Malam itu sunyi, tapi tidak bagi Sandy. Ia duduk dengan tangan menutupi telinga, tubuhnya gemetar. Detak jantung orang-orang di sekitarnya terdengar jelas, seperti genderang yang menggema di dalam kepalanya. Lehernya berurat, matanya mulai memerah. Nafasnya memburu.
Pelan, ia berdiri dan berjalan keluar tenda. Langkahnya berat, seperti menahan sesuatu dalam dirinya. Dan tiba-tiba—ia berubah. Tubuhnya menegang, matanya kosong, dan dengan gerakan cepat ia menerkam ke arah Riska.
"Aaah!" Riska terkejut, terhuyung. Sandy menggigit bagian lengan bajunya. Lisa yang berada dekat segera mendorong Sandy dengan panik. Dimas bergerak cepat menarik Riska menjauh, sementara Eren menahan tubuh Sandy agar tidak menyerang lagi.
Namun terlambat—prajurit Karel yang melihat kejadian itu segera mengangkat senjatanya. DOR! tembakan menghantam Sandy tepat di dada. Tubuh itu jatuh ke tanah tanpa suara. Lalu suara tembakan lain meledak—DOR!—mengenai paha Riska.
"Aaaah!!" Riska jatuh sambil menahan nyeri di kakinya.
Parker langsung maju, menahan Fito yang mengangkat senjatanya lagi. "Kenapa kau tembak Riska?! Dia masih hidup!"
Fito menoleh cepat. "Dia digigit, Parker! Kau tahu aturannya!"
"Dia bisa jadi kunci, Fito! Sandy itu jelas berbeda—dia tidak langsung jadi zombie. Bisa jadi ada sesuatu dalam tubuh mereka. Bahan eksperimen untuk penawar!"
Keributan itu menarik perhatian. Jenderal Thom datang bersama dua pengawal. Wajahnya serius saat melihat Riska terbaring dengan darah di pahanya.
"Ada apa ini?!"
"Dia digigit!" seru Fito.
"Tidak!" Riska menjawab dengan nafas terengah. "Dia cuma... gigit bajuku... nggak kena kulit..."
Karin segera turun dan memeriksa luka Riska. Ia mengoyak sisa kain yang robek dan memperhatikannya. "Yah... benar. Ini cuma robekan di baju. Tidak ada bekas luka di kulitnya."
Parker menghela napas panjang. "Lihat, aku bilang kan. Kita nggak bisa langsung tembak semua orang."
Thom menatap jenazah Sandy yang tergeletak tak bernyawa. Wajahnya muram. "Kita harus tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi... Virus ini sudah tidak seperti dulu."
Tiba-tiba, suara gerakan pelan terdengar dari arah tubuh Sandy.
Semua yang ada di situ sontak menoleh. Tubuh Sandy—yang tadinya diam dan tampak tak bernyawa—bergerak perlahan. Jari-jarinya menekuk, lehernya berputar kaku, matanya terbuka lebar tanpa cahaya. Nafas siapa pun tercekat. Sandy... bangkit.
"Thom..." bisik Karin dengan ngeri.
Tanpa pikir panjang, Jenderal Thom menarik pistol dari sarungnya. Dalam satu gerakan cepat dan terlatih, ia menodongkan senjata ke kepala Sandy—dan DOR!
Tubuh Sandy terlempar ke belakang, darah menggenang di tanah. Kali ini, benar-benar tak bergerak.
Hening. Semua terdiam. Wajah-wajah remaja di sekitar Thom tampak pucat dan kaget. Riska menggenggam tangan Lisa erat, tubuhnya masih gemetar. Casie memalingkan wajah, matanya berkaca-kaca. Parker menunduk, menggertakkan giginya.
Thom menurunkan senjatanya perlahan. Suaranya rendah dan dingin.
"Ini bukan pertama kalinya seseorang yang kita sayangi bangkit... dan bukan dirinya lagi."
Ia menatap anak-anak itu, satu per satu.
"Ingat. Di dunia sekarang, kita harus bisa membedakan antara harapan... dan kenyataan."
