"Kamu sering melakukan ini," kataku saat aku melihatnya menjalankan rutinitas membasahi kain wajah sebelum membawanya padaku. "Aku rasa aku mungkin cemburu." Pipiku masih bersandar pada kursi toilet yang tertutup saat perutku tidak bisa memutuskan apakah ia telah membuatku cukup menderita atau tidak.
Dia tertawa pelan saat dia mulai mengusap wajahku dengan kain wajah yang dingin. Aku terus menatapnya, tidak pernah membiarkan dia pergi dari pandanganku. "Tidak perlu cemburu," katanya saat dia duduk di lantai keramik di belakangku, merentangkan kakinya agar dia bisa tepat di belakangku. Dengan lembut menarikku dari toilet, dia membawa kepalaku ke dadanya dan kami berdua hanya duduk di sana saat dia membelai rambutku.