Kobaran Terakhir

Bab 20 – Kobaran Terakhir

Langit Mentari membara. Asap dan reruntuhan memenuhi jalan-jalan kota, seolah dunia sudah menyerah pada kehancuran.

Di jantung pertempuran, SubRosa v2 berkumpul: Bhima, Elara, Solara, Armand, dan Rere berdiri berhadapan dengan Odo yang sudah kehilangan seluruh kendalinya. Aura kelam menguar dari tubuhnya, membentuk semacam mahkota hitam yang berdenyut.

"Odo…" Rere bergumam, suaranya tercekat.

Tapi yang berdiri di depan mereka bukan lagi Odo yang mereka kenal. Ini adalah sesuatu yang lain. Sesuatu yang tidak bisa diselamatkan.

"Strategi kita tetap sama," kata Bhima, nadanya berat. "Kalau ada celah… kita hancurkan intinya."

Tak ada yang membalas dengan kata-kata. Mereka hanya mengangguk.

Angin bergemuruh saat Odo mengangkat tangan, memanggil energi hitam yang membelah langit. Tanpa aba-aba, ia menyerang. Tubuhnya melesat seperti peluru, menghantam Bhima yang nyaris tak sempat bertahan.

Armand dan Solara langsung membalas, membentuk serangan kombinasi—Solara dengan tebasan cepatnya, Armand dengan ledakan energi keras. Tapi semua itu hanya membuat Odo bergeming sesaat sebelum kembali menyerang, lebih brutal, lebih cepat.

Elara mengeluarkan sesuatu dari saku—segel darurat terakhir mereka. Sebuah core kecil bercahaya biru.

"Kalau ini aktif," katanya cepat, "semua energi abnormal akan terurai. Termasuk… energi Odo."

Bhima menatap Elara dalam sekejap. Tak ada waktu untuk ragu.

"Gunakan."

Elara melemparkan core itu ke tengah pertempuran. Saat menyentuh tanah, ledakan cahaya biru menyebar, membungkus lapangan. Odo terhuyung, tubuhnya mulai bergetar hebat. Teriakannya membelah udara.

"Ayo, sekarang!!" teriak Bhima.

SubRosa v2 menyerang serentak. Armand menahan gerakan Odo, Rere menembakkan segel tambahan, Solara memotong jalur energi gelapnya, dan Bhima melesat, mengepalkan tangan, menghantam pusat dada Odo sekuat tenaga.

Tubuh Odo terpental ke belakang, menghantam tanah keras.

Hening.

Hanya angin yang berbisik.

SubRosa v2 perlahan mendekat. Odo—atau makhluk yang dulu bernama Odo—terbaring diam, tubuhnya pecah menjadi serpihan cahaya samar. Senyum kecil membekas di wajahnya.

"Maaf…" bisik Odo dengan suara nyaris tak terdengar. "Aku… gak kuat…"

Dan dia menghilang, seperti debu yang diterbangkan angin.

Tak ada sorak kemenangan.

Tak ada perasaan lega.

Hanya keheningan… dan luka menganga di hati mereka.

Bhima menutup mata, menahan sesuatu yang menggelegak di dadanya.

"Odo…"

Mereka berdiri lama di sana, di antara puing-puing harapan dan persahabatan yang tak bisa lagi diperbaiki.

Langit perlahan berubah warna—seolah ikut berduka.