Air mata Casie jatuh satu per satu, membasahi pipinya yang dingin oleh angin malam. Ia menatap tubuh Sandy yang kini tergeletak tak bernyawa di tanah yang lembab, dengan mata kosong penuh luka.
“Sandy…” bisiknya pelan, suaranya gemetar, nyaris tak terdengar.
Lisa memeluk bahu Casie dari samping, berusaha menenangkan, tapi dirinya sendiri juga hampir menangis. Riska yang masih terbaring dengan luka di pahanya ikut menunduk, bibirnya bergetar. Semua terasa berat—terlalu cepat, terlalu mendadak.
Dimas berdiri mematung, rahangnya mengeras. Eren menunduk dalam, tangannya mengepal, menahan perasaan marah dan sedih yang bercampur jadi satu.
Parker melangkah pelan ke arah Casie, lalu duduk di sebelahnya. Ia meraih tangan adiknya dan menggenggamnya erat.
“Kita gak bisa nyalahin Sandy,” kata Parker pelan. “Dia berjuang... sampai akhir.”
Casie mengangguk pelan, air mata masih jatuh.
“Dia cuma... capek,” ucap Casie lirih. “Sandy cuma mau ketawa... sebelum dia mati. Dan sekarang…”
Thom menatap anak-anak itu dari kejauhan, wajahnya keras namun matanya tampak berat. Ia tahu, kehilangan seperti ini tidak akan pernah jadi mudah, terutama bagi mereka yang masih muda.
Malam itu sunyi. Angin menggoyang pepohonan pelan, seolah ikut berkabung.
Dan di antara keheningan dan luka, mereka tahu—besok pagi akan tetap datang. Tapi malam ini… adalah malam untuk menangis.
Kai mendekat dengan langkah pelan, menyampingkan senjatanya lalu membungkuk sedikit di samping Thom yang masih berdiri di dekat tubuh Sandy.
“Jenderal…” bisik Kai dengan suara rendah namun tegas. “Besok pagi, dua mobil militer dari markas utara akan tiba. Mereka membawa pengungsi lain dari atas utara, total sekitar dua puluh orang.”
Thom mengangguk pelan, matanya masih fokus ke depan. “Sudah ada tempat yang disiapkan?”
Kai menjawab, “Sudah, kami sedang bersihkan barak barat. Tapi mereka kemungkinan bawa beberapa orang yang terluka. Termasuk satu anak kecil, kata tim medis—trauma berat.”
Thom menghela napas berat, lalu menatap langit sebentar.
“Baik, siapkan tim medis standby. Minta Karel dan Fito atur keamanan perimeter. Aku gak mau kejadian malam ini terulang.” Tatapannya singkat ke arah Casie dan tubuh Sandy yang mulai ditutup selimut oleh prajurit lain.
Kai mengangguk. “Siap, Jenderal.”
Thom memejamkan mata sejenak, lalu berbalik dan berjalan pelan ke arah Casie, Parker, dan yang lain. Satu malam berlalu lagi. Tapi pagi nanti akan membawa lebih banyak nyawa yang perlu mereka lindungi.
Malam itu udara terasa lebih dingin dari biasanya. Angin menyapu lembut tenda-tenda pengungsi yang berjajar di bawah bayang pepohonan hutan.
Di dalam salah satu tenda, Parker terbaring memejamkan mata, namun matanya terus berkedip—tak bisa tidur. Suara ngorok Dimas di sebelahnya justru semakin membuat sulit terlelap.
Eren melirik Parker. “Lo juga gak bisa tidur?”
Parker membuka mata, mendesah pelan. “Iya. Gak bisa berhenti mikirin tadi.”
Eren duduk perlahan. “Gimana kalau kita keluar, duduk di api unggun? Ajak beberapa orang dari tenda sebelah juga biar gak sepi.”
Parker mengangguk. “Ayo.”
Mereka pelan-pelan bangkit, meninggalkan Dimas yang tetap lelap dengan dengkuran lucunya.
Di sisi lain, tenda kecil di ujung barisan tampak sunyi. Karin duduk memeluk lutut, punggungnya bersandar pada dinding tenda. Matanya sembab, tubuhnya masih sedikit gemetar mengingat kejadian tadi.
