dunia yang kacau di luar sana.

Setelah selesai mandi, Parker naik ke tepian sungai. Ia mengambil celana training dari batu yang kering, lalu melap tubuhnya dengan handuk kecil seadanya. Ia mengenakan celana, lalu duduk di atas batu besar yang hangat terkena sinar matahari pagi.

Punggungnya yang basah perlahan mengering, dan Parker membiarkan tubuh bagian atasnya terbuka tanpa baju. Ia menunduk, mengusap rambut yang masih meneteskan air, lalu memandang kosong ke arah aliran sungai.

Wajahnya berubah hening. Dalam benaknya, terlintas bayangan Rio yang selalu melempar lelucon receh saat suasana tegang, juga Rafi yang setia menyodorkan makanan kalau ada sisa. Dua sahabatnya. Dua orang yang kini hanya tinggal kenangan.

Parker menghela napas pelan, lalu menggenggam batu kecil di tangannya. Ia gumam, lirih tapi penuh arti, “Kita masih hidup, bro. Tapi... rasanya nggak lengkap tanpa kalian.” Ia lempar batu kecil itu ke sungai. Cipratan kecil menyambut keheningan.

Angin pagi menyapu lembut rambutnya. Parker menatap langit, diam… namun matanya menyimpan janji bahwa semua ini belum berakhir.

Di sisi lain, tak jauh dari aliran sungai bagian atas yang lebih tersembunyi di balik bebatuan dan rimbun pepohonan, Casie, Riska, Sandy, dan Lisa sedang mandi. Suara gemericik air dan tawa kecil mereka sesekali terdengar.

Casie mencipratkan air ke Riska yang sedang membasuh rambut.

“Eh! Casie! Airnya dingin banget!” teriak Riska sambil tertawa geli.

“Biar segar, dong,” jawab Casie dengan senyum lebar.

Sandy duduk di batu kecil, membasuh lengannya pelan. Wajahnya masih terlihat pucat, tapi ia ikut tersenyum melihat keakraban mereka. Lisa, yang sejak tadi lebih diam, akhirnya ikut tertawa kecil saat Riska mencipratkan air balik ke Casie.

“Lumayan ya, bisa mandi bersih walau lagi ngungsi,” kata Lisa sambil menyeka wajahnya.

“Daripada bareng anak-anak cowok itu. Bisa perang air beneran nanti,” sahut Riska.

Casie tertawa, “Tadi aja mereka panik pas gue nyaris nyelonong ke tempat mereka mandi.”

Mereka semua tertawa ringan, meski di balik senyuman itu masing-masing menyimpan beban. Tapi pagi itu, di antara suara alam dan air sungai yang jernih, mereka merasa seperti remaja biasa—sejenak melupakan bahwa dunia di luar sedang kacau.

Sandy memandang air sungai yang mengalir tenang di depannya, matanya menerawang. Ia menarik napas dalam, lalu tersenyum kecil sambil berkata pelan,

"Setidaknya... sebelum gue mati, gue masih bisa ketawa."

Casie, Riska, dan Lisa langsung menoleh. Suasana jadi hening sesaat. Tapi Sandy justru tertawa kecil dan tanpa ragu, ia menarik bajunya, melemparkannya ke batu lalu melompat ke air dengan cipratan besar.

"Cebuuurrr!" serunya.

Lisa yang tadi terdiam, ikut tertawa.

“Yah! Kalau gitu… gue juga dong!” serunya sambil mengikuti, melepaskan bajunya dan menyusul Sandy meloncat ke air.

Casie dan Riska terkejut, tapi kemudian ikut tertawa melihat mereka. Sandy muncul ke permukaan, rambutnya basah menempel di wajah, tapi senyumnya lebar.

"Hidup cuma sekali, girls!" katanya lantang, air menetes dari wajahnya.

