Bab 24 - Bayangan yang Menunggu
Langkah mereka tergesa di sepanjang lorong yang mulai penuh dengan cahaya merah darurat. Alarm berbunyi dari setiap sudut SubRosa, seolah seluruh tempat itu sedang sekarat. Solara menggigit bibirnya keras saat ia melihat luka di lengan Armand yang semakin parah, tapi tak ada waktu untuk berhenti.
Bhima berjalan paling depan, matanya tajam menelusuri setiap bayangan. Odo menyusul di belakang, menoleh sekilas ke arah Elara yang berjalan cepat namun tetap waspada. Tidak ada percakapan. Hening. Yang ada hanya suara alarm dan gema langkah kaki mereka.
"Ke mana mereka membawa Aidan?" tanya Rere akhirnya, suaranya tegang.
"Menuju pusat kontrol. Tapi mereka tak akan menyangka kita akan menyusul secepat ini," jawab Bhima tanpa menoleh. "Dan itu... jadi keuntungan kita."
Namun begitu mereka membelok di salah satu koridor bawah, mereka disambut oleh pemandangan mengejutkan. Seorang bertopeng berdiri di ujung lorong, tubuhnya tegap dan diam seperti patung. Tapi matanya—atau lebih tepatnya sorotan dari balik topeng itu—menatap langsung ke arah Odo.
"Yang ini milikku," ucap Odo datar.
"Odo, jangan bodoh—" Rere belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Odo sudah melangkah maju.
"Tunggu aku di pusat kontrol. Kalau dia menang... kalian tidak akan sampai di sana," katanya lirih.
Tak ada yang bisa menahannya. Bahkan Bhima, yang biasanya tak ragu mengatur, tahu kalau ini adalah pertarungan yang harus Odo hadapi sendiri. Mereka berlari melewati sisi lorong, meninggalkan Odo berhadapan dengan bayangan yang telah lama menunggu.
"Jadi, akhirnya kau muncul juga," ujar Odo sembari menggulung lengan bajunya.
"Langkahmu lambat," sahut sosok bertopeng. Suaranya dingin, penuh ironi. "Aku sudah menunggumu sejak konflik ini dimulai."
Odo tersenyum kecil. "Kau salah. Aku hanya menunggu waktu yang tepat untuk menguburmu."
Seketika, pertarungan pun dimulai.
Serangan pertama datang dari sosok bertopeng, gerakannya cepat dan mematikan. Tapi Odo tak tinggal diam. Ia menghindar dengan ketepatan sempurna, lalu membalas dengan tendangan rendah yang hampir membuat lawannya terjatuh. Namun sang lawan ternyata bukan tipe yang mudah dijatuhkan. Ia melompat, mendarat di dinding, lalu meluncur ke arah Odo dengan serangan putar.
Benturan keduanya mengguncang lorong. Satu-dua lampu padam. Odo terseret ke belakang, tapi matanya tetap fokus. Kali ini, ia tidak sedang main-main.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Odo, napasnya sedikit memburu.
"Aku? Hanya bayangan dari masa lalu. Sesuatu yang tak bisa kau hindari selamanya."
"Jadi memang kau..." gumam Odo lirih.
Pertarungan kembali meledak. Kali ini lebih brutal. Tinju, tendangan, dan bahkan dorongan energi saling bertabrakan di udara. Lorong itu bergema dengan suara dentuman dan gesekan. Setiap pukulan yang dilepaskan seperti membawa beban dari dendam yang lama tertanam.
Namun saat Odo akhirnya berhasil menjatuhkan lawannya ke tanah, ia merasa sesuatu aneh. Sosok itu... tersenyum.
"Sudah terlambat," ucap si bertopeng.
"Apa maksudmu?"
"Keberadaanmu di sini... adalah pengalihan."
Odo langsung berdiri. Detak jantungnya melonjak. Ia sadar—tujuan sebenarnya bukan Aidan.