Tiba-tiba kain pintu tenda terbuka pelan. Thom masuk dengan langkah tenang, membawa selimut tambahan di tangannya.
“Aku akan tidur di sini malam ini,” katanya sambil duduk di samping Karin, “buat jagain kamu.”
Karin melirik Thom, tak bisa menahan senyumnya yang tipis. “Kamu gak usah pura-pura, kamu juga gak bisa tidur kan?”
Thom tertawa pelan. “Ketahuan ya?”
Karin menyenderkan kepalanya ke bahu Thom. Mereka berdua terdiam, membiarkan keheningan malam mengisi jarak—sekaligus menghangatkan luka hati yang belum sempat sembuh.
Thom melirik wajah Karin yang masih bersandar di bahunya. Di tengah gelapnya tenda dan sunyinya malam, hanya napas mereka yang terdengar, lembut dan pelan.
"Aku sempat takut kehilangan kamu, Rin," bisik Thom, tangannya menyentuh lembut pipi istrinya.
Karin menoleh sedikit, mata mereka bertemu. Ada kehangatan, kelelahan, tapi juga cinta yang masih menyala meski dunia di luar hampir runtuh.
"Aku masih di sini, Thom... dan kita masih punya waktu."
Di luar tenda, api unggun mulai menyala, dan malam itu, untuk sesaat... terasa lebih manusiawi.
Parker berjalan menyusuri lorong markas, melewati beberapa prajurit yang berjaga. Matanya celingukan, mencari sosok yang sedari tadi memenuhi pikirannya. Akhirnya, ia menemukan ruang perawatan kecil di sisi kanan. Ia mengintip pelan.
Riska duduk di ranjang lipat, kakinya diperban rapi. Tangannya memegang botol air, wajahnya tampak lelah tapi masih kuat.
Parker masuk perlahan.
"Hei..." katanya pelan.
Riska menoleh. Senyum kecil mengembang di bibirnya. "Kukira kamu lagi ngambek."
Parker mendekat, duduk di bangku lipat di samping ranjang. "Nggak lah... cuma—aku pengin pastiin kamu nggak kenapa-kenapa."
"Aku baik-baik aja," jawab Riska, lalu menunjuk pahanya. "Cuma kena gigit baju doang, nggak sampe kulit. Untung aja."
Parker mengangguk, menatap luka di kakinya dengan ekspresi serius.
"Aku beneran takut tadi... kehilangan kamu, Ris."
Riska terdiam. Detik berikutnya, ia menarik tangan Parker dan menggenggamnya.
"Aku masih di sini, Park," bisiknya.
Parker menarik napas lega. "Kamu harus cepet sembuh, soalnya... Casie butuh tempat curhat kalau aku nyebelin."
Mereka tertawa kecil bersama. Meskipun dunia masih belum aman, malam itu mereka punya sedikit kedamaian.
Parker berdiri pelan dari sisi ranjang Riska. Ia tersenyum ringan, mencoba menutupi kegelisahannya.
“Gue pergi dulu, ya,” katanya pelan. “Mau lihat-lihat di belakang, buat jaga-jaga. Siapa tahu gue nemuin sesuatu.”
Riska mengangguk. “Hati-hati, Park...”
Parker berjalan keluar dari ruang perawatan, meninggalkan kehangatan cahaya di dalam. Di luar, malam sudah turun sepenuhnya. Angin berhembus lembut di antara pohon-pohon tinggi. Suara jangkrik menggema samar.
Di sisi lain lapangan kecil markas itu, sebuah bangku kayu berdiri sendiri di bawah pohon. Lisa duduk di sana, memeluk lutut, wajahnya diterangi cahaya bulan.
Parker melihatnya dari kejauhan, lalu melangkah mendekat.
“Lo udah lama di sini?” tanya Parker, suaranya pelan.
Lisa mengangguk tanpa menoleh. “Cuma pengin tenang sebentar...”
Parker berdiri di sebelah bangku, membalikkan tubuhnya ke arah Lisa. Tatapan mereka bertemu. Lisa berdiri perlahan.
