War Of The Dead 2

Parker duduk bersila di lantai markas, memperhatikan botol plastik bening yang setengah terisi air. Thom duduk di sebelahnya, tersenyum mengenang masa lalu.

“Dulu waktu jadi pengungsi, kami suka main beginian buat ngilangin stres,” kata Thom sambil memutar botol di lantai. “Lempar botol, siapa yang gagal berdiriin... kena hukuman. Biasanya disuruh nyanyi atau cerita lucu.”

Eren dan Dimas tampak tertarik. “Kayaknya seru juga, Jenderal,” sahut Dimas.

“Coba dulu, deh,” kata Thom, lalu menyodorkan botol ke Parker.

Di sisi lain, Sandy duduk santai bersama Riska dan Lisa, sambil mencuri dengar percakapan antara Thom dan anak-anak.

“Eh, serius deh,” bisik Sandy sambil menyikut Riska pelan, “Jenderal Thom tuh... ganteng dan manis banget gak sih? Auranya tuh... beh... berwibawa tapi adem.”

Lisa mengangguk pelan, “Aku juga ngerasa gitu. Gak heran sih kalau Parker juga auranya keren. Nurun jelas itu.”

Sandy tertawa kecil. “Iya, dan tante Karin juga tuh... cantik tapi tenang gitu. Power couple banget.”

Lisa yang semula ikut tertawa bersama Sandy dan Riska, tiba-tiba diam saat melihat Riska tersenyum ke arah Parker. Tatapan Lisa perlahan berubah—senyumnya memudar, tergantikan dengan raut yang sulit dijelaskan. Matanya menatap Parker dan Riska bergantian, lalu ia mengalihkan pandangan.

Sandy yang menyadari perubahan itu sempat melirik Lisa sekilas. Ia tak langsung bertanya, hanya mengangkat alis dan mencatat dalam hati.

Riska masih tersenyum samar ke arah Parker, tanpa sadar Lisa mengatupkan rahangnya pelan. Ia tak berkata apa-apa, tapi jelas ada sedikit rasa tidak nyaman yang muncul di hatinya.

Sandy akhirnya berbisik pelan, setengah bercanda tapi menguji, “Kenapa, Lis? Jangan bilang lo naksir Parker juga?”

Lisa cepat-cepat menoleh dan memaksakan senyum, “Hah? Enggaklah. Ngaco.”

Tapi Sandy tahu. Senyum itu terlalu kaku. Tatapan Lisa yang sesekali kembali ke arah Parker juga terlalu jelas untuk disembunyikan.

Parker berjalan santai dengan aura khasnya—tatapan tajam yang seolah menyapu setiap sudut sekitar, membuat siapa pun yang memperhatikannya tak bisa mengabaikan keberadaannya. Lisa, tanpa sadar, mengikuti gerak-geriknya. Ada sesuatu dalam cara Parker bergerak yang menarik perhatian, entah itu sikapnya yang santai tapi penuh kewaspadaan atau sekadar caranya membawa diri.

Parker mengambil botol minum yang tergeletak di meja, meneguk isinya beberapa kali, lalu dengan cuek memberikannya pada Casie yang baru mendekat.

Casie langsung mengernyit, “Ih, bekas lo, yah, Park?”

Parker menatap adiknya dengan ekspresi santai, “Mulut gue bersih.”

Casie mendelik sebelum akhirnya mengambil botol itu juga. “Tapi tetep aja...” gumamnya, sebelum akhirnya menyerah dan meminum airnya juga.

Dimas dan Eren yang melihat hanya tertawa kecil. Sandy dan Riska juga ikut tersenyum melihat interaksi kakak-adik itu. Sementara Lisa, masih diam di tempatnya, menatap Parker sedikit lebih lama dari seharusnya.

Parker duduk bersandar santai di sebelah Thom yang masih sibuk memperhatikan anak-anak lain bermain. Dengan nada setengah bercanda tapi serius, Parker berkata pelan, “Pah… Casie kayaknya punya crush.”

Thom menoleh, alisnya sedikit terangkat. “Crush? Siapa?”

Parker menunjuk pelan ke arah Eren yang sedang duduk tak jauh, bercanda dengan Dimas. “Eren…”

Thom hanya tersenyum kecil, tidak menunjukkan kemarahan atau kecurigaan sama sekali. “Pah gak pernah marah kalau anak-anak jatuh cinta. Yang penting tahu batas, tahu waktu, dan tahu tanggung jawab.”

Parker ikut tersenyum, lalu mengangguk pelan. “Tenang, Eren anak baik, cuma kadang agak… ya lo tau lah.”

Thom tertawa kecil. “Kamu juga dulu gitu, Park. Sama persis.”

Parker melirik ayahnya sambil menahan senyum. “Jadi, udah bisa dibilang Casie ketularan gaya gue?”

Thom menjawab sambil mengusap kepala Parker, “Atau mungkin… kamu ketularan gaya Karin waktu muda.”

Parker menghela napas sambil nyengir. “Gawat juga tuh kalau iya.”

Karin menghampiri Parker dan Thom, mendekat dengan senyuman kecil di wajahnya. "Papah, kamu tuh persis... sang playboy," katanya dengan nada setengah bercanda, setengah serius.

Parker menatap ibunya dengan pandangan bingung. "Eh, maksudnya?"

Karin tertawa kecil, melihat suaminya. "Kata kakak ayah, almarhum Sony, dia cerita waktu itu pas kita ngobrol. Katanya, ayah kamu tuh playboy, bahkan sampai waktu kita sampai di pengungsian, dia ketemu lagi sama mantannya Kylie."

Parker terdiam sejenak, mulutnya terbuka sedikit, lalu ia tertawa canggung. "Ya ampun, itu kan dulu. Gak usah diceritain lagi."

