Clara terbangun perlahan, kelopak matanya berkedip pelan menyesuaikan diri dengan cahaya remang lampu jalan. Kepalanya masih sedikit berat, tapi tubuhnya terasa hangat… anehnya terlalu hangat. Ia menunduk dan mendapati sebuah jaket menyelimuti tubuhnya. Bukan miliknya.
Detik itu juga, rasa kantuknya menghilang. Ia menoleh cepat ke arah sopir—dan mendapati Julian tertidur di kursinya, kepalanya bersandar ke sandaran kursi, nafasnya pelan dan dalam. Mobil terparkir rapi di depan rumah Clara. Jalanan sudah sepi, malam makin larut.
Ia mengangkat sedikit jaket itu, jari-jarinya menyentuh bahan yang masih menyimpan kehangatan tubuh Julian. Wajahnya sedikit memanas.
Matanya menyapu ke kursi belakang. Kosong. "Anak-anak…?" bisiknya pelan, tapi segera menyadari. Sudah tidak ada. Mereka pasti sudah diantar Julian ke rumah masing-masing.
Ia kembali menatap Julian, ragu untuk membangunkannya. Tapi entah kenapa, ia juga tak ingin mengganggu ketenangan pria itu. Wajah Julian terlihat berbeda saat tertidur—lebih lembut, lebih manusiawi… lebih nyata.
Dengan hati-hati, ia menyampirkan kembali jaket itu ke dada, seolah ingin mengembalikan perhatian kecil yang telah diberikan padanya. Lalu menggeser tubuhnya perlahan, mencoba tak membuat suara.
Namun sebelum ia membuka pintu, suara berat Julian terdengar rendah dan setengah sadar, "Udah bangun, ya?"
Clara menoleh kaget, mendapati mata Julian terbuka sedikit, penuh kantuk, tapi dengan sorot tajam yang… membuat jantungnya berdebar tak jelas.
"Maaf…" ucapnya pelan. "Aku... kebangun sendiri. Kayaknya aku tidur cukup lama."
Julian mengangguk pelan sambil mengusap wajahnya. "Nggak apa. Anak-anak udah kuantar pulang. Kamu kelihatan capek banget tadi."
Clara menunduk, menggenggam jaket itu di pangkuannya. "Makasih… buat ini juga," ujarnya lirih.
Julian melirik jaketnya lalu menatap Clara sejenak. "Kamu keliatan kedinginan. Nggak ada alasan buat biarin kamu sakit."
Clara tersenyum kecil, tapi masih canggung. "Aku bisa jalan sendiri ke dalam. Terima kasih udah nganter."
Julian mengangguk lagi, kali ini lebih tenang. Tapi sebelum Clara membuka pintu, suara Julian kembali terdengar—lebih dalam, tapi tidak menekan.
"Clara…"
Ia berhenti, menoleh dengan alis terangkat. "Ya?"
Julian menatapnya lama, lalu hanya berkata, "Hati-hati, ya."
Clara mengangguk pelan. "Kamu juga."
Ia turun dari mobil sambil membawa jaketnya, lalu berhenti sejenak di depan pagar rumah, membalikkan badan dan melihat mobil Julian yang belum bergerak.
Entah kenapa, malam itu terasa sedikit berbeda.
--
05.17 WIB
Ponsel Clara bergetar pelan di atas meja dapur saat ia sedang mengaduk teh hangat. Masih gelap di luar, dan suara adzan subuh baru saja mereda. Ia mengusap mata, meraih ponselnya.
Julian:
Pagi, Clara.
Semalam kamu tidur nyenyak banget. Sampai…
Aku sempat mikir, apa kamu sengaja manja di mobil biar aku yang jagain?
Clara mengerutkan kening, bibirnya refleks tersenyum kecil. Ia mengetik balasan sambil menyeruput tehnya.
Clara:
Pagi juga, Tuan Penjaga Tidur.
Lucu banget kamu bisa mikir gitu.
Jangan GR ya. Itu cuma efek kekenyangan.
Tak butuh lama, balasan datang.
Julian:
Oh, jadi kamu ngaku kekenyangan…
Tapi nggak bilang kenyang karena diperhatiin?
Bahaya juga kamu kalau begini terus, Clara.
Bikin aku susah tidur… lagi.
Clara terpaku sejenak. Matanya membulat kecil. "Apa maksudnya 'lagi'…?"
Ia menggigit bibir bawah, lalu mengetik cepat.
Clara:
Kamu ngomong kayak gitu ke semua perempuan, ya?
Atau cuma ke yang kamu selimutin diam-diam.
Julian membalas nyaris instan.
Julian:
Cuma ke yang kelihatan cantik bahkan waktu tidur.
Dan bikin aku pengin nyentuh tapi harus tahan diri.
Clara hampir menjatuhkan ponselnya. Pipi dan telinganya memanas. Ia menatap pesan itu lama, degup jantungnya tak karuan. Ingin membalas dengan ketus, tapi… bagian dalam dirinya malah merasa bergetar.
Ia menarik napas, lalu membalas dengan singkat:
Clara:
Kamu terlalu pagi buat jadi berbahaya.
Julian:
Dan kamu terlalu cantik buat dibiarkan tenang.
Clara menutup ponselnya cepat, wajahnya merah padam. Ia menyandarkan tubuh ke lemari es, menarik napas dalam-dalam.
"Apa sih maksud semua ini…? Kenapa dia bikin aku begini…?" gumamnya pelan.
Di luar, langit mulai berubah biru pucat. Tapi dalam dada Clara, pagi itu terasa seperti percikan api yang sulit padam.