Seketika—tanpa aba-aba—Lisa maju satu langkah dan mencium Parker, singkat namun dalam. Parker terdiam, matanya membulat, tidak langsung membalas atau menolak.
Setelah beberapa detik, Lisa mundur pelan, menatap mata Parker.
“Maaf...” bisik Lisa. “Gue cuma... udah lama nahan.”
Hening melingkupi mereka. Parker menunduk sejenak, tak tahu harus bicara apa. Di kejauhan, angin masih berhembus, seakan menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Parker berdiri canggung, mengusap tengkuknya yang terasa kaku. Matanya melirik ke arah gelap hutan, lalu kembali ke Lisa yang masih berdiri mematung.
“Gue... pergi dulu, ya,” katanya pelan. Suaranya datar tapi jelas terdengar sedikit kikuk. “Udah larut banget juga.”
Ia melangkah menjauh beberapa langkah, lalu berhenti dan menoleh sedikit tanpa benar-benar melihat Lisa.
“Bakal gue lupain kok,” katanya cepat, dengan nada yang dingin—bukan marah, tapi menjaga jarak. Ia lalu berjalan menjauh, membiarkan keheningan malam kembali menyelimuti tempat itu.
Lisa terdiam, menunduk. Angin malam berembus melewati rambutnya, membawa pergi sisa keberanian yang tadi sempat ia kumpulkan.
Pagi itu, Parker terbangun dengan napas memburu. Keringat membasahi dahinya, dan jantungnya berdetak tak beraturan. Ia serentak duduk tegak, matanya liar menatap sekeliling.
Matanya langsung tertuju ke luar jendela… dan ia membeku.
Di luar sana, ibunya—Karin—tergeletak di tanah. Lehernya berdarah, tergigit. Sunyi. Mencekam.
Parker bangkit tergesa. Di depan matanya, Casie, Lisa, Dimas, Eren, dan beberapa prajurit… semua digigit, tumbang satu per satu. Jeritannya pecah:
“Ma! Casie!!!”
Ia berlari masuk ke dalam bangunan. Di dalam, tubuh ayahnya—Jenderal Thom—sudah tergeletak, tergigit. Komandan Vaughn juga tak luput. Semua tampak seperti mimpi buruk yang terlalu nyata.
Parker panik. Ia mundur, dan dari belakang, suara raungan ribuan zombie mulai terdengar. Ia berbalik, namun lorong yang hendak dilalui justru terus memanjang… memanjang… seolah tiada akhir. Ia berlari, tapi langkahnya terasa berat. Dari arah depan, zombie muncul. Ia berhenti. Menoleh ke belakang—zombie juga datang dari arah itu.
Terjebak.
Suara-suara bergaung dalam kepalanya, tak jelas, memekakkan. Ia menutup telinga, teriakannya pecah:
“AAAAAAAA—!!”
Zombi-zombi itu menerjangnya—dan dalam sekejap…
…Parker terbangun.
Ia kini berada dalam ruangan asing. Sebuah lab. Dingin, sunyi, dan penuh alat-alat seperti dari masa depan. Di kepalanya masih terpasang sebuah helm logam, dengan kabel dan cahaya berkedip. Nafasnya memburu, tubuhnya gemetar. Di sekelilingnya, satu per satu… Casie, Eren, Dimas, Lisa, Riska… semua masih hidup. Begitu pula beberapa prajurit. Mereka pun mulai terbangun, bingung, sama seperti dirinya.
Parker perlahan melepas alat di kepalanya. Ia bangkit, berjalan menyusuri lorong. Tiba-tiba…
Suara itu—suara yang sangat ia kenal.
“Nak…”
Parker menoleh cepat. Dari ujung lorong, Thom muncul. Tenang, gagah, seperti biasa.
“Kau sudah merasakan… apa yang kami rasakan dulu.”
Karin muncul di belakang Thom. Ia tersenyum, namun matanya berkaca-kaca.