Thom hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis, menyadari apa yang sedang terjadi. "Kamu lihat, Park? Selalu ada yang tahu tentang masa lalu kita."

Karin menambahkan dengan nada jenaka, "Dan kamu gak bisa lari dari masa lalu itu, kan?"

Parker mendengus dan mengusap wajahnya. "Masa lalu... selalu kembali mengejar."

Casie yang mendekat dan mendengar obrolan itu, tertawa kecil. "Yah, kalau begitu, ayah kita memang playboy ya?"

Parker menatap Casie dengan tatapan serius, tapi kemudian senyum tipis muncul di wajahnya. "Jangan terlalu percaya, Casie. Itu cuma cerita lama."

Karin tertawa lagi, sambil melirik Thom. "Lama atau nggak, tetap aja playboy."

Tiba-tiba, Karel muncul dari kejauhan, berjalan cepat mendekati Thom yang sedang bercakap-cakap dengan Karin dan Parker. Wajah Karel tampak serius, sedikit terengah-engah, seakan ada sesuatu yang penting yang harus disampaikan.

"Jenderal Thom," Karel memanggil dengan nada tegas, "Komandan Vaughn meminta rapat dengan Anda. Segera."

Thom menatap Karel dengan serius, memahami bahwa ini adalah sesuatu yang tidak bisa ditunda. "Terima kasih, Karel. Beri tahu mereka untuk menunggu sebentar." Ia berpaling ke Karin dan Parker, memberikan tanda agar mereka tetap tenang. "Karin, Park, aku harus pergi sebentar. Rapat dengan Komandan Vaughn. Tunggu aku di sini, ya?"

Karin mengangguk, meski wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Hati-hati, Thom."

Parker hanya tersenyum kecil, menepuk bahu ayahnya. "Jangan lama-lama, ya."

Setelah memastikan semuanya baik-baik saja, Thom mengangguk pada Karel, lalu mengikuti langkahnya menuju ruang rapat. Di sepanjang perjalanan menuju ruang pertemuan, Karel tidak banyak bicara, hanya sesekali melirik Thom, menandakan betapa pentingnya rapat itu.

Sesampainya di ruang rapat, Komandan Vaughn sudah menunggu, duduk di depan meja besar dengan ekspresi serius. Beberapa staf militer lainnya juga hadir, semuanya terlihat siap untuk mendengarkan keputusan yang akan dibuat.

"Jenderal Thom," Komandan Vaughn memulai, "Kita harus membahas langkah selanjutnya. Situasi semakin genting, dan kita harus memutuskan apakah kita akan bergerak lebih jauh atau mempertahankan posisi kita di sini. Apa pendapat Anda?"

Thom menatap Komandan Vaughn dan staf militer lainnya, perasaan berat menghantui hatinya. Ini bukan hanya tentang bertahan hidup, tapi juga tentang keputusan-keputusan sulit yang harus diambil demi masa depan kelompok mereka.

Thom menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, matanya yang tajam menatap Komandan Vaughn dan staf lainnya. "Bagaimana kalau kita pindah ke Labuan Bajo? Kota itu sudah mulai dalam tahap pembangunan lagi. Walaupun masih ada beberapa tantangan, tempat itu memiliki potensi untuk menjadi titik aman yang lebih baik daripada bertahan di sini tanpa arah."

Komandan Vaughn menatap Thom, tampaknya mempertimbangkan kata-katanya dengan serius. "Labuan Bajo? Itu wilayah yang sangat strategis, memang, dan pembangunannya sudah mulai berjalan lagi setelah serangkaian kerusakan yang terjadi. Tapi kita harus berbicara dengan atasan dan menteri, karena ini bukan keputusan yang bisa kita buat sendiri. Tidak hanya masalah pertahanan, tapi juga logistik, sumber daya, dan keamanannya."

Thom mengangguk, menandakan bahwa ia setuju. "Benar, kita harus melibatkan mereka, tapi kita juga tidak bisa terus menunggu tanpa kepastian. Kita harus mempertimbangkan keselamatan semua orang di sini. Jika kita tetap berada di sini, kita mungkin terjebak dalam ketidakpastian. Kita perlu keputusan yang cepat, secepat mungkin."

Karel yang duduk di sebelahnya mengangguk setuju. "Pindah ke Labuan Bajo bukan ide buruk, terutama jika mereka sudah memulai pembangunan kembali. Kita bisa mendapat akses ke sumber daya yang lebih baik dan melindungi diri kita lebih baik di sana."

Thom menatap ke luar jendela, pikirannya melayang pada kemungkinan untuk masa depan mereka. "Tapi kita juga harus memikirkan risiko. Jika kita memutuskan untuk bergerak ke Labuan Bajo, kita harus siap menghadapi tantangan baru—baik dari kondisi yang belum stabil maupun ancaman dari manusia yang mungkin lebih berbahaya."

Komandan Vaughn berpikir sejenak, sebelum berkata dengan tegas, "Baiklah, kita akan segera berbicara dengan atasan dan menteri mengenai hal ini. Saya akan mengatur pertemuan dengan mereka. Sementara itu, kita harus tetap waspada dan terus mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan. Jika Labuan Bajo adalah jalan kita ke depan, kita harus siap dengan segala resikonya."

Thom mengangguk, merasa sedikit lega bahwa ada kemajuan dalam rencana mereka. "Terima kasih, Komandan. Saya akan menyiapkan tim untuk menyusun rencana pergerakan lebih lanjut."

Dengan itu, pertemuan berakhir. Thom tahu bahwa keputusan besar akan segera diambil, dan jalan yang mereka pilih akan menentukan nasib mereka semua.