Casie menatapnya dalam diam, lalu tersenyum tipis. Ia sadar, meski dunia mereka kini dipenuhi kehancuran, tawa sederhana seperti itu... sangat berharga.

Dimas berjalan paling belakang, melihat Parker yang masih belum mengenakan bajunya sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil. Ia bersiul pelan.

“Gila ya, Park... body lo udah kayak model iklan olahraga,” godanya sambil tertawa.

Eren nyengir, ikut menimpali, “Pantesan waktu di sekolah dulu banyak cewek yang diem-diem suka lo. Lo kalau diem doang, auranya tajem banget, sekarang tambah jadi.”

Parker melirik mereka sambil menghela napas pendek, lalu berkata datar, “Yaelah lebay amat. Biasa aja kali.”

Dimas tertawa makin keras. “Biasa kata lo, padahal dari tadi lo jalan gak pake baju, gaya banget nyantai gitu. Ngaku aja lo tahu lo keren.”

Parker hanya mengangkat bahu, tapi sudut bibirnya sedikit terangkat, tersenyum tipis.

Eren menyikut Dimas pelan, “Udah jangan puji-puji terus, nanti Parker makin susah senyum lagi.”

Mereka bertiga tertawa kecil sambil berjalan kembali ke arah perkemahan, sinar matahari pagi menyinari jalan setapak di antara pepohonan tinggi. Meski dunia mereka porak-poranda, tawa seperti itu adalah kemewahan kecil yang layak dinikmati.

Saat mereka berjalan kembali ke perkemahan, mereka bertemu dengan Casie, Riska, Sandy, dan Lisa yang sedang menuju ke arah sungai. Casie langsung melirik Parker yang masih tanpa baju dan mengerutkan dahi.

“Heh, bule ikan lele, pakai baju gak? Jangan pamer!” Casie melontarkan protes dengan suara lantang, membuat Parker langsung tersipu malu.

Parker buru-buru meraih bajunya dan mengenakannya dengan cepat. “Udah, udah. Gak ada yang mau liat,” jawabnya sambil melirik Casie yang masih cemberut.

Dimas dan Eren saling melirik, lalu tertawa kecil, menahan tawa karena melihat reaksi Casie dan Parker yang malu-malu. Casie hanya mendengus dan melanjutkan langkahnya.

“Malu-maluin,” kata Casie dengan ekspresi kesal tapi masih ada senyum di sudut bibirnya.

Riska dan Lisa hanya tertawa melihat kejadian itu, sedangkan Sandy yang biasanya lebih pendiam, ikut tertawa kecil juga. Parker melanjutkan langkahnya dengan Dimas dan Eren, masih sedikit kesal dengan komentar Casie.

“Ayo, kita ke sana,” kata Dimas dengan nada santai, mencoba mengubah topik obrolan.

Namun, Eren hanya menggelengkan kepala, sambil memandangi dua sahabatnya yang saling bercanda. "Gue rasa, hidup kita masih bakal penuh dengan kejutan-kejutan kayak gini," ujarnya sambil tersenyum tipis.

Parker menatap Eren dengan ekspresi serius, meskipun nada suaranya tetap santai. "Ingat kejadian di kedai waktu itu, lo sama Casie," katanya, "Jangan ulangi lagi, oke? Kalaupun iya, lo ciuman sama dia, setidaknya jangan sampai orang lihat. Tapi tetap aja, jangan macam-macam lagi."

Eren terkejut, dan matanya melotot. "Eh, serius lo?" jawabnya dengan nada kaget. "Gue cuma... ya tahu lah," lanjutnya sambil mencoba tersenyum canggung.

Dimas yang berjalan di belakang mereka langsung ikut mencampuri percakapan dengan antusias, "Ah, serius lo, Eren?" Ia bahkan sedikit tertawa terbahak, merasa sedikit terganggu dengan situasi tersebut. "Gue kira lo gak bakal sebegitunya," tambahnya, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengar.