Parker mundur selangkah. Semua terasa samar. Ingatannya mulai kembali…
…sebelum ia masuk ke "permainan" ini—ia tahu ini bukan dunia biasa. Ini bukan sekadar mimpi. Ini eksperimen. Sesuatu yang dilakukan kepada mereka semua.
Tapi untuk apa?
Kenapa?
Dan siapa yang mengontrol semua ini?
Parker menatap mereka dengan mata bertanya… dan masa lalu yang tersembunyi mulai menunjukkan wajahnya.
Parker menatap Thom dan Karin dengan sorot mata penuh kebingungan dan kemarahan yang tertahan.
“Untuk apa semua ini…?” suaranya pelan, serak, namun penuh tekanan. “Permainan… mimpi… kenangan… ketakutan… semua ini—nyata banget! Gue lihat kalian semua mati! Riska, Casie, lo, pah… mamah…”
Thom menatap anaknya dalam-dalam. Ia melangkah maju perlahan.
“Kami harus tahu,” ucap Thom pelan. “Kami harus tahu seberapa jauh manusia bisa bertahan. Di bawah tekanan. Di tengah kehancuran. Dalam rasa kehilangan… dan ketakutan.”
Parker melangkah mundur, menatap alat-alat di sekitarnya. “Jadi ini eksperimen? Kita—kelinci percobaan?!”
Karin ikut maju, suaranya lembut tapi tegas. “Tidak, Parker. Ini bukan cuma soal eksperimen. Ini soal harapan. Ini simulasi… untuk mencari jalan keluar dari bencana berikutnya. Untuk mengetahui siapa yang cukup kuat… untuk memimpin.”
Parker mencengkeram rambutnya, bingung. “Jalan keluar? Dari mimpi yang dibikin kayak neraka?! Gimana kalau gue nggak bangun?! Gimana kalau kita semua nggak bangun?!”
Thom menunduk sejenak, lalu berkata pelan, “Kami tidak tahu pasti… sampai kamu bertahan.”
Hening. Suasana jadi berat. Di belakang Parker, teman-temannya mulai terbangun satu per satu, dengan ekspresi panik dan takut yang sama.
Parker menoleh ke ayahnya, suaranya nyaris bergetar, “Jadi… semua ini… kematian mereka… rasa sakit… itu semua cuma… uji coba?”
Thom menatap putranya tajam, penuh luka yang tidak diucapkan. “Kami kehilangan dunia dulu, Park. Kami tidak akan kehilangan lagi tanpa tahu cara melindunginya…”
Parker mengepalkan tangannya. Tatapannya kosong, tapi dalam hatinya mulai muncul satu kata:
“Kenapa… harus kami?”
Dan pertanyaan itu… belum ada yang bisa menjawabnya.
Thom menarik napas panjang, lalu duduk di bangku logam yang dingin. Matanya menatap lantai sebelum akhirnya menatap Parker langsung.
“Dulu, saat dunia hancur karena virus pertama… kami nggak siap. Pemerintah pecah. Militer kewalahan. Ilmuwan hilang arah. Kami bertahan karena naluri—bukan rencana.”
Ia berhenti sejenak, suaranya berat, seperti membawa beban sejarah yang tidak bisa dilupakan.
“Kami kehilangan teman, keluarga, kota-kota… termasuk teman-teman terdekatku—Sony, Vian, bahkan Kylie. Tapi satu hal yang kami pelajari: musuh terbesar manusia bukan cuma zombie… tapi ketakutan dan ketidaksiapan.”
Parker masih diam, rahangnya mengeras.
Thom melanjutkan, “Setelah kami berhasil mengambil alih kembali wilayah-wilayah aman dan mulai membangun, kami bekerja sama dengan para ilmuwan untuk menciptakan simulasi berbasis neurologi. Tujuannya… menciptakan generasi baru yang mampu memimpin, bertahan, dan membuat keputusan di tengah krisis.”
Karin menimpali lembut, “Dan kami memilih kalian… karena kalian mewakili sisi-sisi manusia yang berbeda. Kepemimpinan, keberanian, pengorbanan, bahkan keraguan.”