--
Clara membuka pintu warung perlahan. Udara pagi masih lembap, aroma tanah basah dari hujan semalam bercampur dengan bau wajan yang baru ia panaskan. Tangannya sibuk mengaduk nasi di dandang, tapi pikirannya jauh dari sana.
Julian.
Pesan-pesan tadi subuh terus berputar dalam kepalanya, seperti siaran ulang yang tak bisa ia jeda. Kalimat terakhirnya masih menempel di benaknya:
"Dan kamu terlalu cantik buat dibiarkan tenang."
Clara menghela napas, lalu meletakkan centong nasi dengan sedikit keras dari seharusnya. Ia mencoba mengusir bayangan wajah Julian—senyum kecilnya, nada suara yang hangat, dan caranya menyelimuti tubuhnya semalam dengan jaket seolah itu hal paling wajar di dunia.
'Apa maksud semua ini, Jul…' batinnya.
Ia berjalan ke rak, mengambil beberapa bungkus kerupuk, tapi malah tersenyum sendiri saat tanpa sadar membayangkan kalau Julian tiba-tiba datang lagi pagi-pagi cuma buat sarapan.
"Clara!" suara Bu Rani dari luar menyadarkannya.
"Ayam gorengnya udah bisa dibungkus dua, ya? Suamiku keburu ke proyek."
Clara cepat-cepat menyahut, "Iya, Bu! Sebentar ya!"
Tangannya kembali cekatan, tapi senyum itu belum benar-benar hilang dari bibirnya.
Dan di sela-sela aroma minyak goreng, nasi hangat, dan suara pelanggan pagi, hati Clara masih berdebar tak tentu.
Karena bagi Clara—perhatian Julian terasa seperti sesuatu yang pelan-pelan menggeser dinding pertahanan yang sudah lama ia bangun. Dan pagi ini, semuanya mulai retak satu per satu.
--
Clara baru saja selesai melayani pembeli ketiga pagi itu. Ia menyeka kening dengan punggung tangan, mengambil jeda sebentar di balik meja. Ponselnya bergetar pelan di saku apron-nya. Saat dibuka, nama Julian muncul di layar.
Julian:
"Lagi sibuk bikin sarapan buat orang-orang, tapi ada yang belum kamu buatkan sarapan spesial, loh."
Clara membaca pesan itu sambil mengernyit, lalu tersenyum geli. Tangannya masih gemetar sedikit saat mengetik balasan.
Clara:
"Sarapan spesial? Bapak mau minta dibuatkan nasi uduk sama hati ya? Hehe."
Julian membalas dengan cepat.
Julian:
"Kalau hati, aku udah mulai dikasih dari kemarin kayaknya. Sedikit-sedikit."
Clara terdiam. Nafasnya sedikit terhenti, wajahnya memanas sendiri.
Belum sempat ia membalas, satu pesan lagi masuk.
Julian:
"Tapi ya, kalau kamu masak sambil senyum kayak tadi malam… bisa-bisa aku jadi ketagihan datang ke warung kamu tiap hari, bukan karena makanannya."
Clara menggigit bibir bawahnya, menyimpan ponsel ke saku dengan cepat begitu ada pelanggan lain datang. Tapi senyum di wajahnya tak bisa sembunyi.
Dan pagi itu, meski di balik wajan panas dan hiruk-pikuk pembeli, hatinya sibuk bergulat dengan satu pertanyaan:
"Apa yang sebenarnya dia mau dariku?"
--
Sore menjelang, matahari mulai merunduk malu di balik pepohonan. Warung makan Clara penuh tawa dan obrolan hangat. Para ibu—Bu Dewi, Bu Tatik, dan Bu Rina—duduk di meja panjang sambil menyeruput teh manis dan mencicipi gorengan yang baru matang.
"Besok berangkat jam berapa, Mbak Clara?" tanya Bu Dewi dengan nada semangat. "Anak-anak udah nggak sabar dari semalam, lho!"
"Rencana sih jam tujuh pagi, Bu," jawab Clara sambil mengisi ulang sambal di meja. "Biar nggak kesiangan di tempat wisatanya."
Bu Rina tertawa kecil, "Eh, anakku sampai mimpi naik bus dua tingkat! Padahal ya mobil elf juga udah seneng banget."
"Pokoknya yang penting rame-rame, kan? Makan bareng, foto-foto. Udah kayak liburan beneran," timpal Bu Tatik.
Anak-anak berlarian di halaman samping warung, tertawa sambil membawa es lilin warna-warni yang dibagikan Clara siang tadi. Suasana warung hangat dan meriah, seolah semua beban hidup tertinggal di luar pagar.
Namun di tengah tawa itu, pandangan Clara beberapa kali melirik ponselnya yang tergeletak di rak dekat dapur. Tak ada notifikasi baru. Sejak pesan pagi dari Julian, pria itu belum lagi memberi kabar.
Satu sisi dirinya ingin tak peduli. Tapi sisi lain… merasa ada yang kurang hari ini. Warung seramai ini biasanya akan terdengar lebih hangat jika suara bariton Julian ikut menyapa ibu-ibu atau ikut bercanda dengan anak-anak.
Clara mencoba menyibukkan diri, tapi hatinya tetap mengambang. Menanti yang belum pasti.
Dan saat ia menatap anak-anak yang tertawa begitu lepas di halaman, ia bergumam dalam hati:
"Besok mereka liburan. Tapi kenapa hatiku justru terasa makin sesak?"
--