Riska, Sandy, dan Lisa yang berjalan di belakang mereka juga mulai menyadari percakapan yang sedang berlangsung dan ikut kepo. Mereka saling melirik satu sama lain, dengan Lisa yang tampak pura-pura tidak peduli, namun senyumnya sedikit terkekeh.

Casie, yang sedikit lebih jauh, ikut mendengar percakapan itu, dan mulutnya tersenyum sinis. "Jangan mikir lo bisa ngatur gue, Parker," gumamnya pelan, namun cukup terdengar oleh mereka.

Parker hanya menggelengkan kepala dengan sedikit senyum. "Gue gak ngatur lo, Cas. Cuma, lo tahu kan, ini bukan waktu yang tepat buat hal-hal kayak gitu."

Eren mengerutkan dahi, "Ya, gue ngerti. Tapi jangan jadiin masalah deh."

Dimas tertawa kecil lagi. "Bener banget. Jangan sampai ada drama lebih lanjut, udah cukup hidup kita chaos gini," katanya, mencoba meredakan ketegangan yang ada.

Semua tertawa ringan, walaupun obrolan ini masih meninggalkan sedikit rasa canggung di udara, terutama di antara Eren dan Casie.

Setibanya mereka di markas, suasana mulai sedikit tenang meskipun semua orang masih terlihat tegang. Mereka keluar dari kendaraan militer dan mulai bergerak menuju ke dalam markas. Karin berjalan dekat dengan Casie, berbisik dengan suara pelan, nyaris tak terdengar oleh orang lain. "Hah, mama hamil??"

Casie yang mendengar pertanyaan itu langsung terdiam sejenak. Matanya membelalak, dan dia menatap ibunya dengan sedikit kebingungan, seolah tak tahu apa yang harus dijawab. Namun, saat itu Parker yang berjalan di depan mereka mendengar bisikan tersebut. Ia langsung menoleh dengan ekspresi terkejut.

"Hah, mama hamil?" Parker bertanya, nada suaranya menunjukkan bahwa ia benar-benar terkejut dengan berita yang baru saja ia dengar. Wajahnya seketika menjadi bingung, seolah berusaha memahami apa yang sedang terjadi. "Tapi... kenapa gak bilang dari dulu?" tanyanya lebih lanjut, terlihat jelas bahwa ia sedikit bingung sekaligus terkejut.

Karin menghela napas dan mengangkat bahunya, memberikan senyum canggung kepada anak-anaknya. "Aku... aku ingin memberi kejutan," jawabnya pelan. "Tapi, ternyata semua ini jadi lebih rumit dari yang aku kira."

Casie menatap ibunya dengan sedikit kebingungan. "Mamah... emang bisa?" tanya Casie, masih tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

Parker, yang masih terkejut, akhirnya mengangguk, walau ekspresinya tampak bingung. "Kalau gitu... kita punya adik baru?" tanyanya dengan nada hati-hati, mencoba menerima kenyataan baru ini.

Karin mengangguk pelan. "Ya... kalau Tuhan mengizinkan," jawabnya, berusaha memberikan ketenangan meskipun suasana di sekitar mereka masih penuh ketegangan.

Keheningan melanda beberapa detik, sebelum Parker akhirnya berusaha tersenyum, meski tidak sepenuhnya bisa menyembunyikan perasaan bingung dan terkejut yang masih ada di wajahnya. "Oke, berarti... kita bakal jadi keluarga lebih besar."

Casie menatap kakaknya dan kemudian tersenyum, meskipun sedikit ragu. "Ayo, kita coba bertahan lebih lama lagi," katanya pelan, mencoba menerima kenyataan ini.

Namun, di dalam hati, semua anggota keluarga ini merasa bahwa masa depan yang tak pasti semakin mendekat.