Thom menatap Parker lebih dalam, “Ini bukan soal membuatmu jadi kelinci percobaan. Ini soal mempersiapkan kalian untuk hal yang lebih besar. Dunia mungkin akan menghadapi gelombang baru… dan kami butuh orang-orang yang bisa melihat lebih dari sekadar bertahan hidup.”
Parker menunduk. Ia terdiam. Suara langkah teman-temannya terdengar di belakang, mereka mulai berkumpul, bingung, masih setengah sadar akan kenyataan baru ini.
Lalu Parker bertanya, pelan tapi tegas, “Jadi… apa langkah kita selanjutnya?”
Thom berdiri perlahan, matanya menyapu seluruh ruangan yang kini dipenuhi tatapan anak-anak muda yang masih bingung—Casie, Eren, Dimas, Riska, Lisa… semuanya ada di sana, hidup, nyata, tapi masih dalam bayang-bayang mimpi yang baru mereka alami.
“Langkah kita selanjutnya,” ujar Thom, suaranya dalam dan mantap, “adalah keluar dari tempat ini. Tapi bukan sekadar keluar—kita akan mulai pelatihan sebenarnya.”
Casie maju selangkah, masih pucat, “Jadi… semua ini cuma simulasi? Sandy… semua kejadian itu… nggak nyata?”
Karin mengangguk pelan. “Sandy baik-baik saja. Dia juga ada di sini, di ruangan berbeda. Dia bagian dari skenario. Tapi ingatan kalian tentang dia tetap penting, karena perasaan kalian... itu nyata.”
Riska menunduk, lalu melirik Parker. “Tapi aku masih bisa merasakan sakitnya digigit…”
“Itulah teknologi baru ini,” jawab Thom. “Simulasi ini disambungkan langsung ke sistem syaraf. Rasa sakit, takut, kehilangan, semua dirancang agar kalian merasakan dampaknya... seperti kami dulu, di dunia nyata.”
Lisa memeluk dirinya sendiri, masih terdiam. Sementara Eren terlihat mulai memahami, meski matanya masih menyimpan tanya.
Dimas mengangkat tangan, “Jadi, kita sekarang kayak… pasukan elite gitu?”
Thom tersenyum tipis. “Kita menyebut kalian sebagai The Heirs—Penerus. Dan ini baru awal. Di luar sana, dunia belum sepenuhnya aman. Ancaman baru bisa muncul kapan saja. Dan kami butuh kalian, generasi selanjutnya… yang sudah mengalami mimpi paling buruk dan masih berdiri.”
Parker menatap ayahnya lama. Wajahnya yang dulu penuh canda kini berubah serius, perlahan ia berkata, “Kalau gitu... ajari kami caranya bertarung bukan cuma pakai senjata, tapi juga pakai akal dan hati.”
Thom tersenyum bangga. “Itu jawabannya.”
Lampu-lampu di ruangan perlahan menyala semua. Di balik kaca, para ilmuwan dan perwira militer memperhatikan, dan sebuah pintu otomatis terbuka.
Waktunya memulai tahap baru.
Petualangan mereka belum selesai—itu baru dimulai.
Seminggu kemudian, kehidupan kembali seperti biasa di sekolah. Suasana pagi itu cerah, suara bel bergema di lorong panjang, dan para siswa berseliweran dengan seragam mereka yang rapi—seolah semua kejadian menegangkan yang pernah dialami hanyalah mimpi panjang.
Riska duduk di bangkunya sambil menatap ke luar jendela, membolak-balik buku catatan. Di sampingnya, Lisa sedang mengikat rambutnya dan bersenandung kecil.
“Eh Ris,” kata Lisa sambil melirik. “Lucu juga ya, di dunia simulasi itu lo malah pacaran sama Parker.”
Riska nyengir, “Iya, lucu juga. Padahal di dunia nyata aja gue gak pernah liat dia lebih dari temennya Casie.”
Lisa tertawa pelan. “Padahal dia ternyata pacar gue, ya?”
Riska menoleh cepat. “Seriusan?”
Lisa mengangguk malu-malu. “Iya. Kita pacaran udah sebulan lebih. Tapi kayaknya gara-gara simulasi itu lo jadi deket banget sama dia. Gue sempet... ya, ngerasa aneh juga sih.”
