Amarah yang Membakar Langit

Mentari Konflik – Volume 2 (ENDING)

Bab 25: "Amarah yang Membakar Langit"

Langit Mentari berubah muram. Petir menari di balik awan gelap, dan aroma ozon menguar di udara. Di tengah reruntuhan markas Dirgantara, Odo berdiri dengan napas berat, tubuhnya penuh luka dan serpihan debu. Di hadapannya, sosok bertopeng itu berdiri dengan tenang, jubahnya berkibar tertiup angin malam.

Tak ada bantuan. Tak ada teriakan dari rekan-rekannya. Hanya sunyi dan tatapan saling menghakimi di antara dua sosok itu.

"Akhirnya sendirian juga kau," ucap si bertopeng dengan suara serak dan menekan. "Kurasa aku lebih suka kau begini, Odo. Tanpa leluconmu, tanpa teman-temanmu… hanya dirimu yang nyata."

Odo menatapnya. Matanya kini kehilangan candaan yang biasa ia bawa. Yang ada hanyalah bara. "Kau tahu… selama ini aku cuma nahan. Karena ada Amara. Karena ada Rere. Karena ada Pelita."

Dia mengepalkan tangannya. Retakan kecil muncul di tanah di sekitarnya.

"Tapi sekarang aku pengen tahu…" lanjutnya sambil perlahan berjalan mendekat, "Kalau aku serius, bisa seberapa jauh aku menghancurkanmu?"

Seketika, udara berguncang. Aura Odo meledak seperti badai petir yang tersulut. Batu-batu kecil terangkat dari tanah. Suaranya menggaung seperti guntur. Si bertopeng bergeser sedikit, posturnya menjadi lebih waspada.

Lalu mereka menyerang bersamaan.

Tinju pertama Odo meluncur ke wajah musuhnya — ditangkis. Kaki musuh melayang ke rusuk Odo — ditahan. Mereka bertukar pukulan dengan kecepatan luar biasa. Setiap benturan menghasilkan gelombang kejut yang menghancurkan bangunan di sekitar mereka.

Odo mulai mendorongnya. Setiap serangan terasa lebih berat, lebih cepat. Si bertopeng menahan, tapi gerakannya mulai goyah.

"Kau kalah, kan?" desis Odo sambil mencengkeram kerahnya. "Kau kira bisa terus main-main sama kami?"

Namun si bertopeng menendang Odo mundur dan melompat tinggi, tangan kirinya membentuk simbol aneh di udara. "Kalau begitu… aku akan hentikan permainan ini."

Seketika, bayangan menjalar dari tanah. Sesuatu bangkit — sesosok monster hitam dengan mata merah darah, mengamuk di sekitarnya.

Odo meludah darah dari mulutnya, lalu bersiap.

"Ayo," katanya pelan. "Kalau kau mau mengeluarkan semua, aku juga akan berhenti nahan apa pun."

Ia mengangkat tangan. Api menyelimuti tubuhnya, menyatu dengan kilatan cahaya. Suara di belakangnya muncul samar-samar — suara-suara dari masa lalu: tawa Amara, ejekan Bhima, kehangatan Rere, dan… janji yang pernah ia buat pada dirinya sendiri. Bahwa ia tak akan pernah membiarkan orang-orang berharga jatuh.

Api dan cahaya menyatu — menciptakan bentuk baru. Armor menyelimuti tubuhnya. Matanya bersinar terang.

"Aku, Pelita, akan jadi cahaya terakhir sebelum kegelapan menelan semuanya."

Dengan satu teriakan, ia menerjang monster itu. Pertarungan pun pecah.

Sementara itu, jauh di dalam reruntuhan, Amara terbangun. Ryan sedang duduk di sebelahnya, tidur sambil bersandar ke kursi. Ia menatap langit dari jendela yang retak. Kilatan cahaya dan petir terlihat dari kejauhan.

"Odo…" bisiknya.

Di tempat lain…

Seseorang berdiri di balkon tinggi sebuah gedung rahasia. Sosok berjubah putih dengan masker pecah di salah satu sisi.

"Jadi, itu batas awal kekuatannya, ya?" katanya sambil menulis sesuatu di buku kecil. "Menarik…"

Dari balik pintu, seorang gadis berseragam Dirgantara datang. Matanya tajam, membawa berkas di tangannya.

"Laporan dari Maven, sir. Pelita akan bergerak cepat setelah ini."

Sosok itu tersenyum. "Biarkan saja. Pertunjukan baru saja dimulai."

Kembali ke Odo…

Dengan satu ledakan besar, Odo menghantam musuhnya ke tanah. Monster itu meledak jadi cahaya hitam yang menguap ke langit. Sosok bertopeng itu tergeletak, tubuhnya terbakar dan hancur sebagian. Ia berusaha berdiri, namun lututnya menyerah.

Odo berjalan pelan mendekat, tubuhnya limbung.

"Siapa kau sebenarnya…?"

Si bertopeng terdiam. Darah menetes dari bibirnya. Tapi sebelum menjawab, ia menghilang menjadi asap tipis — seperti bayangan tak nyata.

Odo jatuh berlutut. Hening. Napasnya berat, tubuhnya gemetar.

Namun di balik luka-lukanya… ia tersenyum.

Akhir Volume 2