Di sisi lain, Riska, Sandy, dan Lisa duduk bersama di luar markas, mencoba untuk beristirahat sejenak setelah semua kekacauan yang terjadi. Mereka tampak sedikit cemas, dan Riska akhirnya memutuskan untuk bertanya pada Sandy yang sejak kejadian sebelumnya masih belum menunjukkan perubahan yang jelas meskipun telah digigit oleh zombie.

"San, kenapa lo masih belum berubah ya?" tanya Riska, suaranya terdengar penuh keingintahuan dan sedikit khawatir. "Virusnya lama banget bermutasinya, kan?"

Sandy menatap Riska sejenak, tampak berpikir keras sebelum akhirnya menjawab dengan nada datar, "Gue nggak tahu. Gue juga bingung kenapa virusnya nggak bekerja secepat yang gue duga. Mungkin tubuh gue bisa tahan atau... entahlah."

Lisa, yang duduk di sebelah Sandy, ikut menimpali dengan suara pelan, "Tapi lo harus hati-hati, San. Virusnya bisa saja bekerja kapan saja. Lo nggak tahu kapan lo bakal berubah jadi... mereka." Lisa menatap Sandy dengan kekhawatiran yang terlihat jelas di matanya.

Sandy menarik napas panjang dan menunduk sejenak. "Gue tahu. Gue juga takut. Tapi gue nggak bisa ngelakuin apa-apa sekarang. Kita cuma bisa nunggu dan lihat ke depannya."

Riska menatap Sandy, agak tak rela, tapi dia tahu bahwa tidak ada yang bisa dilakukan saat ini selain menunggu. "Semoga aja lo nggak berubah. Kita butuh lo di sini, San," kata Riska dengan penuh harap.

Sandy tersenyum tipis, meskipun senyumannya itu terlihat sedikit terpaksa. "Gue juga harap begitu," jawabnya pelan.

Ketiganya terdiam sejenak, masing-masing sibuk dengan pikiran mereka sendiri, merasa cemas akan masa depan yang semakin tidak pasti. Namun, mereka juga tahu bahwa dalam situasi seperti ini, satu-satunya yang bisa mereka lakukan adalah bertahan hidup dan berharap yang terbaik.

Lisa menatap Riska dengan penasaran, lalu bertanya, "Ris, lo masih pacaran sama Parker?"

Riska menunduk sejenak, tampak sedikit ragu sebelum akhirnya menjawab dengan suara pelan, "Nggak, kita udah putus."

Lisa terkejut, "Kenapa? Padahal lo dan Parker keliatan deket banget sebelumnya."

Riska menghela napas berat. "Alasan utamanya, orang tua gue nggak setuju sama hubungan kita. Mereka nggak suka kalau gue pacaran sama dia. Gue nggak tahu kenapa, mungkin mereka merasa hubungan itu bisa ngerugiin gue atau ada masalah lain. Jadi, akhirnya gue mutusin buat nggak lanjutkan."

Lisa mengangguk memahami, meskipun terlihat sedikit kecewa. "Tapi lo nggak nyesel, kan?"

Riska menggeleng pelan. "Nggak, sih. Memang susah, tapi keadaan berubah. Sebenarnya Sekarang gue udah pindah ke bali walaupun situasi sekarang... ya, lo tahu lah, nggak jelas. Gue nggak tahu juga gimana nasib mereka sekarang. Semua jadi kacau."

Lisa bisa merasakan kekhawatiran dalam suara Riska, dan dia pun menghela napas pelan. "Lo nggak tahu kan gimana keadaan mereka sekarang, ya?" tanyanya, suaranya penuh empati.

Riska hanya mengangguk pelan, matanya tampak kosong. "Iya. Gue cuma bisa berharap mereka baik-baik aja."

Lisa meletakkan tangan di bahu Riska sebagai bentuk dukungan. "Kita semua di sini, Ris. Apa pun yang terjadi, kita hadapin bareng-bareng."

Riska tersenyum kecil, merasa sedikit lebih tenang. "Makasih, Lis. Semoga aja semuanya akan baik-baik aja."