Riska tertawa kecil. “Gak usah khawatir. Gak ada rasa apa-apa. Justru pas udah keluar, gue mikir... ‘Lah, ngapain juga ya gue lebay gitu di simulasi?’”
Dari kejauhan, Parker masuk kelas sambil tertawa bersama Dimas dan Eren. Saat matanya bertemu dengan Lisa, senyum khasnya langsung muncul. Lisa tersenyum kembali—tatapan mereka sejenak bertaut, nyaman dan tenang.
Casie dari belakang menepuk pundak Riska. “Gimana rasanya jadi mantan pacar virtual abang gue?”
“Gila lo,” Riska menyikutnya, tapi ikut tertawa.
Hari itu berjalan seperti biasa—pelajaran, tawa, candaan. Tapi bagi mereka yang pernah berada di dalam simulasi mimpi paling kelam, setiap detik di dunia nyata terasa jauh lebih berharga.
Dan hubungan yang sebenarnya, perlahan-lahan mulai menemukan bentuk nyatanya.
Parker duduk bersandar di kursi belakang kelas, bersama Rama yang duduk di sebelahnya sambil memainkan pulpen di antara jari-jarinya. Mereka menatap ke arah luar jendela, di mana matahari pagi menyinari lapangan sekolah yang perlahan mulai dipenuhi oleh suara-suara riang para siswa.
“Woi, musuh virtual gue,” ujar Parker sambil menyikut Rama dengan cengiran khasnya.
Rama mendengus sambil nyengir. “Iya, iya. Kalau di dunia simulasi itu gue semacam villain ya? Padahal di dunia nyata kita ini sahabat gak sih?”
“Lebih dari itu, bro. Lo saudara gue. Tapi tetep, lo nyebelin banget waktu itu,” kata Parker sambil tertawa kecil, mengenang ingatan yang rasanya campur aduk—antara nyata dan tidak.
Mereka terdiam sejenak. Pandangan keduanya masih tertuju ke luar jendela, di mana sinar mentari membuat dedaunan berkilau.
“Yap,” kata Parker pelan. “Kayak yang bokap gue bilang... Kadang, dunia nyata justru lebih absurd daripada dunia simulasi.”
Rama menoleh padanya. “Tapi lebih indah juga.”
Parker tersenyum. “Iya. Karena kita masih di sini. Bareng. Dan hidup.”
Keduanya tertawa pelan, lalu saling tos, tanpa kata-kata berlebihan. Hanya kesunyian kecil yang nyaman, yang menandai bahwa dunia nyata—dengan segala kekacauan dan keajaibannya—masih lebih berharga untuk dijalani.
Rio berdiri perlahan dari kursinya. Nafasnya tercekat saat tatapannya tertuju ke luar jendela. Matanya membelalak.
“Guys…” bisiknya lirih, cukup membuat Parker dan Rama ikut menoleh.
Dan di situlah mereka melihatnya.
Di balik pagar sekolah yang jauh, dari balik jalanan kota yang mulai bergetar, muncul bayangan-bayangan kelam. Ribuan. Ratusan ribu. Seperti ombak hitam yang menyapu daratan. Zombie. Gelombang kedua.
“Yap…” Parker berkata pelan, tubuhnya menegang. “Gelombang kedua yang bokap gue bilang... dimulai.”
Sirine mulai meraung. Suara tembakan menggema dari kejauhan. Sekolah berubah menjadi benteng. Anak-anak berlari panik. Guru-guru meneriakkan perintah yang tak terdengar jelas di tengah kekacauan.
Casie muncul dari koridor, wajahnya serius. “Parker! Rama! Rio! Kita harus ke ruang bawah! Sekarang!”
Parker menoleh sekali lagi ke luar jendela. Dunia kembali kacau. Tapi kali ini… mereka lebih siap.
Ia mengangguk, lalu berlari mengikuti Casie, Rama, dan Rio.
Sementara di langit, matahari terbit menyinari dunia yang belum selesai diuji.
Tamat.
(Atau mungkin... awal dari sesuatu yang lebih besar.)